Sastra,
Realitas, Imajinasi:
Membaca
Rumah Debu dalam Bingkai Sosiologis
Oleh : Jamal T. Suryanata
pada setiap jejak
adalah
jalan pulang
( Sandi Firly, ”Epigram Petualang” )
/ 1 /
Sudah berulang kali saya kemukakan, tahun 2000 boleh
dikata merupakan titik tolak perkembangan baru dalam jagat sastra Indonesia di
Kalimantan Selatan (Kalsel). Sejauh pengamatan saya, terutama dalam
perbandingannya dengan situasi sastra di Kalsel pada beberapa dekade sebelumnya
(antara dekade 60-an hingga akhir 90-an), perkembangan baru itu setidaknya
tampak dalam tiga hal (sekadar menyebut kecenderungan yang paling dominan): pertama, terjadinya pergeseran yang
signifikan dalam penulisan ragam sastra kreatif dari genre puisi ke genre
prosa-fiksi (cerpen dan novel); kedua,
semakin banyaknya bermunculan penulis muda perempuan (cerpenis maupun penyair);
dan ketiga, kian maraknya penerbitan
buku-buku sastra (mencakup buku puisi, cerpen, novel, juga esai dan kritik
sastra).
Kalau kita telusuri (secara
kausal), munculnya ketiga kecenderungan baru tersebut tentu saja bukanlah suatu
kebetulan, melainkan berjalan seiring dengan perkembangan sastra Indonesia
terkini dalam lingkup nasional. Hal ini bisa dipahami karena sastra Indonesia
di Kalsel pada dasarnya merupakan subtradisi dari satu tradisi besar bernama sastra
Indonesia (yang tentunya juga tidak hanya berkonotasi pada Jakarta sebagai
”pusat” keramaiannya, tetapi harus dilihat secara holistik dalam rangka
keindonesiaan yang desentralistik). Dengan kata lain, sastra Indonesia yang
berkembang di suatu daerah (termasuk di Kalsel) tidak bisa lepas dari pengaruh timbal-balik
perkembangan sastra Indonesia pada umumnya.
Sebagaimana telah dikemukakan
di atas, salah satu fenomena baru dalam perkembangan sastra Indonesia di Kalsel
selama lebih kurang sepuluh tahun terakhir ini (2000—2010) adalah kian suburnya
penulisan ragam fiksi.[1]
Namun, sejauh ini penulisan ragam fiksi tersebut masih lebih didominasi oleh
genre cerpen, sedangkan karya berbentuk novel masih dapat dihitung dengan jari.
Langkanya penulisan novel tersebut, barangkali, ada hubung-kaitnya dengan proses
kreatif dan teknis penulisannya yang memang lumayan berat serta menuntut energi
lebih dari para pengarangnya dibandingkan dengan menulis cerpen, misalnya. Akan
tetapi, di tengah kelangkaan tersebut, kini telah terbit sebuah novel lagi bertajuk
Rumah Debu (Banjarmasin, Tahura
Media, 2010) karya Sandi Firly (Kuala Pembuang, Kalteng, 16 Oktober 1975) —penulis
muda Kalsel yang selama ini lebih dikenal sebagai seorang cerpenis, di samping wartawan
dan redaktur seni-budaya. Maka, dalam konteks inilah kiranya kehadiran novel
ini menjadi penting dan selayaknya mendapatkan apresiasi yang positif. Paling
tidak, kecuali sebagai pengobat rindu, kehadirannya telah memperkaya khazanah
karya fiksi di daerah yang selama beberapa dasawarsa sebelumnya hanya mengesankan
sebagai ”lumbung penyair” ini, sekaligus ikut memberi warna bagi perkembangan
sastra di Kalsel maupun sastra Indonesia pada umumnya.
Sebagai bentuk apresiasi,
dalam risalah singkat ini saya akan coba memperbincangkan novel debutan Sandi
Firly tersebut dari kacamata sosiologi sastra atau dalam bingkai sosiologis
yang mengandaikan terdapatnya hubungan timbal-balik antara sastra, pengarang,
dan masyarakat. Namun, dengan istilah yang berbeda, untuk kepentingan
pembahasan selanjutnya saya akan lebih memokuskan perhatian pada berbagai
kemungkinan relasional antara karya sastra, realitas sosial, dan imajinasi
pengarang. Sebab, setelah membaca sekilas novel ini, saya berkeyakinan bahwa dalam
proses kreatif penulisannya sang pengarang tidak sekadar mengandalkan keliaran
imajinasinya semata, tetapi tampak sangat dipengaruhi oleh —atau bahkan
bertolak dari— kenyataan faktual masyarakat dan zaman yang menjadi latar
penciptaannya, seberapa kecil pun kenyataan itu terungkapkan dalam novel
tersebut.
/ 2 /
Dalam kajian sosiologi sastra, kita telah mengenal
adanya berbagai klasifikasi teoretis, terutama dalam kaitannya dengan
model-model pendekatan kritik sastra. Namun, secara ringkas dapat dikatakan
bahwa pendekatan sosiologi sastra pada umumnya dibagi dalam tiga bidang kajian
utama. Pertama, sosiologi pengarang
—yang objek telaahnya berkaitan dengan kehidupan pribadi sang pengarang selaku
penghasil karya sastra (tercakup di dalamnya masalah status sosial, ekonomi, ideologi,
agama, pekerjaan, dan lain-lain). Jadi, proses pengkajian itu bergerak dari
dunia pengarang ke karya sastra dan hubungannya dengan masyarakat (pembaca). Kedua, sosiologi karya sastra —yang
objek telahnya adalah teks sastra itu sendiri (menyangkut genre, struktur,
maupun isinya). Dengan demikian, proses pengkajiannya bergerak dari teks sastra
ke persoalan-persoalan di luar sastra (misalnya pengaruh sosial karya sastra
atau sebaliknya, termasuk juga masalah refleksi sosial karya sastra dalam kaitannya
dengan konsep ”sastra sebagai cermin kenyataan”). Ketiga, sosiologi pembaca —yang objek telaahnya menyangkut pengaruh
sosial karya sastra terhadap pembaca (masyarakat) maupun penerimaan dan
tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Jadi, dengan demikian, proses
pengkajiannya bergerak dari berbagai gejala sosial (di luar sastra) ke teks sastra.[2]
Berdasarkan
beberapa pendapat yang berkembang, Sapardi Djoko Damono justru menyimpulkan
klasifikasi sosiologi sastra itu hanya dalam dua bidang kajian. Pertama, pendekatan yang berdasarkan
pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka.
Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan
sastra. Jadi, dalam konteks ini, sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan
faktor-faktor di luar sastra tersebut. Dengan demikian, dalam pendekatan ini
teks sastra tidak dianggap utama, tetapi hanya merupakan gejala kedua (epiphenomenon). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan
penelaahan. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis
teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami
berbagai gejala sosial yang ada di luar sastra secara lebih mendalam.[3]
Sejalan dengan pokok masalah
yang telah dikemukakan sebelumnya, juga dengan mempertimbangkan beberapa
pandangan sosiologis di atas, pembahasan terhadap novel Rumah Debu ini akan lebih dilandaskan pada sosiologi karya sastra
—terutama untuk mengacu pada konsep ”sastra sebagai cermin masyarakat” yang
telah dikemukakan Watt maupun dalam pengertian klasifikasi kedua yang
ditawarkan Damono. Dengan demikian, pokok kajian ini pada khususnya akan mempertanyakan:
sejauh mana relevansi dan kebenaran konsep ”sastra sebagai cermin masyarakat” itu
dapat dipertanggungjawabkan? Atau, dengan kata lain, seberapa jauh ”realitas
imajinatif” dalam novel ini dapat dipandang sebagai cermin ”realitas faktual” yang
ada di masyarakat dan zaman yang melahirkannya? —jadi, konsep ini berkaitan
erat dengan dimensi ruang dan waktu.
Kendati titik tolak kajian ini
tampak mengerucut pada klasifikasi yang kedua (baca: sosiologi karya sastra),
tetapi dalam usaha menemutunjukkan keterkaitan antara sastra, realitas, dan
imajinasi, kelak pada titik-titik tertentu akan terlihat bahwa secara eklektis pembahasan
ini juga akan memanfaatkan bidang kajian sosiologi pengarang sebagai pendampingnya.
Hal ini karena sedari awal saya telah menyadari bahwa pokok masalah yang akan
dibicarakan memang melibatkan unsur imajinasi yang mau tidak mau pasti akan bersentuhan
dengan wilayah kepengarangan. Sungguhpun demikian, dalam prosedur penelaahannya
tetap akan bergerak dari ranah ”teks-dalam” untuk menggayutkannya dengan ”teks-luar”
atau dari realitas internal sastra ke realitas eksternalnya (masyarakat tempatan
dan zaman yang menjadi acuan novel), sebagaimana yang dimaksudkan Damono di
atas.
Usaha menghubungkaitkan karya
sastra dengan realitas sosial terutama dimaksudkan untuk meminimalisasi
kelemahan yang sering dinisbahkan pada kajian strukturalisme murni. Sebab,
sebagaimana pernah ditegaskan A. Teeuw, strukturalisme yang hanya menekankan kajiannya
pada otonomi karya sastra mempunyai dua kelemahan pokok, yaitu (1) melepaskan
karya sastra dari rangka sejarah sastra dan (2) mengasingkan karya sastra dari
rangka sosial-budayanya.[4]
Kendati demikian, dalam hal ini saya juga merasa perlu untuk menjaga jarak agar
jangan sampai tergelincir pada penilaian historis sebagaimana yang dilakukan
oleh para sejarawan atau penyusun buku-buku sejarah. Sebab, meskipun sebuah karya
sastra dapat dimanfaatkan sebagai ”dokumen” tertulis untuk penelitian sosial
dalam rangka memahami masyarakat tertentu, misalnya, tetapi keberadaannya tidak
bisa diperlakukan sebagai ”monumen” sejarah. Hal ini sejalan dengan keyakinan Ariel
Heryanto ketika mengupas ihwal hubungan antara sastra, sejarah, dan sejarah
sastra. Maka, saya pun berkeyakinan bahwa tak ada suatu fakta dan peristiwa apa
pun yang mampu dipahami dan diungkapkan kembali untuk dipahami orang lain
secara total, objektif, dan netral (atau, menurut istilah Kuntowijoyo, ”sebagai
sesungguhnya terjadi”). Sebaliknya, saya juga percaya bahwa tak ada suatu ungkapan
atau karya sastra yang paling imajiner mana pun yang sanggup memiliki wilayah
otonomi mutlak, subjektif, dan ”tak ada sangkut-pautnya apa pun dengan individu
atau kalangan tertentu” —sebagaimana lazim dijadikan petunjuk pemakaian atau sebagai
peringatan penting (warning up) bagi
pembaca novel atau penonton karya sinematografi.[5] Jadi, dalam kerangka demikianlah pembacaan
novel Rumah Debu ini dilakukan.
/ 3 /
Novel Rumah
Debu pada intinya bercerita tentang perjalanan panjang seorang anak muda
bernama Rozan dalam usaha mencari dan menemukan jatidirinya; bahwa kemudian di
dalam perjalanan panjang tersebut —secara fisik maupun mental— sang tokoh utama
novel ini banyak menemukan pengetahuan dan pengalaman baru lengkap dengan
suka-duka dan berbagai problem yang harus dihadapinya, itulah makna dan hakikat
hidup yang sesungguhnya. Jadi, berdasarkan faset tematisnya, boleh dikata bahwa
novel perdana Sandi Firly ini sebenarnya mengangkat tema tentang pencarian hakikat
hidup dan hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Cerita dalam novel setebal 151
halaman dan secara episodis terbagi dalam empat bagian besar ini dimulai (Bagian
1) dengan keberangkatan Rozan dari Martapura (ibukota Kabupaten Banjar, kota
tempat tinggalnya) menuju Rantau (ibukota Kabupaten Tapin) untuk menemui
seseorang bernama Guru Zaman yang oleh Guru Aran (ayah angkatnya) telah
diperkenalkan sebagai sosok penting bagi kehidupannya kelak (bahkan turut menentukan
jalan hidup dan masa depannya). Namun, cerita selanjutnya justru bergerak
dominan ke persoalan-persoalan hidup yang lebih luas menyangkut situasi dan
kondisi sosiokultural masyarakat Rantau kontemporer yang sedang gamang
menghadapi perubahan atas munculnya ”peradaban baru” dengan penambangan batu
bara sebagai penandanya. Kegamangan yang sama turut dirasakan Rozan, terutama
setelah ia mendengar dan menyaksikan sendiri berbagai perintiwa menggetarkan
sebagai dampak negatif peradaban baru tersebut. Sebagai selingan, di tengah
kegundahan hatinya, cerita juga dibumbui dengan kenangan-kenangan kecil Rozan
semasa ia tinggal di lingkungan pondok pesantren di Martapura. Selanjutnya (Bagian
2), dengan gaya sorot balik (flash back),
cerita bergerak ke belakang untuk menjelaskan siapa Rozan sesungguhnya,
sekaligus merupakan sebagian jawaban atas teka-teki surat yang dikirimkan Guru
Aran (melalui tangan Rozan sendiri) kepada Guru Zaman. Cerita (Bagian 3) terus
berkembang, ketegangan kian meninggi, konflik semakin memuncak, dan akhirnya
mencapai klimaks ketika seluruh rahasia hidup Rozan terpecahkan. Lalu (Bagian
4), sebagai antiklimaksnya, oleh sang pengarang novel ini ditutup dengan teknik
penyelesaian menggantung: belajar banyak dari pengalaman kelampaunnya, Rozan
tidak sedia (tidak siap?) menghadapi lebih lanjut persoalan hidup kekiniannya
yang ada di depan mata, tetapi justru cenderung menghindar dan lebih memilih
jalan hidup keakanannya yang baru sebagai pengembara.
Jika secara teoretis ingin kita
klasifikasikan menurut genre sastranya, jelas bahwa novel bertajuk Rumah Debu ini termasuk dalam kelompok
sastra realis. Sebagai karya sastra realis, tentu saja keberadaan novel ini
dapat dibaca dalam kerangka berpikir realisme dan atau realisme sosialis, baik terkait
langsung dengan Marxisme sebagai konsep awalnya maupun dengan penafsiran baru
Georg Lukacs dan tokoh-tokoh pemikir sesudahnya. Kecenderungan karya-karya yang
bertolak dari realisme pada umumnya lebih membumi, dekat dengan kenyataan hidup
sehari-hari, serta bersifat normal dan pragmatis. Realisme menolak klasikisme,
romantisme, dan doktrin seni untuk seni (l’art
pour l’art). Sebab, sebagaimana diungkapkan Lukacs, seni sastra bukan
sekadar daya artistik imajinatif yang terpisah dari realitas kehidupan
masyarakat. Sebuah karya sastra merupakan titik puncak dari sebuah proses di
mana sastrawan mengerahkan seluruh daya akal dan rasanya untuk menghidupkan
kembali suatu realitas. Sastra bukan hanya menampilkan kembali pengalaman,
melainkan menyusunnya kembali jalinan antar-unsur dari suatu pengalaman
sehingga tampak ”jalannya” suatu daya gerak kesadaran yang menghidupkan
manusia.[6]
Oleh karena itu, dalam proses kreatifnya, seorang pengarang realis memang
selalu berurusan dengan peristiwa sehari-hari, dengan lingkungannya sendiri,
dan dengan gerakan sosial politik pada zamannya sendiri.
Kalaupun tidak hendak
memaknainya dalam kerangka realisme sosialis, kita tentu masih punya pilihan
lain dengan menempatkan novel ini ke dalam genre sastra berwarna lokal. Namun, dalam
konteks ini, perlu diingat pula bahwa secara konseptual istilah warna lokal (local colour) pada kenyataannya masih berkerabat
dekat dengan konsep sastra realis karena aspek lokalitas sendiri merupakan bagian
dari karakteristik sastra realis. Hal ini tentunya akan mengingatkan kita pada
novel-novel tradisi Balai Pustaka yang secara umum dapat dikatakan sebagai
karya-karya sastra realis dengan warna lokal Minangkabau di awal abad ke-20. Dengan
begitu, untuk kasus novel Rumah Debu
ini, dalam rangka menemukan makna esensialnya yang bersemayam di balik teks
sastranya jelas bahwa pertautan dialektis antara sastra dan realitas sosial
dari zaman yang melahirkannya sudah merupakan harga mati dan tak dapat ditawar-tawar
lagi.
Namun demikin, oleh karena
sebuah karya sastra pada dasarnya dapat diperlakukan sebagai sebuah sistem
tanda (menurut pandangan semiotik), maka realitas itu juga memiliki kemungkinan
tafsir ganda: ia individual sekaligus kolektif, personal sekaligus universal,
dan lokal sekaligus global. Pengalaman personal Rozan maupun lokalitas
Martapura dan Rantau, misalnya, cumalah sebuah penanda kecil yang tentu boleh
jadi akan menemukan korelasi penandaannya pada tokoh lain di suatu tempat dan
pada suatu masa yang lain. Begitu juga dengan penyebutan penanda waktu ”Sabtu,
27 November 1999” (hlm. 19) pada cacatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel
mengenai dampak negatif keberadaan tambang batu bara yang ditemukan Rozan di
ruang maya (internet), misalnya, boleh jadi pula akan bermakna kontekstual
sesuai dengan ruang-waktu yang ada (entah di mana, entah kapan).
Jika kita cermati lebih jauh,
novel ini sesungguhnya juga merupakan sebuah cerita bersayap yang menghadirkan
realitas diskursif dari dua sisi. Realitas itu dapat bertemu secara diagonal,
tetapi tidak jarang terus berjalan simetris di atas koridornya masing-masing.
Hal ini, antara lain, dapat kita lihat dari kekaguman berlebih Rozan pada sosok
dan syair-syair Maulana Jalaluddin Rumi (seorang penyair-sufi besar asal
Persia) yang seyogianya akan memberikan pengaruh besar bagi jalan hidupnya kelak,
tetapi ternyata kemudian justru kalimat-kalimat Guru Aran-lah yang paling membekas
dan menjadi panutan hidupnya ketika akhirnya ia harus memilih. Larik-larik
syair Rumi yang sering berkelebat dalam ingatannya (hlm. 12, 23, 72) segera
menghilang seperti embus angin yang berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan suatu
jejak. Perhatikan, misalnya kutipan: Dia
datang, bak rembulan yang tak pernah terlihat di langit, baik dalam jaga maupun
dalam mimpi (hlm. 23), seakan tak menemukan cantelan filosofisnya dalam
jejak langkah Rozan selanjutnya. Sebab, larik-larik syair Rumi itu tampaknya
hanya dimaksudkan sebagai afirmasi atas gejolak hati Rozan manakala ia bertemu
dengan Kira (tokoh perempuan muda, putri pasangan Pak Ismail dan Ibu Diyang). Hal
ini jauh berbeda dengan dengan ungkapan bijak Guru Aran yang benar-benar
menemukan lahan suburnya dalam diri Rozan di kemudian hari.
Sekarang, kalau kita lihat
kembali ke episode awal cerita, jelas bahwa keberangkatan Rozan menuju Rantau juga
lebih dipicu oleh anjuran (kalau bukan perintah) ayah angkatnya yang seringkali
diulang-ulang itu, hampir setiap senja menjelang magrib, yakni tentang jiwa
petualang atau obsesi seorang pengembara: ”...
Naluri pengembaraan itu adalah jiwa seorang anak
laki-laki yang ingin melihat hamparan bumi ini hingga ke kota-kota jauh, hingga
ke negri-negeri jauh. (...) keinginan melihat banyak kota dan negeri jauh pasti
juga menjadi mimpi banyak manusia, terutama anak laki-laki yang pada dasarnya
memiliki jiwa petualang...” (hlm. 10). Atau, pada bagian lain dikatakan, ”Kelak kau harus meninggalkan rumah ini untuk melakukan perjalanan,”
(hlm. 72). Namun, dalam kaitan ini, secara implisit kita juga diberi tahu bahwa
di balik petuahnya yang bernada filosofis itu sesungguhnya ada maksud lain yang
terselubung dan sangat tidak mungkin diungkapkan Guru Aran secara terbuka di
hadapan Rozan karena hal tersebut menyangkut persoalan yang sangat pribadi dan
dapat mengganggu kejiwaan Rozan yang masih labil (dalam usia 16—17 tahun)
maupun hak privasi anak angkatnya itu. Dengan demikian, sejauh yang terbaca
dalam novel ini, kehadiran sosok Rumi dan Guru Aran masing-masing telah
menempuh jalannya sendiri.
/ 4 /
Kembali ke soal semula, sejauh mana realitas imajinatif
dalam novel ini mencerminkan atau merefleksikan realitas faktual yang tumbuh berkembang
di lingkungan masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu yang dijadikan
referen penceritaannya? Persoalan ini agaknya dapat dijawab melalui penelusuran
tekstual terhadap struktur atau unsur-unsur pembangun sastranya, khususnya menyangkut
aspek latar ceritanya (setting),
untuk kemudian menghubungkaitkannya secara kontekstual dengan kondisi riil yang
ada di masyarakat. Namun begitu, dalam usaha memberikan pemerian yang lebih
komprehensif juga tidak menutup kemungkinan akan melibatkan aspek perwatakan
tokoh dan komponen bahasanya.
Berdasarkan pembacaan
komparatif antara ”teks-dalam” dan ”teks-luar”-nya, dapat dikatakan bahwa novel
Rumah Debu hampir sepenuhnya mengambil
latar ceritanya (tempat, waktu, maupun sosial-budaya) dari kehidupan masyarakat
(etnis) Banjar di Kalsel pada kurun waktu sekitar paro kedua tahun 1990-an
hingga menjelang akhir dekade pertama tahun 2000-an. Dari segi latar tempat, ihwal
lokalitas Martapura (ibukota Kabupaten Banjar) yang memiliki ikon ”kota santri”
agaknya cukup mudah untuk dikenali, diidentifikasi, dan dihubungkaitkan dengan
realitas faktual pada kurun waktu tersebut —tentunya dengan beberapa catatan,
sebagaimana akan saya kemukakan nanti. Sementara itu, untuk lokalitas Rantau yang
hendak dirujuk dalam novel agaknya harus dimaknai secara fleksibel bukan sekadar
ibukota Kabupaten Tapin an sich yang
secara geografis maupun politis dibatasi oleh desa dan atau kecamatan tertentu,
melainkan lebih pada pemahaman simbolik sebagai latar imajiner yang meminjam
Rantau faktual sebagai acuannya. Dengan kata lain, untuk lebih tegasnya, lokalitas
Rantau dalam novel ini seyogianya ditempatkan dalam arti ”Rantau dan
sekitarnya” atau ”pinggiran kota Rantau” (jika merujuk pada desa tempat tinggal
Guru Zaman) —terutama dalam tarikan garis-batas antara ujung selatan desa
Kupang sampai ke desa Tatakan, bahkan mungkin sampai ke Binuang. Sebab, pada
kenyataannya, di poros jalan provinsi antara batas selatan kota Rantau dan
batas utara Binuang inilah yang dulu (di sekitar paro kedua dekade 90-an hingga
menjelang akhir dekade pertama tahun 2000-an itu) selalu digunakan para
pengusaha tambang sebagai jalur angkutan batu batu mereka untuk menuju
pelabuhan laut (baca: sekitar Pelabuhan Laut Bandarmasih) di Banjarman.
Gambaran umum kehidupan
”Rantau” akibat penambangan batu bara selama kurun waktu tersebut telah
dikemukakan pengarang sejak halaman-halaman awal novelnya. Pada saat itu, sejak
siang hingga senja menjelang maghrib, di sepanjang tepi jalan dari batas
selatan kota Rantau hingga batas utara kota Martapura selalu dipenuhi oleh
deretan truk angkutan batu bara yang parkir secara berkelompok-kelompok
menunggu ”jam boleh berangkat lagi” (pukul 18.00 Wita), sesuai dengan aturan
Pemerintah Provinsi Kalsel. Pada jam-jam itulah jalanan seringkali macet total
hingga berkilometer panjangnya. Di sepanjang tepi jalan itu juga penuh dengan debu
limbah batu bara sehingga bangunan-bangunan apa pun akan tampak kusam tersapu
debu hitam itu. Lantaran kondisi yang sesungguhnya sangat membosankan itu terus
berlangsung tanpa solusi nyata, lama-kelamaan seolah diterima sebagai hal
biasa. Masyarakat Kalsel pun pada akhirnya harus mencari cara masing-masing
untuk mengatasinya, kendati umpatan dan gerutuan seringkali tetap tak
terhindarkan. Gambaran demikianlah yang dimaksudkan pengarang dalam novelnya
sebagaimana dikutipkan berikut:
Jalanan lantas menjadi macet, truk-truk dan mobil-mobil bergerak bagai
merayap. Namun tak ada sumpah serapah yang diteriakkan—hanya bergema di dalam
rongga-rongga jiwa terdalam. Orang-orang seperti telah menemukan cara bagaimana
menikmati parade senja yang membosankan itu, sambil mendengarkan musik dangdut
di dalam mobil (hlm.
3—4).
Senada dengan gambaran di atas, dari segi
latar waktu pun hampir seluruh peristiwa yang bermain di dalam novel ini —khususnya
menyangkut problematik pertambangan batu bara dengan armada angkutannya (berupa
truk-truk berukuran besar) yang bebas berkeliaran di jalan umum, bahkan
menghabiskan lebih dari separo badan jalan tersebut— juga hampir sepenuhnya
mengacu pada realitas faktual yang pernah terjadi di Kalsel sekitar paro kedua
1990-an hingga hampir penghujung dekade pertama tahun 2000-an, sebelum aturan
pelarangan melewati jalan umum diberlakukan bertahun kemudian (kalau saya tak
salah ingat, baru berlaku sejak awal 2008). Kecuali kondisi suram seperti telah
saya gambarankan di atas, banyaknya korban tewas akibat kecerobohan supir truk
batu bara (lantaran mengantuk atau bahkan sedang mabuk), perseteruan
antar-pengusaha tambang batu bara secara diam-diam maupun terbuka, atau
seringnya terjadi perang mulut maupun pertikaian fisik antarkelompok preman di
sekitar area penambangan batu bara sudah merupakan gambaran umum pula di Kalsel
pada saat itu. Dengan kata lain, latar waktu dalam novel ini secara jelas
mengacu pada situasi dan kondisi riil di Kalsel selama lebih-kurang satu
dasawarsa tersebut. Jadi, dari aspek latar waktunya, sudah jelas kiranya bahwa realitas
imajinatif dalam novel ini benar-benar berkorelasi positif dengan realitas
faktual di luar novel pada saat itu.
Kalaupun ada keterlibatan
unsur imajinasi pengarang, hal itu hanya sebatas dalam fungsi estetiknya guna
memoles plot cerita agar menjadi lebih dramatik sehingga para pembaca pun
merasa lebih gurih saat menikmati novelnya. Jadi, dalam proses kreatif
penulisan novel ini, ada kemiripan metodologis antara cara kerja pengarang
dengan cara kerja seorang sosiolog atau antropolog dalam proses penelitiannya;
bahwa sang pengarang tentunya juga melakukan teknik-teknik pengumpulan data
yang tersebar di masyarakat sekelilingnya, dengan caranya sendiri, yang tidak
harus sama dengan prosedur suatu penelitian ilmiah. Hal ini tidak sulit kita
pahami karena, sebagaimana telah kita maklumi, sang pengarang novel ini
kebetulan juga berprofesi sebagai wartawan dan redaktur di salah satu media
massa cetak lokal (Kalsel). Artinya, teknik pengumpulan data yang dilakukannya tentu
tidak cuma mengandalkan berbagai varian cerita dan kabar burung yang berkembang
dari mulut ke mulut, tetapi ia dapat memanfaatkan banyak dokumen tertulis
dengan berbagai ragamnya (berita-berita hasil liputan lapangan maupun
artikel-artikel yang pernah dimuat di koran lokal, di samping pelacakan melalui
jaringan internet). Jadi, dalam konteks novel ini, benarlah kata Lukacs bahwa
suatu karya sastra memang bukan sekadar daya artistik imajinatif yang terpisah
dari realitas kehidupan masyarakat, melainkan sebuah upaya rekonstruksi
pengalaman nyata yang dicerap sang pengarang dari realitas keseharian
masyarakat di sekitarnya.[7]
Selanjutnya, ihwal pertautan
dialektis antara realitas imajinatif (dalam novel) dengan realitas faktual (di masyarakat)
ini tampaknya akan lebih menarik lagi kalau kita cermati dari aspek latar sosial-budaya
atau sosiokulturalnya (termasuk segi-segi sosioreligiusnya). Kendati masyarakat
dalam novel memang berbeda dengan masyarakat yang ada dalam realitas
keseharian, sebagaimana dimaksudkan Elezabeth Langland,[8]
tetapi dalam sebuah novel realis seperti Rumah
Debu ini jelas bahwa masyarakat-imajinatif yang dimaksudkan pengarang dalam
teks novelnya memiliki hubungan indeksikal dengan masyarakat-faktual tertentu pada
zaman penciptaannya.[9]
Tegasnya, seperti telah saya singgung sebelumnya, masyarakat-faktual yang
hendak ditunjuk pengarang dalam novelnya adalah masyarakat Banjar di Kalsel pada
kurum waktu antara paro kedua dekade 90-an hingga menjelang akhir dekade
pertama tahun 2000-an. Namun, persoalannya sekarang, seberapa jauh kondisi
sosiokultural masyarakat-imajinatif yang digambarkan pengarang dalam novelnya
mencerminkan kondisi sosiokultural masyarakat-faktual yang dijadikan acuan
penulisan novelnya? Juga, sejauh mana teks novel ini merefleksikan kondisi dan
semangat zaman penciptaannya?
Sekaitan dengan kondisi
sosiokultural masyarakat novel, ada beberapa aspek yang sungguh menarik
perhatian saya untuk ditelisik lebih jauh; di antaranya yang terpenting adalah tentang
stratifikasi sosial, perilaku dan pandangan sosiokultural masyarakat, serta
sikap dan tanggapan sosioreligiusnya. Menyoal aspek pertama, stratifikasi
sosial masyarakat-imajinatif dalam novel —sebagaimana juga dalam masyarakat di
dunia nyata— memang mengandaikan terdapatnya upaya pengelompokan dan
penjenjangan kelas masyarakat berdasarkan status sosial tertentu, khasnya
menyangkut hubungan kausal antara pihak yang berkuasa (majikan) dengan pihak
yang dikuasai (bawahan). Bagi para pemikir Marxis, hal ini tentu akan segera
dikaitkan dengan dua kelompok masyarakat yang terutama dibedakan berdasarkan
tingkat status sosial-ekonominya, yaitu yang lazim mereka sebut ”kaum borjuis”
(pihak penguasa, pemodal, majikan) dan ”kaum proletar” (masyarakat banyak,
buruh-upahan, bawahan). Bagi masyarakat Banjar tradisional (di Kalsel), masalah
stratifikasi sosial ini erat kaitannya dengan konsep pagustian (junjungan, penguasa) yang seringkali diingkarkan dengan urang jaba (masyarakat biasa). Namun,
dalam struktur masyarakat Banjar modern ternyata persoalan konseptual tersebut
tidak lagi sesederhana dulu karena dalam berbagai segi kehidupan praktisnya
sudah menjadi demikian majemuk dan sangat kompleks.
Dalam sebuah telaah kritisnya,
Aprinus Salam (seorang peneliti dan pengamat sastra dari FIB UGM Yogyakarta)
melihat bahwa sang pengarang lewat novel Rumah
Debu-nya ini sebenarnya sedang mendedahkan tiga elemen kekuasaan sekaligus,
tentu dengan karakteristik dan wilayah kekuasaannya masing-masing. Ketiga
elemen tersebut adalah kekuasaan agama (diwakili oleh Guru Zaman), kekuasaan
uang (diwakili oleh Pak Ismail dan Ibu Diyang), dan kekuasaan fisik (diwakili
oleh kelompok Pak Sawang dan Udin Tungkih). Di samping itu, ia juga melihat
kemungkinan potensial munculnya satu bentuk kekuasaan lain (direpresentasikan
melalui tokoh Rozan) yang masih rapuh dan pada akhirnya memang takluk di bawah
pengaruh segitiga kekuasaan yang telah mapan tersebut.[10]
Kendati telaah ini semata-mata didasarkan atas hasil amatan tekstual ”seorang luar”
(orang lain, the other man), saya
yakin bahwa dalam banyak hal ”orang dalam” pun tentu akan dapat bersepakat
dengan simpulan tersebut. Sebab, bagaimanapun khasnya persoalan sosiologis yang
disajikan pengarang, moralitas dan spirit kemanusiaan yang hendak didedahkannya
pada dasarnya boleh berlaku universal.
Baik secara eksplisit maupun
implisit, novel Rumah Debu memang
tidak menampilkan bentuk kekuasaan birokrasi pemerintahan yang didasarkan pada tingkat
kewenangan tertentu. Namun begitu, konsep sosiokultural Banjar berwujud pagustian dan urang jaba agaknya tetap relevan untuk disandingkan di sini. Ketiga
kelompok kekuasaan yang ditengarai Salam di atas secara silih-berganti dapat
menempati wilayah pagustian, tetapi
pada tataran tertentu di antaranya dapat bergeser secara kontekstual ke wilayah
urang jaba. Dalam konteks
sosioreligius (baca: kekuasaan agama), misalnya, Guru Zaman yang sangat
dihormati oleh masyarakat sekitarnya maupun di kalangan preman (kelompok Udin
Tungkih maupun kelompok Jantra) dapat menempati wilayah pagustian, tetapi dalam konteks sosioekonomis (baca: kekuasaan
uang) ia tidak lebih sebagai sosok urang
jaba di hadapan Pak Ismail —meskipun Bos Batu Bara yang kaya-raya ini tetap
memperlihatkan sikap hormat kepada Guru Zaman, tetapi sikap itu cumalah sebuah
formalitas dan sebentuk penghormatan palsu. Hal yang sama juga terjadi pada
tokoh preman legendaris bernama Pak Sawang dan Udin Tungkih yang dalam konteks
kekuasaan fisik mereka dapat menempati wilayah pagustian di antara kelompok preman di bawahnya, tetapi posisi Pak
Sawang di hadapan Pak Ismail dan Udin Tungkih di hadapan Ibu Diyang segera bertukar-tangkap
menjadi urang jaba yang mesti
tunduk-patuh pada bos (gusti) mereka
masing-masing —tentu saja dengan alasan ekonomis tadi; bahwa penghidupan mereka
sangat bergantung pada upah yang diberikan oleh Pak Ismail maupun Ibu Diyang.
Dalam hubungannya dengan soal
perilaku dan pandangan sosiokultural, masyarakat Banjar modern pada dasarnya
bukanlah masyarakat yang memiliki akar tradisi feodalisme, tetapi merupakan
kelompok masyarakat yang egaliter dan demokratis. Hal ini dapat dilihat dari sudut
linguistiknya, khususnya dalam bidang perbendaharaan kosa katanya yang sangat
miskin tentang tradisi dan spirit feodalisme. Kata-kata semacam ulun-pian/andika (ragam hormat dari
pronomina ”saya-kamu/Anda”) sebenarnya tidaklah merepresentasikan sikap feodal
karena penggunaan kosa kata tersebut semata-mata berfungsi sebagai bentuk
penghormatan dari seorang komunikator muda terhadap komunikan yang lebih tua. Akan
tetapi, pada sisi lain, kata-kata yang sama juga dapat digunakan kepada ”orang
yang dituakan” karena posisi dan status sosial tertentu (semisal Pak Ismail, Guru
Zaman, atau Pak Sawang), meskipun pada kenyataannya sang penutur berusia lebih
tua daripada figur yang dituakan tadi.
Sekarang, kembali ke pokok
masalah lagi, sudah jelas pula bahwa berbagai aspek sosiokultural masyarakat
dalam novel ini merujuk pada kondisi sosiokultural dalam dunia keseharian
masyarakat Banjar pada zaman penciptaannya. Persetruan diam-diam di kalangan
para pengusaha tambang batu bara maupun pertikaian fisik di kalangan preman
penguasa wilayah pertambangan merupakan implikasi tak langsung dari konsep kada kawa tadua jagau (tidak boleh ada
dua orang jagoan) yang sudah berurat-akar sejak lama dalam masyarakat Banjar
tradisional. Begitu juga dengan mitos-mitos tentang kesaktian para tokoh preman
(tacut) tertentu (khususnya Pak
Sawang dan Udin Tungkih) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja justru
dibangun oleh pihak lain, hal itu boleh jadi merupakan semacam terjemahan dari
konsep harat (berani, sakti, jago).
Demikian pula ihwal bentuk-bentuk kekuasaan yang ada sekarang (sebagaimana
rumusan Salam di atas) pada dasarnya merefleksikan konsep sosiokultural
masyarakat Banjar tradisional, pagustian
versus urang jaba, tetapi mewujud
dalam bentuk kontemporernya yang cenderung bercorak materialistis.
Kecuali beberapa aspek di
atas, menyoal tentang sikap dan tanggapan sosioreligius masyarakat dalam novel,
menarik sekali untuk menelusuri lebih jauh bagaimana relevansinya dengan
kondisi sosioreligius masyarakat Banjar kontemporer yang memang menjadi acuan
novel Rumah Debu. Sebagaimana dapat
kita saksikan sekarang, kecenderungan hidup masyarakat Banjar yang kini tampak semakin
direduksi oleh pandangan materialistis dan sikap pragmatis benar-benar telah
membawa pergeseran nilai dalam berbagai aspek kehidupannya, tak terkecuali
dalam aspek sosioreligiusnya. Sekaitan dengan posisi dan sikap Guru Zaman, meskipun
secara kasatmata ia tampak terkooptasi oleh kekuasaan uang Pak Ismail, tentu ia
pun punya alasan lain yang mulia sifatnya: misi dakwah dan syiar agama (Islam).
Akan tetapi, pada beberapa peristiwa, ia berada dalam posisi yang serba salah
hingga akhirnya ketulusan sikapnya seringkali dimanfaatkan orang lain secara
salah kaprah. Dalam posisi demikianlah Guru Zaman terpaksa melakoni tugasnya
sebagai pihak penengah pada peristiwa blokade jalan oleh masyarakat (hlm. 36)
atau ketika akan terjadinya bentrok bersenjata antara kelompok preman Udin
Tungkih dengan kelompok Pak Sawang yang berada di belakang Jantra (hlm. 62—64).
Hal itu dapat dimengerti karena pada kenyataannya, lebih-lebih dalam pandangan
masyarakat awam, sosok seorang tokoh agama memang selalu diposisikan sebagai
figur yang paling netral, bahkan untuk semua perkara. Lagi pula, status Guru
Zaman hanya seorang guru agama (ustazd)
”kelas kampung”, bukan seorang ulama (tuan
guru) kharismatik yang sudah berada di ”menara gading” dengan lingkup
pengaruh yang sangat luas. Dalam posisi demikian, Guru Zaman tidak bisa
mengelak dari tanggung jawab moral atas segala persoalan kemasyarakatan di sekitarnya.
Masih menyoal aspek
sosioreligius, ada satu rangkaian adegan dalam novel ini yang bagi saya terasa
agak prelogis ketika dicobasandingkan dengan realitas-faktual masyarakat yang
menjadi acuan novel ini. Rangkaian adegan dimaksud berkaitan dengan peristiwa
kehamilan seorang anak santri putri (kelak diketahui, santri putri itu bernama
Sarah Hidayati) yang tinggal di lingkungan sebuah pondok pesantren di kota
Martapura akibat hubungan gelapnya (konon akibat perkosaan) dengan seorang
pemuda luar pondok yang bekerja sebagai penjaga toko pakaian di pasar Martapura
(kelak diketahui, lelaki muda itu bernama Jantra). Di sini, serasa terlampau
dipaksakan jika berbagai tanda kehamilan yang dialami Sarah hanya diketahui
oleh seorang Zahra (sahabat dekatnya yang kemudian menjadi ustazdah di situ),
tetapi tidak diketahui sama sekali oleh para pengasuh pondok dan
ustadz-ustadzah lainnya yang sehari-hari mengajar di pondok pesantren tersebut.
Perhatikan sebagian pengakuan Sarah berikut ini:
Seiring perjalanan waktu, saya mulai merasakan perbedaan pada diri saya yang
rupanya merupakan tanda-tanda bahwa saya hamil. Hampir saja saya melakukan
perbuatan hina yang akan membuat saya dilempar bulat-bulat ke neraka. ... Bulan
ke bulan, saya mulai bisa menerima janin yang saya kandung. Berbagai langkah
persiapan apabila waktunya tiba pun mulai saya susun. Termasuk di mana saya
harus melahirkan dan juga menitipkan —sekali lagi, kedengarannya pastilah tidak
seperti itu—bayinya di depan pintu rumah Guru Aran, semua itu adalah rancangan
saya. ...
Rupanya, pengarang melupakan
sebuah pepatah lama: sebaik-baiknya
menyimpan barang busuk, kelak baunya akan tercium juga! Rentang waktu kehamilan sekitar sembilan
bulan lebih bukanlah waktu yang singkat, bukankah? Sungguh mustahil kiranya
jika peristiwa hamil di luar nikah semacam itu bisa terjadi dan bahkan berjalan
sangat mulus dalam lingkungan sebuah pondok pesantren (lebih-lebih pesantren
tradisional, salafiyah) yang umumnya
para pengasuhnya sangat ketat menjaga kehormatan lembaga pendidikan mereka. Kendati
ia melahirkan di luar lingkungan pondok, di rumah seorang dukun beranak bernama
Nini Salmah, tetap saja ada yang janggal karena sangat tidak mungkin segala
gejala kehamilan itu dapat disimpan dengan rapi sampai menjelang hari melahirkan
(hlm. 101—103 dan 128). Sebab, tanda-tanda kehamilan itu (apalagi hamil
pertama) tentu saja bukan cuma dalam bentuk perubahan perut yang kian membesar
(yang mungkin bisa saja ditutupi dengan jubah —pakaian panjang santri putri—
berukuran lebih besar), melainkan juga akan muncul pada raut wajah yang
memucat, batang tengah leher depan yang semakin cekung, dan terutama rasa mual
yang akan selalu membuat si hamil sering muntah-muntah tanpa bisa dicegah kapan
datangnya. Di sini, sang pengarang tampaknya terlampau bertumpu pada keliaran
imajinasinya sehingga cenderung telah mengabaikan logika cerita. Padahal,
sebagai sebuah novel realis, logika cerita tidak bisa tidak ia harus tunduk
pada logika yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat di sekelilingnya.
Jadi, kalau kita coba kalkulasikan secara komparatif antara logika cerita
dengan logika keseharian (juga antara imajinasi dan realitas) mungkin akan
menghasilkan angka perbandingan yang sangat mencolok, yakni 1000:1 (seribu
berbanding satu).
Kasus tersebut tentu berbeda
dengan ketika sang pengarang berbicara tentang kalaziman poligami di kalangan
pengusaha batu bara maupun di kalangan ulama Banjar (juga tidak menutup
kemungkinan bagi para hartawan dan penguasa atau pejabat Banjar), saya pun
segera dapat mengamininya dengan angka perbandingan 1:1 (satu berbanding satu).
Sebab, memang demikianlah adanya dalam realitas keseharian masyarakat kita. Hal
ini karena konon ada cantelan filosofisnya dengan sebuah ungkapan lama yang
seolah sudah lazim berlaku dalam tradisi lelaki Banjar: biar susah harta, asal sugih bini (biar miskin harta, asal kaya
istri) (hlm. 111). Namun, menurut hemat saya, ungkapan itu sebenarnya belum
sepenuhnya Banjar karena masih ada satu ungkapan selorohan lagi yang jauh lebih
tipikal: babini satu hanyar balajar,
babini dua paguni wajar, babini talu kurang ajar, babini ampat hanyar urang
Banjar (beristri satu baru belajar, beristri dua masih wajar, beristri tiga
kurang ajar, beristri empat baru orang Banjar) —dalam pandangan kaum feminis
tentulah ungkapan ini terasa ”sadis”
juga!
Dalam novel ini, persoalan
poligami bahkan diangkat pengarang dalam satu subjudul tersendiri (Bagian 3,
hlm. 111—115). Artinya, pastilah ada tingkat penekanan tertentu yang hendak
disampaikan pengarang kepada para pembacanya. Oleh karena itu, saya memaknai
penekanan ini sebagai sebuah kritik artistik yang lumayan tajam terhadap
kondisi sosiokultural masyarakat Banjar kontemporer, lebih-lebih karena wacana
ini juga ditujukan kepada para ulama yang notabene sikap-laku ”beliau-beliau”
itu seyogianya menjadi panutan masyarakat banyak. Kita memang tidak pernah tahu
persis apa landasan pemikiran yang melatarbelakangi sikap sebagian ulama yang
”doyan” berpoligami itu: apakah memang karena pemahaman yang mendalam atas esensi
firman Allah (QS. an-Nisâ [4]: 3) serta kesadaran untuk mengikuti sunnah Rasulullah yang mengandung spirit
kemanusiaan dan bersifat ukhrawi itu ataukah sekadar dilantarankan oleh
dorongan syahwat (nafsu seks) sebagaimana yang banyak dilakukan para pengusaha
dan pejabat kaya? Jawaban persisnya tentu akan terpulang kepada diri
masing-masing. Akan tetapi, berdasarkan hasil kajian Agus Mustofa dalam salah
satu buku Serial Diskusi Tasawuf Modern-nya, tidak ada satu ayat pun di dalam
al-Quran yang mengisyaratkan tentang kebolehan poligami disebabkan
alasan-alasan takut terjadi perzinahan dan perselingkuhan atau karena dorongan
syahwat alias nafsu seks yang tidak terkendali.[11]
/ 5 /
Berdasarkan uraian di atas, kini sudah jelas
kiranya betapa eratnya gayutan sosiologis serta batas-batas persinggungan
dialektis antara teks sastra, realitas keseharian masyarakat, dan imajinasi
sang pengarang dalam novel bertajuk Rumah
Debu karya Sandi Firly ini. Dalam hal ini, sekali lagi dapat saya katakan
bahwa realitas imajinatif yang dibangun pengarang dalam lembar-lembar novelnya
hampir sepenuhnya mengacu pada realitas faktual masyarakat Banjar kontemporer yang
pernah terjadi di Kalsel selama lebih-kurang satu dasawarsa terakhir (antara
paro kedua 1990-an hingga menjelang akhir dekade pertama tahun 2000-an).
Sepanjang yang terbaca dalam novel ini, sang pengarang telah menunjukkan betapa
masyarakat Banjar dalam kurun waktu tersebut telah mengalami pergeseran budaya yang
secara moral-religius tampak sudah demikian akut dan epidemis sifatnya akibat
masuknya ”peradaban baru” (yang lazim dikonotasikan dengan modernisme Barat)
yang tidak selamanya menguntungkan itu.
Sederet
adegan telah disajikan dengan apik, terutama jika dilihat dari koherensi antar-unsur
pembangunnya. Dalam hal teknik pengaluran, misalnya, pengarang dengan lihainya
mengaduk-aduk emosi dan membiarkan kepenasaranan pembaca terus memuncak sekaitan
dengan kabut rahasia yang menutupi jatidiri Rozan, terutama dalam caranya
mengulur-ulur dan mencicil jawaban ihwal siapa ayah Rozan sesungguhnya. Padahal,
kalau kita cermati lebih jeli, sebenarnya pengarang telah berkali-kali memberi
isyarat ketika adegan pertemuan tak sengaja antara Rozan dan Jantra (hlm. 27 dan
146). Selain itu, pengarang juga memiliki kemampuan deskriptif yang kuat dalam
menggambarkan berbagai peristiwa, melukiskan suasana, dan mengarahkan daya
bayang pembaca ke titik tertentu. Namun, di antara sederet prestasi estetik
yang telah berhasil dibangunnya, satu-satunya kelemahan yang saya nilai cukup
fatal dalam novel ini adalah saat sang pengarang membayangkan terjadinya peristiwa
aib berupa hamil di luar nikah dalam lingkungan sebuah pondok pesantren
tradisional dengan begitu entengnya (sebagaimana telah saya tunjukkan di atas).
Akan
tetapi, bagaimanapun, melalui novel debutannya ini Sandi Firly telah berhasil
menulis sebuah karya realis (dengan warna lokal masyarakat Banjar kontemporer)
yang sungguh mencerahkan. Sebagai karya realis, novel ini pun sarat dengan
kritik sosial yang secara indeksikal menunjuk tajam kepada beragam elemen
masyarakat: mulai dari para pengusaha batu bara, kelompok preman upahan, aparat
penegak hukum dan penguasa lokal, hingga guru-guru agama dan kaum ulama —sejauh
garis-batas indeksikalnya. ”Menyajikan realitas, mendedahkan kebenaran,” saya
kira, inilah moralitas dan spirit perubahan dalam novel ini. Sebab, sebagaimana
pernah diungkapkan Ibe Karyono ketika mengulas pemikiran Georg Lukas, ”Dengan
kepekaan artistik seorang sastrawan bisa melukiskan realitas objektif dengan
’bahasa’ yang lentur, namun sarat dengan makna.” Keprihatinan dan pertanyaan
kritis seorang sastrawan terhadap realitas sosial, jelas Karyno lagi, bisa jadi
sama dengan seorang ilmuwan atau filsuf. Namun, ketiganya berbeda dalam cara
pendekatan dan pengungkapannya. Ilmuwan dan filsuf hanya mampu menampilkan data
objektif dalam susunan sistematis yang kaku, sedangkan sastrawan merefleksikan
kembali realitas objektif dan mengungkapkannya kembali sebagai suatu pengalaman
baru.[12]
Sejalan dengan pemikiran di
atas, saya teringat juga pada pernyataan Budi Darma saat menyoal tentang
moralitas dalam sastra. Pendapat klasik mengatakan bahwa karya sastra yang baik
selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik, mengajak pembaca agar menjunjung
tinggi norma-norma moral, dan karenanya sastra dianggap sebagai sarana
pendidikan moral. Akan tetapi, pada kenyataannya ternyata berbeda. Karya sastra
yang baik justru mengungkapkan dunia yang seharusnya menurut moral tidak
terjadi. Sifat-sifat sastra memang menuntut orang untuk melihat kenyataan,
kalau perlu tidak sejalan dengan kepentingan moral, dan bukannya melihat apa
yang seharusnya terjadi. Sementara itu, sastra masih harus melaksanakan
tugasnya untuk membentuk jiwa ”humanitat” yang jauh dari segala sesuatu yang
tidak sejalan dengan kepentingan moral.[13]
Maka, dalam konteks demikianlah kita seyogianya menempatkan kasus Sarah
Hidayati dalam novel ini.
Akhirnya, sambil bersepakat kembali
dengan Georg Lukacs, dapat saya katakan bahwa novel Rumah Debu ini juga tergolong karya yang komunikatif. Lukacs, dengan
memberikan tekanan pada fungsi emansipatoris (dalam teori ”Realiasme Sosialis”
yang dikembangkannya), seolah ingin menggarisbawahi bahwa makna seni terletak
pada kemampuannya berkomunikasi dengan audiens. Sebuah karya seni (termasuk sastra)
dikatakan komunikatif kalau ia menawarkan ”kaidah” kebenaran yang dekat dengan
pengalaman masyarakat.[14]
Oleh karena itu, seorang pengarang realis tidak akan pernah terpisah dari
realitas sekitarnya. Dan Sandi, melalui novel ini, telah berhasil membangun komunikasi
yang intens dengan pembacanya dengan cara mendedahkan kebenaran sosiokultural yang
dicecapnya dari realitas faktual masyarakat tempatan pada zamannya. Maka,
tidaklah keliru jika kelak ada orang yang ingin belajar tentang masyarakat
Banjar kontemporer (setidaknya untuk kurun waktu 1990—2010) melalui novel ini,
terutama jika dilihat dari kekuatan lokalitas dan daya dokumenternya.
Pelaihari, 12 Mei 2011
CATATAN KAKI
[1] Untuk kasus ini, saya pernah menyebutnya sebagai “masa kebangkitan
kembali” karena pada kenyataannya penulisan sastra kreatif ragam fiksi memang
pernah cukup semarak pada masa-masa awal pertumbuhan sastra Indonesia di Kalsel
di sekitar tahun 1930-an hingga 1960-an. Lihat Jamal T. Suryanata, “Kesilaman,
Kekinian, Keakanan: Relasi Waktu dalam Cerpen Hajriansyah,” (Media Kalimantan, 5—7 dan 9—11 Mei
2011), hlm. C5 dan “Esai
Minggu Ini” dalam www://sastradigital.gmail.com, edisi Mei 2011.
[2] Bandingkan dengan klasifikasi Albert Memmi dalam Rien T. Segers, Evaluasi Teks Sastra, terj. Suminto A.
Sayuti (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000),
hlm. 70; Ian Watt dalam Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1984), hlm. 3—4; Rene Wellek dan
Austin Warren, Theory of Literature
(New York: Hartcourt, Brace & World, Inc., 1956), hlm. 84.
[3] Lihat Damono, ibid., hlm.
2.
[4] A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra: Kumpulan Karangan (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1991), hlm. 61.
[5] Lihat Ariel Heryanto, “Sastra, Sejarah,
dan Sejarah Sastra” dalam Andy Zoeltom (Ed.), Budaya Sastra (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 47.
[6] Bandingkan dengan Ibe Kayono, Realisme Sosialis Georg Lucacs (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 61. Untuk pengertian ringkas mengenai
”realisme” merujuk pada Abdul Rozak Zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah, Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), hlm. 168.
[7] Karyono, loc. cit.
[8] Uraian selengkapnya, lihat Elezabeth Langland, Society in the Novel (Chapel Hill and London: The University of
North Carolina Press, 1984), hlm. 4.
[9] Sekadar informasi pendukung, berdasarkan pengakuan Sandi Firly
(sang novelis), novel Rumah Debu ini
sebenarnya sudah mulai digarapnya sejak awal 2008. Akan tetapi, sebelum
berhasil dirampungkan dan diterbitkan dalam bentuk buku (November 2010), proses
kreatifnya sempat terhenti lantaran ia harus hijrah ke Bandung selama lebih-kurang satu tahun untuk
memenuhi tuntutan tugas jurnalistiknya. Dengan begitu, dapat diduga bahwa
proses pengumpulan data dan pengendapan gagasan awal tentu sudah mulai
dilakukannya beberapa waktu (mungkin juga berselang tahun) sebelum detik-detik
awal masa penulisan tersebut.
[10] Lihat Aprinus Salam, “Rumah
Debu: Ketidakberdayaan dalam Segitiga Kekuasaan” (Makalah untuk Penluncuran
dan Bedah Buku Jatisaba karya Ramayda
Akmal dan Rumah Debu karya Sandi
Firly, diselenggarakan oleh HMJ PBSID di Aula STKIP PGRI Banjarmasin, 16 April
2011).
[11] Lihat Agus Mustofa, Poligami Yuuk!?: Benarkah Al-Quran Menyuruh Berpoligami Karena Alasan
Syahwat? (Surabaya: PADMA Press, 2007), hlm. 212 dan 241.
[12] Karyono, op. cit., hlm. 62.
[13] Budi Darma, “Moral dalam Sastra”, dalam Andy Zoeltom (Ed.), Budaya Sastra (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 79—80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar