Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Senin, 17 Oktober 2011

Telaah Puisi Ajamuddin


Mengaji (Nukilan) Al-Quran
dalam Sepilihan Sajak Ajamuddin Tifani



Oleh : Jamal T. Suryanata




diamlah, ada penyair tiba pada ujung sunyinya
tangisnya menjelma burung-burung kertas
ratapan pada dunia yang membeku di tangannya
yang sudah termaafkan, ketika waktunya menderas
( Ajamuddin Tifani )
/ 1 /
Dalam kancah kepenyairan Indonesia modern, nama Ajamuddin Tifani mungkin tidaklah begitu populer sebagaimana popularitas Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M, atau Afrizal Malna. Hal itu, sejauh yang dapat saya pahami, bukan karena tingkat produktivitasnya yang rendah dalam berkarya atau dilantarankan sajak-sajaknya yang tidak berbobot literer, melainkan lebih disebabkan oleh belum berpihaknya “nasib baik” terhadap ketokohan dan karya-karyanya.

Kalau kita runut lebih jauh, paling tidak ada empat alasan yang dapat dipandang sebagai prakondisi terjadinya hal tersebut. Pertama, jika bagi seorang penyair pendobrakan estetik merupakan suatu keharusan untuk mencapai popularitas, maka Ajamuddin bukanlah seorang penyair avan garde yang pernah membawa pembaruan —apalagi menawarkan “isme” tertentu— dalam estetika perpuisian Indonesia modern sebagaimana beberapa nama di atas. Sajak-sajak yang pernah ditulisnya tidak lebih dari bentuk perpanjangan dari tradisi perpuisian yang sudah ada, kendati dengan beberapa polesan inovatif sebagai karakter pribadi atau gaya ucap kepenyairannya. Kedua, kurang produktifnya dalam bidang penulisan esai dan kritik sastra agaknya juga turut memberi andil terhadap kurang populernya nama Ajamuddin dalam percaturan sastra di tanah air. Padahal, diakui atau tidak, untuk beberapa kasus hal itu jelas dapat memberikan kontribusi dalam mengangkat popularitas nama seorang penyair. Ketiga, kendati secara kuantitas maupun kualitas sajak-sajaknya lebih dari sekadar layak untuk diterbitkan, tetapi hingga menjelang akhir hayatnya Ajamuddin belum beruntung dapat menerbitkan karya-karya puisinya dalam bentuk buku yang representatif. [1] Padahal, kita juga tahu, buku (baca: antologi puisi pribadi) merupakan salah satu “dongkrak” yang dapat mengangkat popularitas nama seorang penyair. Keempat, sebagai akumulasi dari ketiga alasan di atas, sejauh ini media dan kritik sastra di tanah air tampaknya tidak begitu berpihak terhadap karya-karyanya. Selama beberapa dekade Ajamuddin aktif dan produktif berkarya, selama itu pula tak ada satu pun tulisan (esai atau kritik sastra) yang membicarakan sajak-sajaknya secara memadai, apalagi dalam bentuk ulasan khusus. Kalaupun ada kritikus yang menyebut-nyebut nama Ajamuddin Tifani, hal itu tidak lebih dari singgungan sekilas atau bahkan sekadar menjejerkan namanya di antara sederet nama penyair lainnya.  

Lepas dari persoalan di atas, satu hal yang sangat menarik dari karya-karya maupun sosok kepenyairan Ajamuddin adalah keteguhan sikapnya yang terus konsisten berkiprah dalam koridor sastra keagamaan (religius Islam). Ketika gagasan tentang “sastra transendental” (Kuntowijoyo) atau “sastra sufistik” (Abdul Hadi W.M.) mulai bergaung hangat dalam jagat sastra Indonesia modern di tahun 1980-an, bersama beberapa sastrawan-penyair lainnya ia pun tampil sebagai salah seorang pendukung beratnya. Sejak itu, genre sastra sufistik telah menjadi pilihan jalur kepenyairannya. Bahkan, sebagaimana tampak pada sajak-sajak terakhirnya, penulisan genre sastra sufistik itu tetap dipertahankan hingga menjelang akhir hayatnya. Sebab, menurut pengakuannya, dengan sajak-sajak sufistik itu jiwannya merasa terkatarsis dari masa-masa gelap prakepenyairannya.[2]

/ 2 /
Sebagaimana kita telah mafhum, genre sastra sufistik merupakan bentuk transformasi kreatif dari tradisi sastra sufi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam literatur sastra sufi di abad-abad yang lampau keberadaan al-Quran merupakan kanon puitik dan sumber inspirasi yang tak pernah kering-keringnya bagi proses kreatif penciptaan karya-karya mereka. Hampir semua karya para penyair sufi dapat dipastikan mengandung pesan-pesan Qurani, pesan-pesan profetik yang sering kali belaku universal. Kenyataan itu menunjukkan bahwa mereka demikian serius dalam memanfaatkan teks-teks Kitab Suci sebagai sumber ilham penciptaan, sebagai landasan estetik dalam berkesenian.

Salah satu karya sastra sufi klasik yang dipandang sangat kental diwarnai nukilan-nukilan interpretatif ayat-ayat al-Quran adalah Matsnawi, mahakarya penyair sufi agung dari Persia, Maulana Jalaluddin Rumi. Konon, karya Rumi yang paling monumental ini terlahir sebagai wujud upaya sang penyair untuk memenuhi permohonan muridnya, Husamuddin Chalabi, yang meminta agar sang guru menulis sebuah kitab tentang rahasia-rahasia makrifat dalam bentuk seperti Hadiqah karya Sana’i atau Manthiq al-Thayr-nya Fariduddin Aththar yang banyak mempergunakan kisah-kisah dan tema-tema al-Quran. Memang, berkat kepiawaian Rumi, Matsnawi pun kemudian dikenal sebagai komentar esoteris yang sangat mendalam atas al-Quran. Sehingga, dengan ungkapan yang agak berlebihan, Jami pernah menyebutnya sebagai hast qur’an dar zaban-i pahlavi (al-Quran dalam bahasa Persia).[3]

Sebenarnya, fenomena yang sama juga dapat kita temukan dalam khazanah sastra Melayu klasik, terutama syair-syair karya Hamzah Fansuri. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Abdul Hadi W.M. lewat sebuah telaah kritisnya yang sangat mendalam terhadap syair-syair Fansuri, tak kurang dari 24 nukilan ayat al-Quran terdapat dalam sejumlah syair karya penyair sufi Melayu klasik ini.[4] Daftar kutipan ayat-ayat al-Quran dimaksud barulah dalam bentuknya yang eksplisit. Oleh karena itu, jika data tersebut ditambah lagi dengan pemanfaatan tema, istilah-istilah Qurani, atau dalam bentuk interpretatifnya sudah tentu akan semakin menguatkan simpulan kita bahwa syair-syair karya Fansuri tersebut sesungguhnya tak kalah Quraninya dibandingkan dengan karya-karya para penyair sufi Arab dan Persia.

/ 3 /
Tradisi menempatkan teks-teks al-Quran sebagai kanon puitik dalam penciptaan karya-karya sastra sufi sebagaimana tampak pada Matsnawi-nya Rumi atau syair-syair Fansuri di atas hingga dewasa ini pun masih terlihat jejaknya dalam karya-karya sastra sufistik, baik yang berkembang di tanah air maupun dari belahan dunia lain. Dari khazanah sastra Indonesia modern, jejak-jejak indah tradisi semacam itu antara lain dapat kita temukan dalam sejumlah sajak karya Ajamuddin Tifani. Sebagai salah seorang penyair Indonesia kontemporer yang dengan sadar telah mengukuhkan diri dan estetika kepenyairannya di bawah haribaan sastra sufistik, upaya melakukan adaptasi dan interpretasi atas ayat-ayat al-Quran dalam sajak-sajaknya sudah tentu merupakan buah renungan yang sangat intens terhadap teks-teks Kitab Suci itu, di samping menunjukkan apresiasinya yang tingi terhadap esoterisisme Islam.

Dari sekian banyak sajaknya yang bernilai Qurani, ada belasan sajak yang secara eksplisit memperlihatkan nukilan ayat-ayat Kitab Suci Islam tersebut. Akan tetapi, semata-mata karena alasan teknis, dalam tulisan singkat ini hanya akan dibahas lima sajak di antaranya yang dipandang relative mewakili beberapa sajak lainnya. Hal ini lebih diperkuat lagi oleh karena sang penyair tampaknya memang sengaja melengkapi sajak-sajaknya dengan catatan kaki (footnote) atau bentuk catatan penjelas lainnya yang berfungsi sebagai referen tekstual atas ayat al-Quran tertentu yang dijadikan sumber rujukan. Kelima sajak di maksud masing-masing bertajuk “Ada Daun Gugur”, “Lautan Malam”, “Menerbangi Maghrib”, ”Inwal Nun”, dan “Pembidas”. Sebagai pembuka diskusi ini, mari kita selami bagaimana interpretasi dan sikap sang penyair terhadap salah satu ayat al-Quran lewat sajaknya yang berikut ini:

ADA DAUN GUGUR

lalu i’tibar itu berserakan: keserakahan, peperangan, daun gugur
yang menguning, dan hujan yang ungu dan air sungai yang kelabu
dan awan yang menebar bianglala di mana-mana… di mana-mana
seekor capung sekarat di ujung lalang; sekali ia menyebutmu:
penyair, lalu diam, kau ambil sayapnya, untuk kau tenun
menjadi jubahmu, alangkah indah bekas-bekas tanganmu, penyair
lihatlah hari-hari maha karya direjang seloka waktumu
dan, demi waktu, ujarmu di antara desau arus sungai
aku ada di tebing, di lunas, dan di riam-riamnya
hari pun lingsir
aku menggigil

“Demi Waktu,” ujarmu lagi, tapi alangkah fasih diam ini
 jendela yang kacanya ditempias hujan jadi berlinangan
suara seloka kita kau biarkan hanyut ke muara
di tengah sungai, sebentar nanti perahumu akan milir di sini
kunanti dikau menyapa oleng lanting-ku: lalu aku tersipu
aku sudah mengawini kesunyianmu, ujarku, ketika
seloka belum selesai kueja
lalu waktu pun binasa [5]

Jika kita cukup jeli, tanpa kehadiran catatan kaki sekalipun sebenarnya kutipan frase “Demi Waktu” pada larik kedua belas yang menjadi pembuka bait kedua dalam sajak di atas sudah cukup memberi isyarat kepada kita untuk segera menyimpulkan bahwa penciptaan sajak “Ada Daun Gugur” tersebut jelas telah diilhami oleh salah satu ayat atau bahkan surat al-Quran. Sebab, sebagaimana kita mafhum, “Demi Waktu” merupakan bentuk terjemahan bebas dari kata Arab wal’ashr (QS. 103: 1) yang lazim diindonesiakan menjadi “Demi Masa”. Selain itu, bertolak dari asumsi bahwa kebanyakan sajak Ajamuddin memiliki kecenderungan sufistik, maka makna keseluruhan sajak tersebut tentunya juga tidak terlepas dari dimensi esoterisnya dalam perspektif kesufian. Akan tetapi, persoalannya sekarang, bagaimana sesungguhnya peran semantis kata “waktu” atau “masa” itu dalam konstelasi semiotiknya sehingga memberi makna bagi penanda-penanda lain yang tersebar dalam larik-larik sajak tesebut?

Kita tahu, “waktu” merupakan sesuatu yang nisbi tetapi sekaligus sebagai sebuah realitas. Dalam sajak ini tampaknya ada upaya sang penyair untuk memberikan kontras antara “waktu yang sakral” dan “waktu yang profan”.[6] Dalam perspektif sufisme, waktu yang sakral berhubungan dengan Realitas Atas, sedangkan waktu yang profan mengacu pada realitas duniawi yang serba terbatas dan bersifat tidak langgeng. Oleh karena itu, konsep “waktu” dalam sajak ini jelas lebih mengacu pada waktu yang sakral, terutama dalam larik-larik yang memperlihatkan hubungan aku-lirik dengan Realitas Atas, yakni Tuhan azza wajalla. Sementara, konsep waktu yang profan terlihat dalam larik-larik yang memperlihatkan hubungan horizontal aku-lirik dengan dunia sekeliling yang dirasa, dilihat, dan didengarnya.

Fenomena duniawi yang profan —seperti keserakahan, peperangan, penindasan manusia atas manusia, dan segala bentuk kezaliman— memberikan pengajaran atau perumpamaan (i’tibar) yang berharga bagi aku-lirik dalam upaya menyikapi setiap persoalan hidupnya. Semua itu dikembalikannya pada Sang Khalik ketika ia sendiri telah menyari akan hakikat kemakhlukannya yang dhaif (lemah), sebagaimana dapat kita tangkap pada tiga larik penutup sajak ini: aku sudah mengawini kesunyianmu, ujarku/ ketika seloka belum selesai kueja/ lalu waktu pun binasa.

Konsep “waktu” dalam larik terakhir ini jelas merujuk pada waktu yang profan oleh karena sifat ketidaklanggengannya. Namun, bagaimanapun, eksistensi semantis “waktu” di sini mesti dikembalikan pada konteks primordialnya sebagai anugerah Tuhan yang harus diberi makna sendiri oleh setiap individu. Sebab, sebagaimana penegasan Tuhan selanjutnya dalam surat yang sama: Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh, nasihat-menasihati agar menaati kebenaran, serta nasihat-menasihati agar menetapi kesabaran (QS. 103: 2—3). Jadi, dalam konteksnya yang demikianlah “waktu” yang dimiliki manusia akan menjadi lebih bermakna. Karena, bukankah Tuhan telah berfirman: Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk mengabdi kepada-Ku (QS. 35: 10).

Selanjutnya, sajak bertajuk “Lautan Malam” agaknya merupakan wujud interpretasi dan pernyatan sikap sang penyair terhadap doktrin laila al-qadr (malam kemuliaan), sebagaimana yang telah diiluminasikan Tuhan dalam firman-Nya, Surat al-Qadr (QS. 97: 1—5). Dalam sajak ini sang penyair tampaknya mengutip ayat yang kelima, sebagaimana dapat kita tangkap pada larik ketiga belas bait kedua: “Malam itu adalah kesejahteraan sampai pagi tiba. Namun, untuk melihat sejauh mana peran kontekstual kutipan ayat tersebut, berikut ini marilah kita simak larik demi larik sajak dimaksud:

LAUTAN MALAM

lihatlah nganga lautan malam dan deru nafas mabuknya
melahap daratan mimpiku, dan mengunyahnya lumat
tak cukup seribu syair meredakan rindu punggukku
pada bulanmu; nanar pandangnya menatap waktu
detik yang melaju berlayar di angin, mengiris sepi demi sepi
melintasi jantung mimpi kecemasanku; hidup tak mampu
menggenapi ratapannya

seperti yang sudah-sudah, tercelup lagi ia
dalam limbur cahaya malam; seperti yang sudah-sudah pun
pulang ia ke sangkarnya di hatiku yang rapuh ini, kekasih
kuseru sekalian kesunyian malam untuk dahaganya
setelah hari serasa permulaan lagi untuk merdeka:
“Malam itu adalah kesejahteraan sampai pagi tiba”
duh, bersama bayang-bayang malam
kudendangkan rubayat bulan terluka dan benua-benua kelam
masih pingsan dari kemanusiaannya
dan bidukku mulai berlayar di lunas malam

sungguh, tak cukup seribu biduk melayari laut malammu
tapi, tak cukup seribu syair meredakan rindu punggukku [7]

Gatra “lautan malam” yang sekaligus menjadi judul sajak ini jelas mengacu pada makna eksklusifnya sebagai misteri “malam kemuliaan” (laila al-qadr) yang merupakan anugerah terbesar bagi umat Rasulullah, Muhammad s.a.w. Dengan demikian, setiap muslim sudah seyogianya harus berusaha memberi makna atas misteri yang tersembunyi di dalamnya. Setiap muslim harus berupaya untuk menemukan “cahaya” dan “kebenaran” ilahiah yang ada padanya. Sebab, seperti telah ditegaskan dalam al-Quran: Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS. 97: 3—5).

Kendati secara eksplisit Surat al-Qadr ini berbicara tentang riwayat waktu diturunkannya al-Quran, tetapi dalam esoterisisme Islam malam itu dipandang sebagai suatu malam yang penuh misteri sehingga kehadirannya senantiasa didambakan setiap muslim. Oleh karena kadar malam yang misteri itu berbanding dengan (bahkan lebih baik daripada) seribu bulan, maka segala bentuk ibadah pada malam itu akan bernilai seribu kali lipat dibanding dengan nilai ibadah pada malam-malam biasa (lainnya).[8] Gambaran malam yang sakral inilah, dalam sajak ini, yang diungkapkan oleh sang penyair sebagai “lautan” —sebuah citra kemahaluasan yang senantiasa mendamba kapal-kapal dan perahu-perahu berlayaran untuk kemudian karam di tengahnya.

Secara hermeneutik, penggunaan metafor “lautan” dalam konteks sajak ini tampaknya mengacu pada makna esoterisnya sebagai ”lautan makrifat” dan merupakan “lintasan” bagi penyingkapan hakikat diri dan misteri keilahian. Dengan penghayatan semacam itu, maka sang aku-lirik merasa berada dalam kerinduan yang sangat untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Namun, ia pun sadar bahwa misteri lautan malam itu tak cukup dilayari dengan seribu biduk —sebuah citraan yang mengacu pada tindak ibadah atau ritual keagamaan seperti salat, membaca al-Quran, dan zikir. Meskipun begitu, sang aku-lirik tampaknya tetap optimis: sungguh, tak cukup seribu biduk melayari laut malammu/ tapi, tak cukup seribu syair meredakan rindu punggukku.

Sajak lainnya yang juga mengandung nukilan ayat al-Quran adalah “Menerbangi Magrib”. Dalam sajak ini, ayat al-Quran tidak dikutip secara tekstual, tetapi lebih dalam bentuk adaptasi. Hal ini dapat kita baca pada tiga larik dalam bait ketiganya, hasil adaptasi penyair terhadap penggalan salah satu ayat al-Quran (Surat Al-Anfaal) itu berbunyi: sesuatu yang tampak naif dan tak begitu berdaya/ karena ‘bukankah ini tangannya yang melempar/ bukan tangan kita’? Lalu, bandingkanlah dengan kutipan terjemahan ayat dimaksud seutuhnya di bawah ini:

Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. 8: 17).

Sebenarnya, konteks ayat ini membicarakan tentang sokongan Tuhan terhadap kaum muslimin (mukminin) dalam peristiwa Perang Badr. Namun, dalam sajak ini, penyair tampaknya justru menempatkan makna ayat tersebut secara kontekstual dalam fenomena kekinian yang melingkunginya. Kutipan penggalan ayat tersebut lebih dimaksudkan sebagai penanda bagi sifat Tuhan, kodrat (Yang Berkuasa)  dan iradat (Yang Berkehendak), yang senantia menjadi semacam “garis-batas” setiap langkah kehidupan manusia. Jadi, dengan demikian, apa pun yang dilakukan manusia, bagaimanapun nasib yang menimpanya, pada hakikatnya semua itu merupakan ketentuan Sang Maha Berkehendak. Selebihnya, manusia hanya memiliki peluang untuk berusaha, bertawakal, bersabar, dan berdoa untuk mengembalikan segalanya kepada al-Khalik, pada kodrat dan iradat-Nya. Gambaran semacam itulah yang dapat kita tangkap dalam larik-larik sajak “Menerbangi Magrib”. Bacalah kutipannya berikut ini:

MENERBANGI MAGHRIB

merangkak di atas bukit kenyataan
menatap pedih burung lepas senja
apa yang kauturuni
setelah puncak yang terjejaki darah hatimu ini
di lembah padi menguning, tapi lapar menggulung tegalan
begitu berahi dendam keputusasaan melibas kesabaran
menyerahlah sebentar, sebab kita akan mengepungnya dengan doa

sesuatu yang tampak naif dan tak begitu berdaya
karena ‘bukankah ini tangannya yang melempar
bukan tangan kita’?

aku mengingatnya di rumput, di batu, di debu
bawah tubuh-tubuh kita adalah perlawanan itu sendiri
ingatlah kami, sebelum doa berubah menjadi kutukan
mengubah impian jadi perlawanan [9]

Barangkali, esensi pesan moral dalam sajak di atas adalah agar manusia tidak semata-mata menyerah secara total pada garis nasib yang menimpanya (kendati dalam kesadaran teomorfis semua itu sudah merupakan ketentuan Sang Khalik), tetapi harus berusaha melakukan sesuatu (berupa perlawanan atau setidak-tidaknya berdoa). Sebab, dalam perspektif seorang mukmin, doa adalah senjata, di samping menjadi ketentraman jiwa (QS. 9: 103). Dengan kesadaran demikian, maka penyair pun menutup bait pertama sajaknya di atas dengan larik berbunyi: menyerahlah sebentar, sebab kita akan mengepungnya dengan doa.

“Ihwal Nun” adalah sajak Ajamuddin lainnya yang juga mengandung nukilan ayat al-Quran. Sajak ini merupakan kecaman halus terhadap orang-orang yang hanya “menerjemahkan” eksistensi Tuhan sebagai ajang perdebatan dan pertengkaran. Persoalan-persoalan superioritas ras, penghambaan pada rasio-intelektual, serta pikiran-pikiran keagamaan yang picik dan cenderung sektarianistis merupakan sasaran kritik sang penyair. Pendek kata, “Ihwal Nun” (baca: misteri keilahian) mencoba menyadarkan siapa saja agar mau bersikap lebih inklusif dalam upaya memahami fenomena ketuhanan dan kaitannya dengan hidup manusia. Mari kita hayati dua bait pembukanya berikut ini:

sekelompok orang mempertengkarkan kehadiranmu
dan mereka membual tentang pertemuan demi pertemuannya
denganmu; tapi, langit tetap hening, dan awan-awan berpijar
bertahun sudah di jalan yang ramai ini aku menantimu
mengapa mereka menghadirkanmu selalu dalam pertengkaran
lalu mereka berbaku hantam, berbunuh-bunuhan, dan darah…
mereka ciptakan sungai darah….

mereka ciptakan sendiri sejarah yang tunggal warna tentangmu
“bacalah!” serumu berulang, bahkan dilantangkan dari
tenggorokan dan urat leher; “bacalah!”, tapi yang mereka baca
adalah dendam dan kehormatan kabilah yang menafikan
kabilah lainnya: dari kitab suci yang mana mereka mempelajari
dendam ini, kekasih…

Kata “Bacalah!” (iqra) yang merupakan terjemahan dari bagian awal ayat pertama atau ketiga al-Quran Surat al-Alaq (QS. 96: 1 dan 3) memberi petunjuk agar manusia menggunakan akal dan kemampuan intelektualnya untuk mengkaji dan mempelajari segala fenomena alam yang ada. Namun, “perintah belajar” ini sudah tentu dalam batas-batas yang wajar sehingga tidak justru menimbulkan bencana bagi kehidupan umat manusia itu sendiri. Sebab, perintah “Bacalah!” memang tidak seyogianya diberi makna dalam konteksnya yang lepas-bebas, tetapi hendaknya dilandasi dengan akal sehat dan  jiwa yang suci —sebagaimana fitrah manusia adalah makhluk yang hanief (cenderung pada kebenaran dan kebajikan). Maka, dengan kesadaran profetik demikianlah sang penyair kemudian mengajak kita untuk bersikap lebih bijaksana: hidup berdampingan dengan damai di bawah naungan cinta-kasih semesta. Kita baca lagi larik-larik pada bait penutupnya berikut ini:

kenyataan inilah yang mengisi ratapanku
karena siapa saja yang melintas di jalan ini adalah saudaraku
wahai, singgahlah, bukalah terompahmu, dan ikutilah
cengkerama dan tarian musim, bersamaku kita kubur
keburukan dendam; membubunglah bersama udara ke inti matahari
nyalakan api kasih semesta, dan dengarlah ia menyeru:
“wahai jiwa yang tenang,
kembalilah padaku dengan hati yang iklas dan diridhai
masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku
masuklah ke dalam surgaku” [10]

Empat larik penutup yang dimaksudkan sebagai kutipan empat ayat terakhir Surat al-Fajr (QS. 89: 27—30) dalam bait penutup sajak “Ihwal Nun” di atas merupakan ajakan simpatik kepada siapa saja yang merasa dirinya berdosa agar segera bertobat, sekaligus juga memberi isyarat tentang manusia terpilih yang telah mencapai kesempurnaan batinnya. Kiranya, inilah gambaran manusia yang telah mampu melepaskan diri dari segala persoalan dunia yang profan. Inilah “terminal terakhir” dari perjalanan sang jiwa, sebagaimana menjadi pesan sentral sajak ini.

Kecuali sajak-sajak yang telah dibahas sebelumnya, sebuah lagi sajak Ajamuddin yang secara eksplisit menempatkan al-Quran sebagai kanon puitiknya, yakni sajak berjudul “Pembidas”. Menurut catatan penyair, sajak ini merupakan bias adaptatif dari al-Quran al-Karim, Surat at-Taubah (QS. 9).[11] Akan tetapi, jika kita teliti, secara keseluruhan isi Surat at-Taubah ini ternyata cukup panjang (terdiri atas 129 ayat). Lebih-lebih karena dalam sajak ini sang penyair tidak secara eksplisit merujuk pada ayat tertentu yang menginspirasi dan menjiwai proses kreatif penciptaan sajaknya. Dengan demikian, agak sulit kiranya bagi kita untuk dapat menentukan ayat-ayat mana saja di antara 129 ayat dalam Surat at-Taubah tersebut yang dimaksudkan penyair sebagai kanon puitik penciptaan sajaknya yang satu ini. Namun, dilihat dari konteks keseluruhan larik sajak, sang penyair tampaknya telah mengambil sejumlah ayat yang membicarakan tentang kecaman Tuhan terhadap golongan yang menyalahgunakan perintah berjihad di jalan Allah (fi sabililah), khususnya dalam peristiwa Perang Tabuk. Dengan demikian, persoalan tematis yang menjadi fokus pembicaraan dalam sajak ini tampaknya dapat dikaitkan dengan kisah orang-orang munafik yang enggan berjihat di jalan Allah dengan alasan yang dicari-cari. Sebab, mereka lebih mementingkan kehidupan duniawi, kendati Tuhan telah menegaskan bahwa kenikmatan hidup di dunia itu hanyalah sedikit (QS. 9: 38).  Bacalah kutipan sajaknya di bawah ini:

PEMBIDAS

di Madyan, Rass, Sodom
(mereka kehilangan keesaanmu, tapi mereka mencarinya lagi sekarang, bahkan itulah yang membawa mereka kepada berhala-berhala baru) 
kami begitu majemuk di hadapanmu, saudara kandung kami sekarang
adalah benda-benda, ibu-bapa kami sekarang adalah uang dan
teknologi;  kami berguru kepada singa, mengimami nafsu kami

maaf, kedudukanmu kami geser ke tepi; sebab harta
lebih menarik, nyata dan asasi, kemajuan kami ukur dari materi
ke teknologi, benda dan harta adalah takaran manusia kami
(perang memperanakkan perang, kelaparan dan kesombongan ras memberangus  benua, gunung api dan banjir membarahkan derita
mengusir kemanusian ke rimba tak bernama)

kami nikahi kemunafikan, kemungkaran, kebatilan, itulah sebabnya
mengapa kami begitu serakah, agama kami lihat dari bursa
modal besar dan komoditi, sekaligus menafsirkan firmanmu dalam
bahasa komputer, mesin dan angka-angka
(seseorang, siapakah dia, menegakkan tauhid di tengah pasar
dan orang-orang menertawakannya; ia tadahkan tangan ke langit
orang-orang melemparinya dengan batu dan tinja; sekejap
langit pun merah kesumba, menyalakan bara menjilatkan lidah
api, telah dibasuh suatu kaum, telah…)

Secara leksikal, kata “pembidas” berarti “pasukan penggempur” atau “pasukan penyerbu”. Dengan mengambil latar kisah Perang Tabuk yang di dalamnya diwarnai cerita segolongan kaum munafik yang lebih mementingkan diri sendiri daripada ikut berjihad bersama Rasulullah, penyair membawa konteks “kisah kemunafikan” ini pada fenomena kehidupan mutakhir yang disaksikan dan didengarnya. Maka, dalam larik-larik sajaknya, hadirlah jargon-jargon kemodernan yang menandai kemajuan zaman seperti “teknologi”, “bursa”, “modal besar”, “komoditi”, dan “komputer”. Jargon-jargon tersebut terasa lebih berkonotasi pada sisi negatif peradaban zaman yang membawa manusia pada titik nadir kemanusiaannya: mengusir kemanusiaan ke rimba tak bernama. Karena, dalam kondisi dunia yang artifisial demikian, manusia lebih banyak yang kehilangan visi keilahiannya dan cenderung terjadi penghambaan pada materi sebagai bentuk berhala-berhala baru. Seperti diungkapkan penyair dalam bait pertamanya: saudara kandung kami sekarang adalah benda-benda, ibu-bapa kami sekarang adalah uang dan teknologi; kami berguru kepada singa, mengimami nafsu kami. Gambaran kebangkrutan moral demikian juga terungkap dalam bait ketiga: kami nikahi kemunafikan, kemungkaran, kebatilan, itulah sebabnya mengapa kami begitu serakah; agama kami lihat dari bursa modal besar dan komoditi, sekaligus menafsirkan firmanmu dalam bahasa komputer, mesin dan angka-angka.

Lalu, siapakah sosok penyelamat yang diungkapkan penyair dengan ungkapan retoris: seseorang, siapakah dia, menegakkan tauhid di tengah pasar dan orang-orang menertawakannya; ia tadahkan tangan ke langit, orang-orang melemparinya dengan batu dan tinja…? Larik-larik ini segera mengingatkan kita pada sejarah kehidupan Rasulullah, Muhammad s.a.w, pada masa-masa awal menjalankan misi kenabiannya berabad-abad silam: menegakkan kalimat tauhid di muka bumi ini. Kisah misi kenabian yang penuh tantangan dan derita ini antara lain terungkap pula dalam Surat at-Taubah: “Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi…” (QS. 9: 61), sebagai gambaran tragis dalam perjalanan hidup Rasulullah pada saat menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam dan risalah kenabiannya. Hal ini juga telah tergambar dalam ayat al-Quran berikut ini:

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (QS. 9: 128).

/ 4 /
Demikianlah kiranya sentuhan intertekstual serta makna implisit yang dapat kita tangkap dalam kelima sajak di atas. Akan tetapi, oleh karena teks sastra merupakan dunia yang mungkin dan makna sajak bersifat multitafsir, tentu saja masih banyak celah yang mungkin dapat kita masuki guna memberi makna sajak-sajak tersebut secara kontekstual. Selain itu, penggunaan pintu masuk yang berbeda mungkin akan menghasilkan makna yang berbeda pula.[12] Namun begitu, dengan uraian di atas setidaknya telah kita temukan benang merahnya. Melalui sajak-sajaknya yang bernada profetik tersebut, Ajamuddin tampaknya telah coba menginternalisasi segala fenomena keduniaan yang profan dalam dimensi kerohanian Islam. Hal demikian juga menunjukkan bahwa sang penyair telah coba mengaktualisasikan diri dalam perannya sebagai hamba maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, di samping kelima sajak yang telah dibicarakan di atas sebenarnya masih ada sejumlah sajak Ajamuddin lainnya yang juga berisi nukilan maupun sebagai bentuk adaptasi ayat-ayat al-Quran atau setidak-tidaknya memperlihatkan bahwa Kitab Suci itu merupakan kanon puitik dalam proses penciptaannya. Sajak-sajak bertajuk “Musa”, “An-Nas”, “Tarian Fakir”, “Risalah Sunyi”, “Nyanyian Setangkai Kembang”, dan “Risalah Seekor Anak Domba” adalah beberapa sajak yang memperlihatkan kecenderungan tersebut. Oleh karena itu, untuk menghasilkan sebuah ulasan lengkap dan komprehensif mengenai sentuhan al-Quran dalam sajak-sajak Ajamuddin Tifani tentu saja dibutuhkan pemeriksaan yang lebih intensif lagi, di samping juga diperlukan pembacaan secara ekstensif.

CATATAN KAKI :

[1] Sepeninggal Ajamuddin (6 Mei 2002), satu-satunya buku puisi yang representatif sebagai bukti sejarah perjalanan kepenyairannya hanyalah Tanah Perjanjian (Jakarta: Hasta Mitra, 2005). Buku yang diberi kata pengantar oleh Abdul Hadi W.M. ini dapat terbit atas sokongan dana dari Tariganu (sahabat almarhum, Pengelola Yayasan Bengkel Seni ’78 Jakarta) dan kontribusi dokumen dari beberapa rekan penyair Kalimantan Selatan lainnya, terutama berkat kerja keras Micky Hidayat, Maman S. Tawie, dan Y.S. Agus Suseno yang telah berinisiatif menghimpun dan menyiapkan naskahnya.
[2] Pengakuan ini disampaikannya melalui sebuah wawancara tertulis (bertanggal 10 Mei 1998) untuk memenuhi permintaan saya dalam rangka penyusunan laporan penelitian ilmiah bertajuk “Sajak-sajak Ajamuddin Tifani dalam Sentuhan Sufistik: Hermeneutika Kerohanian sebagai Titik Tolak Pengkajian” (1999).
[3] Lihat Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, Terj. Sutejo (Bandung: MIzan, 1993), hlm. 136.
[4] Baca catatan Abdul Hadi W.M. pada bagian “Glosarium” bukunya, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 145—146.
[5] Ada dua catatan kaki yang diturunkan Ajamuddin di bawah teks sajak ini. Pertama, ia menuliskan kutipan ayat wal’ashr (ditulis dalam huruf Arab) yang dilengkapi dengan terjemahan Indonesianya, “Demi Masa” (QS. 103: 1). Kedua, “Rumah terapung di pinggiran sungai-sungai di Kalsel (singkatan dari Kalimantan Selatan —JTS)” sebagai makna penjelas untuk kata lanting (dari bahasa Banjar).
[6] Uraian agak memadai mengenai kontras kedua konsep ini, baca misalnya esai kritisnya K. Bertens, “Yang Sakral dan yang Profan dalam Penghayatan Tradisional Homo-Religiousus Menurut Mircea Eliade,” (Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III No. 3 Th. 1992), hlm. 47—51.
[7] Di bawah teks sajak ini, Ajamuddin menuliskan catatan kaki: Al-Qur’an 5: 5 (baca: surat kelima ayat kelima —JTS). Akan tetapi, setelah saya lakukan pengecekan, dalam hal ini agaknya ia telah melakukan kekeliruan. Sebab, surat kelima dalam al-Quran adalah Surat Al-Maaidah (terdiri atas 120 ayat) dan ayat kelimanya berisi risalah tentang hubungan antara orang-orang mukmin dan ahli Kitab dalam hal makanan dan pernikahan. Adapun kalimat “Malam itu adalah kesejahteraan sampai pagi tiba” yang diberi catatan kaki jelas merupakan terjemahan bebas dari ayat kelima Surat al-Qadr (QS. 97: 5). Oleh karena itu, dalam rangka penjajakan intertekstual sajak dan upaya menemukan makna kontekstualnya, kekeliruan tersebut perlu dikembalikan pada rujukan yang semestinya (QS. 97: 5).
[8] Banyak tafsir yang berkembang mengenai doktrin “malam kemuliaan” (laila al-qadr) yang hanya terjadi setahun sekali itu, yakni dalam bulan Ramadan. Sebagian ulama mengatakan bahwa malam itu akan jatuh pada rentangan sepuluh hari terakhir Ramadan, terutama pada hitungan malam-malam ganjil (malam ke-21, 23, 25, 27, atau 29), dengan tanda-tanda alam yang sangat khas (misal, angin teduh tidak bertiup dan penuh kedamaian sepanjang malam).
[9] Di bawah teks sajak ini Ajamuddin menurunkan catatan kaki yang berisi kutipan penggalan QS. Al-Anfaal (8): 17 yang ditulis dalam huruf Arab beserta terjemahan Indonesianya: ketika engkau melepas anak panah dari busurnya bukan engkau melepaskannya akan tetapi Tuhan. Untuk terjemahan versi Ajamuddin ini saya tidak menemukan sumber rujukannya, tetapi dalam versi Al Quran dan Terjemahnya (Departemen Agama Republik Indonesia) terjemahan tersebut berbunyi: dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.  
[10] Di bawah teks sajak ini Ajamuddin menurunkan catatan kaki: Al-Quran 89: 28, 29, 30 (yang berarti merujuk pada QS. 89: 28—30). Dalam hal ini, setelah saya teliti, ternyata empat larik penutup sajak tersebut dimaksudkan sebagai kutipan dari terjemahan empat ayat terakhir Surat Al-Fajr (QS. 89: 27—30). Namun, larik berbunyi kembalilah padaku dengan hati yang iklas dan diridhai agaknya masih perlu diragukan kebenarannya sebagai terjemahan QS. 89: 28. Sebab, dalam versi Al Quran dan Terjemahnya (Departemen Agama Republik Indonesia) terjemahan tersebut berbunyi: Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
[11] Berbeda dengan beberapa sajak terdahulu yang menggunakan catatan kaki, sajak ini diberi catatan penjelas yang dituliskan di bawah judul di kanan atas teks sajak: bias adaptatif dari Al Qur’anul Karim surah At Taubah.
[12] Salah satu model pembacaan lainnya terhadap sajak-sajak Ajamuddin Tifani antara lain telah dilakukan oleh Abdul Hadi WM melalui esai pengantarnya untuk antologi puisi Ajamuddin Tifani, Tanah Perjanjian (Jakarta: Hasta Mitra, 2005), hlm. x—xviii. Dalam esai tersebut Abdul Hadi juga menilai bahwa “Pembidas” merupakan salah satu sajak terbaik yang pernah ditulis Ajamuddin.

SUMBER TULISAN :
Esai ini pernah dimuat dalam Jurnal Rumahlebah: Ruangpuisi, edisi #02/2009); juga dimuat sebagai bagian dari buku saya, Tragika Sang Pecinta: Gayutan Sufistik Sajak-sajak Ajamuddin Tifani (Yogyakarta: Akar-Indonesia, 2010).

Biografi Singkat Penulis

Tentang Penulis


Jamal T. Suryanata dilahirkan pada 1 September 1966 di Kandangan, Kalimantan Selatan. Menyesaikan pendidikannya di STKIP PGRI Banjarmasin, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, dengan skripsi berjudul “Sajak-sajak Ajamuddin Tifani dalam Sentuhan Sufistik: Hermeneutika Kerohanian Sebagai Titik Tolak Pengkajian” (1999) dan Program Pascasarjana FKIP Unlam Banjarmasin dengan mengangkat tesis tentang “Cerpen Banjar 1980-2000: Tinjauan Struktur, Isi, dan Konteks Sosialnya” (2004).

Mulai menekuni dunia penulisan sejak akhir dekade 80-an, tetapi merasa semakin serius baru sejak awal 90-an. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, kritik dan esai sastra, serta artikel umum lainnya pernah dimuat di Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Radar Banjarmasin, Bali Post, Koran Tempo, Kompas, Swadesi, Wanyi, Ceria Remaja, Al-Zaytun, Matabaca, On-Pff, Gong, Matra, Basis, Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Kebuadayaan Kandil, dan Dewan Sastera (Kuala Lumpur, Malaysia). 

Prestasi kepenulisan yang pernah diraihnya antara lain sebagai Juara II Sayembara Cerpen Indonesia DKD Kalsel (1992), Juara III Sayembara Cerpen Indonesia DKD Kalsel (1994), Juara II Lomba Cipta Puisi Batu Beramal 2 se-Indonesia versi Studio Seni Sastra  Kota  Batu,  Malang (1995), Juara I Sayembara Mengarang Esai tentang Pengajaran Sastra Tingkat Nasional (1998), Juara I Lomba Menulis Cerpen dalam Bahasa Banjar Se-Kalsel (2007), Juara I Sayembara Penulisan Esai tentang Perkembangan Publikasi Sastra Kalimantan Selatan 2000—2008 Se-Kalsel (2008), dan beberapa kali menenangkan Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan Anak Tingkat Nasional (1993, 1996, 1997, 1998, 2001). 

Beberapa kegiatan sastra-budaya yang pernah diikuti antara lain Festival Puisi Kalimantan (Banjarmasin, 1992), Mimbar Penyair Abad 21 (Jakarta, 1996), Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara: Esai (Bogor, 1999), Dialog Borneo-Kalimantan VII (Banjarmasin, 2003), Ubud Writer’s and Reader’s Festival (Bali, 2004), Cakrawala Sastra Indonesia (Jakarta, 2005), Kongres Cerpen Indonesia IV (Pekanbaru, 2005), Festival Kesenian Yogyakarta (Yogyakarta, 2007), dan Kongres Cerpen Indonesia V (Banjarmasin, 2007). 

Sejumlah puisi, cerpen, dan esainya ikut disertakan dalam beberapa buku antologi bersama seperti Festival Puisi Kalimantan (1992), Tamu Malam (1992), Bosnia dan Flores (1993), Batu Beramal 2 (1995), Kebangkitan Nusantara II (1995), Antologi Puisi Serayu (1995), Jendela Tanah Air (1995), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), Wasi (2000), La Ventre de Kandangan (2004), Dian Sastro for President! (2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Perkawinan Batu (2005), Jendela Terbuka: Antologi Esai Mastera (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Sastra Banjar Kontekstual (2006), Tongue in Your Ear: Indonesian Poetry Festival (2007), dan sajaknya ”Datanglah Sang Cahaya” telah diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal —dimuat dalam buku Antologia de Poeticas: Antologi Puisi Indonesia—Portugal—Malaysia (2008).

Selain menulis dalam bahasa Indonesia, ia juga menulis puisi dan cerpen dalam bahasa Banjar. Buku-bukunya yang sudah diterbitkan antara lain Untuk Sebuah Pengabdian (Balai Pustaka, 1995), Mengenal Teknologi Penerbangan dan Antariksa (Adicita Karya Nusa, 1998), Di Bawah Matahari Terminal (Adicita Karya Nusa, 2001), Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra (Adicita Karya Nusa, 2003), Galuh: Sakindit Kisdap Banjar (Radar Banjarmasin Press, 2005), Penyesalan Sang Pemburu (Pabelan Cerdas Indonesia, 2005), Bulan di Pucuk Cemara (Gama Media dan LPKPK, 2006), Bintang Kecil di Langit yang Kelam (Tahura Media, 2009), Debur Ombak Guruh Gelombang (Tahura Media, 2009), Guruku Tidak Kencing Berlari (Tahura Media, 2010), dan Tragika Sang Pecinta: Gayutan Sufistik Sajak-sajak Ajamuddin Tifani (Akar Indonesia, 2010).

Berkat prestasi dan dedikasinya dalam bidang penulisan sastra kreatif, pada tahun 2006 ia dinobatkan sebagai salah seorang seniman peraih Hadiah Seni dari Gubernur Kalsel (untuk bidang sastra) dan pada tahun 2007 terpilih sebagai penerima Penghargaan Sastra dari Kepala Balai Bahasa Banjarmasin (untuk bidang penulisan cerpen). Kini, di sela-sela kesibukannya yang kian menumpuk sebagai praktisi pendidikan, ia masih berusaha mencuri-curi waktu dan bekerja keras untuk merampungkan beberapa naskah bukunya yang lain. Sastra Transisional: Tradisi Cerpen Banjar 1980--2000 adalah salah satu naskah bukunya yang sedang disiapkan untuk terbit.

Senin, 03 Oktober 2011

 Kebanggaan Sastra
 Sebagai Kebanggaan Daerah
Sumber Kreativitas dan Inovasi Penciptaan


Oleh : Jamal T. Suryanata
 

Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri 
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di Taman Melayu 
Berduka suka, sertakan rayu; 
Perasaan serikat menjadi padu 
Dalam bahasanya, permai merdu.  
(Muhammad Yamin, ”Bahasa, Bangsa”) 

/ 1 /
Kedaerahan atau lokalitas sebagai persoalan penting dalam dunia penciptaan sastra modern sudah sejak lama menjadi perhatian para pengarang maupun kritikus dan pengamat sastra, baik telah dibentangkan dalam bentuk esai-esai kritis maupun didedahkan melalui berbagai forum diskusi sastra. Hal ini bukan hanya menjadi sorotan hangat dalam perbincangan sastra di negeri-negeri Timur pasca-Perang Dunia II ketika modernitas Barat semakin kuat merasuk ke dalam segala sendi kehidupan masyarakatnya, melainkan juga terjadi di banyak negeri kawasan Barat sendiri. Ada semacam kegelisahan, bahkan bisa menjadi sebentuk kecemasan, yang dirasakan oleh para pengarang modern itu akibat situasi sosial-budaya yang telah menyeret mereka pada kondisi sastra (lebih tepatnya: berkesusastraan) yang dinilai kurang membumi: keterasingan historis dari akar tradisi sendiri.
Dalam konteks sastra Indonesia modern, dunia kepenyairan pada khususnya, kegelisahan kultural semacam itu antara lain terungkap dalam sebuah esai Goenawan Mohamad bertajuk ”Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang” (1971).[1] Bagian awal esai yang sekaligus dijadikan judul buku kumpulan esai pertamanya ini lebih kurang berisi atau bercerita tentang petualangan pribadi sang penulis sendiri sebagai seorang penyair muda Indonesia yang tidak memiliki akar tradisi, kecuali sekadar mewarisi ’tradisi sastra Chairil Anwar’ yang boleh dikata merupakan representasi tradisi sastra Indonesia modern umumnya pada saat itu, setidak-tidaknya selama hampir tiga dasawarsa (1950-an hingga awal 1970-an). Dalam pandangan Goenawan Mohamad, seorang penyair Indonesia (pada masa itu —JTS) pada hakikatnya telah berjalan jauh sekali dari sekitarnya ketika ia sampai pada posisi yang sadar bahwa ia adalah seorang penyair. Hal itulah tampaknya yang terbetik dalam ’pengakuan’ pribadinya, ”Di belakang puisi yang dituliskannya, tidak ada suatu perbendaharaan sejarah sastra yang mantap untuk menopangnya.”[2]
            Cerita dan pengakuan Goenawan Mohamad di atas, saya kira, telah menjadi cerita dan pengakuan kolektif hampir semua penyair Indonesia modern selepas tahun 1940-an ketika mula pertama bersentuhan dengan dunia penulisan kreatif. Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-20, para pengarang Indonesia adalah generasi yang dilahirkan dan dibesarkan dalam tradisi sastra Chairil Anwar oleh karena tradisi sastra itulah yang mereka kenal dengan baik sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan, hingga sekarang —ketika sejarah peradaban manusia Indonesia telah memasuki awal abad ke-21 (alaf ketiga)— anak-anak sekolah dasar maupun sekolah lanjutan agaknya masih lebih akrab dengan sajak ”Aku” karya Chairil Anwar —terutama karena buku-buku teks pelajaran di sekolah selalu mengutip ulang sajak tersebut—ketimbang syair-syair dan hikayat-hikayat klasik yang sesungguhnya begitu kaya di daerahnya masing-masing. Maka, berangkat dari tradisi semacam itulah para pengarang Indonesia modern menulis puisi —bahkan juga merasuk ke dalam penulisan cerpen, novel, dan drama— hingga kemudian melahirkan apa yang kini populer dengan sebutan ’sastra urban’.
            Pada masa-masa awal kiprah kepengarangannya, sungguh tidak ada pilihan bagi para pengarang muda Indonesia yang lahir selepas masa Chairil Anwar kecuali harus menelan tradisi yang telah mapan itu. Nyaris tak ada tempat bagi tradisi lokal, khazanah seni-budaya daerah yang demikian melimpah itu, lantaran setiap celahnya telah diisi oleh teks-teks sastra urban yang tidak lain dari hasil pengaruh sastra Barat (Eropa dan Amerika). Jadi, dalam pandangan diskursifnya, sastra Indonesia modern adalah sastra yang telah tercerabut dari akar tradisinya sendiri. Tradisi sastra Indonesia modern periode 1950—1970 tidak lebih dari sekadar ’anak asuh’ tradisi sastra Barat dilantarankan oleh jejak historisnya yang memang relatif dekat selama masa kolonialisme. Maka, kalau benar demikian, saya pun tidak pernah tahu apakah gejala tersebut merupakan sesuatu yang patut disesali ataukah justru harus kita syukuri? Apakah ketercerabutan sastra Indonesia modern dari akar tradisinya sendiri merupakan suatu kerugian ataukah justru sebuah keuntungan?
            Akan tetapi, dalam hal ini, kiranya perlu kita sadari bahwa dunia sastra bukanlah dunia hitam-putih yang menempatkan satu kecenderungan dominan sebagai sebuah tolok ukur mutlak bagi kecenderungan-kecenderungan lainnya; bahwa kemunculan satu gejala yang dianggap dominan tidak lantas menenggelamkan pernik-pernik lain sebagai kemungkinan penolaknya. Oleh karena itu, dalam rangka menjernihkan persoalan ini memang diperlukan sikap netral dan kehati-hatian; bahwa dalam lingkup satu budaya dominan itu masih ada serpihan budaya lain sebagai alternatif yang menjadikannya berbeda.  
           
/ 2 /
Manakala perbincangan kemudian kita alihkan pada perkembangan sastra Indonesia terkini, suka atau tidak suka, pada kenyataannya kini kita telah berada jauh di depan.[3] Jika persoalan di atas dipandang sebagai sumber kegelisahan atau momok yang perlu dihindari, gejala keterasingan sastra Indonesia dari akar tradisinya sendiri kini tidak lebih dari sebuah bayangan masa lampau. Sastra Indonesia terkini bahkan telah melampaui sekat-sekat geografis maupun kultural sehingga kita seakan-akan sedang berada di sebuah negeri tanpa batas. Lebih jauh lagi, perkembangan sosial-politik Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir telah memberikan keleluasaan yang begitu terbuka bagi para pengarang dalam mengekspresikan jiwa dan pikirannya. Bahkan, kebebasan kreatif dalam berkarya (licentia poetica) kini bukan lagi sebuah slogan suci yang laku dijual sebagaimana dulu sering menjadi bahan perbantahan.  
Kondisi sastra Indonesia terkini ibarat sebuah taman dengan aneka ragam bunga menghiasinya, mulai dari perbedaan bentuk fisik, corak warna, hingga nuansa aromanya. Dalam taman sastra Indonesia yang luwes dan sangat akomodatif itu telah tumbuh berkembang beragam corak sastra dengan berbagai kecenderungan estetiknya, baik yang bercorak sastra rural, sastra urban, maupun sastra suburban. Pada saat yang sama, di situ juga tumbuh berkembang sastra bermuatan kritik sosial, sastra berwarna lokal, sastra religius, sastra sufistik, sastra feminis, atau sastra-wangi. Dilihat dari aspek medianya, di situ pun tumbuh berkembang ragam sastra koran, sastra majalah, sastra jurnal, dan sastra buku. Kemudian, jika masih perlu diangkat dan dibedakan lagi, di situ juga tumbuh berkembang dengan suburnya apa yang lazim dikelompokkan sastra serius dan sastra populer. Ringkas kata, kondisi sastra Indonesia terkini merupakan sebuah keniscayaan baru yang memberikan banyak kemungkinan.
Namun demikian, hendaknya kita sadari pula bahwa gejala keterbukaan ini bukanlah sebuah lembaran sejarah yang tanpa resiko. Sebab, ketika segalanya sudah terbuka dan cenderung menjadi sangat cair, hal ini memungkinkan suatu entitas akan kehilangan identitasnya. Jika identitas utama suatu tradisi sastra adalah faktor  kebangsaan pengarang dan bahasa yang menjadi mediumnya, maka sastra Indonesia berarti seluruh karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang (warga negara) Indonesia dan diungkapkan dalam bahasa Indonesia —apa pun bentuk, ragam, gaya, dan nilai budaya yang dikandungnya. Kalau persoalannya memang sesederhana itu, ihwal identitas kesastraan kita tentunya bukan suatu masalah yang perlu dirisaukan. Oleh karena itu, maka akan menjadi sah-sah saja jika semua pengarang Indonesia kemudian menulis karya-karya sejenis Olenka atau Orang-orang Bloomington sebagaimana yang dilakukan Budi Darma. Akan tetapi, persoalannya sekarang, apakah cukup identitas sastra Indonesia itu sekadar dicirikan oleh faktor kebangsaan pengarang dan bahasa yang digunakannya? Jika benar anggapan bahwa sastra merupakan refleksi sosial-budaya atau sebagai cerminan zaman yang melahirkannya, tidakkah kita ingin memiliki karya-karya yang benar-benar berkarakter Indonesia dengan segala kekhasan dan keunikannya ketika harus bersanding dengan karya-karya bangsa lain?
Lagi pula, pembatasan di atas agaknya terlalu sempit untuk menyatakan semangat nasionalisme dan konsep keindonesiaan. Sebab, jika ciri keindonesiaan sastra kita hanya diukur berdasarkan faktor kebangsaan (kewarganegaraan) sang pengarang dan bahasa yang menjadi mediumnya (baca: bahasa Indonesia), hal ini justru telah menegasikan kenyataan sosiokultural tentang eksistensi sastra daerah yang diungkapkan dalam berbagai bahasa daerah. Sebab, dengan demikian, seluruh karya sastra berbahasa daerah (Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Batak, Banjar, dan lain-lain) tentunya tidak termasuk dalam lingkup sastra Indonesia. Padahal, pada kenyataannya, secara geografis-politis-soiokultural semua daerah tersebut (notabene pengarang dan bahasanya) merupakan bagian dari konsep keindonesiaan karena termasuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, berdasarkan alasan geografis-politis-sosiokultural pula, sudah sepantasnyalah jika seluruh khazanah sastra (berbahasa) daerah juga disebut sastra Indonesia.
Dalam kaitan ini, ketika menyoal tentang konsep ”sastra Indonesia” dalam sebuah esainya (yang tidak lain berarti persoalan identitas pula), Sapardi Djoko Damono coba menawarkan dua alternatif jawaban, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pertama, sastra Indonesia ialah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia (kemudian dilengkapi dengan unsur: oleh penulis berkewarganegaraan Indonesia). Kedua, karya sastra yang ditulis oleh warga negara Indonesia dalam bahasa-bahasa yang ada di negeri ini.[4] Alternatif jawaban pertama, saya kira, pengertiannya sudah sangat jelas bagi kita: betapa sempitnya sastra Indonesia. Oleh karena itu, saya lebih bersetuju pada alternatif jawaban yang kedua karena konsep ini tidak saja merujuk pada karya-karya sastra berbahasa Indonesia, tetapi juga melingkupi seluruh karya sastra yang diungkapkan dalam bahasa-bahasa daerah. Di samping itu, dengan mengenakan konsep yang sangat akomodatif ini berarti kita juga telah memperluas wilayah konseptual dan sekaligus memperkaya khazanah sastra Indonesia karena di dalamnya telah tercakup seluruh karya sastra yang diciptakan oleh para pengarang berkewargaregaraan Indonesia, dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan.

/ 3 /
Memang, sastra pada dasarnya bisa terlahir dalam bahasa apa pun dan bebas mengusung nilai budaya manapun. Baik bahasa yang digunakan maupun nilai budaya yang diangkat oleh seorang pengarang pada dasarnya juga tidak lebih dari soal pilihan. Sementara, pilihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa dan penguasaan budaya sang pengarang. Karena itulah, beberapa pengarang Indonesia dengan latar belakang budaya Jawa bisa dengan lincahnya bercerita tentang tradisi-budaya Jawa dalam karya-karya mereka —sebutlah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi Ag), Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya), Arok Dedes (Pramoedya Ananta Toer), atau Para Priayi (Umar Kayam). Demikian juga sederet pengarang Indonesia lainnya dengan latar budaya daerah masing-masing telah coba ”mengindonesiakan” lokalitasnya dalam karya-karya mereka. Lihatlah karya-karya Korrie Layun Rampan (Dayak, Kalimantan), Wisran Hadi, Chairul Harun, Darman Moenir, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Gus tf Sakai, Marhalim Zaini, Andrea Herata (Minangkabau, Melayu, Padang), Putu Wijaya, Putu Arya Tirtawirya, Gerson Poyk, Putu Oka Sukanta, Oka Rusmini, Wayan Sunarta (Bali, Lombok), juga beberapa sajak Abdul Hadi WM dan D. Zawawi Imron (Madura), dan lain-lain.
            Secara teoretis, karya-karya yang mengangkat unsur-unsur kedaerahan atau lokalitas tersebut lazim dikelompokkan ke dalam genre sastra berwarna lokal. Istilah ”warna lokal” atau ”warna tempatan” (local colour) itu sendiri pada umumnya diartikan sebagai gambaran daerah tertentu seperti pakaian, sopan santun, dialek, dan sebagainya yang melatari kehidupan tokoh dalam karya sastra dan hanya bersifat dekoratif.[5] Namun, dalam pengertian yang lebih mendalam, konsep ini tentunya harus mengacu pada karya-karya yang memang menggambarkan totalitas latar sosial-budaya tempatan suatu daerah (etnisitas). Gambaran tersebut tidak saja terlihat dalam latar tempat cerita berlangsung atau sekadar mengutip beberapa kosa kata daerah, tetapi (idealnya) juga harus termanifestasikan dalam karakter tokoh dan gaya bahasa yang merupakan cerminan jiwa kebudayaan daerah bersangkutan.
Dalam lintasan sejarah sastra Indonesia, genre sastra semacam itu (baca: sastra berwarna lokal) sebenarnya telah tampak dalam novel-novel periode Balai Pustaka (1920-an) dan Pujangga Baru (1930-an). Namun, seiring dengan perkembangan pemikiran masyarakat Indonesia (khususnya di kalangan intelektualnya) yang semakin berorientasi pada modernisme Barat, dalam periode 1940—1960-an kecenderungan tersebut agaknya mulai menyusut (kalau bukan lepas sama sekali). Dengan demikian, boleh dikata bahwa selepas tahun 1960-an pada dasarnya hanya merupakan masa kebangkitan kembali genre sastra berwarna lokal dalam sastra Indonesia. Fenomena ini setidaknya ditandai dengan terbitnya novel Upacara karya Korrie Layun Rampan (1978) yang, karena kekhasan dan keunikannya, oleh sejumlah kritikus dipandang sebagai pembawa cakrawala baru dalam sastra Indonesia (dalam penulisan fiksi atau novel pada khususnya).[6]
Ketika harus bersanding dengan karya-karya sastra bangsa lain, lantaran kekhasan dan keunikannya yang mengusung warna lokal itu, justru karya-karya demikianlah yang dipandang berkarakter Indonesia dan karenanya paling representatif untuk mewakili sastra Indonesia. Sebab, karakter keindonesiaan tidak mungkin dapat ditangkap oleh pembaca asing dalam beberapa novel dan cerpen Iwan Simatupang atau Putu Wijaya (yang lazim disebut genre sastra absurd itu) maupun dalam karya-karya Dee, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Dinar Rahayu, Ratih Kumala, Eka Kurniawan, Afrizal Malna, Linda Christanty, dan sederet nama lagi. Selain itu, dalam konteks keindonesiaan yang multi-etnis (dengan bahasa dan tradisi-budaya masing-masing), karya-karya sastra berwarna lokal dapat perlakukan sebagai dokumen budaya yang sangat berharga bagi para ilmuwan yang bergerak di bidang etnografi dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Maka, dalam konteks inilah kita akan melihat urgensi kedudukan dan arti penting kehadiran karya-karya sastra Indonesia dengan kecenderungan warna lokal.
Namun, sekadar catatan tambahan, hendaknya kita juga perlu menyadari bahwa semaraknya kecenderungan sastra berwarna lokal dalam khazanah sastra (berbahasa) Indonesia bukannya suatu gejala yang tanpa resiko pula. Sebagai suatu contoh kasus, ketika membicarakan tentang novel Jawa tahun 1950-an, Sapardi Djoko Damono pernah mengingatkan mengenai resiko (terutama dari segi kerugiannya) yang harus ditanggungkan oleh novel-novel (berbahasa) Indonesia yang mengangkat latar sosial-budaya Jawa. Sebab, setiap bahasa memiliki seperangkat citraan, ungkapan, dan acuan tertentu yang menggambarkan sikap tertentu dari pemilik bahasa itu terhadap segala sesuatu. Berdasarkan pandangan ini, sebenarnya novel berbahasa Indonesia yang ingin mengungkapkan masalah Jawa tidak bisa sepenuhnya mengungkapkan gagasan, nilai, dan kaidah yang merupakan kebudayaan Jawa. Gagasan ”asing” yang tersirat dalam bahasa Indonesia tentu akan mempengaruhi usaha pengungkapan kebudayaan Jawa dalam bahasa Indonesia. Novel berbahasa Indonesia yang ditulis oleh orang Jawa mengenai masalah Jawa sebenarnya merupakan semacam terjemahan, yang tentu tidak sama dengan aslinya. Usaha untuk menyisipkan beberapa kata dan ungkapan Jawa, dalam usaha untuk tetap mempertahankan kemurnian gagasan dan nilai Jawanya, tidak jarang malah terasa mengganggu.[7]
            Kritik di atas memang merupakan sebuah kasus yang ditujukan untuk tradisi novel (sastra) Indonesia dengan warna lokal Jawa, tetapi jelas bahwa prinsip-prinsip dasarnya dapat berlaku umum untuk seluruh karya sastra berbahasa Indonesia yang mengangkat tema lokal atau unsur-unsur kedaerahan lainnya. Dalam kaitan ini, kita kembali dapat merujuk pada novel Upacara —sebuah novel (berbahasa) Indonesia yang mengangkat dan mengeksplorasi tradisi-budaya etnis Dayak (Benuaq) di Kalimantan Timur (daerah asal sang pengarang)— sebagai contoh bandingan. Dalam usaha tetap mempertahankan kemurnian gagasan dan nilai Dayaknya, maka di banyak tempat di halaman-halaman tersebar novel ini (dari Belahan Satu hingga Belahan Lima), sang pengarang ”terpaksa” harus menggunakan sejumlah kata dan idiom daerah bersangkutan. Untuk itu pula, di beberapa halaman akhir novel ini, sang pengarang merasa perlu menyertakan semacam kamus kecil (baca: Keterangan Istilah Benuaq) sebagai penjelasan atas sederet (sebanyak 83 buah) istilah dan ungkapan asli tersebut.[8]
            Benarlah seperti yang telah diungkapkan Sapardi Djoko Damono, kehadiran banyak kosa kata dan istilah asli daerah yang digunakan sang pengarang sebagai pendukung usaha pemurnian lokalitas atau membangun citraan yang lebih mendekati realitas tempatan dalam novel tersebut (lebih-lebih karena ditempatkan di halaman tersendiri) terasa cukup mengganggu proses pembacaan, khususnya oleh kalangan pembaca yang bukan dari etnis Dayak Benuaq atau bahkan bagi orang Dayak Benuaq sendiri yang tidak memahami bahasa-ibu mereka. Resiko serupa tentunya akan berlaku pula untuk karya-karya sastra Indonesia sejenis, dengan latar sosial-budaya yang berbeda. Namun, kalau kita mau jujur, ihwal rasa keterusikan pembaca seperti itu tampaknya bukan melulu milik para pembaca karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia dengan warna lokal tertentu, melainkan juga akan dialami oleh para pembaca umumnya yang sedang menikmati karya-karya sastra Indonesia (puisi, cerpen, novelet, novel, drama) yang penuh dengan catatan penjelas (apa pun istilahnya: catatan kaki, catatan belakang, senarai kata, kamus kecil, dan lain-lain) yang tampak kian marak dewasa ini.[9] Sebab, gejala demikian agaknya sudah merupakan sebuah realitas baru dalam sastra Indonesia terkini dan sulit untuk dihindari oleh siapa pun yang ingin membaca khazanah karyanya yang secara kuantitatif benar-benar telah menunjukkan kemajuan luar biasa pesatnya.
Akan tetapi, dari sisi lain, agaknya kita juga perlu memahami bahwa sang pengarang pun tampaknya tidak punya pilihan lain yang lebih komunikatif kecuali harus berbuat demikian. Sebab, jika penjelasan atas berbagai kosa kata dan idiom daerah itu dimasukkan ke dalam narasi tentu akan berpotensi menimbulkan kekacauan struktur cerita novel tersebut; alih-alih membantu pemahaman pembaca, malah dapat mengganggu proses pembacaan yang lebih serius. Kita tidak tahu bagaimana jadinya struktur cerita novel Jatisaba (Yogyakarta: ICE, 2011) —sebagai salah satu novel Indonesia terkini yang sarat warna lokal (sosial-budaya masyarakat Jatisaba, Cilacap, Jawa Tengah) dan karenanya juga banyak menghadirkan kosa kata dan idiom daerah (dengan 75 catatan kaki)— jika Ramayda Akmal (sang pengarang) memasukkan seluruh deskripsi dan atau uraian penjelasnya atas kosa kata dan idiom daerah itu ke dalam narasi novelnya (setebal 337 halaman); tentu bukan cuma novel itu akan bertambah tebal, melainkan juga dapat berimplikasi pada kekacauan struktur cerita dan akan mengusik kenikmatan para pembaca dalam proses pembacaan mereka.

/ 4 /
Dalam konsepsi yang lebih ideal, sejalan dengan argumen-argumen yang telah dikemukakan Sapardi Djoko Damono, penggambaran lokalitas suatu daerah dalam karya sastra selayaknya memang harus diungkapkan dalam bahasa yang selaras dengan tradisi-budaya yang melahirkannya, yakni bahasa daerah bersangkutan. Jadi, lokalitas (baca: masalah-masalah sosial-budaya) Jawa, misalnya, seharusnya juga ditulis dalam bahasa Jawa. Demikian juga lokalitas Sunda, Madura, Bali, Batak, Bugis, Dayak, Banjar, dan seterusnya. Akan tetapi, dalam rangka membangun nasionalisme, pada kenyataannya politik bahasa Indonesia telah berjalan sedemikian rupa sehingga seakan-akan telah mengesampingkan eksistensi bahasa-bahasa daerah yang ratusan jumlahnya, bahkan nyaris tidak memberi tempat bagi pertumbuhkembangannya. Kendati sastra (berbahasa) daerah tetap dapat tumbuh berkembang, tetapi dalam pertumbuhkembangannya sekarang pada umumnya selalu mengalami kondisi terjepit (meminjam istilah Sapardi Djoko Damono). Dengan kata lain, sastra daerah tidak dapat berkembang sebagaimana mestinya. Kondisi semacam inilah yang kini dialami oleh sastra Jawa, Sunda, Bali, dan Banjar —sekadar menyebut beberapa tradisi sastra (berbahasa) daerah yang masih eksis berkembang hingga sekarang, bahkan berlanjut dengan genre sastra modernnya.
            Menyadari akan keterbatasan daya jangkau sastra daerah, para pengarang pun pada akhirnya harus mencoba beradaptasi dengan kondisi yang ada. Dilantarankan oleh daya jangkaunya yang lebih luas, para pengarang pun lebih banyak memilih menulis dalam bahasa nasional (bahasa Indonesia). Sebab, dipandang dari berbagai sudut, menulis dalam bahasa Indonesia memang jauh lebih menguntungkan tinimbang menulis dalam bahasa daerah yang daya jangkau pembacanya sangat terbatas, sejauh daya jangkau bahasa bersangkutan. Seiring dengan daya jangkaunya yang luas, tingkat popularitas seorang pengarang juga jauh lebih terangkat jika menulis dalam bahasa Indonesia. Semua itu tentunya juga berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan hidup para pengarangnya. Belum lagi jika persoalannya dikaitkan dengan kenyataan bahwa —berdasarkan pengalaman beberapa pengarang— menulis dalam bahasa daerah jauh lebih sulit daripada menulis dalam bahasa Indonesia.
Namun demikian, kita juga masih punya harapan lain untuk prospek kebertahanan sastra daerah karena masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat bilingual (minimal menguasai bahasa daerah dan bahasa Indonesia), bahkan multiliangual. Dalam kondisi demikian, kita tidak perlu merasa heran jika dalam banyak kasus para pengarang Indonesia (yang umumnya juga dwibahasawan itu) justru merasa diuntungkan. Sebab, mereka dapat dengan mudah memilih jalur-jalur media penulisan sastra yang ada: hanya menulis sastra (berbahasa) daerah, hanya menulis sastra (berbahasa) Indonesia, atau dapat dengan bebas bolak-balik antara menulis sastra (berbahasa) daerah dan sastra (berbahasa) Indonesia.
Pilihan atas tradisi penulisan pertama dan ketiga jelas memberikan janji baik bagi prospek kebertahanan maupun pertumbuhkembangan sastra daerah, sebagaimana dapat kita lihat hingga sekarang. Namun demikian, andaipun kelak jalur penulisan sastra (berbahasa) daerah benar-benar sudah berada di jalan buntu, pilihan atas tradisi penulisan kedua sekalipun sebenarnya masih dapat menyelamatkan identitas keindonesiaan melalui karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia berwarna lokal. Karya-karya demikianlah sesungguhnya yang memiliki karakter keindonesiaan yang kuat oleh karena konsep ”Indonesia” itu sendiri tidak lain berarti sebuah titik temu dan merupakan perpaduan daerah-daerah. Akan tetapi, kebertahanan konsep ini sangat bergantung pada tingkat kesadaran para pengarang kita terhadap persoalan-persoalan sosial-budaya tempatan atau lokalitasnya masing-masing.
Agaknya, menyadari akan pentingnya identitas keindonesiaan (dalam sastra Indonesia) itulah sehingga para penggagas Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru (Riau) pada 26—30 November 2005 yang lalu merasa perlu mengusung sebuah tema besar bertajuk ”Ayo, Estetika Lokal!”. Penerjemahan atas tema besar tersebut di antaranya memang cukup terepresentasikan melalui sejumlah kertas kerja yang disajikan dalam serangkaian diskusinya, misalnya dalam makalah bertajuk ”Lokalitas Desa” (Ahmad Tohari), ”Lokalitas Minangkabau” (Gus tf Sakai), dan ”Lokalitas Melayu” (Taufik Ikram Jamil). Akan tetapi, penerjemahan atas konsep yang sama kemudian menjadi tampak mengambang ketika kita disodori beberapa makalah lain semisal ”Lokalitas Masyarakat Miskin Jakarta dan Saya” (Hamsad Rangkuti), ”Lokalitas Dunia Gelandangan” (Joni Ariadinata), dan bahkan ”Lokalitas Masyarakat Bloomington” (Budi Darma). Sebab, konsep lokalitas yang diusung oleh tiga kertas kerja yang disebut terakhir tentunya sangat berbeda dengan konsep lokalitas dalam tiga kertas kerja yang disebut pertama. Namun, hal itu pada akhirnya harus kita maklumi karena para penggagas dan atau penyelenggara penghelatan akbar tersebut tampaknya memang telah menempatkan makna ”lokalitas” itu sendiri sebagai sebuah konsep umum yang berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain.[10] Atau, dalam arti ”berbagai aspek kultural yang terjadi di suatu tempat dan masa tertentu.”[11] Jadi, dengan demikian, konsep lokalitas tidak hanya berkaitan dengan persoalan sosial-budaya etnis tertentu, tetapi juga menyentuh masalah-masalah soasial-budaya dalam suatu komunitas masyarakat di suatu wilayah dan masa tertentu, sebagaimana dimaksud dalam ketiga makalah yang disebut terakhir tadi.

/ 5 /
Kendati tidak sepenuhnya lepas dari konsepnya umum, dalam konteks sastra Indonesia saya lebih menempatkan ”lokalitas” sebagai sebuah konsep deferensial yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial-budaya yang hidup dan berkembang dalam suatu lingkungan masyarakat atau etnis tertentu di Indonesia, dalam suatu masa tertentu, yang terefleksikan dalam karya-karya sastranya. Dengan demikian, karena kekhasan dan keunikan lokalitasnya yang benar-benar berkarakter Indonesia, identitas sastra Indonesia dapat dengan mudah dibedakan dari karya-karya sastra bangsa lainnya. Hanya dalam pengertian inilah, saya kira, kebanggaan sastra Indonesia niscaya akan menjadi kebanggaan daerah pula.
            Manakala lokalitas atau aspek-aspek kedaerahan itu dihubungkaitkan dengan kedudukannya sebagai sumber kreativitas dan inovasi penciptaan karya-karya sastra, sejauh yang dapat saya tangkap, paling tidak ia bisa dipahami dari tiga posisi atau kategori. Pertama, daerah sebagai lokalitas fisik (baca: bentuk) karya sastra. Dalam hal ini, para pengarang sekadar meminjam nama-nama tempat (Kutai atau Banjar, misalnya), memakai nama-nama orang yang khas mencirikan daerah atau etnis tertentu (Wayan atau Cecep, misalnya), memasukkan beberapa kosa kata dan idiom daerah (emak atau balian, misalnya), atau menjadikan bentuk-bentuk sastra daerah tertentu sebagai sandaran kreativitas penciptaan karya-karyanya (pola persajakan atau teknik penceritaan, misalnya). Pengarang tidak mengeksplorasi berbagai persoalan sosial-budaya tempatan secara serius dan mendalam sehingga kehadiran unsur-unsur lokal itu di dalam karya-karyanya juga tidak lebih dari sekadar tempelan-tempelan artifisial. Oleh karena itu, ditinjau dari segi isinya, kehadiran unsur-unsur lokal tersebut tampaknya kurang fungsional karena sama sekali tidak mencerminkan kekuatan warna lokal daerah atau etnis tertentu. Karya-karya jenis ini mungkin cukup banyak kita temui, terutama dalam genre fiksi dan puisi hasil garapan para pengarang pemula yang agaknya bertendensi kuat ingin menulis karya sastra berwarna lokal, tetap tidak cukup pemahaman tentang lokalitas itu sendiri.
Kedua, daerah sebagai lokalitas mental (isi) karya sastra. Untuk kategori kedua ini, para pengarang lebih mencurahkan perhatiannya pada aspek kedalaman isi ketimbang bentuk dalam karya-karyanya. Dalam proses kreatif penulisan, mereka tidak begitu peduli pada urusan nama-nama tokoh atau tempat lokal, kosa kata dan istilah-istilah daerah, juga bentuk fisik karya sastra tradisional tertentu yang dapat dijadikan sandaran kreativitas teknik penulisannya. Sebab, hal utama yang menjadi fokus perhatiannya adalah keseriusan dalam mengolah dan menyajikan lokalitas isi —baik direfleksikan dalam garapan tema, latar sosial-budaya, maupun karakter tokoh-tokohnya. Akan tetapi, meski secara teoretis ada, pada kenyataannya karya-karya semacam ini agak sulit kita temukan.
Ketiga, daerah sebagai lokalitas fisik-mental (bentuk dan isi) karya sastra. Dalam arti, kehadiran unsur-unsur lokal tidak saja fungsional dalam membangun bentuk, tetapi juga menjadi bagian penting dalam penggarapan isi suatu karya sastra. Kategori ketiga ini merupakan wujud perpaduan yang utuh antara kategori pertama dan kedua di atas. Proses kreatif penulisan karya jenis ini juga tergolong paling sulit dilakukan karena memang menuntut seperangkat pengetahuan dan kemampuan teknis yang tinggi. Akan tetapi, pengarang-pengarang yang serius pada umumnya bukan hanya piawai dalam memanfaatkan teori-teori sastra (mencakup masalah anatomi, genre, gaya, aliran, dan teknik penulisannya), melainkan juga memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang berbagai hal terkait dengan konsep lokalitas. Kalau kita cermati, karya-karya yang termasuk dalam kategori ketiga inilah tampaknya yang paling banyak kita jumpai dalam khazanah sastra Indonesia modern, mulai dari awal abad ke-20 hingga memasuki abad ke-21 sekarang. Bacalah novel Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Sitti Nurbaya (Mh. Rusli), Sukreni Gadis Bali (Anak Agung Nyoman Pandji Tisna), Warisan (Chairul Harun), Bako (Darman Moenir), Canting (Arswendo Atmowiloto), Tambo (Gus tf Sakai), Tarian Bumi (Oka Rusmini); kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), Cerita dari Blora (Pramoedya Ananta Toer), Di Bawah Matahari Bali (Gerson Poyk), Senyum Karyamin (Ahmad Tohari), Hang Tuah (Taufik Ikram Jamil), Tarian Gantar (Korrie Layun Rampan), kumpulan puisi Anak Laut Anak Angin (Abdul Hadi W.M.), Berlayar di Pamor Badik (D. Zawawi Imron), dan lain-lain.
Memang, sebagaimana halnya pilihan atas ketiga jalur penulisan sastra seperti dalam uraian terdahulu, keberpihakan terhadap salah satu dari ketiga kategori lokalitas sastra di atas juga sangat bergantung pada kualitas diri masing-masing pengarang. Hampir tidak ada pilihan yang tidak mengandung resiko. Akan tetapi, tampak jelas bahwa jalan terbaik untuk mengisi warna lokal dan atau mempertahankan identitas keindonesiaan dalam karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia adalah dengan memihak pada kategori yang ketiga. Sebab, dengan begitu kita bukan saja telah memberikan sumbangsih berharga bagi upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Indonesia, melainkan juga ikut mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa sendiri.

/ 6 /
Begitulah, lokalitas sastra atau sastra berwarna lokal dalam sastra Indonesia modern memang sesuatu yang harus diperjuangkan jika kita memang berharap banyak untuk menghasilkan karya-karya yang benar-benar berkarakter Indonesia. Sebab, kalau karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia telah mampu mengadopsi berbagai persoalan lokalitas yang notabene merepresentasikan jiwa-raga daerah tertentu, sesungguhnya ia telah berfungsi sebagai perpanjangan tangan sastra (berbahasa) daerah —kendati memang tidak persis sama. Kalau sudah demikian, kekhasan dan keunikan sosial-budaya suatu daerah atau etnis tertentu di Indonesia agaknya tidak secara mutlak harus diungkapkan dalam bahasa daerah bersangkutan. Bukankah kini, dalam perkembangannya, bahasa Indonesia sudah memiliki kemampuan yang baik untuk mengomunikasikan pemikiran dan perasaan masyarakat Indonesia dengan segala ragam suku bangsa dan kebudayaan daerahnya?  
            Atas dasar pemikiran tersebut, konteks lokalitas dalam sastra dan kepengarangan di Indonesia hendaknya dapat ditempatkan secara proporsional antara kepentingan lokal dan nasional sekaligus. Ada batas-batas yang mesti dipatuhi, ada celah-celah yang layak dimasuki. Pemanfaatan daerah sebagai sumber kreativitas dan inovasi penciptaan dalam sastra Indonesia pada akhirnya akan menimbulkan keselarasan dalam satu ungkapan: kebanggaan sastra merupakan kebanggaan daerah. Maka, renungkanlah kembali kata-kata Muhammad Yamin seperti yang terungkap dalam bait kedua sajak ”Bahasa, Bangsa”-nya: Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri/ Diapit keluarga kanan dan kiri/ Besar budiman di Taman Melayu/ Berduka suka, sertakan rayu;/ Perasaan serikat menjadi padu/ Dalam bahasanya, permai merdu. Demikianlah kiranya! []

Pelaihari, 18 April 2011
CATATAN KAKI :

[1] Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1971), dimuat dan diterbitkan kembali dalam buku kumpulan esainya yang ketiga, Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 55—66.
[2] Ibid, hlm. 57.
[3] Secara konseptual, istilah “sastra Indonesia terkini” yang saya maksudkan di sini tidak saja merujuk pada karya-karya sastra Indonesia yang lahir dalam tahun 2000-an, tetapi dalam konteksnya yang lebih luas juga dapat mencakupi karya-karya yang lahir sejak awal dekade 80-an hingga sekarang. Sebab, sepanjang tiga dasawarsa (1980—2010) tersebut tidak tampak perbedaan yang demikian tegas dalam hal kecenderungan atau lompatan-lompatan estetiknya, kecuali situasi sosial-politiknya yang terus berubah. 
[4] Lihat Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), hlm. 131—133.
[5] Lihat Abdul Rozak Zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah, Kamus Istilah Sastra, cet. 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 214.
[6] Novel Upacara (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978) berasal dari naskah Pemenang II Sayembara Mengarang Roman oleh Dewan Kesenian Jakarta (1976). Komentar singkat tentang novel ini antara lain dapat dilihat dalam Dendy Sugono (ed.), Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), hlm. 257—258.  
[7] Lihat Sapardi Djoko Damono, Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 406—407.
[8] Korrie Layun Rampan, Upacara, cet. 2 (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), hlm. 125—128.
[9] Hal ini pernah dibicarakan secara khusus oleh Darmanto Jatman, “Cerpen dengan Catatan Kaki” (Makalah Cakrawala Sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, September 2005).
[10] Lihat Maman S. Mahayana, “Perjalanan Estetika Lokal Cerpen Indonesia” (Makalah Kongres Cerpen Indonesia V di Pekanbaru, Riau, 26—30 November 2005), hlm. 1.
[11] Melani Budianta, “Lokalitas Sastra dalam Konteks Global” (Makalah Kongres Cerpen Indonesia V di Pekanbaru, Riau, 26—30 November 2005), hlm. 1.
 

SUMBER TULISAN :  
Makalah Seminar Internasional: Dialog Borneo-Kalimantan XI pada 13--15 Juli 201 di Samarinda, Kalimantan Timur.