Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Senin, 17 Oktober 2011

Telaah Puisi Ajamuddin


Mengaji (Nukilan) Al-Quran
dalam Sepilihan Sajak Ajamuddin Tifani



Oleh : Jamal T. Suryanata




diamlah, ada penyair tiba pada ujung sunyinya
tangisnya menjelma burung-burung kertas
ratapan pada dunia yang membeku di tangannya
yang sudah termaafkan, ketika waktunya menderas
( Ajamuddin Tifani )
/ 1 /
Dalam kancah kepenyairan Indonesia modern, nama Ajamuddin Tifani mungkin tidaklah begitu populer sebagaimana popularitas Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M, atau Afrizal Malna. Hal itu, sejauh yang dapat saya pahami, bukan karena tingkat produktivitasnya yang rendah dalam berkarya atau dilantarankan sajak-sajaknya yang tidak berbobot literer, melainkan lebih disebabkan oleh belum berpihaknya “nasib baik” terhadap ketokohan dan karya-karyanya.

Kalau kita runut lebih jauh, paling tidak ada empat alasan yang dapat dipandang sebagai prakondisi terjadinya hal tersebut. Pertama, jika bagi seorang penyair pendobrakan estetik merupakan suatu keharusan untuk mencapai popularitas, maka Ajamuddin bukanlah seorang penyair avan garde yang pernah membawa pembaruan —apalagi menawarkan “isme” tertentu— dalam estetika perpuisian Indonesia modern sebagaimana beberapa nama di atas. Sajak-sajak yang pernah ditulisnya tidak lebih dari bentuk perpanjangan dari tradisi perpuisian yang sudah ada, kendati dengan beberapa polesan inovatif sebagai karakter pribadi atau gaya ucap kepenyairannya. Kedua, kurang produktifnya dalam bidang penulisan esai dan kritik sastra agaknya juga turut memberi andil terhadap kurang populernya nama Ajamuddin dalam percaturan sastra di tanah air. Padahal, diakui atau tidak, untuk beberapa kasus hal itu jelas dapat memberikan kontribusi dalam mengangkat popularitas nama seorang penyair. Ketiga, kendati secara kuantitas maupun kualitas sajak-sajaknya lebih dari sekadar layak untuk diterbitkan, tetapi hingga menjelang akhir hayatnya Ajamuddin belum beruntung dapat menerbitkan karya-karya puisinya dalam bentuk buku yang representatif. [1] Padahal, kita juga tahu, buku (baca: antologi puisi pribadi) merupakan salah satu “dongkrak” yang dapat mengangkat popularitas nama seorang penyair. Keempat, sebagai akumulasi dari ketiga alasan di atas, sejauh ini media dan kritik sastra di tanah air tampaknya tidak begitu berpihak terhadap karya-karyanya. Selama beberapa dekade Ajamuddin aktif dan produktif berkarya, selama itu pula tak ada satu pun tulisan (esai atau kritik sastra) yang membicarakan sajak-sajaknya secara memadai, apalagi dalam bentuk ulasan khusus. Kalaupun ada kritikus yang menyebut-nyebut nama Ajamuddin Tifani, hal itu tidak lebih dari singgungan sekilas atau bahkan sekadar menjejerkan namanya di antara sederet nama penyair lainnya.  

Lepas dari persoalan di atas, satu hal yang sangat menarik dari karya-karya maupun sosok kepenyairan Ajamuddin adalah keteguhan sikapnya yang terus konsisten berkiprah dalam koridor sastra keagamaan (religius Islam). Ketika gagasan tentang “sastra transendental” (Kuntowijoyo) atau “sastra sufistik” (Abdul Hadi W.M.) mulai bergaung hangat dalam jagat sastra Indonesia modern di tahun 1980-an, bersama beberapa sastrawan-penyair lainnya ia pun tampil sebagai salah seorang pendukung beratnya. Sejak itu, genre sastra sufistik telah menjadi pilihan jalur kepenyairannya. Bahkan, sebagaimana tampak pada sajak-sajak terakhirnya, penulisan genre sastra sufistik itu tetap dipertahankan hingga menjelang akhir hayatnya. Sebab, menurut pengakuannya, dengan sajak-sajak sufistik itu jiwannya merasa terkatarsis dari masa-masa gelap prakepenyairannya.[2]

/ 2 /
Sebagaimana kita telah mafhum, genre sastra sufistik merupakan bentuk transformasi kreatif dari tradisi sastra sufi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam literatur sastra sufi di abad-abad yang lampau keberadaan al-Quran merupakan kanon puitik dan sumber inspirasi yang tak pernah kering-keringnya bagi proses kreatif penciptaan karya-karya mereka. Hampir semua karya para penyair sufi dapat dipastikan mengandung pesan-pesan Qurani, pesan-pesan profetik yang sering kali belaku universal. Kenyataan itu menunjukkan bahwa mereka demikian serius dalam memanfaatkan teks-teks Kitab Suci sebagai sumber ilham penciptaan, sebagai landasan estetik dalam berkesenian.

Salah satu karya sastra sufi klasik yang dipandang sangat kental diwarnai nukilan-nukilan interpretatif ayat-ayat al-Quran adalah Matsnawi, mahakarya penyair sufi agung dari Persia, Maulana Jalaluddin Rumi. Konon, karya Rumi yang paling monumental ini terlahir sebagai wujud upaya sang penyair untuk memenuhi permohonan muridnya, Husamuddin Chalabi, yang meminta agar sang guru menulis sebuah kitab tentang rahasia-rahasia makrifat dalam bentuk seperti Hadiqah karya Sana’i atau Manthiq al-Thayr-nya Fariduddin Aththar yang banyak mempergunakan kisah-kisah dan tema-tema al-Quran. Memang, berkat kepiawaian Rumi, Matsnawi pun kemudian dikenal sebagai komentar esoteris yang sangat mendalam atas al-Quran. Sehingga, dengan ungkapan yang agak berlebihan, Jami pernah menyebutnya sebagai hast qur’an dar zaban-i pahlavi (al-Quran dalam bahasa Persia).[3]

Sebenarnya, fenomena yang sama juga dapat kita temukan dalam khazanah sastra Melayu klasik, terutama syair-syair karya Hamzah Fansuri. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Abdul Hadi W.M. lewat sebuah telaah kritisnya yang sangat mendalam terhadap syair-syair Fansuri, tak kurang dari 24 nukilan ayat al-Quran terdapat dalam sejumlah syair karya penyair sufi Melayu klasik ini.[4] Daftar kutipan ayat-ayat al-Quran dimaksud barulah dalam bentuknya yang eksplisit. Oleh karena itu, jika data tersebut ditambah lagi dengan pemanfaatan tema, istilah-istilah Qurani, atau dalam bentuk interpretatifnya sudah tentu akan semakin menguatkan simpulan kita bahwa syair-syair karya Fansuri tersebut sesungguhnya tak kalah Quraninya dibandingkan dengan karya-karya para penyair sufi Arab dan Persia.

/ 3 /
Tradisi menempatkan teks-teks al-Quran sebagai kanon puitik dalam penciptaan karya-karya sastra sufi sebagaimana tampak pada Matsnawi-nya Rumi atau syair-syair Fansuri di atas hingga dewasa ini pun masih terlihat jejaknya dalam karya-karya sastra sufistik, baik yang berkembang di tanah air maupun dari belahan dunia lain. Dari khazanah sastra Indonesia modern, jejak-jejak indah tradisi semacam itu antara lain dapat kita temukan dalam sejumlah sajak karya Ajamuddin Tifani. Sebagai salah seorang penyair Indonesia kontemporer yang dengan sadar telah mengukuhkan diri dan estetika kepenyairannya di bawah haribaan sastra sufistik, upaya melakukan adaptasi dan interpretasi atas ayat-ayat al-Quran dalam sajak-sajaknya sudah tentu merupakan buah renungan yang sangat intens terhadap teks-teks Kitab Suci itu, di samping menunjukkan apresiasinya yang tingi terhadap esoterisisme Islam.

Dari sekian banyak sajaknya yang bernilai Qurani, ada belasan sajak yang secara eksplisit memperlihatkan nukilan ayat-ayat Kitab Suci Islam tersebut. Akan tetapi, semata-mata karena alasan teknis, dalam tulisan singkat ini hanya akan dibahas lima sajak di antaranya yang dipandang relative mewakili beberapa sajak lainnya. Hal ini lebih diperkuat lagi oleh karena sang penyair tampaknya memang sengaja melengkapi sajak-sajaknya dengan catatan kaki (footnote) atau bentuk catatan penjelas lainnya yang berfungsi sebagai referen tekstual atas ayat al-Quran tertentu yang dijadikan sumber rujukan. Kelima sajak di maksud masing-masing bertajuk “Ada Daun Gugur”, “Lautan Malam”, “Menerbangi Maghrib”, ”Inwal Nun”, dan “Pembidas”. Sebagai pembuka diskusi ini, mari kita selami bagaimana interpretasi dan sikap sang penyair terhadap salah satu ayat al-Quran lewat sajaknya yang berikut ini:

ADA DAUN GUGUR

lalu i’tibar itu berserakan: keserakahan, peperangan, daun gugur
yang menguning, dan hujan yang ungu dan air sungai yang kelabu
dan awan yang menebar bianglala di mana-mana… di mana-mana
seekor capung sekarat di ujung lalang; sekali ia menyebutmu:
penyair, lalu diam, kau ambil sayapnya, untuk kau tenun
menjadi jubahmu, alangkah indah bekas-bekas tanganmu, penyair
lihatlah hari-hari maha karya direjang seloka waktumu
dan, demi waktu, ujarmu di antara desau arus sungai
aku ada di tebing, di lunas, dan di riam-riamnya
hari pun lingsir
aku menggigil

“Demi Waktu,” ujarmu lagi, tapi alangkah fasih diam ini
 jendela yang kacanya ditempias hujan jadi berlinangan
suara seloka kita kau biarkan hanyut ke muara
di tengah sungai, sebentar nanti perahumu akan milir di sini
kunanti dikau menyapa oleng lanting-ku: lalu aku tersipu
aku sudah mengawini kesunyianmu, ujarku, ketika
seloka belum selesai kueja
lalu waktu pun binasa [5]

Jika kita cukup jeli, tanpa kehadiran catatan kaki sekalipun sebenarnya kutipan frase “Demi Waktu” pada larik kedua belas yang menjadi pembuka bait kedua dalam sajak di atas sudah cukup memberi isyarat kepada kita untuk segera menyimpulkan bahwa penciptaan sajak “Ada Daun Gugur” tersebut jelas telah diilhami oleh salah satu ayat atau bahkan surat al-Quran. Sebab, sebagaimana kita mafhum, “Demi Waktu” merupakan bentuk terjemahan bebas dari kata Arab wal’ashr (QS. 103: 1) yang lazim diindonesiakan menjadi “Demi Masa”. Selain itu, bertolak dari asumsi bahwa kebanyakan sajak Ajamuddin memiliki kecenderungan sufistik, maka makna keseluruhan sajak tersebut tentunya juga tidak terlepas dari dimensi esoterisnya dalam perspektif kesufian. Akan tetapi, persoalannya sekarang, bagaimana sesungguhnya peran semantis kata “waktu” atau “masa” itu dalam konstelasi semiotiknya sehingga memberi makna bagi penanda-penanda lain yang tersebar dalam larik-larik sajak tesebut?

Kita tahu, “waktu” merupakan sesuatu yang nisbi tetapi sekaligus sebagai sebuah realitas. Dalam sajak ini tampaknya ada upaya sang penyair untuk memberikan kontras antara “waktu yang sakral” dan “waktu yang profan”.[6] Dalam perspektif sufisme, waktu yang sakral berhubungan dengan Realitas Atas, sedangkan waktu yang profan mengacu pada realitas duniawi yang serba terbatas dan bersifat tidak langgeng. Oleh karena itu, konsep “waktu” dalam sajak ini jelas lebih mengacu pada waktu yang sakral, terutama dalam larik-larik yang memperlihatkan hubungan aku-lirik dengan Realitas Atas, yakni Tuhan azza wajalla. Sementara, konsep waktu yang profan terlihat dalam larik-larik yang memperlihatkan hubungan horizontal aku-lirik dengan dunia sekeliling yang dirasa, dilihat, dan didengarnya.

Fenomena duniawi yang profan —seperti keserakahan, peperangan, penindasan manusia atas manusia, dan segala bentuk kezaliman— memberikan pengajaran atau perumpamaan (i’tibar) yang berharga bagi aku-lirik dalam upaya menyikapi setiap persoalan hidupnya. Semua itu dikembalikannya pada Sang Khalik ketika ia sendiri telah menyari akan hakikat kemakhlukannya yang dhaif (lemah), sebagaimana dapat kita tangkap pada tiga larik penutup sajak ini: aku sudah mengawini kesunyianmu, ujarku/ ketika seloka belum selesai kueja/ lalu waktu pun binasa.

Konsep “waktu” dalam larik terakhir ini jelas merujuk pada waktu yang profan oleh karena sifat ketidaklanggengannya. Namun, bagaimanapun, eksistensi semantis “waktu” di sini mesti dikembalikan pada konteks primordialnya sebagai anugerah Tuhan yang harus diberi makna sendiri oleh setiap individu. Sebab, sebagaimana penegasan Tuhan selanjutnya dalam surat yang sama: Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh, nasihat-menasihati agar menaati kebenaran, serta nasihat-menasihati agar menetapi kesabaran (QS. 103: 2—3). Jadi, dalam konteksnya yang demikianlah “waktu” yang dimiliki manusia akan menjadi lebih bermakna. Karena, bukankah Tuhan telah berfirman: Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk mengabdi kepada-Ku (QS. 35: 10).

Selanjutnya, sajak bertajuk “Lautan Malam” agaknya merupakan wujud interpretasi dan pernyatan sikap sang penyair terhadap doktrin laila al-qadr (malam kemuliaan), sebagaimana yang telah diiluminasikan Tuhan dalam firman-Nya, Surat al-Qadr (QS. 97: 1—5). Dalam sajak ini sang penyair tampaknya mengutip ayat yang kelima, sebagaimana dapat kita tangkap pada larik ketiga belas bait kedua: “Malam itu adalah kesejahteraan sampai pagi tiba. Namun, untuk melihat sejauh mana peran kontekstual kutipan ayat tersebut, berikut ini marilah kita simak larik demi larik sajak dimaksud:

LAUTAN MALAM

lihatlah nganga lautan malam dan deru nafas mabuknya
melahap daratan mimpiku, dan mengunyahnya lumat
tak cukup seribu syair meredakan rindu punggukku
pada bulanmu; nanar pandangnya menatap waktu
detik yang melaju berlayar di angin, mengiris sepi demi sepi
melintasi jantung mimpi kecemasanku; hidup tak mampu
menggenapi ratapannya

seperti yang sudah-sudah, tercelup lagi ia
dalam limbur cahaya malam; seperti yang sudah-sudah pun
pulang ia ke sangkarnya di hatiku yang rapuh ini, kekasih
kuseru sekalian kesunyian malam untuk dahaganya
setelah hari serasa permulaan lagi untuk merdeka:
“Malam itu adalah kesejahteraan sampai pagi tiba”
duh, bersama bayang-bayang malam
kudendangkan rubayat bulan terluka dan benua-benua kelam
masih pingsan dari kemanusiaannya
dan bidukku mulai berlayar di lunas malam

sungguh, tak cukup seribu biduk melayari laut malammu
tapi, tak cukup seribu syair meredakan rindu punggukku [7]

Gatra “lautan malam” yang sekaligus menjadi judul sajak ini jelas mengacu pada makna eksklusifnya sebagai misteri “malam kemuliaan” (laila al-qadr) yang merupakan anugerah terbesar bagi umat Rasulullah, Muhammad s.a.w. Dengan demikian, setiap muslim sudah seyogianya harus berusaha memberi makna atas misteri yang tersembunyi di dalamnya. Setiap muslim harus berupaya untuk menemukan “cahaya” dan “kebenaran” ilahiah yang ada padanya. Sebab, seperti telah ditegaskan dalam al-Quran: Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS. 97: 3—5).

Kendati secara eksplisit Surat al-Qadr ini berbicara tentang riwayat waktu diturunkannya al-Quran, tetapi dalam esoterisisme Islam malam itu dipandang sebagai suatu malam yang penuh misteri sehingga kehadirannya senantiasa didambakan setiap muslim. Oleh karena kadar malam yang misteri itu berbanding dengan (bahkan lebih baik daripada) seribu bulan, maka segala bentuk ibadah pada malam itu akan bernilai seribu kali lipat dibanding dengan nilai ibadah pada malam-malam biasa (lainnya).[8] Gambaran malam yang sakral inilah, dalam sajak ini, yang diungkapkan oleh sang penyair sebagai “lautan” —sebuah citra kemahaluasan yang senantiasa mendamba kapal-kapal dan perahu-perahu berlayaran untuk kemudian karam di tengahnya.

Secara hermeneutik, penggunaan metafor “lautan” dalam konteks sajak ini tampaknya mengacu pada makna esoterisnya sebagai ”lautan makrifat” dan merupakan “lintasan” bagi penyingkapan hakikat diri dan misteri keilahian. Dengan penghayatan semacam itu, maka sang aku-lirik merasa berada dalam kerinduan yang sangat untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Namun, ia pun sadar bahwa misteri lautan malam itu tak cukup dilayari dengan seribu biduk —sebuah citraan yang mengacu pada tindak ibadah atau ritual keagamaan seperti salat, membaca al-Quran, dan zikir. Meskipun begitu, sang aku-lirik tampaknya tetap optimis: sungguh, tak cukup seribu biduk melayari laut malammu/ tapi, tak cukup seribu syair meredakan rindu punggukku.

Sajak lainnya yang juga mengandung nukilan ayat al-Quran adalah “Menerbangi Magrib”. Dalam sajak ini, ayat al-Quran tidak dikutip secara tekstual, tetapi lebih dalam bentuk adaptasi. Hal ini dapat kita baca pada tiga larik dalam bait ketiganya, hasil adaptasi penyair terhadap penggalan salah satu ayat al-Quran (Surat Al-Anfaal) itu berbunyi: sesuatu yang tampak naif dan tak begitu berdaya/ karena ‘bukankah ini tangannya yang melempar/ bukan tangan kita’? Lalu, bandingkanlah dengan kutipan terjemahan ayat dimaksud seutuhnya di bawah ini:

Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. 8: 17).

Sebenarnya, konteks ayat ini membicarakan tentang sokongan Tuhan terhadap kaum muslimin (mukminin) dalam peristiwa Perang Badr. Namun, dalam sajak ini, penyair tampaknya justru menempatkan makna ayat tersebut secara kontekstual dalam fenomena kekinian yang melingkunginya. Kutipan penggalan ayat tersebut lebih dimaksudkan sebagai penanda bagi sifat Tuhan, kodrat (Yang Berkuasa)  dan iradat (Yang Berkehendak), yang senantia menjadi semacam “garis-batas” setiap langkah kehidupan manusia. Jadi, dengan demikian, apa pun yang dilakukan manusia, bagaimanapun nasib yang menimpanya, pada hakikatnya semua itu merupakan ketentuan Sang Maha Berkehendak. Selebihnya, manusia hanya memiliki peluang untuk berusaha, bertawakal, bersabar, dan berdoa untuk mengembalikan segalanya kepada al-Khalik, pada kodrat dan iradat-Nya. Gambaran semacam itulah yang dapat kita tangkap dalam larik-larik sajak “Menerbangi Magrib”. Bacalah kutipannya berikut ini:

MENERBANGI MAGHRIB

merangkak di atas bukit kenyataan
menatap pedih burung lepas senja
apa yang kauturuni
setelah puncak yang terjejaki darah hatimu ini
di lembah padi menguning, tapi lapar menggulung tegalan
begitu berahi dendam keputusasaan melibas kesabaran
menyerahlah sebentar, sebab kita akan mengepungnya dengan doa

sesuatu yang tampak naif dan tak begitu berdaya
karena ‘bukankah ini tangannya yang melempar
bukan tangan kita’?

aku mengingatnya di rumput, di batu, di debu
bawah tubuh-tubuh kita adalah perlawanan itu sendiri
ingatlah kami, sebelum doa berubah menjadi kutukan
mengubah impian jadi perlawanan [9]

Barangkali, esensi pesan moral dalam sajak di atas adalah agar manusia tidak semata-mata menyerah secara total pada garis nasib yang menimpanya (kendati dalam kesadaran teomorfis semua itu sudah merupakan ketentuan Sang Khalik), tetapi harus berusaha melakukan sesuatu (berupa perlawanan atau setidak-tidaknya berdoa). Sebab, dalam perspektif seorang mukmin, doa adalah senjata, di samping menjadi ketentraman jiwa (QS. 9: 103). Dengan kesadaran demikian, maka penyair pun menutup bait pertama sajaknya di atas dengan larik berbunyi: menyerahlah sebentar, sebab kita akan mengepungnya dengan doa.

“Ihwal Nun” adalah sajak Ajamuddin lainnya yang juga mengandung nukilan ayat al-Quran. Sajak ini merupakan kecaman halus terhadap orang-orang yang hanya “menerjemahkan” eksistensi Tuhan sebagai ajang perdebatan dan pertengkaran. Persoalan-persoalan superioritas ras, penghambaan pada rasio-intelektual, serta pikiran-pikiran keagamaan yang picik dan cenderung sektarianistis merupakan sasaran kritik sang penyair. Pendek kata, “Ihwal Nun” (baca: misteri keilahian) mencoba menyadarkan siapa saja agar mau bersikap lebih inklusif dalam upaya memahami fenomena ketuhanan dan kaitannya dengan hidup manusia. Mari kita hayati dua bait pembukanya berikut ini:

sekelompok orang mempertengkarkan kehadiranmu
dan mereka membual tentang pertemuan demi pertemuannya
denganmu; tapi, langit tetap hening, dan awan-awan berpijar
bertahun sudah di jalan yang ramai ini aku menantimu
mengapa mereka menghadirkanmu selalu dalam pertengkaran
lalu mereka berbaku hantam, berbunuh-bunuhan, dan darah…
mereka ciptakan sungai darah….

mereka ciptakan sendiri sejarah yang tunggal warna tentangmu
“bacalah!” serumu berulang, bahkan dilantangkan dari
tenggorokan dan urat leher; “bacalah!”, tapi yang mereka baca
adalah dendam dan kehormatan kabilah yang menafikan
kabilah lainnya: dari kitab suci yang mana mereka mempelajari
dendam ini, kekasih…

Kata “Bacalah!” (iqra) yang merupakan terjemahan dari bagian awal ayat pertama atau ketiga al-Quran Surat al-Alaq (QS. 96: 1 dan 3) memberi petunjuk agar manusia menggunakan akal dan kemampuan intelektualnya untuk mengkaji dan mempelajari segala fenomena alam yang ada. Namun, “perintah belajar” ini sudah tentu dalam batas-batas yang wajar sehingga tidak justru menimbulkan bencana bagi kehidupan umat manusia itu sendiri. Sebab, perintah “Bacalah!” memang tidak seyogianya diberi makna dalam konteksnya yang lepas-bebas, tetapi hendaknya dilandasi dengan akal sehat dan  jiwa yang suci —sebagaimana fitrah manusia adalah makhluk yang hanief (cenderung pada kebenaran dan kebajikan). Maka, dengan kesadaran profetik demikianlah sang penyair kemudian mengajak kita untuk bersikap lebih bijaksana: hidup berdampingan dengan damai di bawah naungan cinta-kasih semesta. Kita baca lagi larik-larik pada bait penutupnya berikut ini:

kenyataan inilah yang mengisi ratapanku
karena siapa saja yang melintas di jalan ini adalah saudaraku
wahai, singgahlah, bukalah terompahmu, dan ikutilah
cengkerama dan tarian musim, bersamaku kita kubur
keburukan dendam; membubunglah bersama udara ke inti matahari
nyalakan api kasih semesta, dan dengarlah ia menyeru:
“wahai jiwa yang tenang,
kembalilah padaku dengan hati yang iklas dan diridhai
masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku
masuklah ke dalam surgaku” [10]

Empat larik penutup yang dimaksudkan sebagai kutipan empat ayat terakhir Surat al-Fajr (QS. 89: 27—30) dalam bait penutup sajak “Ihwal Nun” di atas merupakan ajakan simpatik kepada siapa saja yang merasa dirinya berdosa agar segera bertobat, sekaligus juga memberi isyarat tentang manusia terpilih yang telah mencapai kesempurnaan batinnya. Kiranya, inilah gambaran manusia yang telah mampu melepaskan diri dari segala persoalan dunia yang profan. Inilah “terminal terakhir” dari perjalanan sang jiwa, sebagaimana menjadi pesan sentral sajak ini.

Kecuali sajak-sajak yang telah dibahas sebelumnya, sebuah lagi sajak Ajamuddin yang secara eksplisit menempatkan al-Quran sebagai kanon puitiknya, yakni sajak berjudul “Pembidas”. Menurut catatan penyair, sajak ini merupakan bias adaptatif dari al-Quran al-Karim, Surat at-Taubah (QS. 9).[11] Akan tetapi, jika kita teliti, secara keseluruhan isi Surat at-Taubah ini ternyata cukup panjang (terdiri atas 129 ayat). Lebih-lebih karena dalam sajak ini sang penyair tidak secara eksplisit merujuk pada ayat tertentu yang menginspirasi dan menjiwai proses kreatif penciptaan sajaknya. Dengan demikian, agak sulit kiranya bagi kita untuk dapat menentukan ayat-ayat mana saja di antara 129 ayat dalam Surat at-Taubah tersebut yang dimaksudkan penyair sebagai kanon puitik penciptaan sajaknya yang satu ini. Namun, dilihat dari konteks keseluruhan larik sajak, sang penyair tampaknya telah mengambil sejumlah ayat yang membicarakan tentang kecaman Tuhan terhadap golongan yang menyalahgunakan perintah berjihad di jalan Allah (fi sabililah), khususnya dalam peristiwa Perang Tabuk. Dengan demikian, persoalan tematis yang menjadi fokus pembicaraan dalam sajak ini tampaknya dapat dikaitkan dengan kisah orang-orang munafik yang enggan berjihat di jalan Allah dengan alasan yang dicari-cari. Sebab, mereka lebih mementingkan kehidupan duniawi, kendati Tuhan telah menegaskan bahwa kenikmatan hidup di dunia itu hanyalah sedikit (QS. 9: 38).  Bacalah kutipan sajaknya di bawah ini:

PEMBIDAS

di Madyan, Rass, Sodom
(mereka kehilangan keesaanmu, tapi mereka mencarinya lagi sekarang, bahkan itulah yang membawa mereka kepada berhala-berhala baru) 
kami begitu majemuk di hadapanmu, saudara kandung kami sekarang
adalah benda-benda, ibu-bapa kami sekarang adalah uang dan
teknologi;  kami berguru kepada singa, mengimami nafsu kami

maaf, kedudukanmu kami geser ke tepi; sebab harta
lebih menarik, nyata dan asasi, kemajuan kami ukur dari materi
ke teknologi, benda dan harta adalah takaran manusia kami
(perang memperanakkan perang, kelaparan dan kesombongan ras memberangus  benua, gunung api dan banjir membarahkan derita
mengusir kemanusian ke rimba tak bernama)

kami nikahi kemunafikan, kemungkaran, kebatilan, itulah sebabnya
mengapa kami begitu serakah, agama kami lihat dari bursa
modal besar dan komoditi, sekaligus menafsirkan firmanmu dalam
bahasa komputer, mesin dan angka-angka
(seseorang, siapakah dia, menegakkan tauhid di tengah pasar
dan orang-orang menertawakannya; ia tadahkan tangan ke langit
orang-orang melemparinya dengan batu dan tinja; sekejap
langit pun merah kesumba, menyalakan bara menjilatkan lidah
api, telah dibasuh suatu kaum, telah…)

Secara leksikal, kata “pembidas” berarti “pasukan penggempur” atau “pasukan penyerbu”. Dengan mengambil latar kisah Perang Tabuk yang di dalamnya diwarnai cerita segolongan kaum munafik yang lebih mementingkan diri sendiri daripada ikut berjihad bersama Rasulullah, penyair membawa konteks “kisah kemunafikan” ini pada fenomena kehidupan mutakhir yang disaksikan dan didengarnya. Maka, dalam larik-larik sajaknya, hadirlah jargon-jargon kemodernan yang menandai kemajuan zaman seperti “teknologi”, “bursa”, “modal besar”, “komoditi”, dan “komputer”. Jargon-jargon tersebut terasa lebih berkonotasi pada sisi negatif peradaban zaman yang membawa manusia pada titik nadir kemanusiaannya: mengusir kemanusiaan ke rimba tak bernama. Karena, dalam kondisi dunia yang artifisial demikian, manusia lebih banyak yang kehilangan visi keilahiannya dan cenderung terjadi penghambaan pada materi sebagai bentuk berhala-berhala baru. Seperti diungkapkan penyair dalam bait pertamanya: saudara kandung kami sekarang adalah benda-benda, ibu-bapa kami sekarang adalah uang dan teknologi; kami berguru kepada singa, mengimami nafsu kami. Gambaran kebangkrutan moral demikian juga terungkap dalam bait ketiga: kami nikahi kemunafikan, kemungkaran, kebatilan, itulah sebabnya mengapa kami begitu serakah; agama kami lihat dari bursa modal besar dan komoditi, sekaligus menafsirkan firmanmu dalam bahasa komputer, mesin dan angka-angka.

Lalu, siapakah sosok penyelamat yang diungkapkan penyair dengan ungkapan retoris: seseorang, siapakah dia, menegakkan tauhid di tengah pasar dan orang-orang menertawakannya; ia tadahkan tangan ke langit, orang-orang melemparinya dengan batu dan tinja…? Larik-larik ini segera mengingatkan kita pada sejarah kehidupan Rasulullah, Muhammad s.a.w, pada masa-masa awal menjalankan misi kenabiannya berabad-abad silam: menegakkan kalimat tauhid di muka bumi ini. Kisah misi kenabian yang penuh tantangan dan derita ini antara lain terungkap pula dalam Surat at-Taubah: “Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi…” (QS. 9: 61), sebagai gambaran tragis dalam perjalanan hidup Rasulullah pada saat menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam dan risalah kenabiannya. Hal ini juga telah tergambar dalam ayat al-Quran berikut ini:

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (QS. 9: 128).

/ 4 /
Demikianlah kiranya sentuhan intertekstual serta makna implisit yang dapat kita tangkap dalam kelima sajak di atas. Akan tetapi, oleh karena teks sastra merupakan dunia yang mungkin dan makna sajak bersifat multitafsir, tentu saja masih banyak celah yang mungkin dapat kita masuki guna memberi makna sajak-sajak tersebut secara kontekstual. Selain itu, penggunaan pintu masuk yang berbeda mungkin akan menghasilkan makna yang berbeda pula.[12] Namun begitu, dengan uraian di atas setidaknya telah kita temukan benang merahnya. Melalui sajak-sajaknya yang bernada profetik tersebut, Ajamuddin tampaknya telah coba menginternalisasi segala fenomena keduniaan yang profan dalam dimensi kerohanian Islam. Hal demikian juga menunjukkan bahwa sang penyair telah coba mengaktualisasikan diri dalam perannya sebagai hamba maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, di samping kelima sajak yang telah dibicarakan di atas sebenarnya masih ada sejumlah sajak Ajamuddin lainnya yang juga berisi nukilan maupun sebagai bentuk adaptasi ayat-ayat al-Quran atau setidak-tidaknya memperlihatkan bahwa Kitab Suci itu merupakan kanon puitik dalam proses penciptaannya. Sajak-sajak bertajuk “Musa”, “An-Nas”, “Tarian Fakir”, “Risalah Sunyi”, “Nyanyian Setangkai Kembang”, dan “Risalah Seekor Anak Domba” adalah beberapa sajak yang memperlihatkan kecenderungan tersebut. Oleh karena itu, untuk menghasilkan sebuah ulasan lengkap dan komprehensif mengenai sentuhan al-Quran dalam sajak-sajak Ajamuddin Tifani tentu saja dibutuhkan pemeriksaan yang lebih intensif lagi, di samping juga diperlukan pembacaan secara ekstensif.

CATATAN KAKI :

[1] Sepeninggal Ajamuddin (6 Mei 2002), satu-satunya buku puisi yang representatif sebagai bukti sejarah perjalanan kepenyairannya hanyalah Tanah Perjanjian (Jakarta: Hasta Mitra, 2005). Buku yang diberi kata pengantar oleh Abdul Hadi W.M. ini dapat terbit atas sokongan dana dari Tariganu (sahabat almarhum, Pengelola Yayasan Bengkel Seni ’78 Jakarta) dan kontribusi dokumen dari beberapa rekan penyair Kalimantan Selatan lainnya, terutama berkat kerja keras Micky Hidayat, Maman S. Tawie, dan Y.S. Agus Suseno yang telah berinisiatif menghimpun dan menyiapkan naskahnya.
[2] Pengakuan ini disampaikannya melalui sebuah wawancara tertulis (bertanggal 10 Mei 1998) untuk memenuhi permintaan saya dalam rangka penyusunan laporan penelitian ilmiah bertajuk “Sajak-sajak Ajamuddin Tifani dalam Sentuhan Sufistik: Hermeneutika Kerohanian sebagai Titik Tolak Pengkajian” (1999).
[3] Lihat Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, Terj. Sutejo (Bandung: MIzan, 1993), hlm. 136.
[4] Baca catatan Abdul Hadi W.M. pada bagian “Glosarium” bukunya, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 145—146.
[5] Ada dua catatan kaki yang diturunkan Ajamuddin di bawah teks sajak ini. Pertama, ia menuliskan kutipan ayat wal’ashr (ditulis dalam huruf Arab) yang dilengkapi dengan terjemahan Indonesianya, “Demi Masa” (QS. 103: 1). Kedua, “Rumah terapung di pinggiran sungai-sungai di Kalsel (singkatan dari Kalimantan Selatan —JTS)” sebagai makna penjelas untuk kata lanting (dari bahasa Banjar).
[6] Uraian agak memadai mengenai kontras kedua konsep ini, baca misalnya esai kritisnya K. Bertens, “Yang Sakral dan yang Profan dalam Penghayatan Tradisional Homo-Religiousus Menurut Mircea Eliade,” (Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III No. 3 Th. 1992), hlm. 47—51.
[7] Di bawah teks sajak ini, Ajamuddin menuliskan catatan kaki: Al-Qur’an 5: 5 (baca: surat kelima ayat kelima —JTS). Akan tetapi, setelah saya lakukan pengecekan, dalam hal ini agaknya ia telah melakukan kekeliruan. Sebab, surat kelima dalam al-Quran adalah Surat Al-Maaidah (terdiri atas 120 ayat) dan ayat kelimanya berisi risalah tentang hubungan antara orang-orang mukmin dan ahli Kitab dalam hal makanan dan pernikahan. Adapun kalimat “Malam itu adalah kesejahteraan sampai pagi tiba” yang diberi catatan kaki jelas merupakan terjemahan bebas dari ayat kelima Surat al-Qadr (QS. 97: 5). Oleh karena itu, dalam rangka penjajakan intertekstual sajak dan upaya menemukan makna kontekstualnya, kekeliruan tersebut perlu dikembalikan pada rujukan yang semestinya (QS. 97: 5).
[8] Banyak tafsir yang berkembang mengenai doktrin “malam kemuliaan” (laila al-qadr) yang hanya terjadi setahun sekali itu, yakni dalam bulan Ramadan. Sebagian ulama mengatakan bahwa malam itu akan jatuh pada rentangan sepuluh hari terakhir Ramadan, terutama pada hitungan malam-malam ganjil (malam ke-21, 23, 25, 27, atau 29), dengan tanda-tanda alam yang sangat khas (misal, angin teduh tidak bertiup dan penuh kedamaian sepanjang malam).
[9] Di bawah teks sajak ini Ajamuddin menurunkan catatan kaki yang berisi kutipan penggalan QS. Al-Anfaal (8): 17 yang ditulis dalam huruf Arab beserta terjemahan Indonesianya: ketika engkau melepas anak panah dari busurnya bukan engkau melepaskannya akan tetapi Tuhan. Untuk terjemahan versi Ajamuddin ini saya tidak menemukan sumber rujukannya, tetapi dalam versi Al Quran dan Terjemahnya (Departemen Agama Republik Indonesia) terjemahan tersebut berbunyi: dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.  
[10] Di bawah teks sajak ini Ajamuddin menurunkan catatan kaki: Al-Quran 89: 28, 29, 30 (yang berarti merujuk pada QS. 89: 28—30). Dalam hal ini, setelah saya teliti, ternyata empat larik penutup sajak tersebut dimaksudkan sebagai kutipan dari terjemahan empat ayat terakhir Surat Al-Fajr (QS. 89: 27—30). Namun, larik berbunyi kembalilah padaku dengan hati yang iklas dan diridhai agaknya masih perlu diragukan kebenarannya sebagai terjemahan QS. 89: 28. Sebab, dalam versi Al Quran dan Terjemahnya (Departemen Agama Republik Indonesia) terjemahan tersebut berbunyi: Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
[11] Berbeda dengan beberapa sajak terdahulu yang menggunakan catatan kaki, sajak ini diberi catatan penjelas yang dituliskan di bawah judul di kanan atas teks sajak: bias adaptatif dari Al Qur’anul Karim surah At Taubah.
[12] Salah satu model pembacaan lainnya terhadap sajak-sajak Ajamuddin Tifani antara lain telah dilakukan oleh Abdul Hadi WM melalui esai pengantarnya untuk antologi puisi Ajamuddin Tifani, Tanah Perjanjian (Jakarta: Hasta Mitra, 2005), hlm. x—xviii. Dalam esai tersebut Abdul Hadi juga menilai bahwa “Pembidas” merupakan salah satu sajak terbaik yang pernah ditulis Ajamuddin.

SUMBER TULISAN :
Esai ini pernah dimuat dalam Jurnal Rumahlebah: Ruangpuisi, edisi #02/2009); juga dimuat sebagai bagian dari buku saya, Tragika Sang Pecinta: Gayutan Sufistik Sajak-sajak Ajamuddin Tifani (Yogyakarta: Akar-Indonesia, 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar