Jalan Berliku
Menuju Indonesia:
Tentang
Tradisi Penulisan Cerpen
di
Kalimantan Selatan
Oleh : Jamal T. Suryanata
Dengarkanlah Kumandang Tanah Air,
tidakkah ada saling mengerti antara Maseri Matali,
Suhana dan Achmad Nur
di pedalaman dan pesisir Kalimantan dengan
penyair-penyair pulau Ambon
Lisapaly dan Sijaranamual dan penyair Gorontalo
M.A. Kamah?
( H.B. Jassin )
/ 1 /
Saya tahu, sesungguhnya agak naif menempatkan
kutipan kalimat di atas untuk mengawali tulisan ini. Kutipan tersebut tak lebih
dari sebuah pertanyaan retoris yang dilontarkan H.B. Jassin dalam salah satu
esainya yang bertajuk ”Seni, Seniman, dan Peminat” di majalah Mimbar Indonesia saat menyoal ketidak-mengertian
banyak orang terhadap bahasa penyair (baca: puisi).[1]
Lalu, apa perlunya saya mengutipkan kalimat itu? Apa relevansinya persoalan
puisi dan kepenyairan dibawa-bawa ke dalam perbincangan mengenai tradisi cerpen
di Kalimantan Selatan (Kalsel) ini?
Tentu saja saya punya alasan tersendiri
sehingga merasa perlu menempelkan kutipan kalimat tersebut di awal tulisan ini.
Dengan kutipan itu saya ingin memberikan sebuah gambaran komparatif antara
tradisi penulisan puisi atawa
kepenyairan dengan tradisi penulisan cerpen di Kalsel yang – minimal secara
kuantitas – tampaknya cukup paradoks selama ini. Sebagaimana secara historis
dapat kita lacak, sejak tahun 1930-an Kalsel niscaya merupakan lahan yang
sangat subur bagi pertumbuhkembangan spesies yang bernama puisi dan atau
makhluk yang lazim digelari ”penyair”. Demikianlah, sejarah telah mencatat,
pada sekitar dekade 40-an sajak-sajak Maseri Matali sudah pun sahut-bersahut
dengan karya-karya Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Siti Nuraini, dan
beberapa penyair berpengaruh lainnya yang kala itu sedang giat-giatnya
meramaikan jagat sastra di tanah air melalui sejumlah majalah yang terbilang cukup
prestesius semisal Mimbar Indonesia,
Pantja Raja, dan Spektrum
(Jakarta). Dalam kaitan inilah, disebut-sebutnya nama Maseri Matali oleh H.B.
Jassin – terutama karena posisinya sebagai tokoh kritikus sastra yang paling
berpengaruh, bahkan nyaris tak tertandingi, pada masa itu – tentunya dapat
dipandang sebagai bentuk legitimasi tak langsung atas popularitas dan
kewibawaan penyair asal Kalsel tersebut di antara sederet nama penyair nasional
papan atas lainnya.
Selepas Maseri Matali, anggapan
tentang kedudukan Kalsel sebagai lahan subur bagi pertumbuhkembangan puisi dan atau
kepenyairan kembali dikukuhkan oleh kehadiran beberapa penyair generasi penerus
yang aktif berkarya antara 1950-an hingga 1990-an semisal Hijaz Yamani, D.
Zauhidhie, Salim Fachri, Ajamuddin Tifani, Ahmad Fahrawi, Noor Aini Cahya
Khairani, Micky Hidayat, Maman S. Tawie, Eza Thabry Husano, Burhanuddin
Soebely, Tarman Effendi Tarsyad, Y.S. Agus Suseno, Ariffin Noor Hasby, Jamal T.
Suryanata, dan beberapa nama lainnya yang karya-karya mereka pernah menghiasi
sejumlah media sastra maupun antologi puisi bersama berskala nasional. Bahkan,
jika kemudian kita merasa perlu menggunakan parameter kepenyairan yang relatif lebih
longgar, maka telah tercatat tidak kurang dari 300-an nama penyair Kalsel yang pernah
aktif meramaikan dunia perpuisian di tanah air (dalam lingkup Kalsel pada
khususnya).[2] Belum lagi jika peta kepenyairan di Kalsel tersebut menghadirkan sederet
nama baru yang mulai aktif berkarya sejak penghujung abad ke-20 atau awal abad
ke-21 sekarang yang tampaknya lebih didominasi oleh penyair-penyair muda perempuan.
Eksistensi dan kontinuitas tradisi
kepenyairan sebagaimana tergambar di atas bukan saja telah mengukuhkan posisi Kalsel
sebagai lahan yang sangat subur bagi pertumbuhkembangan puisi, tetapi boleh
jadi juga menunjukkan bahwa Kalsel selama ini memang merupakan salah satu “lumbung
penyair” terbesar atau bahkan sebagai daerah yang “surplus puisi dan penyair”
di tanah air. Kondisi tersebut tampaknya masih berlanjut hingga memasuki dasawarsa
pertama di awal alaf baru sekarang ini. Namun, tidak sebagaimana maraknya
penulisan puisi dan bejibun-nya
jumlah penyair, sejarah pun telah mencatat bahwa sepanjang perjalanan sastra
Indonesia modern ternyata Kalsel senantiasa tampil sebagai daerah yang minus
karya dan penulis prosa (cerpenis, apalagi novelis).
Sejak dimulainya tradisi
penulisan sastra Indonesia modern di Kalsel pada sekitar awal 1930-an – sejauh
yang saya ketahui – hingga kini tak ada satu nama pengarang pun dari daerah ini
yang pernah disebut-sebut – apalagi sampai dibahas secara mendalam dan panjang-lebar
dalam karya-karya kritik dan sejarah sastra – sebagai tokoh cerpenis nasional
semacam A.A. Navis, Yusach Ananda, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Umar Kayam,
Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, Kuntowijoyo, Budi Darma, Korrie Layun
Rampan, Seno Gumira Ajidarma, atau Gus tf Sakai – untuk menyebut beberapa nama
saja. Jadi, ada apa
sebenarnya dengan tradisi cerpen di Kalsel? Apa yang terjadi dalam jagat
kepengarangan di Kalsel selama ini?
/ 2 /
Sebelum lebih jauh memasuki pembahasan tentang
tradisi cerpen di Kalsel, sekarang mari kita tengok sebentar sejarah awal tradisi
penulisan prosanya secara umum. Masa-masa awal tradisi penulisan prosa (fiksi) di
daerah ini setidak-tidaknya ditandai sejak lahirnya karya-karya Merayu Sukma,
khususnya dalam bentuk roman, yang terbit pada sekitar dasawarsa 30-an hingga
40-an. Beberapa romannya yang telah diterbitkan antara lain Kunang-kunang Kuning, Berlindung di Balik
Tabir Rahasia, Menanti Kekasih dari Mekkah, Teratai Terkulai, Yurni Yusri,
Sinar Memecah Rahasia, Putera Mahkota yang Terbuang, Jurang Meminta Korban,
Dalam Gelombang Darah, Gema dari Menara, Mariati Wanita Ajaib, dan Kawin Cita-cita.
Pada kurun waktu berikutnya, tradisi
penulisan roman atau novel kemudian dilanjutkan oleh Artum Artha, Anggraini
Antemas, dan Ian Emti. Antara akhir 1940-an hingga penghujung 1970-an, Artum
Artha antara lain menerbitkan roman Kumala
Gadis Zaman Kartini, Tahanan yang Hilang, Kepada Kekasihku Rokhayanah, Putera
Mahkota yang Terbuang, dan Kartamina.
Sementara itu, kendati Anggraeni Antemas sudah memulai karier kepengarangannya
sejak tahun 1940-an, tetapi sejumlah karyanya baru terbit pada awal tahun
1980-an. Beberapa romannya yang sudah diterbitkan di antaranya Melamar Puteri Purnama, Si Bunglon Jadi
Detektif, Menghindar dari Telaga Kematian, Tunas-tunas Mekar Pagi, dan Mendulang Intan. Sedangkan Ian Emti telah
menerbitkan empat novel pada tahun 1978, masing-masing berjudul Dosen Komersiel, Pada Sebuah Kapal, Perawan
Tapi Hamil, dan Insan-insan Pop. Setelah
itu, penulisan novel nyaris tak ada gaungnya lagi selama hampir dua dasawarsa
sebelum hadirnya Burhanuddin Soebely dengan tiga karyanya yang (ketiganya) pernah
meraih penghargaan sebagai Pemenang II dalam sayembara penulisan novel yang
digelar majalah Femina (1997, 1998,
2001) dan kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di majalah tersebut.[3]
Sampai saat ini, barangkali,
Aliman Syahrani dan Farah Hidayati adalah dua novelis Kalsel generasi terkini. Aliman
”eksis” berkat keberhasilannya menerbitkan novel Palas (2004), sedangkan Farah dengan novel Rumah Tumbuh dan Alexandria.
Sebab, selepas keduanya tak tampak lagi cikal-bakal penulis novel baru yang
lebih menjanjikan. Namun begitu, jikapun catatan ini ingin dilengkapkan lagi
(tentu dengan melepaskan parameter kesastraan yang agak njelimet dan bersifat normatif), tak pula dapat diabaikan nama-nama
seperti Ajamuddin Tifani, Y.S. Agus Suseno, Alipir Budiman, dan Tajuddin Noor
Ganie karena pada dasarnya mereka pun pernah menulis novel (yang masing-masing
naskah novelnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di koran lokal).
Berdasarkan
data historis di atas, tradisi penulisan prosa di Kalsel pada masa lampau
sesungguhnya sudah cukup menggembirakan. Kemudian, khusus dalam bidang
penulisan cerpen, sejarah pun telah mencatat ”prestasi masa lampau” yang mesti
diperhitungkan. Secara pasti, sejarah awal tradisi penulisan cerpen di Kalsel
setidak-tidak telah dimulai sejak tahun 1950-an dengan tampilnya Masrin Mastur
yang kala itu aktif memublikasikan karya-karyanya (tercatat 7 cerpen) dalam Mimbar Indonesia antara 1951—1953.
Prestasi serupa juga telah ditunjukkan oleh Ramtha Marta dengan keberhasilannya
menembus sejumlah media nasional dalam kurun waktu 1953—1974. Beberapa
cerpennya antara lain dimuat dalam Mimbar
Indonesia (11 cerpen), Kisah (2
cerpen), Tribun (1 cerpen), dan Mimbar (1 cerpen). Selanjutnya, pada
kurun waktu antara 1955—1960, Syamsiar Seman juga telah berhasil memublikasikan
karya-karya cerpennya di empat majalah berskala nasional; masing-masing di
majalah Star Weekly (1 cerpen), Pantjawarna (1 cerpen), Indonesia (1 cerpen), dan Konfrontasi (1 cerpen). Lalu, antara
1955—1959, Hijaz Yamani telah pun mencatat prestasi tersendiri dengan sejumlah
cerpennya yang berhasil menembus beberapa media nasional seperti Pahatan (1 cerpen), Minggu Pagi (2 cerpen), Roman
(3 cerpen), Tjerita (3 cerpen), Indonesia (2 cerpen), dan Konfrontasi (1 cerpen). Selain itu,
karya-karya Darmansyah Zauhidie juga telah berhasil menembus Roman (1 cerpen), Tribun (1 cerpen), dan Zaman
(5 cerpen) dalam kurun waktu antara 1955—1981. Sementara itu, Artum Artha hadir
dengan 7 cerpen yang semuanya dimuat di majalah Senang antara 1976—1984.[4]
Selanjutnya, sejak pertengahan
1980-an sampai sekarang, beberapa nama yang karya-karya cerpennya pernah
menembus media dan atau masuk dalam suatu lomba penulisan berskala nasional
antara lain Ajamuddin Tifani, Ahmad Fahrawi, M. Rifani Djamhari, Y.S. Agus
Suseno, Jamal T. Suryanata, Sandi Firly, Joni Wijaya, dan Zulfaisal Putera. Karya-karya
mereka di antaranya pernah dimuat dalam majalah Horison, Matra, Jurnal Cerpen Indonesia, Selarong, SKH Jawa Pos, Surya, dan beberapa media lainnya. Di
samping mereka, memang masih ada sejumlah nama lagi yang pantas dicatat dalam
deretan cerpenis Indonesia asal Kalsel; sebutlah A. Rasyidi Umar, Syukrani
Maswan, Zain Noktah, Eddy Wahyudin SP, Maman S. Tawie, Aliman Syahrani, M.
Fitran Salam, Harie Insani Putra, Sainul Hermawan, Dewi Alfianti, Rismiyana, Ratih
Ayuningrum, dan Syafieqotul Machmudah – sekadar menyebut beberapa nama yang
pernah cukup produktif berkarya.
Berdasarkan pemetaan di atas, pada
tataran tertentu tampak bahwa dari dasawarsa ke dasawarsa tradisi penulisan
prosa (termasuk cerpen) di Kalsel terus mengalami penurunan. Lebih-lebih jika
patokannya terbatas pada publikasi berskala nasional, jelas penurunan itu akan
sangat terasa selepas dekade 80-an. Maka, atas dasar itulah, jika dibanding
dengan tradisi penulisan puisinya yang dari masa ke masa selalu ramai dan terus
tumbuh subur, satu hal yang dapat dikatakan bahwa hingga sejauh ini Kalsel memang
tak ubahnya ibarat lahan gersang bagi persemaian genre cerpen atau prosa pada
umumnya. Di antara sederet nama cerpenis yang disebutkan di atas ternyata pula hanya
ada beberapa nama yang terbilang cukup produktif dan relatif konstan dalam berkarya.
Kemudian, di antara jumlah yang sedikit itu, lebih terbatas lagi yang
karya-karyanya mampu menembus media massa berskala nasional.
Dibanding karya-karya puisinya
yang relatif banyak atau sering dimuat dalam sejumlah buku antologi puisi bersama
yang juga berskala nasional, sampai saat ini hanya ada dua cerpen yang beruntung
ikut diterbitkan dalam dua buku berskala nasional yang cukup monumental, yakni cerpen
berjudul “Petaka Teluk Mendung” karya Ajamuddin Tifani (dengan nama-pena Laila
Fakhriani) dalam buku Cerita Pendek
Indonesia, Jilid IV (Editor: Satyagraha Hoerip, 1984) dan cerpen “Sebelas” karya
Jamal T. Suryanata dalam buku Angkatan
2000 dalam Sastra Indonesia (Editor: Korrie Layun Rampan, 2000). Akan
tetapi, boleh jadi ada orang yang beranggapan bahwa dimuatnya kedua cerpen
tersebut lebih bersifat kebetulan belaka (baca: kebetulan ada editor yang
”secara tidak sengaja” menemukan kedua cerpen itu saat ia melakukan penelitian
atau pengumpulan naskah untuk penerbitan bukunya). Namun, lepas dari persoalan
tersebut, pada akhirnya harus diakui bahwa sampai saat ini Kalsel memang belum
punya seorang tokoh cerpenis nasional yang popularitas dan kewibawaannya setaraf,
misalnya, dengan Danarto, Kuntowijoyo, Budi Darma, Umar Kayam, Hamsad Rangkuti,
Ahmad Tohari, Korrie Layun Rampan, Taufik Ikram Jamil, Harris Effendi Tahar,
Ratna Indraswari Ibrahim, Seno Gumira Ajidarma, Gus tf Sakai, Agus Noor, Joni
Ariadinata, Triyanto Triwikromo, Puthut EA, Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, atau
Raudal Tanjung Banua (maaf, juga hanya untuk menyebut beberapa saja). Maka,
sekali lagi, ada apa sebenarnya dengan tradisi cerpen di Kalsel?
/ 3 /
Sebagaimana
telah disinggung di atas, prestasi masa lampau yang telah ditunjukkan oleh para
penulis roman asal Kalsel sebenarnya sudah cukup membanggakan. Akan tetapi,
mengapa selama ini nama-nama serta karya-karya mereka tak pernah disebut-sebut
dan atau dibahas dalam buku-buku sejarah dan kritik sastra Indonesia? Adakah sesuatu
yang salah dalam sejarah masa lalu itu? Padahal, lewat karya-karya mereka, kita
tahu bahwa Merayu Sukma, Anggraeni Antemas, maupun Artum Artha telah memberikan sumbangan yang
cukup besar dalam rangka membentangkan khazanah penulisan roman di Indonesia. Dengan
begitu, boleh jadi pengungkapan data historis mengenai sastra Indonesia yang
ada selama ini memang masih bermasalah .[5]
Jika persoalan di atas kita telusuri lebih jauh, tampak
bahwa dalam istilah “bermasalah” tersebut setidak-tidaknya mengandaikan terdapatnya
tiga kemungkinan yang menjadi faktor penyebabnya. Pertama, dari segi kualitasnya, kedudukan karya-karya para
pengarang Kalsel tersebut memang dinilai kalah penting dibanding dengan
karya-karya penulis kenamaan Indonesia lainnya. Hal ini, misalnya, berkaitan
dengan konsep pembaruan yang seringkali dijadikan tolok ukur utama dalam
pembahasan kritik sastra. Kedua, mungkin
pula persoalannya lebih dilantarankan oleh perbedaan sudut pandang para
kritikus atau sejarawan sastra mengenai parameter kesastraan yang berlaku ketat
pada masa itu; bahwa kedudukan karya-karya para pengarang Kalsel itu secara
normatif digolongkan sebagai roman picisan atau sastra populer, sementara para kritikus
dan sejarawan sastra secara kaku hanya memasukkan karya-karya yang lazim disebut
sastra serius. Dengan kata lain, ruang lingkup penelitian mereka pada akhirnya
hanya terfokus pada buku-buku dan media massa yang memuat karya-karya yang
dianggap serius dan dengan sendirinya akan mengesampingkan semua objek yang
berbau populer. Ketiga, mungkin
akibat kedua faktor di atas, boleh jadi tradisi kepengarangan di Kalsel pada
saat itu memang belum dianggap “ada” oleh para kritikus dan sejarawan sastra
Indonesia. Sebab, orientasi pemetaan sastra pada masa itu – bahkan jejak-jejaknya
masih tampak hingga sekarang – tampaknya punya kecenderungan untuk terfokus
pada titik-titik tertentu yang sejak lama telah dianggap sebagai
kantong-kantong sastra utama di tanah air atau karena telah punya tradisi
sastra yang baik (misalnya Padang, Jakarta, dan Yogyakarta).
Lepas dari keinginan untuk menghakimi atau sekadar
melakukan pembelaan, pada sisi lain tampak pula bahwa tradisi penulisan cerpen
di Kalsel sebenarnya juga tidaklah terlalu buruk (minimal jika dibandingkan dengan
tradisi kepengarangan di tiga wilayah Kalimantan lainnya). Berdasarkan data
historis di atas, selama rentang waktu antara 1950-an hingga 1980-an (sekitar
empat dasawarsa) sejumlah cerpenis Kalsel jelas telah menunjukkan prestasi yang
cukup signifikan melalui karya mereka masing-masing yang mampu “berbicara” di
pentas nasional. Namun, kendati demikian, tetap saja masih terasa ada yang
kurang. Sebab, sebagaimana tradisi penulisan novelnya yang selalu terdengar
sayup sampai, sampai saat ini juga tak pernah ada seorang cerpenis Kalsel pun
yang nama dan karya-karyanya dicatat atau dibahas dalam buku-buku sejarah dan
kritik sastra Indonesia. Jadi, sekali lagi, ada apa sesungguhnya dengan tradisi
cerpen di Kalsel? Apakah persoalannya sama dengan yang berlaku dalam tradisi
penulisan roman? Adakah ia telah mengidap semacam penyakit kronis, cukup akut, atau
bahkan sudah bersifat epidemis?
Kalau tradisi penulisan cerpen ini kita coba cermati, persoalannya
mungkin sangat berbeda dengan yang berlaku dalam tradisi penulisan roman atau
novel sebagaimana tergambar di atas. Dalam konteks ini, relevansi masalahnya
hampir tak ada gayutannya dengan perbedaan paradigma kesastraan yang bersifat
dikotomis itu: “sastra serius” versus “sastra populer”. Pertanyaan tersebut tampaknya
lebih merupakan representasi (mungkin pula sebagai akumulasi) dari sebentuk
kegelisahan yang seyogianya menjadi kegelisahan bersama. Jawabnya pun bisa jadi
bersentuhan dengan segepok persoalan, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah
teknis kesastraan maupun nonkesastraan. Di sini, sederet persoalan yang mungkin
mengemuka di antaranya menyangkut faktor-faktor ketiadaan bakat, rendahnya
minat, kurangnya semangat, minimnya pengetahuan, miskinnya pengalaman, tak
cukupnya penguasaan bahasa, rumitnya teknik penulisan, ketatnya seleksi media
massa, rendahnya honor tulisan, kondisi lingkungan yang kurang kondusif, gagap
teknologi, kemalasan pribadi, pertimbangan popularitas pengarang, tumbuh
suburnya koncoisme, atau lantaran sikap apriori para editor penerbit nasional (di
Jakarta dan Yogyakarta pada khususnya) yang sudah terlanjur tak sudi menengok
potensi para penulis dari luar kantong-kantong sastra tanah air (Kalsel pada
khususnya).[6]
Terkait dengan masalah di atas, akibat
berbagai faktor atau alasan-alasan yang seringkali justru lebih mengandalkan pertimbangan-pertimbangan
non-kesastraan juga cukup menyempitkan peluang bagi para pengarang Kalsel untuk
memublikasikan karya-karya mereka di media sastra nasional. Diakui atau tidak,
para redaktur kita pada umumnya masih tak bisa melepaskan sikap mereka dari kuatnya
pengaruh ungkapan klasik “tak kenal maka tak sayang”. Oleh karena itu, akibat
yang muncul kemudian adalah sebentuk kalimat peringatan, “Kalau engkau belum
mengenal dekat redaktur sebuah media, maka karyamu tak akan pernah bisa dimuat
di media tersebut!” Dengan demikian, dalam upaya menyikapi problem semacam itu
sedianya kita harus melazimkan ayat-ayat cinta, “Wahai para pengarang, jika
karyamu ingin dimuat dalam sesuatu media massa, maka kenalilah redakturnya
terlebih dahulu sebelum engkau mengirimkan karya-karyamu. Akan tetapi, ingatlah
pula olehmu bahwa dengan modal mengenal para redaktur saja tidaklah cukup
bagimu sebagai jaminan atas pemuatan karya-karyamu. Maka pikirkanlah olehmu
agar engkau termasuk golongan orang-orang yang beruntung!”
/ 4 /
Tumbuh
suburnya koncoisme dan sikap keberpihakan dalam aktivitas berkesusastraan, juga
masih bertahannya pemikiran sentralistik yang mengandaikan pemisahan dan atau
perbedaan pusat—daerah, hingga kini tampaknya masih begitu kuat mewarnai
tradisi penerbitan maupun publikasi karya sastra di media massa kita. Bertolak
dari kondisi yang tidak kondusif semacam itulah tampaknya yang kemudian
memunculkan tradisi atau trend baru
dalam konteks publikasi karya sastra di tanah air dewasa ini. Dimaksudkan
sebagai bentuk penentangan, setidak-tidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, sejumlah
penulis akhirnya mencoba menempuh jalan pintas dengan menerbitkan “sendiri”
media sastra alternatif atau menempuh penerbitan buku secara swakelola (self-publisher). Akan tetapi, sebagai
konsekuensi selanjutnya, hanya individu atau komunitas yang punya modal
cukuplah yang akan mampu bertahan lama (survive)
di tengah persaingan yang semakin ketat. Sebaliknya, mereka yang tak punya
modal pada akhirnya tetaplah sebagai penonton.
Akan tetapi, benarkah masih rapuhnya bangunan tradisi
penulisan cerpen di Kalsel selama ini dilantarankan oleh faktor-faktor
tersebut? Benarkah semua itu merupakan problem utama yang dihadapi para
cerpenis Kalsel sehingga tampak begitu sulit untuk menemukan jalan ke
Indonesia? Saya kira, persoalannya justru terlebih dahulu harus dikembalikan
kepada pribadi-pribadi pengarang Kalsel sendiri. Mari kita instrospeksi diri
sejenak, apakah selama ini para pengarang Kalsel sudah melakukan hal yang sama sebagaimana
yang telah ditempuh oleh kawan-kawan cerpenis lain semisal Gus tf Sakai, Taufik
Ikram Jamil, Joni Ariadinata, Triyanto Triwikromo, Puthut E.A, Zen Hae, Raudal
Tanjung Banua, Marhalim Zaini, Linda Christanty, atau Lan Fang? Jawabnya,
rasanya, emang belum sih!
Bukankah selama ini kita lebih banyak jadi penonton saja?
Bukankah selama ini kita lebih banyak berbicara daripada menulis? Bukankah
tradisi lisan kita masih lebih dominan tinimbang tradisi keberaksaraan? Kita
seringkali lebih tergiur untuk ikut-ikutan membentuk berbagai komunitas sastra,
tetapi kita masih suka lupa bahwa tujuan utama pembentukan wadah adalah untuk
memompa semangat berkarya. Kita juga sudah begitu banyak menggelar
diskusi-diskusi kesastraan, tetapi kita toh
tetap saja tak begitu mengindahkan bahwa puncak berbagai perbincangan itu
adalah meningkatnya produktivitas dan kreativitas dalam berkarya.
/ 5 /
Beberapa
faktor di atas tampaknya merupakan sederet alasan yang menyebabkan tradisi
penulisan cerpen di Kalsel selama ini seakan-akan masih menemukan jalan buntu
untuk menuju Indonesia. Dan pada tataran tertentu, celakanya pula, pengertian
“Indonesia” itu agaknya masih berkiblat dan atau berkonotasi pada Jakarta (kini
mungkin juga plus Yogyakarta karena tradisi penerbitannya yang semakin kuat). Dengan
kata lain, sebelum seorang penulis daerah berhasil menembus Jakarta atau
Yogyakarta, maka ia belum “menjadi” penulis Indonesia. Sebab, tanpa bermaksud
meremehkan, cobalah tanyakan: seberapa luaskah jangkauan pembaca untuk
karya-karya yang sekadar dipublikasikan di media lokal? Jadi, dalam
pengertiannya yang sangat spesifik, “penulis Indonesia” berarti para penulis
yang – lantaran karya-karyanya dibaca oleh banyak orang dari hampir seluruh
pelosok Indonesia – popularitasnya sudah mengindonesia.
Kini, dalam perspektif masa depan, akankah pemetaan
sastra Indonesia itu masih terus berkutat dalam zona Jakartasentris atau
Yogyasentris? Kalau begitu, sampai pertengahan abad mendatang pun para penulis
Kalsel akan terus teralienasi di tengah keramaian lalu-lintas sastra Indonesia
jika mereka masih saja berkutat dalam lokalitas dunianya sendiri. Namun, sekali
lagi, marilah kita instrospeksi diri. Tak adil rasanya kalau kita hanya pandai
menyalahkan orang lain atau menjadikan keadaan sebagai kambing hitam. Bagaimanapun,
semua itu pastilah tidak layak dijadikan sebagai alasan pembenaran kemalasan
pribadi sehingga tetap saja tidak berkarya pada akhirnya.[7]
CATATAN PUBLIKASI
Makalah ini disampaikan dalam Kongres Cerpen Indonesia
(KCI) V Tahun 2007 (26—28 Oktober 2007) di Taman Budaya Kalimantan Selatan.
CATATAN KAKI
[1] Lihat H.B. Jassin, Tifa
Penyair dan Daerahnya (Jakarta: Haji Masagung, 1991), hlm. 2. ”Kumandang Tanah Air” adalah nama rubrik puisi di majalah Mimbar Indonesia saat itu.
[2] Baca, misalnya, biografi para pengarang Kalsel yang telah dihimpun
Jarkasi dan Tajuddin Noor Ganie dalam buku Sketsa
Sastrawan Kalimantan Selatan (Banjarmasin:
Balai Bahasa Banjarmasin, 2001). Lepas dari soal kurang jelasnya kriteria
penyusunan yang digunakan, dari 307 nama pengarang yang berhasil dikumpulkan,
hampir semuanya bisa dikelompokkan sebagai penyair (karena pernah menulis
puisi, tentu saja). Akan tetapi, hanya beberapa nama di antaranya (mungkin
tidak lebih dari 10 %) yang disebut-sebut pernah menulis fiksi (novel atau
cerpen), di samping kegiatan utamanya menulis puisi.
[3] Dalam konteks ini, dimasukkannya nama Burhanuddin Soebely sebagai
penulis novel terutama jika kita mengacu pada konsep kesastraan yang lebih
luwes mengenai batasan novel. Dalam batasan ini, istilah novel tidak saja
merujuk pada karya-karya yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, tetapi juga
mengakomodasi karya-karya dalam bentuk cerita bersambung yang dimuat di media massa. Lihat misalnya
Sapardi Djoko Damono, Priayi-Abangan:
Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 2000).
[4] Sebagian data didasarkan pada catatan Ernst Ulrich Kratz, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988). Untuk karya-karya Artum Artha
dapat dilacak dalam 7 edisi majalah Senang
pada kurun waktu tersebut.
[5] Mengenai peran kepengarangan Merayu
Sukma, dalam salah satu esainya Maman S. Mahayana tampak sangat menyesalkan
keterlanjuran para peneliti dan penyusun sejarah sastra Indonesia sebelumnya –
antara lain H.B. Jassin, A. Teeuw, Ajip Rosidi, Bakri Siregar, Zuber Usman, dan
Jacob Sumardjo – yang begitu saja mengabaikan empat nama penting: M. Dimyati,
Yousouf Sou’yb, Andjar Asmara, dan Merayu Sukma. “Inilah ’blunder’ para peneliti yang hanya mengandalkan satu sumber saja,”
ungkapnya agak ketus. Lihat Maman S. Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing,
2005), hlm. 437—438.
[6] Paling tidak, dalam konteks ini, saya
pribadi telah merasakan pengalaman pahit dalam upaya ”menjajakan” beberapa naskah
buku (antologi puisi, kumpulan cerpen, dan telaah sastra) dengan menempuh jalur
formal ke beberapa penerbitan di Jakarta dan Yogyakarta. Dan, sebagaimana sudah
saya duga, setelah lelah berkelana ke sana-kemari pada akhirnya hasilnya memang
nihil. Padahal, tanpa mengesampingkan kemungkinan subyektivitas pribadi, saya
bisa menilai kualitas karya-karya saya dengan karya-karya beberapa teman
tertentu dari luar Kalsel yang beruntung bukunya telah diterbitkan. Akan tetapi, menyebut Kalsel saja mungkin
bukanlah pernyataan yang tepat. Sebab, pengalaman yang sama tentunya juga
pernah dirasakan oleh kawan-kawan dari berbagai daerah lainnya.
[7] Saya kira masih begitu banyak persoalan
yang sama layaknya untuk diangkat dan didiskusikan dalam forum kongres seperti
ini. Perkembangan estetik dan masalah eksplorasi budaya lokal, misalnya,
merupakan dua topik yang sangat menarik tinimbang sekadar aspek historisnya
saja. Akan tetapi, hal itu dengan sangat terpaksa harus saya abaikan lantaran berbagai
keterbatasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar