Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi :
Menyingkap Jejak Estetik Kepenyairan Micky Hidayat
Oleh : Jamal T. Suryanata
Akhirnya kutempuh jalan sunyi
Sendirian, sendirian
Seperti hatiku yang sunyi
Pasrah di atas batu, diterjang arus air kali
Tak pernah cemas menerima duka abadi
(Micky Hidayat, ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi”)
/ 1 /
Di hadapan saya sekarang telah tergeletak dua versi
buku puisi, dua versi kumpulan sajak. Dikatakan sekadar ”versi” karena keduanya
sama-sama bertajuk Meditasi Rindu dan
sama-sama ditulis oleh Micky Hidayat, tetapi dengan penerbit yang berbeda dan
dengan sedikit perbedaan isi pula. Buku Meditasi Rindu versi pertama
(selanjutnya disebut MR-1)
diterbitkan oleh Penerbit Tahura Media (Banjarmasin, Desember 2008), sedangkan Meditasi Rindu versi kedua (selanjutnya
disebut MR-2) diterbitkan oleh
Penerbit Bukupop (Jakarta, Februari 2009). Dengan demikian, hanya dalam selisih
waktu sekitar dua bulan, Micky telah menerbitkan dua versi buku puisinya. Fenomena
ini (kalau boleh disebut demikian) tentu saja patut dirayakan karena memang
terasa luar biasa, minimal untuk ukuran penyair di jagat sastra Kalimantan
Selatan (kalau bukan malah Indonesia?).
Sebagai
seorang pembaca yang mencoba untuk tidak latah, seraya bertitik tolak dari
kenyataan di atas, mau tidak mau saya harus memaksa diri untuk sedia memeriksa
kedua versi tersebut secara proporsional atau sedapat mungkin tidak bersikap
timpang lantaran mengabaikan begitu saja salah satu di antaranya. Setidak-tidaknya
untuk mengawali pembicaraan ini, kedua versi buku puisi tersebut harus saya
perlakukan sebagai sama penting, kendati kelak di dalamnya akan kita ketahui
pula —di samping pengetahuan kita tentang perbedaan lembaga penerbitnya— adanya
perbedaan intensitas dan sikap penyair terhadap salah satu versi di antaranya (katakanlah
merujuk pada versi yang secara subjektif lebih disukainya). Kesan demikian, paling
tidak, telah menjadi keyakinan saya pribadi setelah memeriksa kedua versi buku
puisi tersebut, setelah menemukan beberapa varian sajak di dalamnya.
/ 2 /
Kendati hanya berdasarkan pembacaan sekilas, secara
kasat mata perbedaan itu setidaknya tampak pada jumlah sajak yang terhimpun
dalam masing-masing antologi, di samping pada tampilan tata letak serta varian
bentuk dan isi beberapa sajak. Juga, kendati kedua buku ini sama-sama
menghimpun sejumlah sajak yang pernah ditulis Micky selama rentang waktu
1980—2008 atau selama lebih-kurang 30 tahun masa kepenyairannya, tetapi dibandingkan
dengan MR-2 yang hanya memuat 66
sajak, versi MR-1 merupakan kumpulan
yang lebih lengkap karena di dalamnya terhimpun sejumlah 108 sajak. Dengan kata
lain, ada 42 sajak yang semula dimuat dalam versi pertama (MR-1) kemudian (agaknya
memang sengaja) ditiadakan dalam versi kedua (MR-2), baik oleh sang penyair sendiri maupun atas interpensi pihak
penerbit. Oleh karena itu, dalam rangka melihat proses kreatif, perjalanan
estetik, dan totalitas kepenyairan seorang Micky Hidayat, versi pertama yang
secara kuantitatif lebih lengkap tentu saja jauh lebih berharga tinimbang versi
kedua yang boleh jadi sudah merupakan bentuk kristalisasi dari versi pertamanya.
Sajak-sajak yang terhimpun
dalam MR-1 secara kronologis dibagi dalam
lima bagian, masing-masing di bawah payung (baca: subjudul) ”Aku Ingin Menjadi
Penyair Yang” (30 sajak, bertitimangsa 1980—1983), ”Sajak Cinta: Interlude” (30
sajak, bertitimangsa 1984—1988), ”Aku Berguru pada Sajak” (15 sajak,
bertitimangsa 1989—1995), ”Meditasi Rindu” (14 sajak, bertitimangsa 1996—2001),
dan ”Telah Kuhapus Kata-kata” (19 sajak, bertitimangsa 2002—2008). Sebaliknya, untuk
66 sajak yang terhimpun dalam versi MR-2 tidak
dibagi ke dalam subjudul-subjudul yang memayunginya, tetapi diturunkan begitu
saja sebagai sekumpulan sajak. Selain itu, pada versi MR-2 juga tidak kita temukan lagi angka tahun sebagai penanda periodisasi
penulisan sajak, baik pada bagian Daftar Isi buku maupun dalam bentuk
titimangsa yang lazim tertera di bawah teks setiap sajak. Di sini, satu masalah
segera menghadang manakala kita ingin melihat perkembangan proses kreatif dan penjelajahan
estetik kepenyairan Micky Hidayat. Atas dasar pemikiran tersebut, untuk
pembicaraan selanjutnya, versi MR-1 akan menjadi rujukan utama,
sedangkan versi MR-2 lebih
diperlakukan sebagai karya pembanding (pun jika kehadirannya memang dipandang
perlu).
Kalau kita cermati lebih jauh,
dari kedua versi buku puisi karya Micky Hidayat ini juga akan kita temukan perbedaan
akibat perubahan judul maupun pada batang tubuh sejumlah sajak sehingga
memunculkan bentuk-bentuk variannya dan pada gilirannya akan dapat memberi
corak pemaknaan baru pula. Dalam versi MR-2,
kita tidak lagi menemukan sajak-sajak bertajuk (1a) ”Aku Ingin Jadi Penyair
Yang”, (2a) ”Di Kaki Malam”, (3a) ”The
Power of Love, 1”, dan (4a) ”Lanskap Kota” sebagaimana yang terdapat dalam
versi MR-1 karena dalam versi MR-2 judul-judul tersebut masing-masing telah
berubah menjadi (1b) ”Penyair”, (2b) ”Di Ujung Malam”, (3b) ”Atas Nama Cinta”,
dan (4b) ”Banjarmasin”. Bahkan, untuk
kasus keempat sajak tersebut perubahan bukan hanya terjadi pada judul,
melainkan juga pada isi sajak (baik sekadar penambahan larik maupun perubahan
pada bait-bait tertentu).
Bait terakhir sajak ”Aku Ingin
Jadi Penyair Yang” (versi MR-1), misalnya, semula hanya terdiri
dari tiga larik: aku ingin jadi penyair
yang/ menulis puisi tak sekadar bermain kata-kata/ tapi untuk menyegarkan sukma.
Kemudian, dalam sajak ”Penyair” (versi MR-2)
bait penutup tersebut berkembang menjadi enam larik: aku ingin jadi penyair/ menulis puisi tak sekadar bermain kata-kata/ apalagi
tega mempermainkan kata-kata/ tapi aku
ingin memperlakukan kata-kata/ sesungguh-sungguh kata/ jadi bermakna. Begitupun
antara sajak ”Di Kaki Malam” (versi MR-1)
dan ”Di Ujung Malam” (versi MR-2), di
samping terjadi perubahan bentuk (tipografi sajak), di dalamnya juga telah terjadi
perubahan isi (berupa penggantian diksi tertentu disertai penambahan larik)
pada bait penutupnya. Perubahan serupa juga akan kita jumpai dalam sajak ”The Power of Love, 1” (versi MR-1) dan ”Atas Nama Cinta” (versi MR-2) maupun antara ”Lanskap Kota”
(versi MR-1) dan ”Banjarmasin” (versi
MR-2). Sementara itu, untuk kasus sajak ”Ekstase Puisi, 1” dan ”Ekstase
Puisi, 2”, dari segi judul memang tetap dipertahankan, tetapi kedua sajak ini
telah berubah tipografinya akibat munculnya upaya pemadatan pada larik-larik
yang (mungkin) terasa longgar dan cenderung berpanjang-panjang dalam versi MR-1.
Bertolak dari beberapa kasus di
atas, satu hal yang dapat dikatakan bahwa dalam proses kreatif kepenyairannya
Micky Hidayat termasuk salah seorang penyair yang tak pernah puas dengan
kata-kata yang pernah dielaborasi dalam sajak-sajak yang telah diciptakannya.
Setiap kali membaca ulang sajak-sajaknya, ia ingin selalu menuliskannya kembali
dengan versi yang baru (dengan pemikiran, intuisi, sikap, dan cara pandang yang
baru pula). Jika beberapa penyair lain sering berharap bahwa dengan telah
dihimpun dan diterbitkannya sejumlah sajak yang pernah ditulis dalam periode
tertentu dalam sebuah antologi puisi tunggal, maka sajak-sajak tersebut
dianggap telah ”aman” (dan karenanya menjadi ”abadi”) dari kemungkinan-kemungkinan
”tindak-keusilan-kreatif” untuk selalu mengotak-atik dan mengubahnya dengan
versi baru. Akan tetapi, pada Micky, hal itu agaknya tidak berlaku. Sebab,
meskipun sepilihan sajak yang pernah ditulisnya selama periode 1980—2008 telah
dihimpun dan diterbitkan dalam sebuah buku puisi tunggal bertajuk Meditasi Rindu (Desember 2008), ternyata
keinginan kreatifnya tetap tak terbendung sehingga hanya dalam selisih waktu
sekitar dua bulan saja lahir kembali Meditasi
Rindu (Februari 2009) dalam versi baru.
Dalam konteks ini, munculnya
versi MR-2 boleh jadi dilantarankan
oleh dan atau merupakan wujud ”tanggapan positif” sang penyair terhadap
beberapa kritik (baca: komentar bernada negatif) yang dilontarkan para pembaca,
terutama oleh Agus R. Sarjono melalui ”Catatan Pengantar”-nya untuk buku MR-1. Sejauh pandangan penulis buku Sastra dalam Empat Orba (2001) ini,
dalam banyak hal sajak-sajak Micky yang menunjukkan hasil berguru dan mengaji
pada sajak (orang lain) tidaklah kelewat mengesankan dibanding sajak-sajaknya
yang berguru dan mengaji pada kemurnian alam.[1]
Atau, boleh jadi pula perubahan sikap itu dipicu oleh komentar singkat yang
dengan nada polos dan tanpa tedeng aling-aling dilontarkan oleh penyair senior D.
Zawawi Imron, ”Sajak-sajak Micky yang alam bagus. Tapi yang sosial politik aku
kurang suka.”[2] Sebab, pada kenyataannya,
dalam versi MR-2 sejumlah sajak yang
bertema sosial-politik agaknya sengaja telah ditiadakan (tentunya setelah
melalui proses seleksi yang cukup ketat oleh penyairnya). Lihatlah, misalnya,
sajak-sajak bertajuk ”Lagu Lapar”, ”Malam Jakarta”, ”Literatur Kesaksian”,
”Testimoni Penyair”, ”Banjarmasin, 23 Mei 1997 (1)”, ” Banjarmasin, 23 Mei 1997
(2)”, ”Reportase dari Kaki Pegunungan Meratus”, ”Palestina, Palestina, Tak Bisa
Aku Melupakanmu”, ”Sampit”, ”Duh, Aceh”, dan ”SOS Kalimantan Selatan”, semuanya
sudah tidak disertakan lagi dalam versi MR-2.
Sebagai
pembaca, jujur harus saya katakan bahwa dari aspek bobot literernya sikap dan penilaian
saya tidak jauh berbeda dengan D. Zawawi Imron maupun Agus R. Sarjono. Sebab, secara
intuitif saya merasakan sajak-sajak Micky yang bercorak liris jauh lebih
memukau tinimbang sejumlah sajak sosial-politiknya yang garang, tendensius, dan
karenanya cenderung lemah dalam nilai estetisnya. Oleh karena itu, kalau saja
harus memilih, secara pribadi saya lebih menyukai MR-2 (yang lebih merepresentasikan sajak-sajak lirik) daripada MR-1 (yang banyak diwarnai sajak-sajak
sosial-politik). Namun, persoalannya tentu tidaklah sesederhana itu. Masalah pemilihan
genre sajak (baca: juga sastra pada umumnya) biasanya sangat ditentukan oleh
momen yang tertangkap, nilai aktualitas, tujuan penulisan, dan publik pembaca
yang hendak dijadikan sasaran. Lagi pula, sebagaimana telah saya katakan
sebelumnya, dalam rangka menyingkap jejak estetik kepenyairan Micky Hidayat,
suka tidak suka, jelas versi MR-1 akan
lebih memegang peranan penting dalam pembicaraan selanjutnya. Dengan kata lain,
pilihan saya untuk menempatkan versi MR-1 sebagai rujukan utama lebih
disebabkan oleh aspek dokumentarnya, bukan pada bobot literernya.
/ 3 /
Mengamati perjalanan estetik kepenyairan Micky
Hidayat sepanjang rentang waktu 1980—2008, minimal sejauh yang terungkap
melalui Meditasi Rindu, setidaknya
ada dua kecenderungan estetik yang dapat saya tangkap. Pada periode awal
kepenyairannya hingga paro dekade 90-an, Micky telah berhasil mengukuhkan
jatidirinya sebagai penulis sajak-sajak lirik. Beberapa di antaranya, sajak-sajak
dari genre inilah yang oleh Agus R. Sarjono disebut sebagai ”sajak-sajak yang
berguru dan mengaji pada kemurnian alam” —yang dalam konteks telaah
komparatifnya diingkarkan dengan ”sajak-sajak yang berguru dan mengaji pada
sajak (orang lain)”.[3]
Salah satu sajak liriknya yang secara estetis saya nilai sangat berhasil
(karena larik-lariknya yang koherensif, penempatan diksinya yang tepat,
metafornya yang segar, dan unsur musikalitasnya yang menonjol) adalah sajak
bertajuk ”Peristiwa”. Mari kita simak kutipan seutuhnya di bawah ini.
PERISTIWA
Diam-diam
gerimis berguguran
Mengabarkan
peristiwa duka pada pohonan
Di
pinggir musim penghabisan
Jalan-jalan
lengang mendenguskan keasingan
Kota
pun tertidur lelap tanpa cahaya bulan
Dan
angin menaburkan aneka warna kembang ziarah
Pada
tanah yang berlumur anyir darah
Kulihat
orang-orang menyelinap dalam kegelapan
Sambil
menundukkan wajah berkeringat kepedihan
Dari
mulut mereka bermuntahan batu-batu zikir
Menimbuni
keharuan, dan pekik-tangis pun berakhir
Segala
peristiwa hanya tinggal abu kenangan
Seperti
matahari yang meledak seketika
Lalu
jatuh di hutan, mendesahkan suara luka
Dari
kejauhan, kudengar ratap burung-burung kehilangan
Kecuali sajak ”Peristiwa”, Micky
juga telah berhasil menulis beberapa sajak alit dengan intensitas perenungan
yang dalam.[4] Sajak-sajak tersebut
antara lain bertajuk ”Sajak Untukmu”, ”Tangkap Aku, Kekasihku”, ”Fantasi
Malam”, ”Bicara pada Batu”, ”Sungai Martapura”, ”Interlude (1)”, ”Angin”,
”Batas”, ”Cerita tentang Musim”, ”Pelayaran”, ”Semakin Senja Hari”, ”Jalan
Sunyi”, ”Memandang Langit”, ”Daerah Kematian”, serta ”Ibu, 1” dan ”Ibu, 2”. Namun demikian, buru-buru harus saya katakan
bahwa selepas periode 1980—1995 pun jejak estetik kepenyairan Micky sebagai
penyair lirik yang baik sebenarnya masih terasa pada beberapa sajaknya yang
kemudian. Sebutlah sajak ”Meditasi Rindu”, ”Jalan Sunyi Pendakian”, dan ”Membaca
Bahasa Sunyimu”. Akan tetapi, dibanding dengan sajak-sajak yang ditulisnya pada
periode sebelumnya, kebanyakan sajak yang terlahir selama periode 1996—2008
sangat terasa intensitas kontemplasinya yang semakin menurun. Barangkali, pokok
persoalannya terletak pada kian menguatnya kecenderungan yang oleh Agus R.
Sarjono dianggap sebagai ”sajak-sajak yang berguru dan mengaji pada sajak
(orang lain)” itulah.
Pada periode ini, proses
kreatif kepenyairan Micky yang jati agaknya memang mulai terkontaminasi oleh
berbagai kecenderungan estetik yang muncul silih-berganti dan menjadi trend pada masanya. Micky mulai terpukau
pada sederet nama besar yang notabene berpengaruh kuat dalam estetika
kepenyairan Indonesia. Melalui beberapa sajaknya, secara eksplisit maupun
implisit dapat kita rasakan napas kepenyairan Chairil Anwar, Taufiq Ismail,
Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, W.S. Rendra, Emha Ainun Nadjib,
Isbedy Stiawan ZS, Afrizal Malna, hingga Ajamuddin Tifani. Kendati yang tampak
secara eksplisit sekadar upaya peminjaman bentuk (bandingkan, misalnya, dengan tipografi
dan gaya penulisan beberapa sajak Sapardi, Sutardji, Afrizal, juga Hamid Jabbar
dan Abrar Yusra), tetapi rembesan diksi dan metafornya pun kadangkala masuk
secara tak disadari. Bahkan, dalam batas tertentu, kadang-kadang tampak pula
keinginan sang penyair sekadar ikut ”bergenit-genit” dengan bentuk. Eksplorasi
bentuk inilah yang kemudian melahirkan sajak-sajak ”Lelah”, ”Ekstase Puisi, 1”,
”Ekstase Puisi, 2”, ”Yang Bernama”, ”Ziarah”, ”Berkali-kali Aku Mabuk”, atau
”Persenggamaan Matahari dan Bulan”.
Kemudian, masih dalam cantelannya
dengan persoalan bentuk, Micky juga telah menulis tiga ”sajak” yang bagi saya
cukup meragukan secara literer. Akan tetapi, penyair ini tampaknya sangat yakin
bahwa ”Banjarmasin, 23 Mei 1997 (2)” yang hanya berisi sederet daftar kata-kata,
”Testimoni Penyair” yang lebih menyerupai sebuah kredo kepenyairan, dan bahkan ”Sajak
Tak Berisi” yang memang tak berisi satu huruf pun di dalamnya (kecuali judul
dan titimangsa tahun penulisan) adalah karya-karya sastra (baca: puisi atawa sajak).[5]
Khusus untuk kasus ”Sajak Tak Berisi”, kalau kita coba kaitkan secara
referensial dengan pernyataannya yang terungkap dalam ”Catatan Penyair”, sangat
mungkin terlahirnya teks ini dilandasi oleh suatu keyakinan pribadi pula bahwa ”penyair
adalah puisi itu sendiri” dan karenanya sebuah puisi tak perlu berisi kata-kata.[6]
Dalam sejumlah sajak Micky
yang lain, pengaruh Rendra dan Emha juga sangat terasa. Hal ini terutama merujuk
pada sajak-sajaknya yang bertema sosial-politik dan atau sosial-budaya yang
cenderung transparan, tendensius, dan bernada meletup-letup. Genre sajak-sajak
kritik sosial semacam inilah tampaknya yang mendominasi estetika perpuisian
Micky selepas paro dekade 90-an. Simaklah beberapa sajaknya (terutama
sajak-sajak panjang) seperti ”Litertur Kesaksian”, ”Reportase dari Kaki
Pegunungan Meratus”, ”Palestina, Palestina, Tak Bisa Aku Melupakanmu”, ”Air
Matamu yang Mawar”, ”Sampit”, Duh, Aceh”, atau ”SOS Kalimantan Selatan”. Namun,
sekali lagi, mulai menguatnya trend
ini dalam sajak-sajak Micky yang kemudian mungkin lebih dilantarankan oleh dorongan
mood sesaat yang seakan terdesak oleh
situasi sosial-politik negeri ini yang memang sedang kritis, terutama pada
sepuluh tahun terakhir menjelang tumbangnya rezim Orde Baru. Oleh karena itu,
di samping karena secara kuantitatif jumlahnya relatif kecil, kehadiran
sajak-sajak tersebut bagi saya tidak lebih dari semacam wujud keinginan ”seorang
tukang kebun” untuk memberi nuansa warna lain dalam keanekaragaman taman bunga
kepenyairan yang telah dibangun dan dirawatnya selama puluhan tahun. Dengan
kata lain, kendati oleh beberapa pengamat sastra lokal kehadiran sejumlah sajak
yang bertema sosial-politik seringkali dianggap merepresentasikan dan atau dipandang
identik dengan estetika kepenyairan Micky Hidayat, menurut hemat saya hal itu
sama sekali tidak dapat dijadikan landasan untuk menggeneralisasikan ciri khas
estetika kepenyairannya. Sebab, secara komparatif, jelas bahwa sajak-sajak
lirisnya jauh lebih dominan dibandingkan dengan sajak-sajaknya yang bercorak
kritik sosial. Bahkan, jika pun harus dilakukan persentasi, saya yakin jumlah
sajaknya yang bercorak kritik sosial-politik itu tidak lebih dari 10 %
dibandingkan genre sajaknya yang lain (khususnya sajak-sajak liris).[7]
/ 4 /
Kalau dalam pembahasan di atas seakan kita telah memetakan
sekadar dua simpul besar kecenderungan estetik sepanjang perjalanan kepenyairan
Micky Hidayat (bahwa paro dekade 90-an ke bawah sebagai ”periode sajak liris”
yang sangat kontemplatif dan paro dekade 90-an ke atas sebagai ”periode sajak
sosial-politik” yang cenderung cair), pada kenyataannya asumsi demikian terlampau
mudah membuat kita terjebak pada upaya menjustifikasikan segala sesuatu secara
hitam-putih. Kita sering lupa melirik ”daerah abu-abu” yang sebenarnya hampir
selalu ada dalam setiap persoalan. Kita sering lupa melihat sesuatu dari dimensi-dimensi
yang lain.
Jika
kita cermati lebih jauh lagi, sepanjang proses kreatif kepenyairannya ternyata
Micky senantiasa mencoba menyemaikan benih-benih nuansa estetik dalam tamansari
perpuisiannya. Paro dekade 90-an ke atas yang diasumsikan sebagai ”periode
sajak sosial-politik” dalam estetika kepenyairan Micky, pada kenyataannya juga
banyak diwarnai oleh sajak-sajak liris yang sarat dengan kontemplasi dan pencerahan
spiritual. Dalam periode 1996—2001, di tengah desakan melahirkan sajak-sajak bertema
sosial-politik, di sini juga masih kita jumpai beberapa sajak bertema religius
atau berkecenderungan transendental. Sajak-sajak semacam ”Doa Sederhana, 1”,
”Doa Sederhana, 2”, ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi”, dan ”Meditasi Rindu”
merupakan beberapa indikator masih adanya kecenderungan tersebut.
Bertolak dari sejumlah sajak
lirisnya yang kemudian, saya melihat bahwa
perjalanan estetik kepenyairan Micky yang kemudian tampaknya bermuara
dan seakan terkristalisasi dalam sebuah sajak bertajuk ”Akhirnya Kutempuh Jalan
Sunyi”. Sajak ini merupakan titik temu, suatu sintesis, antara kesilaman dan
keakanan dalam seluruh rangkaian proses kreatif kepenyairannya. Untuk lebih
jelasnya, mari kita simak larik-larik pembukanya yang cukup sederhana: Dengan hati yang jelaga/ Akhirnya kutempuh
jalan sunyi/ Di antara kebisingan dan polusi kota/ Di balik tatapan aneh
iklan-iklan baja/ Gemerlap cahaya lampu elektronika/ Dan gedung-gedung kaca
berjulangan/ Memantulkan bayanganku yang seakan tiada. Kemudian, sajak ini ditutup
dengan larik-larik senada: Akhirnya
kutempuh jalan sunyi/ Sendirian, sendirian/ Seperti hatiku yang sunyi/ Pasrah
di atas batu, diterjang arus air kali/ Tak pernah cemas menerima duka abadi.
Sajak di atas (baik dari segi judul
maupun bait pembuka dan penutupnya) segera mengingatkan saya pada salah satu sajak
yang pernah ditulis Emha Ainun Nadjib, ”Jalan Sunyi”. Perhatikan diksi dan
rangkaian gatra yang digunakan Emha dalam bait pembuka sajaknya ini: Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi/
Mendendangkan lagu bisu, sendiri di lubuk hati/ Puisi yang kusembunyikan dari
kata-kata/ Cinta yang tak ’kan kutemukan bentuknya (...).[8]
Dalam konteks ini, tentu saja menarik untuk diungkai lebih jauh apakah dalam
proses kreatif penciptaan sajak ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi” sebenarnya telah
terjadi semacam proses intertekstual terhadap sajak ”Jalan Sunyi”? Atau, dengan
kata lain, adakah bait pertama sajak ”Jalan Sunyi”-nya Emha tersebut telah
dimanfaatkan Micky sebagai hipogram untuk penulisan sajaknya yang bertajuk
”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi” itu?
Kalaupun intertektualitas
memang telah terjadi dan sajak ”Jalan Sunyi” benar merupakan hipogramnya, sejauh
yang dapat saya tangkap hal itu hanya sebatas pemicu munculnya inspirasi dalam
proses kreatif penciptaan sajak ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi”. Sebab, kecuali
pada bait pembuka dan penutupnya, pada lima bait lainnya Micky tampaknya telah
melepaskan ”sauh” dari ”jangkar” intertekstual (hipogramatik) penciptaan
sajaknya. Dalam sajak yang tergolong sebagai salah satu dari sejumlah sajak
panjang yang pernah ditulis Micky, khasnya dalam Meditasi Rindu (versi MR-1
maupun MR-2), baik dari segi diksi maupun
metafor-metafor yang digunakan dalam larik-larik selanjutnya telah kembali
memperlihatkan kecerdasan personalnya sebagai seorang penyair liris. Sekadar
contoh yang dianggap cukup representatif, mari kita simak sembilan larik pada bait
ketiganya berikut ini.
Akhirnya
kutempuh juga jalan sunyi
Dalam
getar sujudku, kuseru berulang nama-Mu
Telah
kusempurnakan pasrahku yang membatu
Di
tengah himpitan peradaban zalim dan jahiliyah ini
Di
tengah cengkeraman materialisme dan hedonisme ini
Di
saat terpaan kanker teknologi
Membius
akal sehat ini
Hanya
kepada-Mu aku mengadu
Menyampaikan ketidakberdayaanku
Lepas dari keinginan untuk
berkutat lebih jauh pada persoalan intertekstualitas, dimensi lain yang lebih
penting untuk disoroti adalah spirit dan nilai-nilai implisit yang ingin
diwartakan sang penyair kepada pembaca. ”Jalan sunyi”, saya kira, itulah kata
kuncinya; bahwa ”jalan sunyi” kini telah menjadi pilihan spirit estetika
kepenyairan Micky Hidayat, setidaknya sejak penghujung dekade 90-an hingga
menjelang akhir dasawarsa pertama tahun 2000-an ini. Dengan demikian, kalau hal
itu memang benar, secara futuristis dapat diprediksikan bahwa semangat estetika
kepenyairan Micky pada periode-periode selanjutnya adalah keinginan untuk bersunyi-sunyi
(kembali). Ada semacam kerinduan untuk pulang ke rumah batin sendiri. ”Bismillah/ Akhirnya harus kutempuh jalan
sunyi yang paling sunyi/ Dengan kesabaran dan kesadaran/ Yang menuntunku tanpa
kata/ Aku telah siap mendaki ketinggian gunung/ Tak gentar walau terjatuh dari
puncaknya (...),” ungkap penyair dalam bait keenam sajak di atas. Sebab, dari
berbagai catatan biografis beberapa tokoh sastrawan terkemuka, kecenderungan semacam
itu pada galibnya hampir selalu berlangsung seiring dengan perkembangan usia
seorang penyair. Bukankah kesadaran transendental atawa pencapaian spiritual yang lebih tinggi biasanya memang tidak
datang secara tiba-tiba, tetapi melalui perjalanan panjang dan dengan proses
yang relatif lama?
Dari dimensi ini, perlu
dipertanyakan lebih jauh, ”jalan sunyi” macam apakah sesungguhnya yang hendak
ditempuh sang penyair melalui sajak-sajak transendentalnya itu? Benarkah jalan
sunyi yang dimaksudkan berarti kerinduan untuk pulang ke rumah batin sendiri
atau perjalanan mendaki menuju puncak batin sendiri, sebagaimana yang secara
implisit tampak pada kutipan di atas? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita
lacak kembali jejak estetik kepenyairannya pada periode sebelumnya, setidaknya
ke tahun-tahun awal 1980-an. Pada periode 1980—1983, Micky sebenarnya telah
menulis sejumlah sajak liris yang bertema ketuhanan atau bercorak religius
(Islam). Baik dalam versi MR-1 maupun
versi MR-2, kedua versi buku puisi ini
sama-sama dibuka dengan sebuah sajak liris bertajuk ”Sajak Untukmu” yang sarat
dengan pesan profetik (bahkan bernada sufistik). Perhatikan kutipan lengkapnya
di bawah ini.
SAJAK
UNTUKMU
bila
kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
adalah
rinduku yang mengharapkan kehadiranmu
bila
kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku
adalah
kesepianku ingin selalu bersamamu
bila
sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
adalah
ketidakberdayaanku di hadapanmu
bila
lukaku meneteskan darah di batu
adalah
kekerasan hatiku mencintaimu
bila
ternyata kau tak mencintaiku
aku
tetap menulis sajak-sajak untukmu
Sekarang, apa sesungguhnya makna
kehadiran sajak di atas dan bagaimana seharusnya kita tempatkan dalam konteks
kepenyairan Micky Hidayat? Mengapa sang penyair memilih sajak tersebut sebagai
karya pembuka (dan bukan dengan sajaknya yang lain) untuk kedua versi antologi Meditasi Rindu ini? Saya yakin, tentu ada persoalan diskursif
yang terkandung di dalamnya. Tentu ada sikap dan interes tertentu yang ingin
ditunjukkan sang penyair dengan pilihan tersebut.
/ 5 /
”Pada awal mula, segala sastra adalah religius,” demikian
Romo Mangunwijaya mengawali uraian panjangnya yang ”sangat lezat dan sarat
gizi” tentang keterkaitan antara sastra dan religiusitas.[9]
Kemudian, dari perspektif yang lain, penyair Abdul Hadi WM pernah pula
mengemukakan tentang hakikat berkesusastraan atau berkesenian dengan kata-kata,
”Kembali ke akar, kembali ke sumber.”[10] Saya kira, dalam konteks pembacaan terhadap kemungkinan arah estetika
perpuisian Micky Hidayat pada masa-masa mendatang, kedua ungkapan tersebut
merupakan referensi penting dan sekaligus menjadi kata kunci selanjutnya.
Jika Meditasi Rindu kita posisikan sebagai tumpu seluruh proses kreatif
kepenyairan Micky (kendati tidak selalu demikian, tentu saja), jelas bahwa
ungkapan Mangunwijaya di atas sangat mengena dengan kembali membaca “Sajak
Untukmu” sebagai karya pembuka untuk kedua versi Meditasi Rindu-nya yang sedang kita perbincangkan ini. Sajak tersebut
menjadi semacam isyarat pembenaran terhadap kemungkinan perjalanan estetik
kepenyairannya yang diawali dengan spirit transenden dan diakhiri dengan spirit
transenden pula sebagai bentuk implementasi atas konsep ”pada awal mula, segala
sastra adalah religius” (Y.B. Mangunwijaya) dan “kembali ke akar, kembali ke
sumber” (Abdul Hadi WM). Bukankah
dalam bait penutup sajak di atas, dengan segala kesadaran transendentalnya,
Micky telah mengungkapkan sebuah janji primordial “di hadapan” Sang Kekasih: bila ternyata kau tak mencintaiku/ aku tetap
menulis sajak-sajak untukmu.
Secara semantis, kehadiran
bentuk enklitik -mu pada kata-kata namamu, kehadiranmu, dirimu, bersamamu,
melukaimu, di hadapanmu, mencintaimu, dan untukmu atau pronomoni persona kedua kau dalam sajak di atas memang masih bermakna universal dan
karenanya tetap terbuka untuk berbagai penafsiran. Sebagai sebuah sajak bercorak
romantis, makna konstituen -mu dalam
kata-kata tersebut setidaknya akan berasosiasi dengan kata “kekasih” atau
“orang yang dicintai”. Namun, baik dengan maupun tanpa M kapital di depannya, dalam sebuah sajak bertema religius jelas
bahwa kehadiran bentuk enklitik -mu atau
pronomoni persona kedua kau secara
intuitif dapat dipertautkan dengan bentuk referennya yang juga religius, yakni Kamu
Yang Transenden atau Engkau Yang Transenden (baca: Tuhan). Dengan demikian, secara
keseluruhan, jelas bahwa signifikansi sajak di atas merupakan ungkapan cinta sang
aku-lirik (yang memosisikan dirinya sebagai makhluk yang lemah; dhaif dalam bahasa agamanya) terhadap Khaliknya,
sebagaimana tersirat dalam larik keenam: adalah
ketidakberdayaanku di hadapanmu. Atau,
kalau kita mengacu pada konsep sufisme, sajak di atas merupakan pernyataan
cinta seorang mistikus terhadap Sang Kekasih —sebagaimana konsep Cinta Ilahi
dalam pandangan Rabi’ah al-Adawiyah, Jalaluddin Rumi, Hujwiri, Hafiz, Jami, dan
beberapa tokoh penyair-sufi klasik lainnya.[11]
Percintaan dalam konteks inilah agaknya yang dimaksudkan Micky sebagai “jalan
sunyi” dalam sajak ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi”-nya di atas. Jadi, “jalan
sunyi” itu adalah perjalanan mendaki menuju puncak batin sendiri atau yang lebih-kurang
bermakna pendakian spiritual menuju Cinta Ilahi.
Keyakinan saya pada asumsi
tersebut (jika pernyataan tadi masih dianggap sebatas asumsi) diperkuat dengan
kehadiran beberapa sajak bertema religius lainnya, baik yang ditulis Micky
sebelum maupun selepas paro dekade 90-an. Jalan sunyi itu kadangkala terungkap secara
eksplisit sebagaimana terepresentasikan melalui sajak-sajak bertajuk “Jalan
Sunyi”, “Jalan Sunyi Pendakian”, dan “Tahajud Sunyi”, tetapi tidak jarang hanya
bersifat implisit sebagaimana dapat kita rasakan melalui sajak-sajak ”Tangkap
Aku, Kekasihku”, “Aku Sampan Kau Sungai”, “Memandang Langit”, “Pelayaran”, dan
“Muhammad”. Kecuali ingin mewartakan bahwa “jalan sunyi” itu merupakan
manifestasi pendakian spiritual menuju Cinta Ilahi, secara implisit kehadiran
sajak-sajak tersebut juga merepresentasikan sisi lain dari kesadaran personal seorang
teomorfis untuk pulang ke rumah batin sendiri atau dalam ungkapan “kembali ke
akar, kembali ke sumber”.
Akan tetapi, kalau selanjutnya
konsep-konsep sufisme dan sastra sufi yang hendak dikenakan sebagai acuan
estetik atau sebagai kanon-puitiknya, tampak bahwa sajak-sajak Micky (sejauh
yang dapat saya tangkap melalui Meditasi
Rindu ini) yang berkecenderungan transendental sekalipun pada umumnya masih
dalam batas meraba-raba pada tataran permukaan. Saya belum melihat adanya
kesungguhan sang penyair untuk benar-benar masuk secara total ke dalam haribaan
sastra sufistik. Saya belum melihat pemanfaatan metafor-metafor yang khas
sastra sufistik sebagaimana yang dulu lazim digunakan oleh para penyair sufi klasik,
apalagi untuk membangun pencitraan baru secara eksploratif dengan
ungkapan-ungkapan yang lebih segar. Akan tetapi, buru-buru harus saya katakan
bahwa —di samping “Sajak Untukmu” yang telah dikutipakan di atas— kehadiran
sajak “Pelayaran” cukup membuat saya bahagia. Sebab, dalam sajak ini, harapan
saya untuk dapat kembali menikmati lirik-lirik sufistik sedikit terobati. Sajak
ini mengingatkan saya pada dua larik pembuka sajak “Karam” yang pernah ditulis
Ajamuddin Tifani: aku ingat kamu, sebab,
bukanlah laut namanya/ kalau kau tak membiarkan perahu berkaraman.[12]
Lalu, Micky pun menulis sajaknya seperti berikut ini.
PELAYARAN
Kalau
laut tak berombak
Bukan
laut namanya
Kalau
pantai tak berpasir
Bukan
pantai namanya
Kalau
angin tak meniupkan badai
Bukan
angin namanya
Kalau
perahuku tak bertolak
Bukan
aku takut dihantam ganasnya ombak
Kalau
ada isyarat di cakrawala
Aku
siap berlayar
Mengarungi
keluasan semesta-Mu
Berdasarkan
inti gagasan dan metafor-metafor yang digunakan penyair, sajak di atas cukup
kuat untuk dikatakan berkecenderungan sufistik. Akan tetapi, sebagaimana telah
saya kemukakan sebelumnya, dari segi kedalaman makna esoterisnya sajak ini pun
masih berada pada tataran permukaan. Atau, dengan kata lain, jejak langkah sang
penyair baru menyentuh pintu gerbang sastra sufistik. Sebab, secara implisit
dapat kita tangkap bahwa kesiapan sang aku-lirik untuk berlayar mengarungi keluasan
semesta-Mu (baca: Tuhan) masih sangat bergantung pada ada-tidaknya isyarat
untuk itu. Bukankah, kalau (misalkan) tak ada isyarat di cakrawala berarti
aku-lirik tak akan pernah siap untuk berlayar mengarungi semesta-Mu?
/ 6 /
Sesungguhnya, cerita ini ingin saya akhiri sampai
di sini saja; bahwa ”jalan sunyi” yang hendak ditempuh sang penyair adalah
jalan menuju kedamaian Cinta Ilahi; bahwa jejak langkah kepenyairannya akan
segera memasuki wilayah estetika sastra transendental, serasa sudah sebagai simpulan
final. Akan tetapi, begitu membaca beberapa sajak akhir yang termuat dalam
antologi Meditasi Rindu versi pertama
ini, saya pun segera tertegun dan terpaksan harus berpikir ulang. Kini, agak
sulit bagi saya untuk memetakan secara lebih tajam arah estetika kepenyairan
Micky Hidayat manakala perbicaraan harus dikaitkan dengan beberapa sajak
akhirnya. Mungkin saja saya telah berlaku serampangan, tapi mungkin pula tidak
terlalu latah untuk mengangkat sajak ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi” sebagai
spirit masa depan kepenyairan seorang Micky Hidayat. Entahlah. Namun, setidaknya
ada beberapa kontras konseptual lagi yang kemudian menyisakan bimbang.
Sekarang,
mari kita siapkan diri untuk menjadi saksi sejarah. Dalam suatu pentas perjamuan
artistik, pada level depan dihadirkan sajak-sajak bertajuk ”Beribu Kata”, ”Tak
Bisa Kucatat dalam Sajak”, dan ”Sebab Sajak Masih Kutulis”. Antusiasme meruap
maju, optimisme berhamburan. Lihatlah!
beribu kata tergeletak diam
satu demi satu kutikam
dengan pisau rinduku yang berkilat tajam
melampiaskan rindu dendam
(Bait terakhir sajak ”Beribu Kata”)
begitu
banyak peristiwa
dan
kata-kata
lunglai
tak berdaya
ketika
kucoba
membangunkannya
(Bait terakhir sajak ”Tak Bisa Kucatat dalam
Sajak”)
Kalau
sajak tak lagi ditulis, lalu kata-kata harus
diapakan
dan ke mana dicampakkan?
Sudahlah,
tak perlu saling berdebat!
Sebab sajak masih kutulis.
(Dua bait terakhir sajak ”Sebab Sajak Masih
Kutulis”)
Antusiasme dan optimisme itu
didedahkan sedemikian rupa, menohok ke jantung penonton. Namun, perasaan
optimis itu segera dilukai oleh sang sutradara dengan torehan kata-katanya
sendiri. Sebab, pada level belakangnya, semua kemungkinan estetik itu kemudian
diingkari dengan sederet kemustahilan melalui kehadiran beberapa sajak lainnya:
”Telah Kuhapus Kata-kata”, ”Hilang Kata”, dan terutama ”Sajak Tak Berisi”.
Latar pun mulai gelap, sorot
lampu kian temaram. Pesimisme
diam melingkar. Kini sejarah mengantarkan sebuah kota tua mulai beringsut
memasuki rembang malam. Lalu, beberapa orang bijak tercenung, puluhan kursi
penonton mulai kosong. Mereka
harus bersabar menunggu adegan baru dalam babak lanjutan. Mereka mimpikan pula
semuanya akan berakhir dengan happy
ending. Akan tetapi, sang sutradara agaknya sudah lelah. Suplemen terakhir sudah pula ditelannya. Ia
telah kehabisan kata, lalu berbisik pada asisten agar segera menutup tabir
pementasan. Demikianlah!
telah
kuhapus kata-kata
dan
biarlah segalanya kulupakan
sebelum
matahari, bulan, dan bintang-bintang
tak
lagi memancarkan sinarnya
pada diriku yang tiada
(Bait terakhir sajak ”Telah Kuhapus Kata-kata”)
tapi
kata-kata tak kunjung datang
hingga
penyair lelah bertualang
malam ke siang menanti petang
(Bait terakhir sajak ”Hilang Kata”)
Sebagai klimak, puncak adegan
dalam pementasan yang sangat dramatis itu, sang asisten bukannya menutup tabir
dengan gerakan pelan-pelan, melainkan meruntuhkannya dengan cara memotong putus
tali layar seketika. Ya, karena sang penyair justru menutup kumpulan sajak Meditasi Rindu versi pertamanya ini
dengan sebuah sajak yang tak berisi satu kata pun (kecuali judul dan tahun
penulisan, 2008). Adakah ini semacam pertanda akan kesudahan segala? Lihat
saja!
SAJAK
TAK BERISI
....
Dengan
”sajak” (baca: sajak yang bukan sajak) semacam itu sebagai penutup antologi puisinya,
apakah Micky ingin menegaskan bahwa ”jalan sunyi” yang dimaksudkannya
benar-benar sebagai jalan yang paling sunyi hingga tak satu suara pun akan
terdengar? Apakah ”jalan sunyi” kepenyairan yang hendak ditempuhnya selepas Meditasi Rindu justru dalam konteks tidak
akan bersentuhan lagi dengan dunia olah-kata yang selama puluhan tahun telah
digelutinya itu? Entahlah!
CATATAN KAKI :
[1] Lihat Agus R. Sarjono, ”Catatan Pengantar:
Sepi, Luka, Cinta, dan Meditasi Rindu Micky Hidayat dalam Micky Hidayat, Meditasi Rindu (Banjarmasin: Tahura
Media, 2008), hlm. viii.
[2] Komentar D. Zawawi Imron ini dapat dilihat pada bagian “Komentar Para
Sahabat” dalam Hidayat, ibid., hlm.
176.
[3] Sarjono, loc. cit.
[4] Untuk sajak ”Peristiwa” kiranya saya tak salah pilih karena, setelah saya
cek beberapa literatur yang ada, ternyata sajak ini pernah terpilih sebagai
salah satu dari sepuluh puisi terbaik nonranking versi Sanggar Minum Kopi (SMK)
Bali Tahun 1992; dimuat dalam antologi Kul
Kul (Denpasar: SMK, 1992), hlm. 9.
[5] Dalam konteks ini, saya sering mempertanyakan: apakah kriteria kesastraan sebuah
teks (tulisan) cukup ditentukan oleh maksud
dan atau pernyataan penulisnya ataukah justru oleh konvensi masyarakat pembaca?
Bagaimana kalau sebuah teks dimaksudkan atau dikatakan oleh penulisnya sebagai
”puisi” sementara secara literer kualitas unsur-unsur (intrinsik) sastranya sangat
lemah atau bahkan tidak terpenuhi? Namun, tanpa bermaksud melakukan pembenaran,
saya yakin suara pembaca tentu lebih dominan daripada sekadar mendengar suara
seorang penulis dengan segala subjektivitas peribadinya.
[6] Dalam “Catatan Penyair” yang dimuat di
bagian belakang MR-1, Micky antara
lain menyatakan, ”Saya pun mengamini dengan adanya anggapan kalau penyair
adalah puisi itu sendiri.” Apakah
makna pernyataan ini mengacu pada konsep puisi tanpa kata, puisi kongkret, atau
puisi lainnya? Namun, hal ini
ternyata sangat kontradiksi dengan pernyataannya selanjutnya bahwa hakikat
sastra adalah mengongkretkan yang abstrak. Bukankah sebuah sajak yang kosong
melompong justru lebih gelap daripada genre sajak-sajak gelap (semisal
karya-karya Afrizal Malna)? Lihat Hidayat, op.
cit., hlm. 193—194.
[7] Micky agaknya sangat keberatan kalau sajak-sajak sosial-politiknya
dikatakan sebagai ”sajak pamflet” sebagaimana sajak-sajak Rendra, meski
kecenderungan ke arah itu tetap ada. Keberatan tersebut, secara implisit,
terungkap pula melalui “Catatan Penyair”-nya yang bernada apologis. Lihat
kembali Hidayat, ibid, hlm. 191.
[8] Lihat Emha Ainun Nadjib, Abacadabra Kita Ngumpet... (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
1994), hlm. 29.
[9] Lihat Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), hlm. 11.
[10] Uraian lebih jauh tentang pemikiran Abdul
Hadi WM sekitar masalah tersebut dapat dibaca dalam esai panjangnya yang
bertajuk “Kembali ke Akar Tradisi: Sastra Transendental dan Kecenderungan
Sufistik Kepengarangan di Indonesia” dalam
Ulumul Qur’an (Vol. III No. 3 Th.
1992), hlm. 12—29. Lihat juga bukunya, Kembali
ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 3—61.
[11] Uraian lebih detail tentang konsep Cinta
Ilahi, antara lain, dapat dibaca dalam buku Reynold A. Nicholson, Tasawuf: Menguak Cinta Ilahiah (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1993); juga Asfari MS dan Otto Sukatno CR, Mahabbah-Cinta Rabi’ah al-Adawiyah
(Yogyakarta: Jejak, 2007).
[12] Kutipan selengkapnya dapat dibaca dalam Horison, No. 7+8 Th. XXVIII, Edisi Juli+Agustus 1993, hlm. 259
dan dimuat kembali dalam buku puisi Ajamuddin Tifani, Tanah Perjanjian (Jakarta: Harta Mitra, 2005), hlm. 179.
SUMBER TULISAN :
Makalah Diskusi Sastra, Komunitas Sastra Indonesia Kalimantan Selatan (2010), dimuat juga dalam Majalah Sastra HORISON (Tahun XLVI, No. 8 / 2011, Agustus 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar