Mengaji (Nukilan) Al-Quran
dalam Sepilihan Sajak Ajamuddin
Tifani
Oleh : Jamal T. Suryanata
diamlah, ada penyair tiba pada ujung sunyinya
tangisnya menjelma burung-burung kertas
ratapan pada dunia yang membeku di tangannya
yang sudah termaafkan, ketika waktunya menderas
( Ajamuddin Tifani
)
/ 1 /
Dalam kancah kepenyairan Indonesia modern, nama
Ajamuddin Tifani mungkin tidaklah begitu populer sebagaimana popularitas Amir
Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Abdul
Hadi W.M, atau Afrizal Malna. Hal itu, sejauh yang dapat saya pahami, bukan karena
tingkat produktivitasnya yang rendah dalam berkarya atau dilantarankan
sajak-sajaknya yang tidak berbobot literer, melainkan lebih disebabkan oleh belum
berpihaknya “nasib baik” terhadap ketokohan dan karya-karyanya.
Kalau kita runut lebih jauh, paling tidak ada empat alasan
yang dapat dipandang sebagai prakondisi terjadinya hal tersebut. Pertama, jika bagi
seorang penyair pendobrakan estetik merupakan suatu keharusan untuk mencapai
popularitas, maka Ajamuddin bukanlah seorang penyair avan garde yang pernah membawa pembaruan —apalagi menawarkan “isme”
tertentu— dalam estetika perpuisian Indonesia modern sebagaimana
beberapa nama di atas. Sajak-sajak yang pernah ditulisnya tidak lebih dari
bentuk perpanjangan dari tradisi perpuisian yang sudah ada, kendati dengan
beberapa polesan inovatif sebagai karakter pribadi atau gaya ucap kepenyairannya. Kedua, kurang
produktifnya dalam bidang penulisan esai dan kritik sastra agaknya juga turut
memberi andil terhadap kurang populernya nama Ajamuddin dalam percaturan sastra
di tanah air. Padahal, diakui atau tidak, untuk beberapa kasus hal itu jelas dapat
memberikan kontribusi dalam mengangkat popularitas nama seorang penyair.
Ketiga, kendati secara kuantitas maupun kualitas sajak-sajaknya lebih dari
sekadar layak untuk diterbitkan, tetapi hingga menjelang akhir hayatnya
Ajamuddin belum beruntung dapat menerbitkan karya-karya puisinya dalam bentuk
buku yang representatif. [1] Padahal,
kita juga tahu, buku (baca: antologi puisi pribadi) merupakan salah satu “dongkrak”
yang dapat mengangkat popularitas nama seorang penyair. Keempat, sebagai
akumulasi dari ketiga alasan di atas, sejauh ini media dan kritik sastra di
tanah air tampaknya tidak begitu berpihak terhadap karya-karyanya. Selama
beberapa dekade Ajamuddin aktif dan produktif berkarya, selama itu pula tak ada
satu pun tulisan (esai atau kritik sastra) yang membicarakan sajak-sajaknya
secara memadai, apalagi dalam bentuk ulasan khusus. Kalaupun ada kritikus yang
menyebut-nyebut nama Ajamuddin Tifani, hal itu tidak lebih dari singgungan
sekilas atau bahkan sekadar menjejerkan namanya di antara sederet nama penyair
lainnya.
Lepas dari persoalan di atas, satu hal yang sangat
menarik dari karya-karya maupun sosok kepenyairan Ajamuddin adalah keteguhan
sikapnya yang terus konsisten berkiprah dalam koridor sastra keagamaan (religius
Islam). Ketika gagasan tentang “sastra transendental” (Kuntowijoyo) atau
“sastra sufistik” (Abdul Hadi W.M.) mulai bergaung hangat dalam jagat sastra Indonesia
modern di tahun 1980-an, bersama beberapa sastrawan-penyair lainnya ia pun
tampil sebagai salah seorang pendukung beratnya. Sejak itu, genre sastra
sufistik telah menjadi pilihan jalur kepenyairannya. Bahkan, sebagaimana tampak
pada sajak-sajak terakhirnya, penulisan genre sastra sufistik itu tetap
dipertahankan hingga menjelang akhir hayatnya. Sebab, menurut pengakuannya,
dengan sajak-sajak sufistik itu jiwannya merasa terkatarsis dari masa-masa
gelap prakepenyairannya.[2]
/ 2 /
Sebagaimana kita telah mafhum, genre sastra sufistik merupakan
bentuk transformasi kreatif dari tradisi sastra sufi. Sudah bukan rahasia lagi
bahwa dalam literatur sastra sufi di abad-abad yang lampau keberadaan al-Quran
merupakan kanon puitik dan sumber inspirasi yang tak pernah kering-keringnya
bagi proses kreatif penciptaan karya-karya mereka. Hampir semua karya para penyair
sufi dapat dipastikan mengandung pesan-pesan Qurani, pesan-pesan profetik yang
sering kali belaku universal. Kenyataan itu menunjukkan bahwa mereka demikian
serius dalam memanfaatkan teks-teks Kitab Suci sebagai sumber ilham penciptaan,
sebagai landasan estetik dalam berkesenian.
Salah satu karya sastra sufi klasik yang dipandang
sangat kental diwarnai nukilan-nukilan interpretatif ayat-ayat al-Quran adalah Matsnawi, mahakarya penyair sufi agung
dari Persia,
Maulana Jalaluddin Rumi. Konon, karya Rumi yang paling monumental ini terlahir
sebagai wujud upaya sang penyair untuk memenuhi permohonan muridnya, Husamuddin
Chalabi, yang meminta agar sang guru menulis sebuah kitab tentang rahasia-rahasia
makrifat dalam bentuk seperti Hadiqah
karya Sana’i atau Manthiq al-Thayr-nya
Fariduddin Aththar yang banyak mempergunakan kisah-kisah dan tema-tema
al-Quran. Memang, berkat kepiawaian Rumi, Matsnawi
pun kemudian dikenal sebagai komentar esoteris yang sangat mendalam atas
al-Quran. Sehingga, dengan ungkapan yang agak berlebihan, Jami pernah
menyebutnya sebagai hast qur’an dar
zaban-i pahlavi (al-Quran dalam bahasa Persia).[3]
Sebenarnya, fenomena yang sama juga dapat kita temukan
dalam khazanah sastra Melayu klasik, terutama syair-syair karya Hamzah Fansuri.
Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Abdul Hadi W.M. lewat sebuah telaah kritisnya
yang sangat mendalam terhadap syair-syair Fansuri, tak kurang dari 24 nukilan
ayat al-Quran terdapat dalam sejumlah syair karya penyair sufi Melayu klasik ini.[4]
Daftar kutipan ayat-ayat al-Quran dimaksud barulah dalam bentuknya yang
eksplisit. Oleh karena itu, jika data tersebut ditambah lagi dengan pemanfaatan
tema, istilah-istilah Qurani, atau dalam bentuk interpretatifnya sudah tentu
akan semakin menguatkan simpulan kita bahwa syair-syair karya Fansuri tersebut sesungguhnya
tak kalah Quraninya dibandingkan dengan karya-karya para penyair sufi Arab dan
Persia.
/ 3 /
Tradisi menempatkan teks-teks al-Quran sebagai kanon puitik dalam
penciptaan karya-karya sastra sufi sebagaimana tampak pada Matsnawi-nya Rumi atau syair-syair Fansuri di atas hingga dewasa
ini pun masih terlihat jejaknya dalam karya-karya sastra sufistik, baik yang berkembang
di tanah air maupun dari belahan dunia lain. Dari khazanah sastra Indonesia
modern, jejak-jejak indah tradisi semacam itu antara lain dapat kita temukan
dalam sejumlah sajak karya Ajamuddin Tifani. Sebagai salah seorang penyair Indonesia
kontemporer yang dengan sadar telah mengukuhkan diri dan estetika
kepenyairannya di bawah haribaan sastra sufistik, upaya melakukan adaptasi dan
interpretasi atas ayat-ayat al-Quran dalam sajak-sajaknya sudah tentu merupakan
buah renungan yang sangat intens terhadap teks-teks Kitab Suci itu, di samping
menunjukkan apresiasinya yang tingi terhadap esoterisisme Islam.
Dari sekian banyak sajaknya yang bernilai Qurani, ada belasan
sajak yang secara eksplisit memperlihatkan nukilan ayat-ayat Kitab Suci Islam
tersebut. Akan tetapi, semata-mata karena alasan teknis, dalam tulisan singkat ini
hanya akan dibahas lima
sajak di antaranya yang dipandang relative mewakili beberapa sajak lainnya. Hal
ini lebih diperkuat lagi oleh karena sang penyair tampaknya memang sengaja melengkapi
sajak-sajaknya dengan catatan kaki (footnote)
atau bentuk catatan penjelas lainnya yang berfungsi sebagai referen tekstual
atas ayat al-Quran tertentu yang dijadikan sumber rujukan. Kelima sajak di
maksud masing-masing bertajuk “Ada Daun Gugur”, “Lautan Malam”, “Menerbangi
Maghrib”, ”Inwal Nun”, dan “Pembidas”. Sebagai pembuka diskusi ini, mari kita selami
bagaimana interpretasi dan sikap sang penyair terhadap salah satu ayat al-Quran
lewat sajaknya yang berikut ini:
ADA DAUN GUGUR
lalu i’tibar itu berserakan:
keserakahan, peperangan, daun gugur
yang menguning, dan hujan
yang ungu dan air sungai yang kelabu
dan awan yang menebar
bianglala di mana-mana… di mana-mana
seekor
capung sekarat di ujung lalang; sekali ia menyebutmu:
penyair,
lalu diam, kau ambil sayapnya, untuk kau tenun
menjadi
jubahmu, alangkah indah bekas-bekas tanganmu, penyair
lihatlah
hari-hari maha karya direjang seloka waktumu
dan,
demi waktu, ujarmu di antara desau arus sungai
aku
ada di tebing, di lunas, dan di riam-riamnya
hari
pun lingsir
aku
menggigil
“Demi
Waktu,” ujarmu lagi, tapi alangkah fasih diam ini
jendela yang kacanya ditempias hujan jadi
berlinangan
suara
seloka kita kau biarkan hanyut ke muara
di
tengah sungai, sebentar nanti perahumu akan milir di sini
kunanti
dikau menyapa oleng lanting-ku: lalu aku tersipu
aku
sudah mengawini kesunyianmu, ujarku, ketika
seloka
belum selesai kueja
lalu
waktu pun binasa [5]
Jika kita cukup jeli, tanpa
kehadiran catatan kaki sekalipun sebenarnya kutipan frase “Demi Waktu” pada
larik kedua belas yang menjadi pembuka bait kedua dalam sajak di atas sudah
cukup memberi isyarat kepada kita untuk segera menyimpulkan bahwa penciptaan
sajak “Ada Daun Gugur” tersebut jelas telah diilhami oleh salah satu ayat atau
bahkan surat al-Quran. Sebab, sebagaimana kita mafhum, “Demi Waktu” merupakan
bentuk terjemahan bebas dari kata Arab wal’ashr
(QS. 103: 1) yang lazim diindonesiakan menjadi “Demi Masa”. Selain itu,
bertolak dari asumsi bahwa kebanyakan sajak Ajamuddin memiliki kecenderungan
sufistik, maka makna keseluruhan sajak tersebut tentunya juga tidak terlepas
dari dimensi esoterisnya dalam perspektif kesufian. Akan tetapi, persoalannya
sekarang, bagaimana sesungguhnya peran semantis kata “waktu” atau “masa” itu
dalam konstelasi semiotiknya sehingga memberi makna bagi penanda-penanda lain
yang tersebar dalam larik-larik sajak tesebut?
Kita tahu, “waktu” merupakan sesuatu yang nisbi tetapi
sekaligus sebagai sebuah realitas. Dalam sajak ini tampaknya ada upaya sang penyair
untuk memberikan kontras antara “waktu yang sakral” dan “waktu yang profan”.[6]
Dalam perspektif sufisme, waktu yang sakral berhubungan dengan Realitas Atas,
sedangkan waktu yang profan mengacu pada realitas duniawi yang serba terbatas
dan bersifat tidak langgeng. Oleh karena itu, konsep “waktu” dalam sajak ini jelas
lebih mengacu pada waktu yang sakral, terutama dalam larik-larik yang
memperlihatkan hubungan aku-lirik dengan Realitas Atas, yakni Tuhan azza wajalla. Sementara, konsep waktu
yang profan terlihat dalam larik-larik yang memperlihatkan hubungan horizontal
aku-lirik dengan dunia sekeliling yang dirasa, dilihat, dan didengarnya.
Fenomena duniawi yang profan —seperti keserakahan,
peperangan, penindasan manusia atas manusia, dan segala bentuk kezaliman— memberikan
pengajaran atau perumpamaan (i’tibar)
yang berharga bagi aku-lirik dalam upaya menyikapi setiap persoalan hidupnya.
Semua itu dikembalikannya pada Sang Khalik ketika ia sendiri telah menyari akan
hakikat kemakhlukannya yang dhaif
(lemah), sebagaimana dapat kita tangkap pada tiga larik penutup sajak ini: aku sudah mengawini kesunyianmu, ujarku/
ketika seloka belum selesai kueja/ lalu waktu pun binasa.
Konsep “waktu” dalam larik terakhir ini jelas merujuk
pada waktu yang profan oleh karena sifat ketidaklanggengannya. Namun,
bagaimanapun, eksistensi semantis “waktu” di sini mesti dikembalikan pada
konteks primordialnya sebagai anugerah Tuhan yang harus diberi makna sendiri
oleh setiap individu. Sebab, sebagaimana penegasan Tuhan selanjutnya dalam surat yang sama: Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh,
nasihat-menasihati agar menaati kebenaran, serta nasihat-menasihati agar menetapi
kesabaran (QS. 103: 2—3). Jadi, dalam konteksnya yang demikianlah “waktu”
yang dimiliki manusia akan menjadi lebih bermakna. Karena, bukankah Tuhan telah
berfirman: Dan tidaklah Aku ciptakan jin
dan manusia kecuali hanya untuk mengabdi kepada-Ku (QS. 35: 10).
Selanjutnya, sajak bertajuk “Lautan Malam” agaknya merupakan
wujud interpretasi dan pernyatan sikap sang penyair terhadap doktrin laila al-qadr (malam kemuliaan),
sebagaimana yang telah diiluminasikan Tuhan dalam firman-Nya, Surat al-Qadr (QS. 97: 1—5). Dalam sajak ini sang
penyair tampaknya mengutip ayat yang kelima, sebagaimana dapat kita tangkap
pada larik ketiga belas bait kedua: “Malam
itu adalah kesejahteraan sampai pagi tiba.” Namun, untuk melihat sejauh mana peran kontekstual kutipan ayat
tersebut, berikut ini marilah kita simak larik demi larik sajak dimaksud:
LAUTAN MALAM
lihatlah
nganga lautan malam dan deru nafas mabuknya
melahap
daratan mimpiku, dan mengunyahnya lumat
tak
cukup seribu syair meredakan rindu punggukku
pada
bulanmu; nanar pandangnya menatap waktu
detik
yang melaju berlayar di angin, mengiris sepi demi sepi
melintasi
jantung mimpi kecemasanku; hidup tak mampu
menggenapi
ratapannya
seperti
yang sudah-sudah, tercelup lagi ia
dalam
limbur cahaya malam; seperti yang sudah-sudah pun
pulang
ia ke sangkarnya di hatiku yang rapuh ini, kekasih
kuseru
sekalian kesunyian malam untuk dahaganya
setelah
hari serasa permulaan lagi untuk merdeka:
“Malam
itu adalah kesejahteraan sampai pagi tiba”
duh,
bersama bayang-bayang malam
kudendangkan
rubayat bulan terluka dan benua-benua kelam
masih
pingsan dari kemanusiaannya
dan
bidukku mulai berlayar di lunas malam
sungguh,
tak cukup seribu biduk melayari laut malammu
tapi,
tak cukup seribu syair meredakan rindu punggukku [7]
Gatra “lautan malam” yang
sekaligus menjadi judul sajak ini jelas mengacu pada makna eksklusifnya sebagai
misteri “malam kemuliaan” (laila al-qadr)
yang merupakan anugerah terbesar bagi umat Rasulullah, Muhammad s.a.w. Dengan
demikian, setiap muslim sudah seyogianya harus berusaha memberi makna atas
misteri yang tersembunyi di dalamnya. Setiap muslim harus berupaya untuk
menemukan “cahaya” dan “kebenaran” ilahiah yang ada padanya. Sebab, seperti
telah ditegaskan dalam al-Quran: Malam
kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS. 97:
3—5).
Kendati secara eksplisit Surat
al-Qadr ini berbicara tentang riwayat waktu diturunkannya al-Quran, tetapi
dalam esoterisisme Islam malam itu dipandang sebagai suatu malam yang penuh
misteri sehingga kehadirannya senantiasa didambakan setiap muslim. Oleh karena
kadar malam yang misteri itu berbanding dengan (bahkan lebih baik daripada)
seribu bulan, maka segala bentuk ibadah pada malam itu akan bernilai seribu
kali lipat dibanding dengan nilai ibadah pada malam-malam biasa (lainnya).[8] Gambaran malam yang sakral inilah, dalam
sajak ini, yang diungkapkan oleh sang penyair sebagai “lautan” —sebuah citra
kemahaluasan yang senantiasa mendamba kapal-kapal dan perahu-perahu berlayaran
untuk kemudian karam di tengahnya.
Secara hermeneutik, penggunaan metafor “lautan” dalam
konteks sajak ini tampaknya mengacu pada makna esoterisnya sebagai ”lautan
makrifat” dan merupakan “lintasan” bagi penyingkapan hakikat diri dan misteri
keilahian. Dengan penghayatan
semacam itu, maka sang aku-lirik merasa berada dalam kerinduan yang sangat
untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Namun, ia pun sadar bahwa misteri lautan
malam itu tak cukup dilayari dengan seribu biduk —sebuah citraan yang mengacu
pada tindak ibadah atau ritual keagamaan seperti salat, membaca al-Quran, dan
zikir. Meskipun begitu, sang aku-lirik tampaknya tetap optimis: sungguh, tak cukup seribu biduk melayari
laut malammu/ tapi, tak cukup seribu syair meredakan rindu punggukku.
Sajak lainnya yang juga
mengandung nukilan ayat al-Quran adalah “Menerbangi Magrib”. Dalam sajak ini,
ayat al-Quran tidak dikutip secara tekstual, tetapi lebih dalam bentuk
adaptasi. Hal ini dapat kita baca pada tiga larik dalam bait ketiganya, hasil
adaptasi penyair terhadap penggalan salah satu ayat al-Quran (Surat Al-Anfaal)
itu berbunyi: sesuatu yang tampak naif
dan tak begitu berdaya/ karena ‘bukankah ini tangannya yang melempar/ bukan
tangan kita’? Lalu, bandingkanlah dengan kutipan terjemahan ayat dimaksud
seutuhnya di bawah ini:
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan
tetapi Allah-lah yang membunuh
mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah
yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk
memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik.
Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. 8: 17).
Sebenarnya, konteks ayat ini membicarakan tentang
sokongan Tuhan terhadap kaum muslimin (mukminin) dalam peristiwa Perang Badr.
Namun, dalam sajak ini, penyair tampaknya justru menempatkan makna ayat
tersebut secara kontekstual dalam fenomena kekinian yang melingkunginya.
Kutipan penggalan ayat tersebut lebih dimaksudkan sebagai penanda bagi sifat Tuhan,
kodrat (Yang Berkuasa) dan iradat
(Yang Berkehendak), yang senantia menjadi semacam “garis-batas” setiap langkah
kehidupan manusia. Jadi, dengan demikian, apa pun yang dilakukan manusia,
bagaimanapun nasib yang menimpanya, pada hakikatnya semua itu merupakan
ketentuan Sang Maha Berkehendak. Selebihnya, manusia hanya memiliki peluang
untuk berusaha, bertawakal, bersabar, dan berdoa untuk mengembalikan segalanya
kepada al-Khalik, pada kodrat dan iradat-Nya. Gambaran semacam itulah yang
dapat kita tangkap dalam larik-larik sajak “Menerbangi Magrib”. Bacalah kutipannya
berikut ini:
MENERBANGI MAGHRIB
merangkak di atas bukit
kenyataan
menatap pedih burung lepas
senja
apa yang kauturuni
setelah puncak yang
terjejaki darah hatimu ini
di lembah padi menguning,
tapi lapar menggulung tegalan
begitu berahi dendam
keputusasaan melibas kesabaran
menyerahlah
sebentar, sebab kita akan mengepungnya dengan doa
sesuatu
yang tampak naif dan tak begitu berdaya
karena
‘bukankah ini tangannya yang melempar
bukan
tangan kita’?
aku
mengingatnya di rumput, di batu, di debu
bawah
tubuh-tubuh kita adalah perlawanan itu sendiri
ingatlah
kami, sebelum doa berubah menjadi kutukan
Barangkali, esensi pesan moral
dalam sajak di atas adalah agar manusia tidak semata-mata menyerah secara total
pada garis nasib yang menimpanya (kendati dalam kesadaran teomorfis semua itu
sudah merupakan ketentuan Sang Khalik), tetapi harus berusaha melakukan sesuatu
(berupa perlawanan atau setidak-tidaknya berdoa). Sebab, dalam perspektif
seorang mukmin, doa adalah senjata, di samping menjadi ketentraman jiwa (QS. 9:
103). Dengan kesadaran demikian, maka penyair pun menutup bait pertama sajaknya
di atas dengan larik berbunyi: menyerahlah
sebentar, sebab kita akan mengepungnya dengan doa.
“Ihwal Nun” adalah sajak Ajamuddin
lainnya yang juga mengandung nukilan ayat al-Quran. Sajak ini merupakan kecaman
halus terhadap orang-orang yang hanya “menerjemahkan” eksistensi Tuhan sebagai
ajang perdebatan dan pertengkaran. Persoalan-persoalan superioritas ras,
penghambaan pada rasio-intelektual, serta pikiran-pikiran keagamaan yang picik
dan cenderung sektarianistis merupakan sasaran kritik sang penyair. Pendek
kata, “Ihwal Nun” (baca: misteri keilahian) mencoba menyadarkan siapa saja agar
mau bersikap lebih inklusif dalam upaya memahami fenomena ketuhanan dan
kaitannya dengan hidup manusia. Mari kita hayati dua
bait pembukanya berikut ini:
sekelompok orang
mempertengkarkan kehadiranmu
dan mereka membual tentang
pertemuan demi pertemuannya
denganmu; tapi, langit
tetap hening, dan awan-awan berpijar
bertahun sudah di jalan
yang ramai ini aku menantimu
mengapa mereka
menghadirkanmu selalu dalam pertengkaran
lalu
mereka berbaku hantam, berbunuh-bunuhan, dan darah…
mereka
ciptakan sungai darah….
mereka
ciptakan sendiri sejarah yang tunggal warna tentangmu
“bacalah!”
serumu berulang, bahkan dilantangkan dari
tenggorokan
dan urat leher; “bacalah!”, tapi yang mereka baca
adalah
dendam dan kehormatan kabilah yang menafikan
kabilah
lainnya: dari kitab suci yang mana mereka mempelajari
dendam
ini, kekasih…
Kata “Bacalah!” (iqra) yang merupakan terjemahan dari
bagian awal ayat pertama atau ketiga al-Quran Surat al-Alaq (QS. 96: 1 dan 3)
memberi petunjuk agar manusia menggunakan akal dan kemampuan intelektualnya
untuk mengkaji dan mempelajari segala fenomena alam yang ada. Namun, “perintah
belajar” ini sudah tentu dalam batas-batas yang wajar sehingga tidak justru
menimbulkan bencana bagi kehidupan umat manusia itu sendiri. Sebab, perintah
“Bacalah!” memang tidak seyogianya diberi makna dalam konteksnya yang
lepas-bebas, tetapi hendaknya dilandasi dengan akal sehat dan jiwa yang suci —sebagaimana fitrah manusia
adalah makhluk yang hanief (cenderung
pada kebenaran dan kebajikan). Maka, dengan kesadaran profetik demikianlah sang
penyair kemudian mengajak kita untuk bersikap lebih bijaksana: hidup
berdampingan dengan damai di bawah naungan cinta-kasih semesta. Kita baca lagi
larik-larik pada bait penutupnya berikut ini:
kenyataan
inilah yang mengisi ratapanku
karena
siapa saja yang melintas di jalan ini adalah saudaraku
wahai,
singgahlah, bukalah terompahmu, dan ikutilah
cengkerama
dan tarian musim, bersamaku kita kubur
keburukan
dendam; membubunglah bersama udara ke inti matahari
nyalakan
api kasih semesta, dan dengarlah ia menyeru:
“wahai jiwa yang tenang,
kembalilah padaku dengan hati yang iklas dan diridhai
masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku
Empat larik penutup yang
dimaksudkan sebagai kutipan empat ayat terakhir Surat al-Fajr (QS. 89: 27—30)
dalam bait penutup sajak “Ihwal Nun” di atas merupakan ajakan simpatik kepada
siapa saja yang merasa dirinya berdosa agar segera bertobat, sekaligus juga
memberi isyarat tentang manusia terpilih yang telah mencapai kesempurnaan
batinnya. Kiranya, inilah gambaran manusia yang telah mampu melepaskan diri
dari segala persoalan dunia yang profan. Inilah “terminal terakhir” dari
perjalanan sang jiwa, sebagaimana menjadi pesan sentral sajak ini.
Kecuali sajak-sajak yang telah dibahas sebelumnya, sebuah
lagi sajak Ajamuddin yang secara eksplisit menempatkan al-Quran sebagai kanon
puitiknya, yakni sajak berjudul “Pembidas”. Menurut catatan penyair, sajak ini
merupakan bias adaptatif dari al-Quran al-Karim, Surat at-Taubah (QS. 9).[11]
Akan tetapi, jika kita teliti, secara keseluruhan isi Surat at-Taubah ini ternyata cukup panjang
(terdiri atas 129 ayat). Lebih-lebih karena dalam sajak ini sang penyair tidak
secara eksplisit merujuk pada ayat tertentu yang menginspirasi dan menjiwai
proses kreatif penciptaan sajaknya. Dengan demikian, agak sulit kiranya bagi
kita untuk dapat menentukan ayat-ayat mana saja di antara 129 ayat dalam Surat
at-Taubah tersebut yang dimaksudkan penyair sebagai kanon puitik penciptaan
sajaknya yang satu ini. Namun, dilihat dari konteks keseluruhan larik sajak, sang
penyair tampaknya telah mengambil sejumlah ayat yang membicarakan tentang
kecaman Tuhan terhadap golongan yang menyalahgunakan perintah berjihad di jalan
Allah (fi sabililah), khususnya dalam
peristiwa Perang Tabuk. Dengan demikian, persoalan tematis yang menjadi fokus
pembicaraan dalam sajak ini tampaknya dapat dikaitkan dengan kisah orang-orang
munafik yang enggan berjihat di jalan Allah dengan alasan yang dicari-cari.
Sebab, mereka lebih mementingkan kehidupan duniawi, kendati Tuhan telah menegaskan
bahwa kenikmatan hidup di dunia itu hanyalah sedikit (QS. 9: 38). Bacalah kutipan sajaknya di bawah ini:
PEMBIDAS
di Madyan, Rass, Sodom
(mereka kehilangan
keesaanmu, tapi mereka mencarinya lagi sekarang, bahkan itulah yang membawa
mereka kepada berhala-berhala baru)
kami begitu majemuk di
hadapanmu, saudara kandung kami sekarang
adalah
benda-benda, ibu-bapa kami sekarang adalah uang dan
teknologi;
kami berguru kepada singa, mengimami
nafsu kami
maaf,
kedudukanmu kami geser ke tepi; sebab harta
lebih
menarik, nyata dan asasi, kemajuan kami ukur dari materi
ke
teknologi, benda dan harta adalah takaran manusia kami
(perang
memperanakkan perang, kelaparan dan kesombongan ras memberangus benua, gunung api dan banjir membarahkan
derita
mengusir kemanusian ke rimba tak bernama)
kami
nikahi kemunafikan, kemungkaran, kebatilan, itulah sebabnya
mengapa
kami begitu serakah, agama kami lihat dari bursa
modal
besar dan komoditi, sekaligus menafsirkan firmanmu dalam
bahasa
komputer, mesin dan angka-angka
(seseorang, siapakah dia, menegakkan tauhid di tengah pasar
dan orang-orang menertawakannya; ia tadahkan tangan ke langit
orang-orang melemparinya dengan batu dan tinja; sekejap
langit pun merah kesumba, menyalakan bara menjilatkan lidah
api, telah dibasuh suatu kaum, telah…)
Secara leksikal, kata
“pembidas” berarti “pasukan penggempur” atau “pasukan penyerbu”. Dengan
mengambil latar kisah Perang Tabuk yang di dalamnya diwarnai cerita segolongan
kaum munafik yang lebih mementingkan diri sendiri daripada ikut berjihad
bersama Rasulullah, penyair membawa konteks “kisah kemunafikan” ini pada
fenomena kehidupan mutakhir yang disaksikan dan didengarnya. Maka, dalam
larik-larik sajaknya, hadirlah jargon-jargon kemodernan yang menandai kemajuan
zaman seperti “teknologi”, “bursa”, “modal besar”, “komoditi”, dan “komputer”.
Jargon-jargon tersebut terasa lebih berkonotasi pada sisi negatif peradaban
zaman yang membawa manusia pada titik nadir kemanusiaannya: mengusir kemanusiaan ke rimba tak bernama.
Karena, dalam kondisi dunia yang artifisial demikian, manusia lebih banyak yang
kehilangan visi keilahiannya dan cenderung terjadi penghambaan pada materi
sebagai bentuk berhala-berhala baru. Seperti diungkapkan penyair dalam bait
pertamanya: saudara kandung kami sekarang
adalah benda-benda, ibu-bapa kami sekarang adalah uang dan teknologi; kami
berguru kepada singa, mengimami nafsu kami. Gambaran kebangkrutan moral demikian
juga terungkap dalam bait ketiga: kami
nikahi kemunafikan, kemungkaran, kebatilan, itulah sebabnya mengapa kami begitu
serakah; agama kami lihat dari bursa modal besar dan komoditi, sekaligus
menafsirkan firmanmu dalam bahasa komputer, mesin dan angka-angka.
Lalu, siapakah sosok penyelamat yang diungkapkan penyair
dengan ungkapan retoris: seseorang,
siapakah dia, menegakkan tauhid di tengah pasar dan orang-orang
menertawakannya; ia tadahkan tangan ke langit, orang-orang melemparinya dengan
batu dan tinja…? Larik-larik ini segera mengingatkan kita pada sejarah
kehidupan Rasulullah, Muhammad s.a.w, pada masa-masa awal menjalankan misi
kenabiannya berabad-abad silam: menegakkan
kalimat tauhid di muka bumi ini. Kisah misi kenabian yang penuh tantangan dan
derita ini antara lain terungkap pula dalam Surat at-Taubah: “Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi…” (QS.
9: 61), sebagai gambaran tragis dalam perjalanan hidup Rasulullah pada saat menyebarluaskan
ajaran-ajaran Islam dan risalah kenabiannya. Hal ini juga telah tergambar dalam ayat al-Quran
berikut ini:
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin (QS. 9: 128).
/ 4 /
Demikianlah kiranya sentuhan intertekstual serta makna implisit yang
dapat kita tangkap dalam kelima sajak di atas. Akan tetapi, oleh karena teks
sastra merupakan dunia yang mungkin dan makna sajak bersifat multitafsir, tentu
saja masih banyak celah yang mungkin dapat kita masuki guna memberi makna sajak-sajak
tersebut secara kontekstual. Selain itu, penggunaan pintu masuk yang berbeda
mungkin akan menghasilkan makna yang berbeda pula.[12]
Namun begitu, dengan uraian
di atas setidaknya telah kita temukan benang merahnya. Melalui sajak-sajaknya
yang bernada profetik tersebut, Ajamuddin tampaknya telah coba
menginternalisasi segala fenomena keduniaan yang profan dalam dimensi
kerohanian Islam. Hal demikian juga menunjukkan bahwa sang penyair telah coba mengaktualisasikan
diri dalam perannya sebagai hamba maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, di samping kelima
sajak yang telah dibicarakan di atas sebenarnya masih ada sejumlah sajak
Ajamuddin lainnya yang juga berisi nukilan maupun sebagai bentuk adaptasi
ayat-ayat al-Quran atau setidak-tidaknya memperlihatkan bahwa Kitab Suci itu
merupakan kanon puitik dalam proses penciptaannya. Sajak-sajak bertajuk “Musa”,
“An-Nas”, “Tarian Fakir”, “Risalah Sunyi”, “Nyanyian Setangkai Kembang”, dan
“Risalah Seekor Anak Domba” adalah beberapa sajak yang memperlihatkan
kecenderungan tersebut. Oleh karena itu, untuk menghasilkan sebuah ulasan
lengkap dan komprehensif mengenai sentuhan al-Quran dalam sajak-sajak Ajamuddin
Tifani tentu saja dibutuhkan pemeriksaan yang lebih intensif lagi, di samping
juga diperlukan pembacaan secara ekstensif.
CATATAN KAKI :
[1] Sepeninggal Ajamuddin (6 Mei 2002), satu-satunya buku puisi yang
representatif sebagai bukti sejarah perjalanan kepenyairannya hanyalah Tanah Perjanjian (Jakarta: Hasta Mitra, 2005). Buku yang diberi
kata pengantar oleh Abdul Hadi W.M. ini dapat terbit atas sokongan dana dari
Tariganu (sahabat almarhum, Pengelola Yayasan Bengkel Seni ’78 Jakarta) dan
kontribusi dokumen dari beberapa rekan penyair Kalimantan Selatan lainnya,
terutama berkat kerja keras Micky Hidayat, Maman S. Tawie, dan Y.S. Agus Suseno
yang telah berinisiatif menghimpun dan menyiapkan naskahnya.
[2] Pengakuan ini disampaikannya melalui sebuah wawancara tertulis
(bertanggal 10 Mei 1998) untuk memenuhi permintaan saya dalam rangka penyusunan
laporan penelitian ilmiah bertajuk “Sajak-sajak Ajamuddin Tifani dalam Sentuhan
Sufistik: Hermeneutika Kerohanian sebagai Titik Tolak Pengkajian” (1999).
[3] Lihat Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas
dan Seni Islam, Terj. Sutejo (Bandung: MIzan, 1993), hlm. 136.
[4] Baca catatan Abdul Hadi W.M. pada bagian “Glosarium” bukunya, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan
Puisi-puisinya (Bandung: Mizan, 1995),
hlm. 145—146.
[5] Ada
dua catatan kaki yang diturunkan Ajamuddin di bawah teks sajak ini. Pertama, ia
menuliskan kutipan ayat wal’ashr
(ditulis dalam huruf Arab) yang dilengkapi dengan terjemahan Indonesianya,
“Demi Masa” (QS. 103: 1). Kedua, “Rumah terapung di pinggiran sungai-sungai di
Kalsel (singkatan dari Kalimantan Selatan —JTS)” sebagai makna penjelas untuk
kata lanting (dari bahasa Banjar).
[6] Uraian agak memadai mengenai kontras kedua konsep ini, baca
misalnya esai kritisnya K. Bertens, “Yang Sakral dan yang Profan dalam
Penghayatan Tradisional Homo-Religiousus Menurut Mircea Eliade,” (Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. III No. 3 Th. 1992),
hlm. 47—51.
[7] Di bawah teks sajak ini, Ajamuddin menuliskan catatan kaki:
Al-Qur’an 5: 5 (baca: surat
kelima ayat kelima —JTS). Akan tetapi, setelah saya lakukan pengecekan, dalam
hal ini agaknya ia telah melakukan kekeliruan. Sebab, surat kelima dalam al-Quran adalah Surat
Al-Maaidah (terdiri atas 120 ayat) dan ayat kelimanya berisi risalah tentang
hubungan antara orang-orang mukmin dan ahli Kitab dalam hal makanan dan
pernikahan. Adapun kalimat “Malam itu
adalah kesejahteraan sampai pagi tiba” yang diberi catatan kaki jelas
merupakan terjemahan bebas dari ayat kelima Surat al-Qadr (QS. 97: 5). Oleh karena itu,
dalam rangka penjajakan intertekstual sajak dan upaya menemukan makna
kontekstualnya, kekeliruan tersebut perlu dikembalikan pada rujukan yang
semestinya (QS. 97: 5).
[8] Banyak tafsir yang berkembang mengenai doktrin “malam kemuliaan” (laila al-qadr) yang hanya terjadi
setahun sekali itu, yakni dalam bulan Ramadan. Sebagian ulama mengatakan bahwa
malam itu akan jatuh pada rentangan sepuluh hari terakhir Ramadan, terutama
pada hitungan malam-malam ganjil (malam ke-21, 23, 25, 27, atau 29), dengan
tanda-tanda alam yang sangat khas (misal, angin teduh tidak bertiup dan penuh
kedamaian sepanjang malam).
[9] Di bawah teks sajak ini Ajamuddin menurunkan catatan kaki yang
berisi kutipan penggalan QS. Al-Anfaal (8): 17 yang ditulis dalam huruf Arab
beserta terjemahan Indonesianya: ketika
engkau melepas anak panah dari busurnya bukan engkau melepaskannya akan tetapi
Tuhan. Untuk terjemahan versi Ajamuddin ini saya tidak menemukan sumber
rujukannya, tetapi dalam versi Al Quran
dan Terjemahnya (Departemen Agama Republik Indonesia) terjemahan tersebut
berbunyi: dan bukan kamu yang melempar
ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
[10] Di bawah teks
sajak ini Ajamuddin menurunkan catatan kaki: Al-Quran 89: 28, 29, 30 (yang
berarti merujuk pada QS. 89: 28—30). Dalam hal ini, setelah saya teliti,
ternyata empat larik penutup sajak tersebut dimaksudkan sebagai kutipan dari
terjemahan empat ayat terakhir Surat Al-Fajr (QS. 89: 27—30). Namun, larik
berbunyi kembalilah padaku dengan hati yang iklas dan diridhai agaknya masih perlu
diragukan kebenarannya sebagai terjemahan QS. 89: 28. Sebab, dalam versi Al Quran dan Terjemahnya (Departemen
Agama Republik Indonesia)
terjemahan tersebut berbunyi: Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya.
[11] Berbeda dengan beberapa sajak terdahulu yang menggunakan catatan
kaki, sajak ini diberi catatan penjelas yang dituliskan di bawah judul di kanan
atas teks sajak: bias adaptatif dari Al
Qur’anul Karim surah At Taubah.
[12] Salah satu model pembacaan lainnya terhadap sajak-sajak Ajamuddin
Tifani antara lain telah dilakukan oleh Abdul Hadi WM melalui esai pengantarnya
untuk antologi puisi Ajamuddin Tifani, Tanah
Perjanjian (Jakarta:
Hasta Mitra, 2005), hlm. x—xviii. Dalam esai tersebut Abdul Hadi juga menilai
bahwa “Pembidas” merupakan salah satu sajak terbaik yang pernah ditulis
Ajamuddin.
SUMBER TULISAN :
Esai ini pernah dimuat dalam Jurnal Rumahlebah: Ruangpuisi, edisi #02/2009);
juga dimuat sebagai bagian dari buku saya, Tragika
Sang Pecinta: Gayutan Sufistik Sajak-sajak Ajamuddin Tifani (Yogyakarta:
Akar-Indonesia, 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar