Asmara
di Atas Haram:
Ketika Sastra
Menjadi Media Dakwah
Oleh : Jamal T. Suryanata
Dan
barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya
dan
takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya,
maka
mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.
(QS
an-Nur [24]: 52)
/ 1
/
Menjelang dinihari, dalam kondisi ibunya yang sedang terbaring
kritis di ruang instalasi gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin, Yasser
Al-Banjary begitu panik setelah mengetahui bahwa sang ibu harus segera
dioperasi dengan total biaya lebih dari enam puluh juta rupiah dan harus segera
dibayarnya tunai. Ia coba minta toleransi kepada petugas rumah sakit dengan
menawarkan dua juta rupiah sebagai uang muka, sedangkan sisanya akan dibayarnya
setelah sang ibu dioperasi. Padahal, saat itu ia sendiri tidak tahu harus
mencari kemana untuk mendapatkan uang sebesar itu dalam waktu singkat.
Kepanikan
Yasser kian memuncak setelah ia mengecek saldo rekening banknya melalui ATM terdekat
yang tiba-tiba saja telah berubah dengan kenaikan angka yang sangat fantastis:
Rp 5.002.165.000 —berarti saldo di rekeningnya kini telah bertambah lima
miliar, tanpa ia ketahui sumbernya. Tapi, pemuda yang baru saja meraih predikat
sebagai juara MTQ Tingkat Nasional itu bukannya senang. Ia justru sangat kesal
menerima kenyataan tersebut. Dalam hati ia telah bertekad untuk tidak mengambil
sepeser pun uang yang tidak jelas asal-usulnya itu, meski sang ibu harus
meninggal karena kejujurannya. Ia pun berjanji akan segera meminta klarifikasi
dari pihak bank. Namun, sebelum rasa kesalnya hilang, saat ia melangkah kembali
menuju rumah sakit tiba-tiba saja uang dua juta rupiah di tangannya yang baru
ditariknya dari ATM itu telah dirampas dan dibawa kabur oleh dua penjambret
yang segera menghilang dengan motornya.
Keesokan paginya,
koran-koran lokal menurunkan berita tentang peristiwa menghebohkan malam itu,
bahkan menjadi headline dengan judul-judul sensasional semisal “Lelaki
Berjilbab Tolak Mati Dana Haram Tak Bertuan”. Hari ini juga pimpinan bank telah
memberikan klasirifikasi bahwa tidak ada kesalahan prosedur dari pihak mereka.
Jadi, memang ada oknum tertentu yang telah dengan sengaja mentransfer uang sebanyak
itu ke rekening milik Yasser. Namun, selalu ada hikmah di balik suatu
peristiwa. Berita menghebohkan tersebut ternyata membawa dampak positif baginya.
Banyak pihak yang bersimpati kepadanya. Alhasil, seluruh biaya operasi ibunya
ditanggung oleh Pak Gubernur, Pemimpin Umum SKH Banjarmasin Post, dan
Dirut Bank bersangkutan. Sementara, Dirut RSUD Ulin Banjarmasin membebaskan
seluruh biaya perawatan sang ibu. Akan tetapi, meski Yasser tak perlu
memilikirkan lagi soal biaya rumah sakit dan tindakan operasi pun telah
berjalan lancar, nyawa sang ibu tetap tidak tertolong.
Kendati
berbagai peristiwa yang baru dialaminya masih serasa membekas di relung
hatinya, Yasser tetap membulatkan niat untuk melaksanakan ibadah haji. Keesokan
harinya, sesuai dengan jadwal pemberangkatan yang telah ditentukan, ia diterbangkan
bersama ratusan jemaah calon haji lainnya menuju Jeddah. Keberangkatan haji itu
sendiri merupakan hadiah dari Pak Gubernur atas prestasinya sebagai juara MTQ
Tingkat Nasional dari Kalimantan Selatan.
Selama perjalanan
dan prosesi pelaksanaan ibadah haji banyak pengetahuan dan pengalaman baru yang
didapatnya, baik yang menyenangkan maupun yang mengharukan. Lebih-lebih ketika
ia terlibat dalam romantika cintanya yang begitu dramatis, dilematis, juga
sangat kompleks. Kisah cinta ini bahkan melibatkan enam pemain asmara
sekaligus. Kecuali Yasser sendiri, ada Istiqomah (seorang qariah muda yang juga
juara MTQ Tingkat Nasional dari Provinsi Banten), Evaterina Dmitreva Ibrahimov (gadis
cantik “Si Mata Biru” asal Ukraina yang seorang desainer dan juga mantan
finalis Miss Universe), Sofia (putri seorang pengusaha batu bara dari
Banjarmasin yang sekarang memegang kendali perusahaan ayahnya), Elizabith
Fatimah Harrison (seorang dokter utusan Pemerintah Provinsi Banten untuk
menangani kesehatan jemaah haji), Steven Petrovski (kekasih Elizabith, pemuda
Amerika, dan nonmuslim), dan Ferry Basthami (seorang pengusaha muda yang sukses,
juga putra Menteri Agama Republik Indonesia).
Saat berada di
Jabal Rahmah yang diyakini umat muslim sebagai tempat persemaian cinta
sebagaimana berseminya kembali cinta Adam dan Hawa, dengan hati yang bulat
Yasser mengungkapkan perasaan cintanya kepada Isti yang selama ini terus
dipendamnya sejak pertemuan mereka di arena MTQ Tingkat Nasional berbulan yang
lalu. Namun, tak lama berselang, Ferry justru datang untuk menyatakan lamarannya
kepada gadis yang sama. Akan tetapi, dalam suasana yang sangat dilematis itu,
Isti tak segera memberikan jawaban. Di pihak lain, setelah berselang waktu
beberapa hari kemudian, kali ini giliran Yasser yang menghadapi dilema cinta
antara harus memilih dan menolak. Eva yang suka blak-blakan dan Sofia yang cenderung
agresif, keduanya sama-sama menyatakan cintanya kepada Yasser. Dan, sebagaimana
sikap Isti, kini Yasser pun tak bisa
memberikan jawaban pasti. Sebab, bagi Yasser, sampai detik ini hanya Istiqomah satu-satunya
perempuan yang mendapat tempat istimewa di hatinya.
Bagai gayung
bersambut, ketika mereka sedang berada di Bukit Quzah, Yasser seakan baru
mendapatkan angin segar karena sang qariah cantik itu telah memberi isyarat
penerimaan cintanya. Sejak itu, Yasser sangat yakin bahwa cintanya memang tidak
bertepuk sebelah tangan. Ia juga sangat yakin bahwa Allah ar-Rahman akan
senantiasa memperkenankan doa siapa saja yang memohon dengan ikhlas kepada-Nya.
Kemudian, hal yang membuat keyakinan cintanya semakin mantap, karena seluruh
anggota Tim Ekspedisi Namirah selalu menyokong dan memberikan dorongan moral
bagi persemaian cinta mereka. Di pihak lain, setelah melalui banyak
pertimbangan, keyakinan Isti pun semakin mantap bahwa lelaki yang paling pantas
untuk dicintai dan mendapatkan cintanya adalah Yasser. Di samping karena
kepribadian Yasser yang bagai cerminan kepribadian Rasulullah, mantapnya
keyakinan Isti terhadap pilihan cintanya terutama setelah terjadinya peristiwa
penculikan dirinya oleh seorang lelaki Badui sesaat mereka akan kembali dari
Masjid Masy’aril Haram di Bukit Quzah. Selain itu, mereka berdua benar-benar
pasangan yang sepadan sebagai qari dan qariah, bahkan sempat secara khusus
dijamu oleh Raja Arab Saudi di istananya di Jabal Qubais.
Ketika prosesi pelaksanaan ibadah haji tinggal beberapa hari lagi, saat
mereka telah berada kembali di Mekkah al-Mukarramah, inilah saat-saat terindah
bagi keempat pemain asmara: Yasser, Isti, Ferry, dan Eliza. Kini, di Tanah
Haram ini, tanpa rasa sungkan lagi Isti pun akhirnya mengungkapkan perasaannya
bahwa ia bukan saja telah menerima cinta Yasser, melainkan juga telah siap
untuk menjadi pendamping hidup “Lelaki Berjilbab” itu. Cerita yang sama juga
terjadi pada Ferry dan Eliza. Setelah Isti menentukan pilihannya, Eliza pun akhirnya
telah bulat hati untuk memilih meninggalkan Steven —sang kekasih yang berbeda
keyakinan dengannya— dan dengan terus-terang menyatakan bahwa ia menerima
lamaran Ferry serta siap untuk menjadi istri lelaki duda yang juga putra Pak
Menteri Agama itu. Dan, seperti kata pepatah tua, dalam akhir suatu
pertandingan pasti ada yang kalah dan menang. Begitulah, baik Eva, Sofia,
maupun Steven, ketiganya harus rela menerima kenyataan bahwa mereka tak bisa lagi
ikut bergabung dalam permainan asmara itu.
/ 2
/
Demikianlah kisah
singkat novel bertajuk Asmara di Atas Haram (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2012) yang ditulis oleh Zulkifli L. Muchdi, seorang penulis kelahiran
Banjarmasin (5 Juli 1959) yang kini bermukim di Tangerang (Banten).[1] Secara
umum, baik dilihat dari bentuk maupun isinya, novel ini tentulah termasuk dalam
deretan karya-karya konvensional dan biasa-biasa saja karena memang tidak
menampakkan adanya inovasi dan pendobrakan estetik di dalamnya. Kalaupun ada
sesuatu yang baru atau berbeda dari novel Indonesia mutakhir lainnya, maka perbedaan
itu hanya terlihat pada aspek latar (setting) ceritanya: perjalanan
ibadah haji. Akan tetapi, kendati dengan alur dan pusat kisahan yang berbeda,
latar serupa ini pun pada kenyataannya telah digarap oleh Hamka (nama populer
Haji Abdul Malik Karim Amrullah) berpuluh tahun silam melalui novelnya yang
sangat masyhur, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938). Jadi, sebagai pembaca,
kita memang tidak perlu berharap banyak untuk menemukan kebaruan estetis dalam
novel ini.
Namun
begitu, di luar persoalan tersebut, terang terus saya akui bahwa saat pertama
kali membacanya —terutama pada halaman-halaman awal dan beberapa bagian
selanjutnya— sungguh saya tak kuasa menahan rasa haru hingga kaca-kaca bening
serasa dingin membasahi kedua lensa mata saya. Padahal, sebagaimana dapat saya simpulkan
kemudian, secara keseluruhan novel ini sebenarnya bukanlah sebuah karya patetis
yang banyak mengeksplorasi kisah-kisah dukalara dari episode-episode paling
dramatis dalam kehidupan tokoh-tokohnya. Dalam konteks ini, saya kira, justru kemampuannya
menyelusup lembut ke ceruk-ceruk terdalam wilayah religious feeling para
pembacalah yang menyebabkan saya harus mengusap mata berkali-kali.
Kemudian, jujur
pula saya akui bahwa novel perdana Zulkifli ini benar-benar sarat dengan pesan-pesan
moral-religius dan renungan-renungan filosofis, kaya dengan sisipan pengetahuan
dan kritik sosial yang mampu memberikan pencerahan, bahkan dapat menjadi terapi
psikologis bagi jiwa-jiwa yang lelah. Di dalamnya ada batasan-batasan dogmatis
seputar hukum Islam, lintasan sejarah Islam sejak masa Rasulullah dan para
sahabat, teladan kesalehan dan akhlak mulia, wacana pemikiran kritis menyangkut
persoalan aktual dan masa depan umat, juga tak ketinggalan tinjauan tentang kondisi
ekonomi dan eksploitasi alam beserta segala dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.
Terlepas dari soal kontribusinya dalam membangun struktur dan bobot literer
kesastraannya sebagai sebuah novel, semua itu setidaknya menunjukkan betapa
sang penulis novel ini memiliki wawasan pengetahuan yang luas mengenai berbagai
persoalan hidup sebagai cerminan realitas sosiokultural masyarakat Indonesia kontemporer
dan dinamika kehidupan antarbangsa pada umumnya. Lalu, khasnya tentang ritual
ibadah haji yang digambarkan secara sangat detail, hal ini tentu dapat kita pahami
lantaran proses kreatif penulisan novel ini memang dikembangkan dari pengalaman
empiris (true story) sang novelis sendiri saat melaksanakan ibadah haji
bertahun yang lalu.
Sebagai
sebuah karya prosa-fiksi yang cukup tebal (465+xix halaman dengan format buku
saku), tentu saja banyak hal yang dapat digali di dalamnya karena sang penulis
sendiri juga relatif lebih bebas untuk mengolah dan memasukkan unsur-unsur
tertentu sesuai dengan kehendak kreatifnya. Karena itulah, jika kita tilik dari
aspek genre sastra maupun faset tematisnya, sangat mungkin novel ini dapat menempati
beberapa kategori teoretis sekaligus secara tumpang tindih —misalnya: novel Islam, novel Islami, novel
religius, novel profetik, novel didaktis, novel realis, novel romantis, novel
perjalanan, novel bertendens, atau mungkin pula novel utopis sebagaimana Sir
Thomas More ketika menulis Utopia (1516). Bahkan, boleh jadi pula kalau
ada orang yang menyebutnya sebagai novel semi-ilmiah lantaran pada beberapa
bagian novel ini memperlihatkan ciri-ciri yang sama dengan bentuk pengungkapan (karya
tulis) ilmiah (misalnya memakai catatan kaki dan mencantumkan daftar pustaka),
di samping sebagian isinya yang memang mengandung nilai-nilai keilmuan (baca:
berisi materi pengetahuan). Akan tetapi, oleh karena klasifikasi teoretis semacam
ini sering kali hanya menambah ribet persoalan, maka secara praktis kebanyakan
orang lebih cenderung menyebutnya dengan istilah “novel (sastra) Islami” saja.[2]
Sebutan
demikian tentunya sah-sah saja karena secara umum isi novel ini memang bercorak
Islam —bahkan terasa “Islami banget”— sebagaimana tampak pada unsur-unsur
pembangunnya (mulai dari pilihan tema, amanat, latar cerita, penokohan, sudut
pandang, hingga masalah diksi dan gaya bahasanya). Namun begitu, kata “Islami”
yang melekat pada istilah tersebut barulah sekadar menyentuh aspek permukaannya
atau hanya sebatas menunjukkan sifat umumnya saja, bukan pada esensinya,
sehingga terlalu banyak karya yang bahkan tidak bertolak dari estetika Islam sekali
pun bisa dikategorikan sebagai sastra Islami —apalagi sekadar dengan sebutan “sastra
religius” atau “sastra keagamaan”. Oleh karena itu, sejauh kita hendak
menggunakan istilah generiknya, khusus untuk novel debutan Zulkifli L. Muchdi
ini agaknya lebih tepat untuk disebut “sastra Islam” saja (tanpa [i] di
belakangnya) karena corak Islam itu sendiri bukan cuma tampak pada unsur-unsur permukaannya,
melainkan secara esensial keseluruhan isi ceritanya juga mengandung pesan-pesan
profetik Islam yang doktrin intinya bertumpu pada risalah kenabian yang telah diwariskan
oleh Rasulullah Muhammad saw. Konsep ini selaras dengan rumusan yang pernah ditawarkan
Muhammad Qutb:
Seni sastera
Islam ialah seni yang menggambarkan kewujudan mengikut pandangan dunia Islam.
Ia merupakan ungkapan-ungkapan yang indah tentang alam, kehidupan dan insan
mengikut pandangan dunia Islam…. Seni sastera Islam ialah seni yang
menggambarkan pertemuan yang sempurna di antara keindahan dan kebenaran.[3]
Akan
tetapi, tanpa bermaksud untuk menampik keniscayaan tentang absahnya penggunaan istilah
tersebut, saya sendiri lebih suka menyebut Asmara di Atas Haram ini
sebagai “novel (sastra) dakwah” (lengkapnya: novel dakwah Islam). Sebab, dari halaman
awal hingga halaman akhirnya, isi novel ini memang sarat dengan pesan-pesan
keagamaan yang secara eksplisit jelas-jelas membawa misi dakwah Islam —sebagaimana
tampak pada sederet fakta tekstual yang akan saya tunjukkan nanti, inya Allah. Sebutan
“novel (sastra) dakwah” itu sendiri boleh jadi hanya merupakan suatu bentuk
varian yang lebih spesifik (hiponim) dari istilah “sastra Islam” yang merupakan
konsep induknya. Oleh karena itu, selaras dengan konsep sastra Islam, sebuah
novel dakwah seyogianya memang berisi pesan-pesan Islam untuk menyeru manusia
menuju kesadaran tauhid (baca: mengesakan Allah dan menegasikan selain-Nya,
plus mengakui Nabi Muhammad saw. sebagai utusan-Nya). Adapun wujud praksis
konsep tersebut termanifestasikan dalam perilaku hidup keseharian tokoh-tokohnya
(khususnya tokoh utama), yakni berupa akhlak mulia (akhlâq al-karîmah)
seperti yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Dengan kata lain, proses
kreatif penulisan sebuah novel (sastra) dakwah sejak awal memang telah
diikhtiarkan untuk tujuan pengembangan syiar Islam, sedangkan landasan
estetiknya bertolak dari kesadaran untuk mengaktualisasikan firman Allah
Ta’ala, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah….” (QS
Ali Imran [3]: 10).
Bertitik tolak dari pemikiran di atas, seraya menilik kembali isinya
secara keseluruhan, tepat sekali kiranya jika novel Asmara di Atas Haram
ini tidak sekadar diposisikan sebagai novel Islam atau novel Islami, tetapi akan
terasa lebih sreg kiranya kalau kita sebut novel dakwah (Islam) karena secara
eksplisit maupun implisit pesan-pesan moral yang dibawanya memang bermuara pada
spirit ayat al-Quran yang telah dikutipkan di atas (QS Ali Imran [3]: 10). Namun
demikian, sejauh menyangkut persoalan teoretisnya, ihwal pilihan-pilihan
terminologis tersebut tentu saja masih dapat diperdebatkan lagi. Akan tetapi,
dengan mempertimbangkan tingkat urgensi dan relevansinya, di sini saya tidak bermaksud
untuk mendiskusikannya lebih jauh.
/ 3
/
Jika sejenak kita tengok ke
belakang, sebagaimana tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah sastra,
munculnya novel-novel bertema keagamaan (baca: bercorak Islam) sesungguhnya
bukanlah gejala baru dalam perkembangan sastra di tanah air. Pada akhir tahun 1930-an,
sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, Hamka telah menerbitkan novel Di
Bawah Lindungan Ka’bah (1938) yang juga bercorak Islam dan mengambil kota Mekkah
pula sebagai bagian dari latar tempatnya. Berikut, pada penghujung dasawarsa
40-an, Achdiat K. Mihardja juga telah menulis sebuah novel keagamaan bertajuk Atheis
(1948). Lalu, hampir di penghujung dekade 60-an, A.A. Navis yang sebelumnya
telah dikenal luas sebagai pengarang fiksi bertema keagamaan —terutama melalui
cerpen “Robohnya Surau Kami”— juga melahirkan sebuah novel Islami bertajuk Kemarau
(1967). Belakangan, setidaknya sejak tahun 2000 melewat, penerbitan novel-novel
bercorak Islam tampak kian semarak dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir
yang melibatkan sederet nama penulis muda, baik mereka yang tergabung dalam
Forum Lingkar Pena (FLP) maupun pengarang-pengarang di luarnya. Akan tetapi, booming
novel (sastra) Islami ini terutama ditandai dengan munculnya novel karya Habiburrahman el-Shirazy yang
sangat monumental, Ayat-ayat Cinta (2006).[4]
Sebagaimana novel bercorak Islam lainnya, unsur dakwah tentu
saja juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam novel bertajuk Asmara
di Atas Haram karya Zulkifli L. Muchdi ini. Namun, berbeda dengan
novel-novel Islami yang pernah terbit sebelumnya, unsur dakwah itu bahkan nyaris
mendominasi seluruh episode dan halaman novel ini —baik yang diungkapkan secara
eksplisit maupun yang implisit sifatnya. Juga, berbeda dengan Di Bawah
Lindungan Ka’bah yang kendati secara tematis sama-sama mengangkat kisah
percintaan dan sama-sama pula menjadikan kota Mekkah sebagai bagian dominan
dari latar ceritanya, novel perdana Zulkifli ini justru memperlihatkan kekhasannya
lantaran secara keseluruhan alur ceritanya bermuara pada satu titik pusat:
kisah perjalanan ibadah haji yang dibumbui dengan romantisme percintaan. Maka, jika
dilihat dari sudut ini, benarlah kata Rosida Erowati Irsyad (seorang pengamat
dan dosen Sastra Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) dalam ulasan
singkatnya, kehadiran novel ini “…membuktikan bahwa latar suasana haji dapat
digunakan sebagai bahan untuk menciptakan fiksi yang inspiratif.”[5]
Membaca novel
ini secara runtut, imajinasi kita memang serasa digiring untuk memasuki sebuah dunia
imajiner seperti yang ingin ditunjukkan oleh sang pengarang. Mulai dari episode
ke-4 sampai dengan episode ke-28 (episode penutup), imajinasi kita —khususnya
bagi mereka yang belum pernah menunaikan ibadah haji dan umrah— terus-menerus
dibawa terbang, melawat ke negeri-negeri asing, mengikuti setiap jejak langkah
Yasser dan kawan-kawan. Melalui serangkaian kisah perjalanan mereka, secara
selintas kita diajak untuk menapaktilasi jejak perjuangan Rasulullah serta mengenal
lebih dekat suasana kota Mekkah al-Mukarramah, Madinah al-Munawwarah, Padang
Arafah, Jabal Rahmah, Bukit Quzah, Tan’im, dan beberapa tempat wisata religius lainnya
yang penuh sejarah —termasuk Masjid Namirah dan Masjid Masy’aril Haram yang
namanya telah diabadikan Allah dalam al-Quran dan sangat jarang didatangi oleh
jemaah haji Indonesia. Lebih dari itu, setiap bentuk ritual ibadah haji
senantiasa dilengkapi dengan doa-doa dan dalil-dalil naqal sebagai argumen
pendukungnya. Semua itu dikemas dalam balutan kisah asmara yang memukau dan kadang
terasa begitu mengharukan. Maka, dalam parameter demikian, novel ini
benar-benar telah mengakomodasi tesis Horace yang sangat masyhur: dulce et
utile —bahwa sebuah karya “sastra yang baik” harus memiliki sifat menghibur
dan sekaligus mengajarkan sesuatu.
Akan tetapi,
ketika sebuah novel yang sedari awal proses kreatif penulisannya memang telah diikhtiarkan
sebagai media dakwah, tentu akan ada konsekuensi logis yang harus
ditanggungkannya. Ada problem-problem estetis (aesthetic problems) yang
segera menyambangi dan membebani nilai literer kesastraannya. Maka, jika saja sang
novelis tidak cukup hati-hati dan kurang apik dalam mengemas pesan-pesan moral
yang ingin disampaikannya, sungguh tak pelak lagi karyanya niscaya akan
terjebak ke dalam perangkap novel propaganda atau sastra bertendens. Agaknya,
kenyataan inilah yang juga terjadi pada novel Asmara di Atas Haram yang
tersusun dalam 28 episode ini.
Melalui
tokoh-tokohnya, misalnya, tampak sekali sang penulis seolah ingin menumpahkan
seluruh khazanah pengetahuannya tentang Islam —khasnya mengenai seluk-beluk
ibadah haji dan sejarah Islam— maupun masalah sosiokultural pada umumnya. Bahkan,
sebagai praksis keinginannya untuk unjuk pengetahuan itu, pada halaman tertentu
sang penulis menderetkan begitu saja semua (berjumlah 36) nama pintu (abwâb)
yang ada di Masjidil Haram (hlm. 137), tanpa mempertimbangkan fungsi estetis
dan urgensi kehadiran teks tersebut dalam rangka membangun kekuatan cerita dan
keutuhan struktur sastranya.
Uraian-uraian
historis dan selipan-selipan ajaran Islam tampak menyebar di hampir seluruh
halaman novel ini, mulai dari episode pertama (dengan subjudul “Kompromi dengan
Malaikat Maut”) sampai dengan episode terakhirnya (dengan subjudul “Purnama di
Atas Haram”), baik dalam bentuk narasinya yang lebih menyerupai teks wacana
ilmiah maupun dalam dialog tokoh-tokohnya yang sering kali terlampau panjang. Karena
itu, juga tampak sekali bahwa kehadiran tokoh-tokohnya lebih berperan sebagai
corong gagasan dan pemikiran sang penulis sendiri. Kenyataan ini dapat kita
lihat, antara lain, dalam percakapan antara Yasser dengan Bu Ainah dan Pak
Farhan saat mereka baru tiba di Bandara King Abdul Aziz (Jeddah). Perhatikan
kutipan berikut.
“Nak Yasser, kita ambil miqat makani-nya di mana?” tanya Bu Ainah.
“Bagi kita jemaah haji dari Indonesia yang langsung ke Mekkah, miqat
makani-nya di atas udara sejajar dengan Qarnul Manazil, tapi kalau sulit,
di Bandara King Abdul Aziz saja,” jawab Yasser. Dia memandang keluar. Bandara
King Abdul Aziz terang-benderang.
“Apa sih yang dimaksud dengan miqat makani? Soalnya, waktu
manasik, saya tidak bisa hadir karena selalu sakit,” tanya Pak Farhan.
“Miqat makani itu ialah tempat yang dijadikan batas atau
tempat untuk memulai ihram haji atau umrah, Pak,” ujar Yasser (hlm. 52).
Ketika membaca
teks di atas (juga beberapa teks lain yang serupa), kutipan tersebut segera
mengingatkan saya pada beberapa buku cerita anak-anak yang lazim dikategorikan
sebagai fiksi sains atau buku pengetahuan yang dikemas dalam bentuk cerita
rekaan (prosa-fiksi). Sesuai dengan tabiatnya, untuk mengungkapkan suatu uraian
pengetahuan atau penjelasan yang berbau ilmiah, para pengarang fiksi sains memang
kerap kali menyajikan dialog atau narasi yang relatif panjang —bahkan,
kadangkala di luar tuntutan konteks cerita dan batas-batas kenyamanan seorang
pembaca. Selain itu, unsur spesifik lainnya sebagai karakteristik karya-karya
fiksi sains adalah gaya bahasa dan cara pengungkapannya yang cenderung
menggurui. Alhasil, sebagai konsekuensinya, nilai artistik teks dan pemanfaatan
unsur-unsur stilistiknya nyaris terabaikan. Unsur inilah tampaknya yang muncul
dalam kutipan dialog di atas. Kalimat-kalimat yang diucapkan Yasser dalam kutipan
teks tersebut bukan cuma terkesan menggurui, tapi juga bersifat definitif —perhatikan
kalimat terakhirnya, bukankah itu sebuah rumusan definisi tentang makna miqat
makani? Kalimat-kalimat bernada menggurui dan bersifat definitif semacam
itu juga banyak terdapat di halaman lain dalam novel ini.
Kemudian, sebagai
manifestasi bentuk dakwah pula, pada episode ke-21 penulis agaknya dengan
sengaja menciptakan konflik sisipan berupa pertengkaran kecil (perang mulut)
antara Bu Ainah dan Bu Gani yang mempersoalkan ihwal niat wukuf di Padang
Arafah. Kalau kita cermati, kehadiran konflik ini tampaknya sekadar dimaksudkan
sebagai katalisator (baca juga: ruang tekstual) untuk menukilkan satu ayat
al-Quran yang intinya: … barangsiapa yang menetapkan niatnya (dalam bulan
itu) untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh berbicara kotor (rafats), berbuat
fasik, dan berbantah-bantahan (di dalam masa mengerjakan haji)… (QS
al-Baqarah [2]: 197), berikut kutipan sebuah hadis Nabi saw. yang menjelaskan
tentang makna atau ciri-ciri haji mabrur, yaitu: suka memberi makanan atau
bantuan sosial dan selalu lemah-lembut dalam berbicara (hlm. 298—299). Lalu,
dilantarankan oleh semangat dakwahnya yang mungkin terlampau tendensius, pada
beberapa tempat lainnya tidak jarang sang penulis sengaja mengambil alih posisi
naratologis tokoh-tokohnya dengan menyajikan wacana pemikiran kritis maupun
tinjauan historis yang kadangkala mengorbankan keutuhan konteks cerita. Hal ini,
demikianlah kesan pembacaan saya, tentu merupakan konsekuensi logis ketika
sebuah novel telah diposisikan sebagai media dakwah —bandingkan dengan
karya-karya sastra bertendens di tahun-tahun 1960-an yang menjadikan politik
sebagai panglima.
Kemudian, kecuali
berupa rangkaian penjelasan, pengarang juga tak lupa menyajikan serentetan gagasan
dan pemikiran kritis yang sifatnya menggugat realitas kehidupan beragama maupun
tradisi masyarakat yang dipandang sudah melenceng dari koridor ajaran Islam.
Yasser dan Isti di satu pihak diposisikan sebagai tokoh-tokoh generasi muslim ideal,
sementara Eva dan Ferry di pihak lain digambarkan sebagai tokoh pebisnis muslim
yang andal, sedangkan Eliza agaknya mewakili tokoh perempuan muslim priyai yang
selalu setia pada tugas-tugas profesinya. Kelima tokoh muda yang banyak bermain
dalam novel ini ditampilkan sebagai sosok-sosok manusia cerdas, penuh
vitalitas, dan cenderung serba perfek —khasnya menurut ukuran dunia Islam—
sehingga menjadikan novel ini lebih mirip dengan dongeng modern. Dengan
posisinya masing-masing, maka setiap kritik yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh
muda ini tampak menjadi cukup logis. Sekali lagi, melalui mulut mereka, sang
pengarang dapat dengan leluasa mengungkapkan gagasan-gagasan dan pemikiran
kritisnya terkait dengan masalah illegal logging dan illegal mining
yang dampak nyatanya banyak menyengsarakan rakyat (hlm. 82—83), kebiasaan
jemaah haji Indonesia yang pada masa berhaji suka memborong barang yang
sebenarnya bukan kebutuhan mendesak atau bahkan ada dijual di tanah air (hlm.
73), masih seringnya terjadi peristiwa penculikan jemaah haji oleh oknum-oknum
Arab Badui (hlm. 405—408), juga menyoal pelaksanaan ibadah haji (khususnya pada
saat tawaf) yang bercampur-baur begitu saja antara laki-laki dan perempuan yang
bukan muhrimnya (hlm. 290—293).
Selain itu, terlepas
dari berbagai kelemahannya, setidaknya ada satu gagasan brilian yang
dikemukakan pengarang melalui tokoh Yasser dan Isti: “Statement Namirah”
—demikian sang penulis novel ini menyebutnya. Dalam konteks ini, ritual wukuf
di Padang Arafah seyogianya dimaknai sebagai momen paling tepat untuk menjalin ukhuwah
Islamiyah dan sekaligus menyatukan suara dan cita-cita luhur untuk
kebangkitan umat Islam sedunia (hlm. 273—277 dan 411—412). Untuk lebih
jelasnya, perhatikan kutipan sebagian pernyataan Yasser berikut ini.
“Hari ini, di Tanah Suci ini, jutaan umat Islam dari berbagai
bangsa saling mengukuhkan ukhuwah Islamiyah, tapi di belahan dunia lain,
Thailand, Filipina, China, Afganistan, Irak, Palestina, dan masih di banyak
tempat lagi, umat Islam dilecehkan, ditindas, dan dibunuh.
….
Seharusnya,
muktamar ini mampu menggaungkan pesan ke seluruh dunia bahwa umat Islam yang
bersatu akan membela dan melindungi sesama Muslim di mana pun dia berada.
Sebagaimana pasukan Islam di bawah komando Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam mampu menggetarkan Timur dan Barat,” papar Yasser menggebu-gebu
(hlm. 273—274).
Saya kira, di samping beberapa lontaran pemikiran kritis yang telah
disebutkan terdahulu, gagasan brilian ini sungguh layak untuk dipertimbangkan
oleh para penguasa dan pihak-pihak pemegang otoritas lainnya sebagai masukan
berharga dalam rangka perbaikan dan prospek kehidupan umat Islam sendiri di
masa-masa mendatang. Dan, tentu saja, hal ini harus dipikirkan dan
diperjuangkan bersama oleh seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia.
/ 4 /
Sepanjang proses pembacaan, separo
pertama (episode 1—14) novel ini benar-benar dapat saya nikmati sebagaimana
lazimnya membaca sebuah karya sastra yang berbobot literer. Kisah pergulatan
batin Yasser ketika menghadapi situasi kritis yang cenderung bertumpang-tindih
—mulai dari keprihatinannya terhadap nasib sang ibu yang harus segera dioperasi
dengan biaya tinggi, kedongkolannya lantaran kehadiran uang siluman lima miliar
di rekening pribadinya, rasa kesalnya terhadap penjambret yang telah membawa
kabur uang di tangannya, juga persiapannya yang sangat terganggu untuk segera
berangkat haji— jelas merupakan sebuah pembukaan yang sangat memukau dan
bernilai sastrawi. Dalam konteks sikap beragama, kejujuran Yasser memang
merupakan harga mahal di zaman sekarang. Bagi saya, justru bagian inilah yang
terasa paling tajam menohok rasa keagamaan kita sebagai pembaca. Namun, begitu
memasuki paro keduanya (episode 15—28), saya kok merasa telah disuguhi sang
penulis dengan menu yang sangat berbeda. Bagian ini (baca: paro kedua) seakan
telah berubah wujud menjadi semacam risalah agama (Islam) tentang tuntunan
praktis manasik haji yang dibungkus dalam bentuk cerita rekaan. Maka, jika
ingin diberi garis-batas ihwal bobot literernya, secara keseluruhan tampak bahwa
unsur pelajaran manasik haji justru lebih menonjol ketimbang aspek cerita yang
semestinya lebih dominan dalam sebuah karya sastra kreatif.
Dalam kaitan
ini, ada dua hal yang niscaya membuat novel Asmara di Atas Haram ini
dapat bergeser posisi dari sebuah karya sastra kreatif menjadi sekadar risalah
keagamaan (baca: kitab manasik haji). Pertama, teknik penulisan rangkaian
doa-doa yang dikutipkan seutuhnya untuk setiap bentuk ritual haji (hlm.
161—178) —beberapa di antaranya malah ada diulang-ulang atau bahkan diturunkan
dalam dwibahasa sekaligus (Arab-Indonesia dengan aksara Latin)— tampaknya
terlampau dipaksakan. Sebab, dengan kecenderungannya yang berpanjang-panjang
itu, secara implisit cara demikian boleh jadi dimaksudkan sebagai strategi
penulis untuk memperbanyak jumlah halaman novelnya atau sekadar teknik untuk mengulur-ulur
alur cerita. Atau, boleh jadi pula, hal ini lantaran niat awal sang penulis
memang menjadikan novel ini terutama sebagai pelajaran manasik haji sehingga
perkara struktur sastranya menjadi urusan kesekian. Akan tetapi, sebagai
konsekuensinya, hal demikian tentu saja dapat membuat para pembaca kehilangan selera
dan momentumnya untuk menikmati sensasi fiksionalitas pada adegan-adegan
selanjutnya. Selain itu, strategi tersebut jelas sangat berpengaruh pula terhadap
totalitas pemaknaan sebuah cerita, di samping akan mengurangi bobot literernya
sebagai karya sastra.
Kedua, hal serupa juga terjadi akibat banyaknya nukilan ayat al-Quran
dan hadis, baik dalam bentuk kutipan langsung maupun berupa parafrasenya,
melalui dialog tokoh maupun langsung dalam uraian sang narator. Kalau secara
kuantitatif ingin kita kalkulasikan, khusus untuk nukilan ayat-ayat al-Quran
saja, sepanjang halaman novel ini paling tidak terdapat 21 kutipan (ada juga
yang dilengkapi dengan transkripsi aksara Latin dari bahasa aslinya, Arab). Namun,
dari 21 kutipan ayat al-Quran tersebut, sangat disayangkan karena di dalamnya paling
tidak terdapat 10 kutipan di antaranya yang tidak disertai penyebutan sumber
rujukannya —jadi, hanya 11 kutipan yang dengan jelas disebutkan sumber
rujukannya.[6]
Hal ini menunjukkan sikap penulis yang tidak konsisten dalam teknik
penulisannya. Padahal, baik ia diposisikan sebagai karya sastra kreatif maupun
sebagai risalah keagamaan, penyebutan rujukan lengkap mengenai sumber sebuah kutipan
—apalagi jika kutipan itu dinisbahkan sebagai ayat-ayat al-Quran dan hadis
(baca: sabda Nabi saw.)— tentu saja sangat membantu para pembaca untuk
melakukan rujuk silang (cross-check) terhadap kebenaran kutipan atau
untuk melacak lebih jauh guna mencapai pemahaman yang lebih komprehensif.
Masalah
inkonsistensi dalam teknik penulisan sumber kutipan ini juga terjadi pada
nukilah-nukilan hadis yang cukup banyak tersebar di halaman-halaman novel ini.
Sejauh yang dapat saya telusuri, setidaknya ada 23 kutipan hadis atau yang
diasumsikan penulis sebagai sabda Nabi, baik dalam bentuk kutipan langsung
maupun berupa parafrasenya. Namun, sebagaimana juga pada pengutipan ayat
al-Quran tadi, dari 23 kutipan hadis tersebut ternyata hanya 3 kutipan di
antaranya (khususnya dari 5 hadis tentang keutamaan haji) yang sumber rujukan
atau asal periwayatannya disebutkan secara relatif jelas (hlm. 361—364).
Padahal, masalah ini merupakan persoalan yang rumit dan sangat rawan kesalahan
karena tidak jarang seorang penulis terjebak pada penukilan hadis-hadis lemah (dha’îf)
dan palsu (maudhu’). Oleh karena itu, dalam sebuah karya tulis, tentu
akan lebih bijak jika seorang penulis selalu mencantumkan sumber rujukan
kutipannya. Teknik penulisan sumber rujukan itu sendiri bisa disebutkan
langsung di belakang kutipan (biasanya dalam tanda kurung), bisa juga diturunkan
dalam bentuk catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote).
Sebab, di samping sebagai uraian penjelas, penyajian catatan itu juga dapat
berfungsi untuk meyakinkan pembaca ihwal kebenaran kutipan maupun derajat
kesahihan sebuah hadis —sebagaimana sering diperingatkan oleh para ulama yang
berpandangan kritis. Namun, apa pun bentuk karya tulis itu (karya ilmiah, karya
sastra kreatif, atau lainnya), fungsi utama penyebutan sumber kutipan adalah
sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang penulis terhadap pembaca atas hasil
kerjanya.
Andaikan bentuk
penyajian langsung dan catatan penjelas (berupa footnote maupun endnote)
semacam itu tidak memungkinkan untuk dilakukan (karena dikhawatirkan akan
mengganggu kelancaran alur cerita, misalnya), maka sebagai solusi alternatifnya
sang penulis masih dapat meyakinkan pembaca dan membuktikan tanggung jawab
ilmiahnya dengan teknik seperti yang telah dilakukan oleh Dr. ‘Aidh al-Qarni melalui
kata pengantarnya untuk buku La Tahzan (2007). Pada pengantar buku ini (butir
kesembilan), al-Qarni antara lain menulis, “… saya tidak memberi nomor surat
dan ayat serta tidak pernah menyebutkan perawi hadits. Meski demikian, bila
hadits yang saya sebutkan itu lemah, maka saya selalu mengingatkannya. Adapun
bila hadits itu shahih, maka saya hanya akan menyebutnya hadits shahih dan
kadangkala tak memberi catatan apa pun.”[7]
Dengan kata lain, jika sebuah hadis yang dinukilkan al-Qarni tidak disebutkan
sumber rujukan atau perawinya, berarti sang penulis telah berani menjamin bahwa
hadis-hadis yang dikutipnya hanyalah hadis-hadis yang telah diakui derajat
kesahihannya. Hal ini sangat penting dilakukan oleh seorang penulis agar ia terhindar
dari peringatan tajam yang pernah dinyatakan Rasulullah dalam sebuah hadis
sahih, “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya ia
mengambil tempatnya di neraka.” (HR Bukhari dan Muslim) —na’ûzubillâhi
min zâlik.
Terkait dengan
persoalan di atas, saya sendiri pernah punya pengalaman buruk ketika menulis
buku bertajuk Tragika Sang Pecinta: Gayutan Sufistik Sajak-sajak Ajamuddin
Tifani (Yogyakarta: Akar-Indonesia, 2010). Di halaman awal buku ini (hlm.
v), saya menukil sebuah “hadis” yang saya kutip dari sebuah buku yang rupanya
bukanlah sumber rujukan yang baik dan akurat (mohon maaf, sangat disayangkan
saya tidak bisa menyebutkan judul buku tersebut karena sampai sekarang saya sendiri
tidak berhasil melacaknya kembali). Kutipan yang secara khusus hanya saya
maksudkan sebagai motto buku itu selengkapnya berbunyi: Siapa yang
berfikih tetapi tidak bertasawuf, ia fasik; siapa yang tidak bertasawuf tetapi
tidak berfikih, ia zindik; dan siapa yang menyatukan keduanya, maka ia akan
memperoleh hakikat —di bawah
kutipan ini saya tulis keterangan: (al-Hadits, HR. Muslim). Namun,
setelah berselang beberapa bulan kemudian dan buku itu terlanjur sudah beredar,
baru saya dapatkan keterangan yang lebih valid melalui beberapa sumber lainnya bahwa
kutipan tersebut ternyata bukanlah sebuah hadis (baca: bukan sabda Nabi saw.),
melainkan hanya ucapan Imam Muslim.[8] Keyakinan
saya akan kesalahan tersebut semakin kuat karena —setelah berkali-kali menelaah
dan memikirkan ulang— secara historis praktis istilah “tasawuf” (tashawwuf)
memang belum dikenal pada masa Rasulullah. Oleh karenanya, bagi saya, peristiwa
kontra-ilmiah untuk sebuah karya ilmiah itu merupakan suatu kecelakaan besar
yang terus saya sesali hingga sekarang.[9]
Kendati tidak
persis sama, juga niscaya tidak sefatal kekeliruan yang pernah saya lakukan, kasus
serupa agaknya terjadi pula pada novel Asmara di Atas Haram karya
Zulkifli L. Muchdi ini. Meski saya sendiri tidak sempat melakukan kajian
komparatif secara menyeluruh terhadap semua kutipan yang dinyatakan atau
diasumsikan sang penulis novel ini sebagai hadis, secara kebetulan di salah
satu halaman novel ini terdapat sebuah kutipan yang menarik perhatian saya dan oleh
novelis sendiri dengan jelas dinyatakan sebagai hadis Nabi saw. Pernyataan “hadis”
tersebut terungkap lewat ucapan Istiqomah saat berdialog dengan Dokter Eliza:
“Aku menyitir
sebuah hadis Nabi. Intinya, barang siapa yang melakukan shalat di masjidku
sebanyak 40 kali tanpa kurang satu kali shalat pun, maka dia terbebas dari
siksa api neraka dan terhindar dari kemunafikan,” jawab Isti (hlm. 46)
—cetak italik dari saya, JTS.
Berdasarkan beberapa
sumber, diketahui bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya
(3/155) dan Thabrani dalam Mu'jam al-Ausath (5.576) dari jalan Abdurrahman
bin Abi Rajjal dari Nabith bin Umar dan Anas bin Malik secara marfu'. Beberapa
ulama hadis mengatakan bahwa hadis ini munkar,[10] termasuk
Syekh Muhammad Nashiruddin
al-Albani yang dikenal sangat kritis melalui dua kitabnya, Silsilah al-Ahâdits
adh-Dha'îfah wa al-Maudû’ah (364) dan Dha'îf at-Targhib (755). Sisi cacatnya adalah karena pada sanadnya terdapat perawi yang
bernama Nabith (Nubaith) bin Umar —dikatakan, “Dia adalah seorang yang majhul
(tidak dikenal identitasnya).” Abu Yusuf berkata, "Hadis ini adalah
asal-usul bid’ah shalat arba'in ketika menunaikan ibadah
haji." Kemudian, ihwal lemahnya derajat hadis tersebut semakin dipertegas oleh
kenyataan adanya hadis lain (dengan redaksi sedikit berbeda) yang juga
diriwayatkan dari Anas secara marfu' (disandarkan kepada Nabi saw.) dan mauquf
(disandarkan kepada seorang sahabat) dengan sanad yang sahih. Rasulullah saw.
bersabda, “Barangsiapa yang shalat empat puluh hari dengan berjamaah dan
mendapatkan takbiratul ihram, maka akan ditulis baginya dua pembebasan, (yaitu)
terbebas dari api neraka dan terbebas dari kemunafikan.” (HR Tirmidzi) —wallâhu
a'lam.[11]
Di
samping itu, dalam novel ini, kutipan “hadis arba’in” tersebut dinyatakan dalam
dialog antara dua orang perempuan. Bahkan, tokoh Istiqomah yang qariah dan
hafizah itu digambarkan sangat concern untuk melaksanakan shalat arba’in
dan begitu khawatir kalau sampai ketinggalan satu kali shalat saja di Masjid
Nabawi lantaran keyakinannya atas kebenaran (baca: kesahihan) hadis yang
dikutipkannya tersebut. Padahal, menurut Ustadz Anas Burhanuddin, “Bagi para jamaah haji
wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat
di Masjid Nabawi.” Hal ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi saw. (Ibnu Hajar
al-Asqalani menghukumi sebagai hadis hasan) berikut:
Dari Ummu Humaid —istri Abu Humaid as-Sa’idi—
bahwa ia telah datang kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
“Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi saw. bersabda,
“Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu
daripada shalat di kamar depan. Shalatmu di kamar depan lebih baik bagimu
daripada shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga
besarmu lebih baik bagimu daripada shalat di masjid kaummu, dan shalat di
masjid kaummu lebih baik daripada shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid
memerintahkan agar dibangunkan masjid (tempat shalat) di bagian rumahnya yang
paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allah (HR Ahmad).[12]
Memang
benar, sebagaimana dapat kita baca dalam mukadimah Kitâb al-Arba’în-nya,
Imam Nawawi pernah mengungkapkan bahwa para ulama telah sepakat mengenai
bolehnya mengamalkan (menggunakan) hadis dha’îf dalam hal
keutamaan-keutamaan amal (fadhâil al-a’mâl).[13] Namun,
sekaitan dengan persoalan ini, para ulama tampaknya masih berbeda pendapat.
Imam Bukhari dan Imam Muslim, misalnya, berpandangan bahwa hadis-hadis dha’îf
tidak dapat diamalkan secara mutlak dalam bidang apa pun —termasuk masalah fadhîlah
(keutamaan), targhîb (motivasi), dan tarhîb (ancaman), baik
berkenaan dengan akhlak maupun amalan-amalan tertentu lainnya. Sementara itu, kalangan
ulama yang membolehkannya juga mengingatkan bahwa kebolehan tersebut sifatnya
bersyarat; antara lain: (1) ke-dha’îf-an hadis tersebut tidak terlalu
berat atau tidak sampai pada derajat sangat dha’îf —misalnya karena
perawinya diketahui seorang yang pendusta atau tertuduh sebagai pendusta, (2) amalan
itu masih berada dalam kerangka amalan asalnya atau hanya merupakan amalan
cabang —jadi, tetap bersandar pada hadis-hadis yang sahih, (3) hadis tersebut
tidak boleh disebarluaskan karena dikhawatirkan orang-orang bodoh akan
mengerjakan amalan-amalan yang sebenarnya tidak disyariatkan atau mereka malah menduganya
sebagai sunnah yang sahih, dan (4) orang yang mengerjakan amalan itu
harus meyakini bahwa dalil yang digunakannya adalah hadis dha’îf —jadi, tidak
diyakini penisbahannya kepada Rasulullah, tapi justru sebagai cerminan sikap
hati-hati. Akan tetapi, di luar konteks masalah fadhâil al-a’mâl dan
yang sejenisnya itu, tidak ada ulama yang menyelisihi pendapat bahwa
hadis-hadis dha’îf mutlak tidak boleh dijadikan sebagai hujjah dalam
perkara akidah (misalnya tentang sifat-sifat Allah) maupun syariat (misalnya tentang
hukum halal dan haram).[14]
Atas dasar pemikiran di atas, maka dalam kaitannya dengan kutipan suatu
pernyataan yang oleh seorang penulis diasumsikan, dinisbahkan, atau ditegaskan sebagai
sabda Nabi saw. (al-hadîts) tentulah dituntut sikap kehati-hatian
yang lebih tinggi dengan sumber rujukan yang lebih akurat. Hal ini lebih-lebih
lagi jika pernyataan itu disajikan dalam bentuk karya tulis, fiksi maupun
nonfiksi. Sebab, sudah umum diketahui bahwa sebuah tulisan merupakan hasil
pemikiran (juga perasaan) seseorang yang bentuk penyajiannya dipandang lebih
selektif dan sistematis ketimbang ucapan lisan yang umumnya memang bersifat
spontan. Kemudian, lebih dari segalanya, jika nukilan pernyataan itu secara
tegas disebutkan sebagai firman Allah (ayat-ayat suci al-Quran) atau sabda
Rasulullah (hadis) sudah pasti akurasi data rujukan harus lebih diutamakan. Dengan
demikian, dalam hal melakukan atau anjuran untuk melakukan suatu amalan (ibadah)
tentu akan lebih aman jika kita selalu bersandar pada hadis-hadis yang sahih saja
sebagai dasar hukumnya. Sebab, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis sahih,
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan
(ibadah) yang tidak ada keterangannya dari kami, maka (amalannya) akan
tertolak.” (HR Ahmad dan Muslim) —na’ûzubillâhi min zâlik.
/ 5 /
Dipandang dari sisi lain, secara
umum isi novel bertajuk Asmara di Atas Haram yang terlahir dari tangan
Zulkifli L. Muchdi ini sebenarnya merepresentasikan ideologi sang penulis
sendiri sebagai seorang muslim sejati yang dalam kondisi dan perkara apa pun
selalu berpegang teguh pada ajaran Islam. Ideologi penulis itu terpancar pada
sikap laku para tokohnya, terutama —sekali lagi— tokoh-tokoh utamanya. Ketika
Yasser dihadapkan pada persoalan dan situasi yang sangat dilematis terkait
dengan aliran dana tak bertuan senilai lima miliar rupiah yang sangat
menggiurkan itu ke rekening pribadinya, misalnya, pilihan Yasser bertahan dalam
kejujuran mutlak (hlm. 9—15) adalah juga pilihan sang novelis sendiri yang
notabene berarti ideologi penulis. Selain itu, cerminan ideologi penulis lebih
kentara lagi dalam adegan penutup ketika Dokter Eliza sudah merasa mantap
hatinya untuk meninggalkan Steven (kekasihnya yang nonmuslim) dan akhirnya menjatuhkan
pilihannya kepada Ferry (kenalan barunya yang sama-sama muslim) sebagai calon
pendamping hidupnya (hlm. 457—458). Pilihan Eliza ini didasarkan atas
kesadarannya terhadap keutamaan dan kebenaran syariat Islam, sebagaimana telah
ditegaskan Allah dalam firman-Nya, “… Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik
hatimu….” (QS al-Baqarah [2]: 221).
Selanjutnya,
pandangan dunia Islam yang merupakan titik pusat ideologi penulis itu juga terpancar
pada seluruh adegan penutup novel ini dengan memilih model happy ending yang
khas Islam sebagai kesudahan ceritanya. Pada bagian penutup ini, setelah
melalui berbagai cobaan, semua tokoh utama (Yasser, Isti, Eliza, dan Ferry)
dengan sengaja digambarkan oleh sang penulis sebagai orang-orang yang
beruntung, meraih kebahagiaan sejati, menjadi “pemenang pertandingan” dalam
suatu dinamika kehidupan fiksional. Dengan cara ini, sang penulis seakan ingin
menegaskan dan sekaligus menjustifikasi kebenaran aksiologis ajaran Islam
seperti yang telah dijanjikan Allah dalam firman-Nya, “Dan barangsiapa yang taat
kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka
mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS an-Nur
[24]: 52) —sebagaimana juga telah saya kutipkan sebagai pembuka tulisan ini.
Akan tetapi,
jika kita cermati dari segi logika ceritanya, setidaknya ada dua bagian lagi yang
cukup mengganggu eksistensinya sebagai sebuah novel dakwah. Pertama,
tokoh Yasser yang sejak awal hingga akhir cerita selalu digambarkan sebagai sosok
pemuda muslim ideal, senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan syariat
Islam, memiliki solidaritas tinggi dan penuh tanggung jawab, sehingga segala tutur
kata dan perilakunya layak dikatakan sebagai cerminan kepribadian Rasulullah,
pada episode ke-16 (dalam subjudul “Gadis Ukraina di Bukit Safa”) tiba-tiba
saja segala derajat kemuliaannya itu seakan telah diturunkan secara drastis menjadi
orang yang tidak bertanggung jawab dan kurang mengindahkan etika pergaulan
Islam. Bagaimana tidak, sebagai pimpinan rombongan yang membawahi puluhan
anggota dan mestinya selalu berada di tengah-tengah mereka, pada suatu sore ia
malah mojok berduaan dengan seorang gadis cantik asal Ukraina bernama
lengkap Evaterina Dmitreva Ibrahimov yang pernah terpilih sebagai finalis Miss
Universe itu dan sudah pasti bukan muhrimnya (hlm. 184—194). Maka, kalau
sudah asyik-masyuk begini, di mana tanggung jawabnya sebagai pimpinan rombongan?
Juga, apakah Yasser yang hafiz al-Quran dan juara MTQ Nasional ini sudah lupa
bagaimana seharusnya etika pergaulan seorang muslim? Bukankah sering dikatakan
bahwa jika dua orang berlainan jenis berdua-duaan (apalagi bukan muhrim), maka
orang ketiganya adalah iblis? Namun, barangkali, di sinilah letak sisi
manusiawi seorang Yasser yang tidak sempurna, tidak bisa luput dari kesalahan
dan kekhilafan.
Kedua, sebagai novel dakwah yang seyogianya selalu menunjukkan kebenaran
syariat Islam, pada episode ke-10 penulis justru dengan lancar menceritakan
tentang “keberhasilan kawin campur” (baca: antar-agama) antara Hj. Halimatus
Sa’diah yang muslimah (Islam) dengan Bill Harrison yang nonmuslim (Kristen). Bu
Halimatus yang dengan bangga mengaku “Gini-gini kan saya anak seorang
ulama” (hlm. 97), bahkan juga digambarkan memahami benar pesan-pesan al-Quran,
ternyata atas nama cinta justru memilih kawin campur yang sudah pasti sangat
bertentangan dengan doktrin Islam —baca kembali ayat al-Quran yang telah
dikutipkan di atas (QS al-Baqarah [2]: 221). Lebih dari itu, pada halaman
selanjutnya, Bu Halimatus dikatakan sangat mendukung “niat baik” Steven (pemuda
Amerika, seorang Nasrani pula) untuk menikahi Eliza (seorang muslimah, putri Bu
Halimatus sendiri) dengan berkata, “Saya hanya bisa berpesan, jangan menyerah!”
(hlm. 99). Bagi saya, bagian ini agak membingungkan, bahkan terasa sangat
absurd jika menilik kembali posisi novel ini sebagai karya sastra Islam atawa
novel dakwah Islam. Di sini telah terjadi paradoks antara sikap “membolehkan” di
satu sisi (pada kasus Halimatus-Bill) dan “melarang” kawin antar-agama di sisi
lain (pada kasus Eliza-Steven). Maka, menurut hemat saya, kehadiran bagian ini
tentu akan mengurangi kekuatan posisinya sebagai sebuah novel dakwah yang misi
suci dan landasan konseptualnya selalu bermuara pada doktrin amar ma’ruf dan
nahi munkar (QS Ali Imran [3]: 10). Maka, pada bagian ini, sekali lagi
sang penulis memperlihatkan sikapnya yang tidak konsisten (kali ini dalam kasus
penggarapan isi novelnya). Bahkan, dilihat dari posisi penulisnya sebagai
seorang “juru dakwah”, bagian ini secara tidak langsung sang penulis telah mematahkan
sendiri ideologi yang menjadi pegangannya. Bagian ini pula yang membuat novel
ini sangat berbeda dengan pesan-pesan profetik yang terkandung dalam Ayat-ayat Cinta-nya Habiburrahman el-Shirazy.
Sekarang, mari
kita lihat novel ini dari aspek diksi dan gaya bahasanya. Jujur, andai saja
saya tidak sempat membaca biografi penulis yang tertera di halaman akhir novel
ini, pastilah saya akan menduga bahwa novel bertajuk Asmara di Atas Haram
ini ditulis oleh seorang remaja atau setidaknya pengarang yang masih berusia
relatif muda. Lebih jauh, saya bahkan membayangkan sang penulis tak jauh beda
usia dengan Hilman Hariwijaya saat-saat ia menulis serial Lupus atau
Gola Gong dengan serial Balada si Roy-nya di tahun-tahun 1980-an. Sebab,
secara umum (nyaris full-dialogue) novel ini memang menggunakan gaya
bahasa gaul khas anak-anak muda metropolitan. Namun, setelah saya cermati, serasa
agak menggelikan ketika tokoh-tokoh yang sudah berumur (seperti Pak Amir, Bu
Ainah, Pak Agun, Bu Agun, dan lain-lain) juga memakai bahasa gaul ala ABG Jakarta
dalam percakapan mereka. Perhatikan, misalnya, beberapa kutipan kalimat
berikut:
“Bagi dong krimnya,” kata Pak Amir (hlm. 320).
“Alhamdulillah, segar banget,” serunya (hlm. 335).
“Ceritanya, dong,” lanjut Bu Agun… (hlm. 354).
“Seru banget deh, Bu….” ucap Pak Agun (hlm. 354).
“Alhamdulillah. Rupanya, Mas Haji masih punya. Ayo, Ibu-ibu cicipin,”
ucap Pak Agun (hlm. 368).
“Ya,
Pah. Memang, para suami aja yang pengen mereguk pengalaman seru?
Kita-kita juga nggak mau ketinggalan,” komentar Bu Bambang yang ayu khas
Jawa dan tampak keibuan ini (hlm. 369).
Kalau saja
kalimat-kalimat di atas muncul dalam dialog antar-anak muda (semisal Yasser,
Isti, Eliza, Ferry, atau Sofia), secara sosiolinguistis hal ini tentu dapat
kita maklumi karena memang terbilang wajar-wajar saja. Akan tetapi, apa iya
orang-orang tua seperti mereka —bahkan di antaranya mungkin ada yang sudah
menjadi kakek-nenek— memang sudah lazim memakai bahasa gaul ala ABG Jakarta
sebagaimana yang sering kita dengar dalam sinetron itu? Di sini, penulis
agaknya juga lupa bahwa latar sosiokultural yang diceritakan dalam konteks
percakapan orang-orang tua tadi adalah budaya masyarakat Banjar. Mungkin
lantaran sudah lama berdomisili di luar daerah (Kalsel), penulis novel yang
sudah puluhan tahun bermukim di kota Tangerang (Banten) ini membayangkan bahwa
kawan-kawan tua Yasser itu sudah lumrah mengobrol dalam bahasa Indonesia dialek
Betawi atau dengan gaya bahasa gaul layaknya anak-anak muda Jakarta. Padahal,
kalau saja konteks bahasa dan budaya lokal ini cukup disadari, tentulah sang
penulis tidak bakal menyelipkan “kata-kata asing” (minimal menurut ukuran orang
tua dengan latar budaya Banjar) seperti lo, deh, sih, dong, atau banget
yang khas pergaulan remaja (ABG) kota metropolitan itu. Saya pribadi, mohon
maaf saja, hingga sekarang belum pernah mendengar orang-orang tua yang berlatar
budaya (bahasa) Banjar mengucapkan kata-kata semacam itu dalam pergaulan sehari-hari
di kalangan mereka (sesama orang tua) —kecuali jika ucapan mereka dimaksudkan
sebagai canda gurau untuk menggoda anak-anak kecil.
Selain itu, masih
dari aspek bahasanya, dalam hal penulisan ejaan (khususnya penulisan huruf
kapital yang tidak pada tempatnya) dan tanda baca (khususnya pemakaian tanda
koma yang juga sering tidak pada tempatnya), agaknya perlu disayangkan pula
karena masih banyak terdapat kekeliruan. Akan tetapi, masalah kesalahan teknis
penulisan ejaan dan tanda baca ini tentu saja tidak murni karena kelalaian sang
penulis, tapi bisa juga lantaran kurang maksimalnya cara kerja tim editor
bahasa dari pihak penerbit. Jadi, simpanlah urusan ini sebagai PR untuk rencana
penerbitan edisi selanjutnya. Lagi pula, untuk sebuah karya fiksi, persoalan
teknis kebahasaan semacam ini memang tidak akan terlalu berpengaruh terhadap
proses penikmatan bagi seorang pembaca awam (baca: bukan seorang ahli bahasa).
/ 6 /
Begitulah, tak ada gading yang tak
retak. Namun, bagaimanapun wujudnya dan apa pun jadinya, mari kita katakan
dengan bangga, “Inilah karya saya!” Maka, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, sudah sepatutnya kehadiran novel bertajuk Asmara di Atas
Haram karya Zulkifli L. Muchdi ini kita berikan apresiasi yang sewajarnya,
tanpa harus kehilangan sikap kritis sebagai pembaca. Karena, di samping akan
menambah lengkapnya khazanah novel Indonesia mutakhir, niscaya kehadirannya juga
akan turut mewarnai perkembangan sastra di tanah air.
Begitulah, sebagai
novel Islam yang mengangkat perjalanan ibadah haji sebagai latar cerita dan gagasan
sentralnya, tidak salah kiranya kalau saya rekomendasikan novel ini sebagai
referensi pendamping buku-buku pelajaran praktis manasik haji, terutama bagi
para jemaah calon haji atau sesiapa saja yang di dalam hatinya terbetik niat luhur
untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Ingat, sebagaimana dituturkan
sang penulis dalam novelnya ini, “Hati-hati dengan mimpimu. Suatu saat
akan jadi kenyataan.” (hlm. 25). Labbaik allâhumma labbaik…. Lalu, ihwal
romantika cinta yang didedahkannya, yang merupakan tema abadi karya sastra
sepanjang masa, penulis dengan tepat menyimpulkannya melalui kata-kata Yasser
yang bernada filosofis, “Sepanjang dunia masih berputar, mencintai dan dicintai
pasti akan terus menjadi bagian dari romantisme kehidupan anak cucu Adam Alaihissalam,
karena dia adalah bagian dari karunia Ilahi.” (hlm. 460).
Begitulah,
seperti kata orang-orang bijak, obat sejatinya memang selalu terasa pahit lagi
menjengkelkan. Tapi, di balik rasa pahitnya, di situ tersembunyi kekuatan dahsyat
untuk menyembuhkan. Maka, jika dalam tulisan ini saya terkesan agak cerewet
dengan banyak melontarkan kritik, bahkan mungkin ada yang terasa pedas layaknya
cabe rawet, semua itu saya lakukan semata-mata sebagai upaya untuk saling
berbagi pengetahuan dan bermuzakarah guna lebih menggairahkan kehidupan
bersastra di tanah air. Sebab, saya yakin, perjalanan menuju sastra Indonesia yang
lebih maju dan bermartabat tidak akan dapat kita capai kalau hanya dilakukan
dengan saling memuji dan mengacungkan jempol terhadap setiap karya yang terbit.
Sebagai pembaca yang cerdas, kita harus berani berkata jujur dan bersikap
objektif. Sebagai penulis yang bijak, kita harus sedia menelan pil-pil pahit
yang disodorkan oleh setiap pembaca. Persis seperti ucapan Yasser pula saat ia
berdiskusi dengan Eva, “… Memang, untuk maju, seseorang atau suatu bangsa harus
welcome terhadap kritik agar tahu apa yang menjadi kekurangannya. Kalo
nggak, kita akan jalan di tempat. Nggak maju-maju. Kritik diperlukan
demi kemaslahatan umat.” (hlm. 192—193).
Pelaihari, 1
Oktober 2012
CATATAN KAKI :
[1] Sepengetahuan
saya, terhitung sejak Mei 2012 melewat, novel ini telah diluncurkan di beberapa
tempat di sejumlah kota di tanah air (antara lain di Jakarta, Semarang,
Surabaya, Malang, Padang, Pekanbaru, dan Banjarmasin) yang konon selalu mendapat
sambutan antusias dari para peserta forum bedah buku tersebut.
[2] Penyebutan
demikian —juga istilah lain yang serupa dengannya— dapat kita lihat dalam beberapa
ulasan dan komentar singkatnya selepas acara peluncuran, antara lain di http://www.erlangga.co.id;
http://www.annida-online.com; https://www.wakuwakuw.com; http://www.malang-post.com; http://www.suaramerdeka.com; http://diannafi.blogspot.com;
dan http://zulkifliadh.blogspot.com.
[3] Sebagaimana dikutip
Kassim Ahmad dalam esainya, “Menuju Sebuah Teori Sastera Islam: Jawaban kepada
Shahnon Ahmad” dalam Zahrah Ibrahim (Ed.), Polemik Sastra Islam (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1987), hlm.
25—26.
[4] Pembahasan
lebih rinci mengenai gejala sastra Indonesia kontemporer bercorak Islam ini
dapat dibaca dalam tulisan saya, “Sastra Indonesia Mutakhir: Jejak Historis dan Kecenderungan Estetiknya” (Makalah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia di Aula Rektorat Unlam
Banjarmasin, 29 Oktober 2011; kemudian dimuat dalam portal rePublik Sastra
edisi 17 Januari 2012).
[5] Lihat Rosida
Erowati Irsyad, “Fiksi: Berandai-andai dalam Imajinasi Total Pengarang”, dalam http://www.erlangga.co.id/agama/7312-fiksi-berandai-andai-dalam-imajinasi-total-pengarang.html.
[6] Sekadar
catatan, salah satu ayat al-Quran yang sebelumnya dikutip tanpa menyebutkan
sumbernya secara lengkap (hlm. 90 dan 284), ternyata rujukan selengkapnya disebutkan
pada episode penutup (hlm. 457), yaitu QS al-Baqarah [2]: 221.
[7] Lihat ‘Aidh
al-Qarni, La Tahzan: Jangan Bersedih!, terj. Samson Rahman (Jakarta:
Qisthi Press, 2004), hlm. xii —sekadar catatan, khusus untuk kutipan ayat
al-Quran, dalam versi terjemahan Indonesianya sang penerjemah (Samson Rahman)
telah menyebutkan sumber kutipan (surat dan nomor ayat) dengan maksud untuk
mempermudah pembaca Indonesia dalam merujuk ayat-ayat yang dikutip. Oleh
penulis yang sama (‘Aidh al-Qarni), bentuk pertanggungjawaban ilmiah semacam
ini juga telah dilakukannya untuk bukunya yang lain, Bulûghul Marâm:
Hadis-hadis Pilihan tentang Hukum, terj. M. Zacky Mubarak dan Iffah
Syarifah (Jakarta: Qisthi Press, 2006), hlm. 2—3.
[8] Lihat misalnya
Syaikh Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, terj. Khairul Amru Harahap dan
Afrizal Lubis (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hlm. 333; Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997), hlm. 163; dan Ust.
Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah dengan Tahapan 7 M (Surabaya: Terbit
Terang, 2001), hlm. 32.
[9] Oleh karena
buku Tragika Sang Pecinta tersebut terlanjur sudah beredar dan belum
dicetak ulang, maka penjelasan ini sekaligus dimaksudkan sebagai ralat dan koreksi
atas kekeliruan saya dalam penyebutan “al-hadits” yang ternyata bukan
hadis tersebut —semoga Allah al-Ghafûr mengampuni dosa-dosa saya dan
para pembaca menjadi maklum adanya.
[10]
Dalam ilmu
hadis (‘ulûm al-hadîts), hadis munkar (tidak diakui) termasuk
dalam kategori hadis dha’îf (lemah). Sebuah hadis dihukumi munkar
apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang perawi secara tersendiri atau
dari perawi yang dha’if dan menyalahi periwayatan yang tsiqah
(terpercaya). Atau, dengan rumusan lain dikatakan, “Hadis yang pada sanadnya
terdapat seorang perawi yang parah kesalahannya atau banyak kelupaannya atau
tampak kefasikannya.” Lihat misalnya Al-Imam al-‘Allamah al-Hafizh Ibnu
Nashiruddin ad-Diamsyqi, Mutiara Ilmu Atsar: Kitab Klasifikasi Hadis
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), hlm. 245; lihat juga Abdul Majid Khon,
Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 188.
[11] Lihat misalnya Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Hadits
Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia (Srowo-Gresik: Pustaka
Al-Furqon, 2012), hlm. 193—194 dan Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Koreksi Hadits-hadits Dha’if Populer
(Bogor: Media Tarbiyah, 2011), hlm. 110. Masalah ini juga hangat didiskusikan
di media internet, tetapi hampir semuanya merujuk pada kitab karya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang
telah saya sebutkan di atas —edisi Indonesia: Silsilah Hadits Dha’if dan
Maudhu’, terj. A.M. Basalamah (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
[12] Baca uraian Ustadz
Anas Burhanuddin, “Menyorot Shalat Arba’in di Masjid Nabawi,” dalam muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyorot-shalat-arba’in-di-masjid-nabawi.html.
(diunduh pada 28 September 2012).
[13] Imam Muhyidin
an-Nawawi (et.al.), Penjelasan Lengkap Hadits Arba’in Imam an-Nawawi,
terj. Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Pustaka Arafah, 2006), hlm. 35.
[14] Bandingkan
dengan Abu Ammar dan Abu Fatiah al-Adnani, Mizanul Muslim: Barometer Menuju
Muslim Kaffah (Solo: Cordova Mediatama, 2009), hlm. 61—62; untuk penjelasan
lebih rinci, lihat kembali ad-Diamsyqi, op. cit., hlm. 65—79.