Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Senin, 26 Agustus 2013

Telaah Novel Zulkifli L. Muchdi



Asmara di Atas Haram:
Ketika Sastra Menjadi Media Dakwah

Oleh : Jamal T. Suryanata

Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya
dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya,
maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.
(QS an-Nur [24]: 52)

/ 1 /
Menjelang dinihari, dalam kondisi ibunya yang sedang terbaring kritis di ruang instalasi gawat darurat RSUD Ulin Banjarmasin, Yasser Al-Banjary begitu panik setelah mengetahui bahwa sang ibu harus segera dioperasi dengan total biaya lebih dari enam puluh juta rupiah dan harus segera dibayarnya tunai. Ia coba minta toleransi kepada petugas rumah sakit dengan menawarkan dua juta rupiah sebagai uang muka, sedangkan sisanya akan dibayarnya setelah sang ibu dioperasi. Padahal, saat itu ia sendiri tidak tahu harus mencari kemana untuk mendapatkan uang sebesar itu dalam waktu singkat.
Kepanikan Yasser kian memuncak setelah ia mengecek saldo rekening banknya melalui ATM terdekat yang tiba-tiba saja telah berubah dengan kenaikan angka yang sangat fantastis: Rp 5.002.165.000 —berarti saldo di rekeningnya kini telah bertambah lima miliar, tanpa ia ketahui sumbernya. Tapi, pemuda yang baru saja meraih predikat sebagai juara MTQ Tingkat Nasional itu bukannya senang. Ia justru sangat kesal menerima kenyataan tersebut. Dalam hati ia telah bertekad untuk tidak mengambil sepeser pun uang yang tidak jelas asal-usulnya itu, meski sang ibu harus meninggal karena kejujurannya. Ia pun berjanji akan segera meminta klarifikasi dari pihak bank. Namun, sebelum rasa kesalnya hilang, saat ia melangkah kembali menuju rumah sakit tiba-tiba saja uang dua juta rupiah di tangannya yang baru ditariknya dari ATM itu telah dirampas dan dibawa kabur oleh dua penjambret yang segera menghilang dengan motornya.
Keesokan paginya, koran-koran lokal menurunkan berita tentang peristiwa menghebohkan malam itu, bahkan menjadi headline dengan judul-judul sensasional semisal “Lelaki Berjilbab Tolak Mati Dana Haram Tak Bertuan”. Hari ini juga pimpinan bank telah memberikan klasirifikasi bahwa tidak ada kesalahan prosedur dari pihak mereka. Jadi, memang ada oknum tertentu yang telah dengan sengaja mentransfer uang sebanyak itu ke rekening milik Yasser. Namun, selalu ada hikmah di balik suatu peristiwa. Berita menghebohkan tersebut ternyata membawa dampak positif baginya. Banyak pihak yang bersimpati kepadanya. Alhasil, seluruh biaya operasi ibunya ditanggung oleh Pak Gubernur, Pemimpin Umum SKH Banjarmasin Post, dan Dirut Bank bersangkutan. Sementara, Dirut RSUD Ulin Banjarmasin membebaskan seluruh biaya perawatan sang ibu. Akan tetapi, meski Yasser tak perlu memilikirkan lagi soal biaya rumah sakit dan tindakan operasi pun telah berjalan lancar, nyawa sang ibu tetap tidak tertolong.
Kendati berbagai peristiwa yang baru dialaminya masih serasa membekas di relung hatinya, Yasser tetap membulatkan niat untuk melaksanakan ibadah haji. Keesokan harinya, sesuai dengan jadwal pemberangkatan yang telah ditentukan, ia diterbangkan bersama ratusan jemaah calon haji lainnya menuju Jeddah. Keberangkatan haji itu sendiri merupakan hadiah dari Pak Gubernur atas prestasinya sebagai juara MTQ Tingkat Nasional dari Kalimantan Selatan.
Selama perjalanan dan prosesi pelaksanaan ibadah haji banyak pengetahuan dan pengalaman baru yang didapatnya, baik yang menyenangkan maupun yang mengharukan. Lebih-lebih ketika ia terlibat dalam romantika cintanya yang begitu dramatis, dilematis, juga sangat kompleks. Kisah cinta ini bahkan melibatkan enam pemain asmara sekaligus. Kecuali Yasser sendiri, ada Istiqomah (seorang qariah muda yang juga juara MTQ Tingkat Nasional dari Provinsi Banten), Evaterina Dmitreva Ibrahimov (gadis cantik “Si Mata Biru” asal Ukraina yang seorang desainer dan juga mantan finalis Miss Universe), Sofia (putri seorang pengusaha batu bara dari Banjarmasin yang sekarang memegang kendali perusahaan ayahnya), Elizabith Fatimah Harrison (seorang dokter utusan Pemerintah Provinsi Banten untuk menangani kesehatan jemaah haji), Steven Petrovski (kekasih Elizabith, pemuda Amerika, dan nonmuslim), dan Ferry Basthami (seorang pengusaha muda yang sukses, juga putra Menteri Agama Republik Indonesia).
Saat berada di Jabal Rahmah yang diyakini umat muslim sebagai tempat persemaian cinta sebagaimana berseminya kembali cinta Adam dan Hawa, dengan hati yang bulat Yasser mengungkapkan perasaan cintanya kepada Isti yang selama ini terus dipendamnya sejak pertemuan mereka di arena MTQ Tingkat Nasional berbulan yang lalu. Namun, tak lama berselang, Ferry justru datang untuk menyatakan lamarannya kepada gadis yang sama. Akan tetapi, dalam suasana yang sangat dilematis itu, Isti tak segera memberikan jawaban. Di pihak lain, setelah berselang waktu beberapa hari kemudian, kali ini giliran Yasser yang menghadapi dilema cinta antara harus memilih dan menolak. Eva yang suka blak-blakan dan Sofia yang cenderung agresif, keduanya sama-sama menyatakan cintanya kepada Yasser. Dan, sebagaimana sikap Isti,  kini Yasser pun tak bisa memberikan jawaban pasti. Sebab, bagi Yasser, sampai detik ini hanya Istiqomah satu-satunya perempuan yang mendapat tempat istimewa di hatinya.
Bagai gayung bersambut, ketika mereka sedang berada di Bukit Quzah, Yasser seakan baru mendapatkan angin segar karena sang qariah cantik itu telah memberi isyarat penerimaan cintanya. Sejak itu, Yasser sangat yakin bahwa cintanya memang tidak bertepuk sebelah tangan. Ia juga sangat yakin bahwa Allah ar-Rahman akan senantiasa memperkenankan doa siapa saja yang memohon dengan ikhlas kepada-Nya. Kemudian, hal yang membuat keyakinan cintanya semakin mantap, karena seluruh anggota Tim Ekspedisi Namirah selalu menyokong dan memberikan dorongan moral bagi persemaian cinta mereka. Di pihak lain, setelah melalui banyak pertimbangan, keyakinan Isti pun semakin mantap bahwa lelaki yang paling pantas untuk dicintai dan mendapatkan cintanya adalah Yasser. Di samping karena kepribadian Yasser yang bagai cerminan kepribadian Rasulullah, mantapnya keyakinan Isti terhadap pilihan cintanya terutama setelah terjadinya peristiwa penculikan dirinya oleh seorang lelaki Badui sesaat mereka akan kembali dari Masjid Masy’aril Haram di Bukit Quzah. Selain itu, mereka berdua benar-benar pasangan yang sepadan sebagai qari dan qariah, bahkan sempat secara khusus dijamu oleh Raja Arab Saudi di istananya di Jabal Qubais.
Ketika prosesi pelaksanaan ibadah haji tinggal beberapa hari lagi, saat mereka telah berada kembali di Mekkah al-Mukarramah, inilah saat-saat terindah bagi keempat pemain asmara: Yasser, Isti, Ferry, dan Eliza. Kini, di Tanah Haram ini, tanpa rasa sungkan lagi Isti pun akhirnya mengungkapkan perasaannya bahwa ia bukan saja telah menerima cinta Yasser, melainkan juga telah siap untuk menjadi pendamping hidup “Lelaki Berjilbab” itu. Cerita yang sama juga terjadi pada Ferry dan Eliza. Setelah Isti menentukan pilihannya, Eliza pun akhirnya telah bulat hati untuk memilih meninggalkan Steven —sang kekasih yang berbeda keyakinan dengannya— dan dengan terus-terang menyatakan bahwa ia menerima lamaran Ferry serta siap untuk menjadi istri lelaki duda yang juga putra Pak Menteri Agama itu. Dan, seperti kata pepatah tua, dalam akhir suatu pertandingan pasti ada yang kalah dan menang. Begitulah, baik Eva, Sofia, maupun Steven, ketiganya harus rela menerima kenyataan bahwa mereka tak bisa lagi ikut bergabung dalam permainan asmara itu.


/ 2 /
Demikianlah kisah singkat novel bertajuk Asmara di Atas Haram (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012) yang ditulis oleh Zulkifli L. Muchdi, seorang penulis kelahiran Banjarmasin (5 Juli 1959) yang kini bermukim di Tangerang (Banten).[1] Secara umum, baik dilihat dari bentuk maupun isinya, novel ini tentulah termasuk dalam deretan karya-karya konvensional dan biasa-biasa saja karena memang tidak menampakkan adanya inovasi dan pendobrakan estetik di dalamnya. Kalaupun ada sesuatu yang baru atau berbeda dari novel Indonesia mutakhir lainnya, maka perbedaan itu hanya terlihat pada aspek latar (setting) ceritanya: perjalanan ibadah haji. Akan tetapi, kendati dengan alur dan pusat kisahan yang berbeda, latar serupa ini pun pada kenyataannya telah digarap oleh Hamka (nama populer Haji Abdul Malik Karim Amrullah) berpuluh tahun silam melalui novelnya yang sangat masyhur, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938). Jadi, sebagai pembaca, kita memang tidak perlu berharap banyak untuk menemukan kebaruan estetis dalam novel ini.
Namun begitu, di luar persoalan tersebut, terang terus saya akui bahwa saat pertama kali membacanya —terutama pada halaman-halaman awal dan beberapa bagian selanjutnya— sungguh saya tak kuasa menahan rasa haru hingga kaca-kaca bening serasa dingin membasahi kedua lensa mata saya. Padahal, sebagaimana dapat saya simpulkan kemudian, secara keseluruhan novel ini sebenarnya bukanlah sebuah karya patetis yang banyak mengeksplorasi kisah-kisah dukalara dari episode-episode paling dramatis dalam kehidupan tokoh-tokohnya. Dalam konteks ini, saya kira, justru kemampuannya menyelusup lembut ke ceruk-ceruk terdalam wilayah religious feeling para pembacalah yang menyebabkan saya harus mengusap mata berkali-kali.
Kemudian, jujur pula saya akui bahwa novel perdana Zulkifli ini benar-benar sarat dengan pesan-pesan moral-religius dan renungan-renungan filosofis, kaya dengan sisipan pengetahuan dan kritik sosial yang mampu memberikan pencerahan, bahkan dapat menjadi terapi psikologis bagi jiwa-jiwa yang lelah. Di dalamnya ada batasan-batasan dogmatis seputar hukum Islam, lintasan sejarah Islam sejak masa Rasulullah dan para sahabat, teladan kesalehan dan akhlak mulia, wacana pemikiran kritis menyangkut persoalan aktual dan masa depan umat, juga tak ketinggalan tinjauan tentang kondisi ekonomi dan eksploitasi alam beserta segala dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Terlepas dari soal kontribusinya dalam membangun struktur dan bobot literer kesastraannya sebagai sebuah novel, semua itu setidaknya menunjukkan betapa sang penulis novel ini memiliki wawasan pengetahuan yang luas mengenai berbagai persoalan hidup sebagai cerminan realitas sosiokultural masyarakat Indonesia kontemporer dan dinamika kehidupan antarbangsa pada umumnya. Lalu, khasnya tentang ritual ibadah haji yang digambarkan secara sangat detail, hal ini tentu dapat kita pahami lantaran proses kreatif penulisan novel ini memang dikembangkan dari pengalaman empiris (true story) sang novelis sendiri saat melaksanakan ibadah haji bertahun yang lalu.
Sebagai sebuah karya prosa-fiksi yang cukup tebal (465+xix halaman dengan format buku saku), tentu saja banyak hal yang dapat digali di dalamnya karena sang penulis sendiri juga relatif lebih bebas untuk mengolah dan memasukkan unsur-unsur tertentu sesuai dengan kehendak kreatifnya. Karena itulah, jika kita tilik dari aspek genre sastra maupun faset tematisnya, sangat mungkin novel ini dapat menempati beberapa kategori teoretis sekaligus secara tumpang tindih  —misalnya: novel Islam, novel Islami, novel religius, novel profetik, novel didaktis, novel realis, novel romantis, novel perjalanan, novel bertendens, atau mungkin pula novel utopis sebagaimana Sir Thomas More ketika menulis Utopia (1516). Bahkan, boleh jadi pula kalau ada orang yang menyebutnya sebagai novel semi-ilmiah lantaran pada beberapa bagian novel ini memperlihatkan ciri-ciri yang sama dengan bentuk pengungkapan (karya tulis) ilmiah (misalnya memakai catatan kaki dan mencantumkan daftar pustaka), di samping sebagian isinya yang memang mengandung nilai-nilai keilmuan (baca: berisi materi pengetahuan). Akan tetapi, oleh karena klasifikasi teoretis semacam ini sering kali hanya menambah ribet persoalan, maka secara praktis kebanyakan orang lebih cenderung menyebutnya dengan istilah “novel (sastra) Islami” saja.[2]
Sebutan demikian tentunya sah-sah saja karena secara umum isi novel ini memang bercorak Islam —bahkan terasa “Islami banget”— sebagaimana tampak pada unsur-unsur pembangunnya (mulai dari pilihan tema, amanat, latar cerita, penokohan, sudut pandang, hingga masalah diksi dan gaya bahasanya). Namun begitu, kata “Islami” yang melekat pada istilah tersebut barulah sekadar menyentuh aspek permukaannya atau hanya sebatas menunjukkan sifat umumnya saja, bukan pada esensinya, sehingga terlalu banyak karya yang bahkan tidak bertolak dari estetika Islam sekali pun bisa dikategorikan sebagai sastra Islami —apalagi sekadar dengan sebutan “sastra religius” atau “sastra keagamaan”. Oleh karena itu, sejauh kita hendak menggunakan istilah generiknya, khusus untuk novel debutan Zulkifli L. Muchdi ini agaknya lebih tepat untuk disebut “sastra Islam” saja (tanpa [i] di belakangnya) karena corak Islam itu sendiri bukan cuma tampak pada unsur-unsur permukaannya, melainkan secara esensial keseluruhan isi ceritanya juga mengandung pesan-pesan profetik Islam yang doktrin intinya bertumpu pada risalah kenabian yang telah diwariskan oleh Rasulullah Muhammad saw. Konsep ini selaras dengan rumusan yang pernah ditawarkan Muhammad Qutb:
Seni sastera Islam ialah seni yang menggambarkan kewujudan mengikut pandangan dunia Islam. Ia merupakan ungkapan-ungkapan yang indah tentang alam, kehidupan dan insan mengikut pandangan dunia Islam…. Seni sastera Islam ialah seni yang menggambarkan pertemuan yang sempurna di antara keindahan dan kebenaran.[3]
Akan tetapi, tanpa bermaksud untuk menampik keniscayaan tentang absahnya penggunaan istilah tersebut, saya sendiri lebih suka menyebut Asmara di Atas Haram ini sebagai “novel (sastra) dakwah” (lengkapnya: novel dakwah Islam). Sebab, dari halaman awal hingga halaman akhirnya, isi novel ini memang sarat dengan pesan-pesan keagamaan yang secara eksplisit jelas-jelas membawa misi dakwah Islam —sebagaimana tampak pada sederet fakta tekstual yang akan saya tunjukkan nanti, inya Allah. Sebutan “novel (sastra) dakwah” itu sendiri boleh jadi hanya merupakan suatu bentuk varian yang lebih spesifik (hiponim) dari istilah “sastra Islam” yang merupakan konsep induknya. Oleh karena itu, selaras dengan konsep sastra Islam, sebuah novel dakwah seyogianya memang berisi pesan-pesan Islam untuk menyeru manusia menuju kesadaran tauhid (baca: mengesakan Allah dan menegasikan selain-Nya, plus mengakui Nabi Muhammad saw. sebagai utusan-Nya). Adapun wujud praksis konsep tersebut termanifestasikan dalam perilaku hidup keseharian tokoh-tokohnya (khususnya tokoh utama), yakni berupa akhlak mulia (akhlâq al-karîmah) seperti yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Dengan kata lain, proses kreatif penulisan sebuah novel (sastra) dakwah sejak awal memang telah diikhtiarkan untuk tujuan pengembangan syiar Islam, sedangkan landasan estetiknya bertolak dari kesadaran untuk mengaktualisasikan firman Allah Ta’ala, Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah….” (QS Ali Imran [3]: 10).
Bertitik tolak dari pemikiran di atas, seraya menilik kembali isinya secara keseluruhan, tepat sekali kiranya jika novel Asmara di Atas Haram ini tidak sekadar diposisikan sebagai novel Islam atau novel Islami, tetapi akan terasa lebih sreg kiranya kalau kita sebut novel dakwah (Islam) karena secara eksplisit maupun implisit pesan-pesan moral yang dibawanya memang bermuara pada spirit ayat al-Quran yang telah dikutipkan di atas (QS Ali Imran [3]: 10). Namun demikian, sejauh menyangkut persoalan teoretisnya, ihwal pilihan-pilihan terminologis tersebut tentu saja masih dapat diperdebatkan lagi. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan tingkat urgensi dan relevansinya, di sini saya tidak bermaksud untuk mendiskusikannya lebih jauh.

/ 3 /
Jika sejenak kita tengok ke belakang, sebagaimana tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah sastra, munculnya novel-novel bertema keagamaan (baca: bercorak Islam) sesungguhnya bukanlah gejala baru dalam perkembangan sastra di tanah air. Pada akhir tahun 1930-an, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, Hamka telah menerbitkan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) yang juga bercorak Islam dan mengambil kota Mekkah pula sebagai bagian dari latar tempatnya. Berikut, pada penghujung dasawarsa 40-an, Achdiat K. Mihardja juga telah menulis sebuah novel keagamaan bertajuk Atheis (1948). Lalu, hampir di penghujung dekade 60-an, A.A. Navis yang sebelumnya telah dikenal luas sebagai pengarang fiksi bertema keagamaan —terutama melalui cerpen “Robohnya Surau Kami”— juga melahirkan sebuah novel Islami bertajuk Kemarau (1967). Belakangan, setidaknya sejak tahun 2000 melewat, penerbitan novel-novel bercorak Islam tampak kian semarak dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir yang melibatkan sederet nama penulis muda, baik mereka yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP) maupun pengarang-pengarang di luarnya. Akan tetapi, booming novel (sastra) Islami ini terutama ditandai dengan munculnya novel karya Habiburrahman el-Shirazy yang sangat monumental, Ayat-ayat Cinta (2006).[4]
Sebagaimana novel bercorak Islam lainnya, unsur dakwah tentu saja juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam novel bertajuk Asmara di Atas Haram karya Zulkifli L. Muchdi ini. Namun, berbeda dengan novel-novel Islami yang pernah terbit sebelumnya, unsur dakwah itu bahkan nyaris mendominasi seluruh episode dan halaman novel ini —baik yang diungkapkan secara eksplisit maupun yang implisit sifatnya. Juga, berbeda dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah yang kendati secara tematis sama-sama mengangkat kisah percintaan dan sama-sama pula menjadikan kota Mekkah sebagai bagian dominan dari latar ceritanya, novel perdana Zulkifli ini justru memperlihatkan kekhasannya lantaran secara keseluruhan alur ceritanya bermuara pada satu titik pusat: kisah perjalanan ibadah haji yang dibumbui dengan romantisme percintaan. Maka, jika dilihat dari sudut ini, benarlah kata Rosida Erowati Irsyad (seorang pengamat dan dosen Sastra Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) dalam ulasan singkatnya, kehadiran novel ini “…membuktikan bahwa latar suasana haji dapat digunakan sebagai bahan untuk menciptakan fiksi yang inspiratif.”[5]
Membaca novel ini secara runtut, imajinasi kita memang serasa digiring untuk memasuki sebuah dunia imajiner seperti yang ingin ditunjukkan oleh sang pengarang. Mulai dari episode ke-4 sampai dengan episode ke-28 (episode penutup), imajinasi kita —khususnya bagi mereka yang belum pernah menunaikan ibadah haji dan umrah— terus-menerus dibawa terbang, melawat ke negeri-negeri asing, mengikuti setiap jejak langkah Yasser dan kawan-kawan. Melalui serangkaian kisah perjalanan mereka, secara selintas kita diajak untuk menapaktilasi jejak perjuangan Rasulullah serta mengenal lebih dekat suasana kota Mekkah al-Mukarramah, Madinah al-Munawwarah, Padang Arafah, Jabal Rahmah, Bukit Quzah, Tan’im, dan beberapa tempat wisata religius lainnya yang penuh sejarah —termasuk Masjid Namirah dan Masjid Masy’aril Haram yang namanya telah diabadikan Allah dalam al-Quran dan sangat jarang didatangi oleh jemaah haji Indonesia. Lebih dari itu, setiap bentuk ritual ibadah haji senantiasa dilengkapi dengan doa-doa dan dalil-dalil naqal sebagai argumen pendukungnya. Semua itu dikemas dalam balutan kisah asmara yang memukau dan kadang terasa begitu mengharukan. Maka, dalam parameter demikian, novel ini benar-benar telah mengakomodasi tesis Horace yang sangat masyhur: dulce et utile —bahwa sebuah karya “sastra yang baik” harus memiliki sifat menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu.
Akan tetapi, ketika sebuah novel yang sedari awal proses kreatif penulisannya memang telah diikhtiarkan sebagai media dakwah, tentu akan ada konsekuensi logis yang harus ditanggungkannya. Ada problem-problem estetis (aesthetic problems) yang segera menyambangi dan membebani nilai literer kesastraannya. Maka, jika saja sang novelis tidak cukup hati-hati dan kurang apik dalam mengemas pesan-pesan moral yang ingin disampaikannya, sungguh tak pelak lagi karyanya niscaya akan terjebak ke dalam perangkap novel propaganda atau sastra bertendens. Agaknya, kenyataan inilah yang juga terjadi pada novel Asmara di Atas Haram yang tersusun dalam 28 episode ini.
Melalui tokoh-tokohnya, misalnya, tampak sekali sang penulis seolah ingin menumpahkan seluruh khazanah pengetahuannya tentang Islam —khasnya mengenai seluk-beluk ibadah haji dan sejarah Islam— maupun masalah sosiokultural pada umumnya. Bahkan, sebagai praksis keinginannya untuk unjuk pengetahuan itu, pada halaman tertentu sang penulis menderetkan begitu saja semua (berjumlah 36) nama pintu (abwâb) yang ada di Masjidil Haram (hlm. 137), tanpa mempertimbangkan fungsi estetis dan urgensi kehadiran teks tersebut dalam rangka membangun kekuatan cerita dan keutuhan struktur sastranya.
Uraian-uraian historis dan selipan-selipan ajaran Islam tampak menyebar di hampir seluruh halaman novel ini, mulai dari episode pertama (dengan subjudul “Kompromi dengan Malaikat Maut”) sampai dengan episode terakhirnya (dengan subjudul “Purnama di Atas Haram”), baik dalam bentuk narasinya yang lebih menyerupai teks wacana ilmiah maupun dalam dialog tokoh-tokohnya yang sering kali terlampau panjang. Karena itu, juga tampak sekali bahwa kehadiran tokoh-tokohnya lebih berperan sebagai corong gagasan dan pemikiran sang penulis sendiri. Kenyataan ini dapat kita lihat, antara lain, dalam percakapan antara Yasser dengan Bu Ainah dan Pak Farhan saat mereka baru tiba di Bandara King Abdul Aziz (Jeddah). Perhatikan kutipan berikut.
“Nak Yasser, kita ambil miqat makani-nya di mana?” tanya Bu Ainah.
“Bagi kita jemaah haji dari Indonesia yang langsung ke Mekkah, miqat makani-nya di atas udara sejajar dengan Qarnul Manazil, tapi kalau sulit, di Bandara King Abdul Aziz saja,” jawab Yasser. Dia memandang keluar. Bandara King Abdul Aziz terang-benderang.
“Apa sih yang dimaksud dengan miqat makani? Soalnya, waktu manasik, saya tidak bisa hadir karena selalu sakit,” tanya Pak Farhan.
Miqat makani itu ialah tempat yang dijadikan batas atau tempat untuk memulai ihram haji atau umrah, Pak,” ujar Yasser (hlm. 52).
Ketika membaca teks di atas (juga beberapa teks lain yang serupa), kutipan tersebut segera mengingatkan saya pada beberapa buku cerita anak-anak yang lazim dikategorikan sebagai fiksi sains atau buku pengetahuan yang dikemas dalam bentuk cerita rekaan (prosa-fiksi). Sesuai dengan tabiatnya, untuk mengungkapkan suatu uraian pengetahuan atau penjelasan yang berbau ilmiah, para pengarang fiksi sains memang kerap kali menyajikan dialog atau narasi yang relatif panjang —bahkan, kadangkala di luar tuntutan konteks cerita dan batas-batas kenyamanan seorang pembaca. Selain itu, unsur spesifik lainnya sebagai karakteristik karya-karya fiksi sains adalah gaya bahasa dan cara pengungkapannya yang cenderung menggurui. Alhasil, sebagai konsekuensinya, nilai artistik teks dan pemanfaatan unsur-unsur stilistiknya nyaris terabaikan. Unsur inilah tampaknya yang muncul dalam kutipan dialog di atas. Kalimat-kalimat yang diucapkan Yasser dalam kutipan teks tersebut bukan cuma terkesan menggurui, tapi juga bersifat definitif —perhatikan kalimat terakhirnya, bukankah itu sebuah rumusan definisi tentang makna miqat makani? Kalimat-kalimat bernada menggurui dan bersifat definitif semacam itu juga banyak terdapat di halaman lain dalam novel ini.
Kemudian, sebagai manifestasi bentuk dakwah pula, pada episode ke-21 penulis agaknya dengan sengaja menciptakan konflik sisipan berupa pertengkaran kecil (perang mulut) antara Bu Ainah dan Bu Gani yang mempersoalkan ihwal niat wukuf di Padang Arafah. Kalau kita cermati, kehadiran konflik ini tampaknya sekadar dimaksudkan sebagai katalisator (baca juga: ruang tekstual) untuk menukilkan satu ayat al-Quran yang intinya: … barangsiapa yang menetapkan niatnya (dalam bulan itu) untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh berbicara kotor (rafats), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan (di dalam masa mengerjakan haji)… (QS al-Baqarah [2]: 197), berikut kutipan sebuah hadis Nabi saw. yang menjelaskan tentang makna atau ciri-ciri haji mabrur, yaitu: suka memberi makanan atau bantuan sosial dan selalu lemah-lembut dalam berbicara (hlm. 298—299). Lalu, dilantarankan oleh semangat dakwahnya yang mungkin terlampau tendensius, pada beberapa tempat lainnya tidak jarang sang penulis sengaja mengambil alih posisi naratologis tokoh-tokohnya dengan menyajikan wacana pemikiran kritis maupun tinjauan historis yang kadangkala mengorbankan keutuhan konteks cerita. Hal ini, demikianlah kesan pembacaan saya, tentu merupakan konsekuensi logis ketika sebuah novel telah diposisikan sebagai media dakwah —bandingkan dengan karya-karya sastra bertendens di tahun-tahun 1960-an yang menjadikan politik sebagai panglima.
Kemudian, kecuali berupa rangkaian penjelasan, pengarang juga tak lupa menyajikan serentetan gagasan dan pemikiran kritis yang sifatnya menggugat realitas kehidupan beragama maupun tradisi masyarakat yang dipandang sudah melenceng dari koridor ajaran Islam. Yasser dan Isti di satu pihak diposisikan sebagai tokoh-tokoh generasi muslim ideal, sementara Eva dan Ferry di pihak lain digambarkan sebagai tokoh pebisnis muslim yang andal, sedangkan Eliza agaknya mewakili tokoh perempuan muslim priyai yang selalu setia pada tugas-tugas profesinya. Kelima tokoh muda yang banyak bermain dalam novel ini ditampilkan sebagai sosok-sosok manusia cerdas, penuh vitalitas, dan cenderung serba perfek —khasnya menurut ukuran dunia Islam— sehingga menjadikan novel ini lebih mirip dengan dongeng modern. Dengan posisinya masing-masing, maka setiap kritik yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh muda ini tampak menjadi cukup logis. Sekali lagi, melalui mulut mereka, sang pengarang dapat dengan leluasa mengungkapkan gagasan-gagasan dan pemikiran kritisnya terkait dengan masalah illegal logging dan illegal mining yang dampak nyatanya banyak menyengsarakan rakyat (hlm. 82—83), kebiasaan jemaah haji Indonesia yang pada masa berhaji suka memborong barang yang sebenarnya bukan kebutuhan mendesak atau bahkan ada dijual di tanah air (hlm. 73), masih seringnya terjadi peristiwa penculikan jemaah haji oleh oknum-oknum Arab Badui (hlm. 405—408), juga menyoal pelaksanaan ibadah haji (khususnya pada saat tawaf) yang bercampur-baur begitu saja antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya (hlm. 290—293).
Selain itu, terlepas dari berbagai kelemahannya, setidaknya ada satu gagasan brilian yang dikemukakan pengarang melalui tokoh Yasser dan Isti: “Statement Namirah” —demikian sang penulis novel ini menyebutnya. Dalam konteks ini, ritual wukuf di Padang Arafah seyogianya dimaknai sebagai momen paling tepat untuk menjalin ukhuwah Islamiyah dan sekaligus menyatukan suara dan cita-cita luhur untuk kebangkitan umat Islam sedunia (hlm. 273—277 dan 411—412). Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan sebagian pernyataan Yasser berikut ini.
“Hari ini, di Tanah Suci ini, jutaan umat Islam dari berbagai bangsa saling mengukuhkan ukhuwah Islamiyah, tapi di belahan dunia lain, Thailand, Filipina, China, Afganistan, Irak, Palestina, dan masih di banyak tempat lagi, umat Islam dilecehkan, ditindas, dan dibunuh.
….
Seharusnya, muktamar ini mampu menggaungkan pesan ke seluruh dunia bahwa umat Islam yang bersatu akan membela dan melindungi sesama Muslim di mana pun dia berada. Sebagaimana pasukan Islam di bawah komando Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mampu menggetarkan Timur dan Barat,” papar Yasser menggebu-gebu (hlm. 273—274).
Saya kira, di samping beberapa lontaran pemikiran kritis yang telah disebutkan terdahulu, gagasan brilian ini sungguh layak untuk dipertimbangkan oleh para penguasa dan pihak-pihak pemegang otoritas lainnya sebagai masukan berharga dalam rangka perbaikan dan prospek kehidupan umat Islam sendiri di masa-masa mendatang. Dan, tentu saja, hal ini harus dipikirkan dan diperjuangkan bersama oleh seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia.

/ 4 /
Sepanjang proses pembacaan, separo pertama (episode 1—14) novel ini benar-benar dapat saya nikmati sebagaimana lazimnya membaca sebuah karya sastra yang berbobot literer. Kisah pergulatan batin Yasser ketika menghadapi situasi kritis yang cenderung bertumpang-tindih —mulai dari keprihatinannya terhadap nasib sang ibu yang harus segera dioperasi dengan biaya tinggi, kedongkolannya lantaran kehadiran uang siluman lima miliar di rekening pribadinya, rasa kesalnya terhadap penjambret yang telah membawa kabur uang di tangannya, juga persiapannya yang sangat terganggu untuk segera berangkat haji— jelas merupakan sebuah pembukaan yang sangat memukau dan bernilai sastrawi. Dalam konteks sikap beragama, kejujuran Yasser memang merupakan harga mahal di zaman sekarang. Bagi saya, justru bagian inilah yang terasa paling tajam menohok rasa keagamaan kita sebagai pembaca. Namun, begitu memasuki paro keduanya (episode 15—28), saya kok merasa telah disuguhi sang penulis dengan menu yang sangat berbeda. Bagian ini (baca: paro kedua) seakan telah berubah wujud menjadi semacam risalah agama (Islam) tentang tuntunan praktis manasik haji yang dibungkus dalam bentuk cerita rekaan. Maka, jika ingin diberi garis-batas ihwal bobot literernya, secara keseluruhan tampak bahwa unsur pelajaran manasik haji justru lebih menonjol ketimbang aspek cerita yang semestinya lebih dominan dalam sebuah karya sastra kreatif.
Dalam kaitan ini, ada dua hal yang niscaya membuat novel Asmara di Atas Haram ini dapat bergeser posisi dari sebuah karya sastra kreatif menjadi sekadar risalah keagamaan (baca: kitab manasik haji). Pertama, teknik penulisan rangkaian doa-doa yang dikutipkan seutuhnya untuk setiap bentuk ritual haji (hlm. 161—178) —beberapa di antaranya malah ada diulang-ulang atau bahkan diturunkan dalam dwibahasa sekaligus (Arab-Indonesia dengan aksara Latin)— tampaknya terlampau dipaksakan. Sebab, dengan kecenderungannya yang berpanjang-panjang itu, secara implisit cara demikian boleh jadi dimaksudkan sebagai strategi penulis untuk memperbanyak jumlah halaman novelnya atau sekadar teknik untuk mengulur-ulur alur cerita. Atau, boleh jadi pula, hal ini lantaran niat awal sang penulis memang menjadikan novel ini terutama sebagai pelajaran manasik haji sehingga perkara struktur sastranya menjadi urusan kesekian. Akan tetapi, sebagai konsekuensinya, hal demikian tentu saja dapat membuat para pembaca kehilangan selera dan momentumnya untuk menikmati sensasi fiksionalitas pada adegan-adegan selanjutnya. Selain itu, strategi tersebut jelas sangat berpengaruh pula terhadap totalitas pemaknaan sebuah cerita, di samping akan mengurangi bobot literernya sebagai karya sastra.
Kedua, hal serupa juga terjadi akibat banyaknya nukilan ayat al-Quran dan hadis, baik dalam bentuk kutipan langsung maupun berupa parafrasenya, melalui dialog tokoh maupun langsung dalam uraian sang narator. Kalau secara kuantitatif ingin kita kalkulasikan, khusus untuk nukilan ayat-ayat al-Quran saja, sepanjang halaman novel ini paling tidak terdapat 21 kutipan (ada juga yang dilengkapi dengan transkripsi aksara Latin dari bahasa aslinya, Arab). Namun, dari 21 kutipan ayat al-Quran tersebut, sangat disayangkan karena di dalamnya paling tidak terdapat 10 kutipan di antaranya yang tidak disertai penyebutan sumber rujukannya —jadi, hanya 11 kutipan yang dengan jelas disebutkan sumber rujukannya.[6] Hal ini menunjukkan sikap penulis yang tidak konsisten dalam teknik penulisannya. Padahal, baik ia diposisikan sebagai karya sastra kreatif maupun sebagai risalah keagamaan, penyebutan rujukan lengkap mengenai sumber sebuah kutipan —apalagi jika kutipan itu dinisbahkan sebagai ayat-ayat al-Quran dan hadis (baca: sabda Nabi saw.)— tentu saja sangat membantu para pembaca untuk melakukan rujuk silang (cross-check) terhadap kebenaran kutipan atau untuk melacak lebih jauh guna mencapai pemahaman yang lebih komprehensif.
Masalah inkonsistensi dalam teknik penulisan sumber kutipan ini juga terjadi pada nukilah-nukilan hadis yang cukup banyak tersebar di halaman-halaman novel ini. Sejauh yang dapat saya telusuri, setidaknya ada 23 kutipan hadis atau yang diasumsikan penulis sebagai sabda Nabi, baik dalam bentuk kutipan langsung maupun berupa parafrasenya. Namun, sebagaimana juga pada pengutipan ayat al-Quran tadi, dari 23 kutipan hadis tersebut ternyata hanya 3 kutipan di antaranya (khususnya dari 5 hadis tentang keutamaan haji) yang sumber rujukan atau asal periwayatannya disebutkan secara relatif jelas (hlm. 361—364). Padahal, masalah ini merupakan persoalan yang rumit dan sangat rawan kesalahan karena tidak jarang seorang penulis terjebak pada penukilan hadis-hadis lemah (dha’îf) dan palsu (maudhu’). Oleh karena itu, dalam sebuah karya tulis, tentu akan lebih bijak jika seorang penulis selalu mencantumkan sumber rujukan kutipannya. Teknik penulisan sumber rujukan itu sendiri bisa disebutkan langsung di belakang kutipan (biasanya dalam tanda kurung), bisa juga diturunkan dalam bentuk catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote). Sebab, di samping sebagai uraian penjelas, penyajian catatan itu juga dapat berfungsi untuk meyakinkan pembaca ihwal kebenaran kutipan maupun derajat kesahihan sebuah hadis —sebagaimana sering diperingatkan oleh para ulama yang berpandangan kritis. Namun, apa pun bentuk karya tulis itu (karya ilmiah, karya sastra kreatif, atau lainnya), fungsi utama penyebutan sumber kutipan adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang penulis terhadap pembaca atas hasil kerjanya.
Andaikan bentuk penyajian langsung dan catatan penjelas (berupa footnote maupun endnote) semacam itu tidak memungkinkan untuk dilakukan (karena dikhawatirkan akan mengganggu kelancaran alur cerita, misalnya), maka sebagai solusi alternatifnya sang penulis masih dapat meyakinkan pembaca dan membuktikan tanggung jawab ilmiahnya dengan teknik seperti yang telah dilakukan oleh Dr. ‘Aidh al-Qarni melalui kata pengantarnya untuk buku La Tahzan (2007). Pada pengantar buku ini (butir kesembilan), al-Qarni antara lain menulis, “… saya tidak memberi nomor surat dan ayat serta tidak pernah menyebutkan perawi hadits. Meski demikian, bila hadits yang saya sebutkan itu lemah, maka saya selalu mengingatkannya. Adapun bila hadits itu shahih, maka saya hanya akan menyebutnya hadits shahih dan kadangkala tak memberi catatan apa pun.”[7] Dengan kata lain, jika sebuah hadis yang dinukilkan al-Qarni tidak disebutkan sumber rujukan atau perawinya, berarti sang penulis telah berani menjamin bahwa hadis-hadis yang dikutipnya hanyalah hadis-hadis yang telah diakui derajat kesahihannya. Hal ini sangat penting dilakukan oleh seorang penulis agar ia terhindar dari peringatan tajam yang pernah dinyatakan Rasulullah dalam sebuah hadis sahih, “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya ia mengambil tempatnya di neraka.” (HR Bukhari dan Muslim) —na’ûzubillâhi min zâlik.
Terkait dengan persoalan di atas, saya sendiri pernah punya pengalaman buruk ketika menulis buku bertajuk Tragika Sang Pecinta: Gayutan Sufistik Sajak-sajak Ajamuddin Tifani (Yogyakarta: Akar-Indonesia, 2010). Di halaman awal buku ini (hlm. v), saya menukil sebuah “hadis” yang saya kutip dari sebuah buku yang rupanya bukanlah sumber rujukan yang baik dan akurat (mohon maaf, sangat disayangkan saya tidak bisa menyebutkan judul buku tersebut karena sampai sekarang saya sendiri tidak berhasil melacaknya kembali). Kutipan yang secara khusus hanya saya maksudkan sebagai motto buku itu selengkapnya berbunyi: Siapa yang berfikih tetapi tidak bertasawuf, ia fasik; siapa yang tidak bertasawuf tetapi tidak berfikih, ia zindik; dan siapa yang menyatukan keduanya, maka ia akan memperoleh hakikat —di bawah kutipan ini saya tulis keterangan: (al-Hadits, HR. Muslim). Namun, setelah berselang beberapa bulan kemudian dan buku itu terlanjur sudah beredar, baru saya dapatkan keterangan yang lebih valid melalui beberapa sumber lainnya bahwa kutipan tersebut ternyata bukanlah sebuah hadis (baca: bukan sabda Nabi saw.), melainkan hanya ucapan Imam Muslim.[8] Keyakinan saya akan kesalahan tersebut semakin kuat karena —setelah berkali-kali menelaah dan memikirkan ulang— secara historis praktis istilah “tasawuf” (tashawwuf) memang belum dikenal pada masa Rasulullah. Oleh karenanya, bagi saya, peristiwa kontra-ilmiah untuk sebuah karya ilmiah itu merupakan suatu kecelakaan besar yang terus saya sesali hingga sekarang.[9]
Kendati tidak persis sama, juga niscaya tidak sefatal kekeliruan yang pernah saya lakukan, kasus serupa agaknya terjadi pula pada novel Asmara di Atas Haram karya Zulkifli L. Muchdi ini. Meski saya sendiri tidak sempat melakukan kajian komparatif secara menyeluruh terhadap semua kutipan yang dinyatakan atau diasumsikan sang penulis novel ini sebagai hadis, secara kebetulan di salah satu halaman novel ini terdapat sebuah kutipan yang menarik perhatian saya dan oleh novelis sendiri dengan jelas dinyatakan sebagai hadis Nabi saw. Pernyataan “hadis” tersebut terungkap lewat ucapan Istiqomah saat berdialog dengan Dokter Eliza:
“Aku menyitir sebuah hadis Nabi. Intinya, barang siapa yang melakukan shalat di masjidku sebanyak 40 kali tanpa kurang satu kali shalat pun, maka dia terbebas dari siksa api neraka dan terhindar dari kemunafikan,” jawab Isti (hlm. 46) —cetak italik dari saya, JTS.

Berdasarkan beberapa sumber, diketahui bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (3/155) dan Thabrani dalam Mu'jam al-Ausath (5.576) dari jalan Abdurrahman bin Abi Rajjal dari Nabith bin Umar dan Anas bin Malik secara marfu'. Beberapa ulama hadis mengatakan bahwa hadis ini munkar,[10] termasuk Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang dikenal sangat kritis melalui dua kitabnya, Silsilah al-Ahâdits adh-Dha'îfah wa al-Maudû’ah (364) dan Dha'îf at-Targhib (755). Sisi cacatnya adalah karena pada sanadnya terdapat perawi yang bernama Nabith (Nubaith) bin Umar —dikatakan, “Dia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal identitasnya).” Abu Yusuf berkata, "Hadis ini adalah asal-usul bid’ah shalat arba'in ketika menunaikan ibadah haji." Kemudian, ihwal lemahnya derajat hadis tersebut semakin dipertegas oleh kenyataan adanya hadis lain (dengan redaksi sedikit berbeda) yang juga diriwayatkan dari Anas secara marfu' (disandarkan kepada Nabi saw.) dan mauquf (disandarkan kepada seorang sahabat) dengan sanad yang sahih. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang shalat empat puluh hari dengan berjamaah dan mendapatkan takbiratul ihram, maka akan ditulis baginya dua pembebasan, (yaitu) terbebas dari api neraka dan terbebas dari kemunafikan.” (HR Tirmidzi) —wallâhu a'lam.[11]
Di samping itu, dalam novel ini, kutipan “hadis arba’in” tersebut dinyatakan dalam dialog antara dua orang perempuan. Bahkan, tokoh Istiqomah yang qariah dan hafizah itu digambarkan sangat concern untuk melaksanakan shalat arba’in dan begitu khawatir kalau sampai ketinggalan satu kali shalat saja di Masjid Nabawi lantaran keyakinannya atas kebenaran (baca: kesahihan) hadis yang dikutipkannya tersebut. Padahal, menurut Ustadz Anas Burhanuddin, “Bagi para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi.” Hal ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi saw. (Ibnu Hajar al-Asqalani menghukumi sebagai hadis hasan) berikut:
Dari Ummu Humaid —istri Abu Humaid as-Sa’idi— bahwa ia telah datang kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi saw. bersabda, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu daripada shalat di kamar depan. Shalatmu  di kamar depan lebih baik bagimu daripada shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu daripada shalat di masjid kaummu, dan shalat di masjid kaummu lebih baik daripada shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid (tempat shalat) di bagian rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allah (HR Ahmad).[12]
Memang benar, sebagaimana dapat kita baca dalam mukadimah Kitâb al-Arba’în-nya, Imam Nawawi pernah mengungkapkan bahwa para ulama telah sepakat mengenai bolehnya mengamalkan (menggunakan) hadis dha’îf dalam hal keutamaan-keutamaan amal (fadhâil al-a’mâl).[13] Namun, sekaitan dengan persoalan ini, para ulama tampaknya masih berbeda pendapat. Imam Bukhari dan Imam Muslim, misalnya, berpandangan bahwa hadis-hadis dha’îf tidak dapat diamalkan secara mutlak dalam bidang apa pun —termasuk masalah fadhîlah (keutamaan), targhîb (motivasi), dan tarhîb (ancaman), baik berkenaan dengan akhlak maupun amalan-amalan tertentu lainnya. Sementara itu, kalangan ulama yang membolehkannya juga mengingatkan bahwa kebolehan tersebut sifatnya bersyarat; antara lain: (1) ke-dha’îf-an hadis tersebut tidak terlalu berat atau tidak sampai pada derajat sangat dha’îf —misalnya karena perawinya diketahui seorang yang pendusta atau tertuduh sebagai pendusta, (2) amalan itu masih berada dalam kerangka amalan asalnya atau hanya merupakan amalan cabang —jadi, tetap bersandar pada hadis-hadis yang sahih, (3) hadis tersebut tidak boleh disebarluaskan karena dikhawatirkan orang-orang bodoh akan mengerjakan amalan-amalan yang sebenarnya tidak disyariatkan atau mereka malah menduganya sebagai sunnah yang sahih, dan (4) orang yang mengerjakan amalan itu harus meyakini bahwa dalil yang digunakannya adalah hadis dha’îf —jadi, tidak diyakini penisbahannya kepada Rasulullah, tapi justru sebagai cerminan sikap hati-hati. Akan tetapi, di luar konteks masalah fadhâil al-a’mâl dan yang sejenisnya itu, tidak ada ulama yang menyelisihi pendapat bahwa hadis-hadis dha’îf mutlak tidak boleh dijadikan sebagai hujjah dalam perkara akidah (misalnya tentang sifat-sifat Allah) maupun syariat (misalnya tentang hukum halal dan haram).[14]
Atas dasar pemikiran di atas, maka dalam kaitannya dengan kutipan suatu pernyataan yang oleh seorang penulis diasumsikan, dinisbahkan, atau ditegaskan sebagai sabda Nabi saw. (al-hadîts) tentulah dituntut sikap kehati-hatian yang lebih tinggi dengan sumber rujukan yang lebih akurat. Hal ini lebih-lebih lagi jika pernyataan itu disajikan dalam bentuk karya tulis, fiksi maupun nonfiksi. Sebab, sudah umum diketahui bahwa sebuah tulisan merupakan hasil pemikiran (juga perasaan) seseorang yang bentuk penyajiannya dipandang lebih selektif dan sistematis ketimbang ucapan lisan yang umumnya memang bersifat spontan. Kemudian, lebih dari segalanya, jika nukilan pernyataan itu secara tegas disebutkan sebagai firman Allah (ayat-ayat suci al-Quran) atau sabda Rasulullah (hadis) sudah pasti akurasi data rujukan harus lebih diutamakan. Dengan demikian, dalam hal melakukan atau anjuran untuk melakukan suatu amalan (ibadah) tentu akan lebih aman jika kita selalu bersandar pada hadis-hadis yang sahih saja sebagai dasar hukumnya. Sebab, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada keterangannya dari kami, maka (amalannya) akan tertolak.” (HR Ahmad dan Muslim) —na’ûzubillâhi min zâlik.

/ 5 /
Dipandang dari sisi lain, secara umum isi novel bertajuk Asmara di Atas Haram yang terlahir dari tangan Zulkifli L. Muchdi ini sebenarnya merepresentasikan ideologi sang penulis sendiri sebagai seorang muslim sejati yang dalam kondisi dan perkara apa pun selalu berpegang teguh pada ajaran Islam. Ideologi penulis itu terpancar pada sikap laku para tokohnya, terutama —sekali lagi— tokoh-tokoh utamanya. Ketika Yasser dihadapkan pada persoalan dan situasi yang sangat dilematis terkait dengan aliran dana tak bertuan senilai lima miliar rupiah yang sangat menggiurkan itu ke rekening pribadinya, misalnya, pilihan Yasser bertahan dalam kejujuran mutlak (hlm. 9—15) adalah juga pilihan sang novelis sendiri yang notabene berarti ideologi penulis. Selain itu, cerminan ideologi penulis lebih kentara lagi dalam adegan penutup ketika Dokter Eliza sudah merasa mantap hatinya untuk meninggalkan Steven (kekasihnya yang nonmuslim) dan akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada Ferry (kenalan barunya yang sama-sama muslim) sebagai calon pendamping hidupnya (hlm. 457—458). Pilihan Eliza ini didasarkan atas kesadarannya terhadap keutamaan dan kebenaran syariat Islam, sebagaimana telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya, … Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik hatimu….” (QS al-Baqarah [2]: 221).
Selanjutnya, pandangan dunia Islam yang merupakan titik pusat ideologi penulis itu juga terpancar pada seluruh adegan penutup novel ini dengan memilih model happy ending yang khas Islam sebagai kesudahan ceritanya. Pada bagian penutup ini, setelah melalui berbagai cobaan, semua tokoh utama (Yasser, Isti, Eliza, dan Ferry) dengan sengaja digambarkan oleh sang penulis sebagai orang-orang yang beruntung, meraih kebahagiaan sejati, menjadi “pemenang pertandingan” dalam suatu dinamika kehidupan fiksional. Dengan cara ini, sang penulis seakan ingin menegaskan dan sekaligus menjustifikasi kebenaran aksiologis ajaran Islam seperti yang telah dijanjikan Allah dalam firman-Nya, Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS an-Nur [24]: 52) —sebagaimana juga telah saya kutipkan sebagai pembuka tulisan ini.
Akan tetapi, jika kita cermati dari segi logika ceritanya, setidaknya ada dua bagian lagi yang cukup mengganggu eksistensinya sebagai sebuah novel dakwah. Pertama, tokoh Yasser yang sejak awal hingga akhir cerita selalu digambarkan sebagai sosok pemuda muslim ideal, senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan syariat Islam, memiliki solidaritas tinggi dan penuh tanggung jawab, sehingga segala tutur kata dan perilakunya layak dikatakan sebagai cerminan kepribadian Rasulullah, pada episode ke-16 (dalam subjudul “Gadis Ukraina di Bukit Safa”) tiba-tiba saja segala derajat kemuliaannya itu seakan telah diturunkan secara drastis menjadi orang yang tidak bertanggung jawab dan kurang mengindahkan etika pergaulan Islam. Bagaimana tidak, sebagai pimpinan rombongan yang membawahi puluhan anggota dan mestinya selalu berada di tengah-tengah mereka, pada suatu sore ia malah mojok berduaan dengan seorang gadis cantik asal Ukraina bernama lengkap Evaterina Dmitreva Ibrahimov yang pernah terpilih sebagai finalis Miss Universe itu dan sudah pasti bukan muhrimnya (hlm. 184—194). Maka, kalau sudah asyik-masyuk begini, di mana tanggung jawabnya sebagai pimpinan rombongan? Juga, apakah Yasser yang hafiz al-Quran dan juara MTQ Nasional ini sudah lupa bagaimana seharusnya etika pergaulan seorang muslim? Bukankah sering dikatakan bahwa jika dua orang berlainan jenis berdua-duaan (apalagi bukan muhrim), maka orang ketiganya adalah iblis? Namun, barangkali, di sinilah letak sisi manusiawi seorang Yasser yang tidak sempurna, tidak bisa luput dari kesalahan dan kekhilafan. 
Kedua, sebagai novel dakwah yang seyogianya selalu menunjukkan kebenaran syariat Islam, pada episode ke-10 penulis justru dengan lancar menceritakan tentang “keberhasilan kawin campur” (baca: antar-agama) antara Hj. Halimatus Sa’diah yang muslimah (Islam) dengan Bill Harrison yang nonmuslim (Kristen). Bu Halimatus yang dengan bangga mengaku “Gini-gini kan saya anak seorang ulama” (hlm. 97), bahkan juga digambarkan memahami benar pesan-pesan al-Quran, ternyata atas nama cinta justru memilih kawin campur yang sudah pasti sangat bertentangan dengan doktrin Islam —baca kembali ayat al-Quran yang telah dikutipkan di atas (QS al-Baqarah [2]: 221). Lebih dari itu, pada halaman selanjutnya, Bu Halimatus dikatakan sangat mendukung “niat baik” Steven (pemuda Amerika, seorang Nasrani pula) untuk menikahi Eliza (seorang muslimah, putri Bu Halimatus sendiri) dengan berkata, “Saya hanya bisa berpesan, jangan menyerah!” (hlm. 99). Bagi saya, bagian ini agak membingungkan, bahkan terasa sangat absurd jika menilik kembali posisi novel ini sebagai karya sastra Islam atawa novel dakwah Islam. Di sini telah terjadi paradoks antara sikap “membolehkan” di satu sisi (pada kasus Halimatus-Bill) dan “melarang” kawin antar-agama di sisi lain (pada kasus Eliza-Steven). Maka, menurut hemat saya, kehadiran bagian ini tentu akan mengurangi kekuatan posisinya sebagai sebuah novel dakwah yang misi suci dan landasan konseptualnya selalu bermuara pada doktrin amar ma’ruf dan nahi munkar (QS Ali Imran [3]: 10). Maka, pada bagian ini, sekali lagi sang penulis memperlihatkan sikapnya yang tidak konsisten (kali ini dalam kasus penggarapan isi novelnya). Bahkan, dilihat dari posisi penulisnya sebagai seorang “juru dakwah”, bagian ini secara tidak langsung sang penulis telah mematahkan sendiri ideologi yang menjadi pegangannya. Bagian ini pula yang membuat novel ini sangat berbeda dengan pesan-pesan profetik yang terkandung dalam Ayat-ayat Cinta-nya Habiburrahman el-Shirazy.
Sekarang, mari kita lihat novel ini dari aspek diksi dan gaya bahasanya. Jujur, andai saja saya tidak sempat membaca biografi penulis yang tertera di halaman akhir novel ini, pastilah saya akan menduga bahwa novel bertajuk Asmara di Atas Haram ini ditulis oleh seorang remaja atau setidaknya pengarang yang masih berusia relatif muda. Lebih jauh, saya bahkan membayangkan sang penulis tak jauh beda usia dengan Hilman Hariwijaya saat-saat ia menulis serial Lupus atau Gola Gong dengan serial Balada si Roy-nya di tahun-tahun 1980-an. Sebab, secara umum (nyaris full-dialogue) novel ini memang menggunakan gaya bahasa gaul khas anak-anak muda metropolitan. Namun, setelah saya cermati, serasa agak menggelikan ketika tokoh-tokoh yang sudah berumur (seperti Pak Amir, Bu Ainah, Pak Agun, Bu Agun, dan lain-lain) juga memakai bahasa gaul ala ABG Jakarta dalam percakapan mereka. Perhatikan, misalnya, beberapa kutipan kalimat berikut:
“Bagi dong krimnya,” kata Pak Amir (hlm. 320).
“Alhamdulillah, segar banget,” serunya (hlm. 335).
“Ceritanya, dong,” lanjut Bu Agun… (hlm. 354).
“Seru banget deh, Bu….” ucap Pak Agun (hlm. 354).
“Alhamdulillah. Rupanya, Mas Haji masih punya. Ayo, Ibu-ibu cicipin,” ucap Pak Agun (hlm. 368).
“Ya, Pah. Memang, para suami aja yang pengen mereguk pengalaman seru? Kita-kita juga nggak mau ketinggalan,” komentar Bu Bambang yang ayu khas Jawa dan tampak keibuan ini (hlm. 369).
Kalau saja kalimat-kalimat di atas muncul dalam dialog antar-anak muda (semisal Yasser, Isti, Eliza, Ferry, atau Sofia), secara sosiolinguistis hal ini tentu dapat kita maklumi karena memang terbilang wajar-wajar saja. Akan tetapi, apa iya orang-orang tua seperti mereka —bahkan di antaranya mungkin ada yang sudah menjadi kakek-nenek— memang sudah lazim memakai bahasa gaul ala ABG Jakarta sebagaimana yang sering kita dengar dalam sinetron itu? Di sini, penulis agaknya juga lupa bahwa latar sosiokultural yang diceritakan dalam konteks percakapan orang-orang tua tadi adalah budaya masyarakat Banjar. Mungkin lantaran sudah lama berdomisili di luar daerah (Kalsel), penulis novel yang sudah puluhan tahun bermukim di kota Tangerang (Banten) ini membayangkan bahwa kawan-kawan tua Yasser itu sudah lumrah mengobrol dalam bahasa Indonesia dialek Betawi atau dengan gaya bahasa gaul layaknya anak-anak muda Jakarta. Padahal, kalau saja konteks bahasa dan budaya lokal ini cukup disadari, tentulah sang penulis tidak bakal menyelipkan “kata-kata asing” (minimal menurut ukuran orang tua dengan latar budaya Banjar) seperti lo, deh, sih, dong, atau banget yang khas pergaulan remaja (ABG) kota metropolitan itu. Saya pribadi, mohon maaf saja, hingga sekarang belum pernah mendengar orang-orang tua yang berlatar budaya (bahasa) Banjar mengucapkan kata-kata semacam itu dalam pergaulan sehari-hari di kalangan mereka (sesama orang tua) —kecuali jika ucapan mereka dimaksudkan sebagai canda gurau untuk menggoda anak-anak kecil.
Selain itu, masih dari aspek bahasanya, dalam hal penulisan ejaan (khususnya penulisan huruf kapital yang tidak pada tempatnya) dan tanda baca (khususnya pemakaian tanda koma yang juga sering tidak pada tempatnya), agaknya perlu disayangkan pula karena masih banyak terdapat kekeliruan. Akan tetapi, masalah kesalahan teknis penulisan ejaan dan tanda baca ini tentu saja tidak murni karena kelalaian sang penulis, tapi bisa juga lantaran kurang maksimalnya cara kerja tim editor bahasa dari pihak penerbit. Jadi, simpanlah urusan ini sebagai PR untuk rencana penerbitan edisi selanjutnya. Lagi pula, untuk sebuah karya fiksi, persoalan teknis kebahasaan semacam ini memang tidak akan terlalu berpengaruh terhadap proses penikmatan bagi seorang pembaca awam (baca: bukan seorang ahli bahasa).

/ 6 /
Begitulah, tak ada gading yang tak retak. Namun, bagaimanapun wujudnya dan apa pun jadinya, mari kita katakan dengan bangga, “Inilah karya saya!” Maka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sudah sepatutnya kehadiran novel bertajuk Asmara di Atas Haram karya Zulkifli L. Muchdi ini kita berikan apresiasi yang sewajarnya, tanpa harus kehilangan sikap kritis sebagai pembaca. Karena, di samping akan menambah lengkapnya khazanah novel Indonesia mutakhir, niscaya kehadirannya juga akan turut mewarnai perkembangan sastra di tanah air.
Begitulah, sebagai novel Islam yang mengangkat perjalanan ibadah haji sebagai latar cerita dan gagasan sentralnya, tidak salah kiranya kalau saya rekomendasikan novel ini sebagai referensi pendamping buku-buku pelajaran praktis manasik haji, terutama bagi para jemaah calon haji atau sesiapa saja yang di dalam hatinya terbetik niat luhur untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Ingat, sebagaimana dituturkan sang penulis dalam novelnya ini, “Hati-hati dengan mimpimu. Suatu saat akan jadi kenyataan.” (hlm. 25). Labbaik allâhumma labbaik…. Lalu, ihwal romantika cinta yang didedahkannya, yang merupakan tema abadi karya sastra sepanjang masa, penulis dengan tepat menyimpulkannya melalui kata-kata Yasser yang bernada filosofis, “Sepanjang dunia masih berputar, mencintai dan dicintai pasti akan terus menjadi bagian dari romantisme kehidupan anak cucu Adam Alaihissalam, karena dia adalah bagian dari karunia Ilahi.” (hlm. 460).
Begitulah, seperti kata orang-orang bijak, obat sejatinya memang selalu terasa pahit lagi menjengkelkan. Tapi, di balik rasa pahitnya, di situ tersembunyi kekuatan dahsyat untuk menyembuhkan. Maka, jika dalam tulisan ini saya terkesan agak cerewet dengan banyak melontarkan kritik, bahkan mungkin ada yang terasa pedas layaknya cabe rawet, semua itu saya lakukan semata-mata sebagai upaya untuk saling berbagi pengetahuan dan bermuzakarah guna lebih menggairahkan kehidupan bersastra di tanah air. Sebab, saya yakin, perjalanan menuju sastra Indonesia yang lebih maju dan bermartabat tidak akan dapat kita capai kalau hanya dilakukan dengan saling memuji dan mengacungkan jempol terhadap setiap karya yang terbit. Sebagai pembaca yang cerdas, kita harus berani berkata jujur dan bersikap objektif. Sebagai penulis yang bijak, kita harus sedia menelan pil-pil pahit yang disodorkan oleh setiap pembaca. Persis seperti ucapan Yasser pula saat ia berdiskusi dengan Eva, “… Memang, untuk maju, seseorang atau suatu bangsa harus welcome terhadap kritik agar tahu apa yang menjadi kekurangannya. Kalo nggak, kita akan jalan di tempat. Nggak maju-maju. Kritik diperlukan demi kemaslahatan umat.” (hlm. 192—193).

Pelaihari, 1 Oktober 2012
CATATAN KAKI :

[1] Sepengetahuan saya, terhitung sejak Mei 2012 melewat, novel ini telah diluncurkan di beberapa tempat di sejumlah kota di tanah air (antara lain di Jakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Padang, Pekanbaru, dan Banjarmasin) yang konon selalu mendapat sambutan antusias dari para peserta forum bedah buku tersebut.
[2] Penyebutan demikian —juga istilah lain yang serupa dengannya— dapat kita lihat dalam beberapa ulasan dan komentar singkatnya selepas acara peluncuran, antara lain di http://www.erlangga.co.id; http://www.annida-online.com; https://www.wakuwakuw.com; http://www.malang-post.com; http://www.suaramerdeka.com; http://diannafi.blogspot.com; dan http://zulkifliadh.blogspot.com.
[3] Sebagaimana dikutip Kassim Ahmad dalam esainya, “Menuju Sebuah Teori Sastera Islam: Jawaban kepada Shahnon Ahmad” dalam Zahrah Ibrahim (Ed.), Polemik Sastra Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1987), hlm. 25—26.
[4] Pembahasan lebih rinci mengenai gejala sastra Indonesia kontemporer bercorak Islam ini dapat dibaca dalam tulisan saya, “Sastra Indonesia Mutakhir: Jejak Historis dan Kecenderungan Estetiknya” (Makalah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia di Aula Rektorat Unlam Banjarmasin, 29 Oktober 2011; kemudian dimuat dalam portal rePublik Sastra edisi 17 Januari 2012).
[5] Lihat Rosida Erowati Irsyad, “Fiksi: Berandai-andai dalam Imajinasi Total Pengarang”, dalam http://www.erlangga.co.id/agama/7312-fiksi-berandai-andai-dalam-imajinasi-total-pengarang.html.
[6] Sekadar catatan, salah satu ayat al-Quran yang sebelumnya dikutip tanpa menyebutkan sumbernya secara lengkap (hlm. 90 dan 284), ternyata rujukan selengkapnya disebutkan pada episode penutup (hlm. 457), yaitu QS al-Baqarah [2]: 221.
[7] Lihat ‘Aidh al-Qarni, La Tahzan: Jangan Bersedih!, terj. Samson Rahman (Jakarta: Qisthi Press, 2004), hlm. xii —sekadar catatan, khusus untuk kutipan ayat al-Quran, dalam versi terjemahan Indonesianya sang penerjemah (Samson Rahman) telah menyebutkan sumber kutipan (surat dan nomor ayat) dengan maksud untuk mempermudah pembaca Indonesia dalam merujuk ayat-ayat yang dikutip. Oleh penulis yang sama (‘Aidh al-Qarni), bentuk pertanggungjawaban ilmiah semacam ini juga telah dilakukannya untuk bukunya yang lain, Bulûghul Marâm: Hadis-hadis Pilihan tentang Hukum, terj. M. Zacky Mubarak dan Iffah Syarifah (Jakarta: Qisthi Press, 2006), hlm. 2—3.
[8] Lihat misalnya Syaikh Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, terj. Khairul Amru Harahap dan Afrizal Lubis (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hlm. 333; Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997), hlm. 163; dan Ust. Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah dengan Tahapan 7 M (Surabaya: Terbit Terang, 2001), hlm. 32.
[9] Oleh karena buku Tragika Sang Pecinta tersebut terlanjur sudah beredar dan belum dicetak ulang, maka penjelasan ini sekaligus dimaksudkan sebagai ralat dan koreksi atas kekeliruan saya dalam penyebutan “al-hadits” yang ternyata bukan hadis tersebut —semoga Allah al-Ghafûr mengampuni dosa-dosa saya dan para pembaca menjadi maklum adanya.
[10] Dalam ilmu hadis (‘ulûm al-hadîts), hadis munkar (tidak diakui) termasuk dalam kategori hadis dha’îf (lemah). Sebuah hadis dihukumi munkar apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang perawi secara tersendiri atau dari perawi yang dha’if dan menyalahi periwayatan yang tsiqah (terpercaya). Atau, dengan rumusan lain dikatakan, “Hadis yang pada sanadnya terdapat seorang perawi yang parah kesalahannya atau banyak kelupaannya atau tampak kefasikannya.” Lihat misalnya Al-Imam al-‘Allamah al-Hafizh Ibnu Nashiruddin ad-Diamsyqi, Mutiara Ilmu Atsar: Kitab Klasifikasi Hadis (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), hlm. 245; lihat juga Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 188.
[11] Lihat misalnya Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia (Srowo-Gresik: Pustaka Al-Furqon, 2012), hlm. 193—194 dan Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Koreksi Hadits-hadits Dha’if Populer (Bogor: Media Tarbiyah, 2011), hlm. 110. Masalah ini juga hangat didiskusikan di media internet, tetapi hampir semuanya merujuk pada kitab karya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang telah saya sebutkan di atas —edisi Indonesia: Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, terj. A.M. Basalamah (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
[12] Baca uraian Ustadz Anas Burhanuddin, “Menyorot Shalat Arba’in di Masjid Nabawi,” dalam muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyorot-shalat-arba’in-di-masjid-nabawi.html. (diunduh pada 28 September 2012).
[13] Imam Muhyidin an-Nawawi (et.al.), Penjelasan Lengkap Hadits Arba’in Imam an-Nawawi, terj. Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Pustaka Arafah, 2006), hlm. 35.
[14] Bandingkan dengan Abu Ammar dan Abu Fatiah al-Adnani, Mizanul Muslim: Barometer Menuju Muslim Kaffah (Solo: Cordova Mediatama, 2009), hlm. 61—62; untuk penjelasan lebih rinci, lihat kembali ad-Diamsyqi, op. cit., hlm. 65—79.