Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Senin, 03 Oktober 2011

Telaah Puisi Micky Hidayat

 
Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi : 
Menyingkap Jejak Estetik Kepenyairan Micky Hidayat
 


Oleh : Jamal T. Suryanata
 

Akhirnya kutempuh jalan sunyi 
Sendirian, sendirian 
Seperti hatiku yang sunyi 
Pasrah di atas batu, diterjang arus air kali 
Tak pernah cemas menerima duka abadi

(Micky Hidayat, ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi”)  

/ 1 / 
Di hadapan saya sekarang telah tergeletak dua versi buku puisi, dua versi kumpulan sajak. Dikatakan sekadar ”versi” karena keduanya sama-sama bertajuk Meditasi Rindu dan sama-sama ditulis oleh Micky Hidayat, tetapi dengan penerbit yang berbeda dan dengan sedikit perbedaan isi pula. Buku Meditasi Rindu versi pertama (selanjutnya disebut MR-1) diterbitkan oleh Penerbit Tahura Media (Banjarmasin, Desember 2008), sedangkan Meditasi Rindu versi kedua (selanjutnya disebut MR-2) diterbitkan oleh Penerbit Bukupop (Jakarta, Februari 2009). Dengan demikian, hanya dalam selisih waktu sekitar dua bulan, Micky telah menerbitkan dua versi buku puisinya. Fenomena ini (kalau boleh disebut demikian) tentu saja patut dirayakan karena memang terasa luar biasa, minimal untuk ukuran penyair di jagat sastra Kalimantan Selatan (kalau bukan malah Indonesia?).
            Sebagai seorang pembaca yang mencoba untuk tidak latah, seraya bertitik tolak dari kenyataan di atas, mau tidak mau saya harus memaksa diri untuk sedia memeriksa kedua versi tersebut secara proporsional atau sedapat mungkin tidak bersikap timpang lantaran mengabaikan begitu saja salah satu di antaranya. Setidak-tidaknya untuk mengawali pembicaraan ini, kedua versi buku puisi tersebut harus saya perlakukan sebagai sama penting, kendati kelak di dalamnya akan kita ketahui pula —di samping pengetahuan kita tentang perbedaan lembaga penerbitnya— adanya perbedaan intensitas dan sikap penyair terhadap salah satu versi di antaranya (katakanlah merujuk pada versi yang secara subjektif lebih disukainya). Kesan demikian, paling tidak, telah menjadi keyakinan saya pribadi setelah memeriksa kedua versi buku puisi tersebut, setelah menemukan beberapa varian sajak di dalamnya.

/ 2 /
Kendati hanya berdasarkan pembacaan sekilas, secara kasat mata perbedaan itu setidaknya tampak pada jumlah sajak yang terhimpun dalam masing-masing antologi, di samping pada tampilan tata letak serta varian bentuk dan isi beberapa sajak. Juga, kendati kedua buku ini sama-sama menghimpun sejumlah sajak yang pernah ditulis Micky selama rentang waktu 1980—2008 atau selama lebih-kurang 30 tahun masa kepenyairannya, tetapi dibandingkan dengan MR-2 yang hanya memuat 66 sajak, versi MR-1 merupakan kumpulan yang lebih lengkap karena di dalamnya terhimpun sejumlah 108 sajak. Dengan kata lain, ada 42 sajak yang semula dimuat dalam versi pertama (MR-1) kemudian (agaknya memang sengaja) ditiadakan dalam versi kedua (MR-2), baik oleh sang penyair sendiri maupun atas interpensi pihak penerbit. Oleh karena itu, dalam rangka melihat proses kreatif, perjalanan estetik, dan totalitas kepenyairan seorang Micky Hidayat, versi pertama yang secara kuantitatif lebih lengkap tentu saja jauh lebih berharga tinimbang versi kedua yang boleh jadi sudah merupakan bentuk kristalisasi dari versi pertamanya.
Sajak-sajak yang terhimpun dalam MR-1 secara kronologis dibagi dalam lima bagian, masing-masing di bawah payung (baca: subjudul) ”Aku Ingin Menjadi Penyair Yang” (30 sajak, bertitimangsa 1980—1983), ”Sajak Cinta: Interlude” (30 sajak, bertitimangsa 1984—1988), ”Aku Berguru pada Sajak” (15 sajak, bertitimangsa 1989—1995), ”Meditasi Rindu” (14 sajak, bertitimangsa 1996—2001), dan ”Telah Kuhapus Kata-kata” (19 sajak, bertitimangsa 2002—2008). Sebaliknya, untuk 66 sajak yang terhimpun dalam versi MR-2 tidak dibagi ke dalam subjudul-subjudul yang memayunginya, tetapi diturunkan begitu saja sebagai sekumpulan sajak. Selain itu, pada versi MR-2 juga tidak kita temukan lagi angka tahun sebagai penanda periodisasi penulisan sajak, baik pada bagian Daftar Isi buku maupun dalam bentuk titimangsa yang lazim tertera di bawah teks setiap sajak. Di sini, satu masalah segera menghadang manakala kita ingin melihat perkembangan proses kreatif dan penjelajahan estetik kepenyairan Micky Hidayat. Atas dasar pemikiran tersebut, untuk pembicaraan selanjutnya, versi  MR-1 akan menjadi rujukan utama, sedangkan versi MR-2 lebih diperlakukan sebagai karya pembanding (pun jika kehadirannya memang dipandang perlu).
Kalau kita cermati lebih jauh, dari kedua versi buku puisi karya Micky Hidayat ini juga akan kita temukan perbedaan akibat perubahan judul maupun pada batang tubuh sejumlah sajak sehingga memunculkan bentuk-bentuk variannya dan pada gilirannya akan dapat memberi corak pemaknaan baru pula. Dalam versi MR-2, kita tidak lagi menemukan sajak-sajak bertajuk (1a) ”Aku Ingin Jadi Penyair Yang”, (2a) ”Di Kaki Malam”, (3a) ”The Power of Love, 1”, dan (4a) ”Lanskap Kota” sebagaimana yang terdapat dalam versi MR-1 karena dalam versi MR-2 judul-judul tersebut masing-masing telah berubah menjadi (1b) ”Penyair”, (2b) ”Di Ujung Malam”, (3b) ”Atas Nama Cinta”, dan (4b) ”Banjarmasin”.  Bahkan, untuk kasus keempat sajak tersebut perubahan bukan hanya terjadi pada judul, melainkan juga pada isi sajak (baik sekadar penambahan larik maupun perubahan pada bait-bait tertentu).
Bait terakhir sajak ”Aku Ingin Jadi Penyair Yang”  (versi MR-1), misalnya, semula hanya terdiri dari tiga larik: aku ingin jadi penyair yang/ menulis puisi tak sekadar bermain kata-kata/ tapi untuk menyegarkan sukma. Kemudian, dalam sajak ”Penyair” (versi MR-2) bait penutup tersebut berkembang menjadi enam larik: aku ingin jadi penyair/ menulis puisi tak sekadar bermain kata-kata/ apalagi tega mempermainkan kata-kata/  tapi aku ingin memperlakukan kata-kata/ sesungguh-sungguh kata/ jadi bermakna. Begitupun antara sajak ”Di Kaki Malam” (versi MR-1) dan ”Di Ujung Malam” (versi MR-2), di samping terjadi perubahan bentuk (tipografi sajak), di dalamnya juga telah terjadi perubahan isi (berupa penggantian diksi tertentu disertai penambahan larik) pada bait penutupnya. Perubahan serupa juga akan kita jumpai dalam sajak ”The Power of Love, 1” (versi MR-1) dan ”Atas Nama Cinta” (versi MR-2) maupun antara ”Lanskap Kota” (versi MR-1) dan ”Banjarmasin” (versi MR-2). Sementara itu, untuk kasus sajak ”Ekstase Puisi, 1” dan ”Ekstase Puisi, 2”, dari segi judul memang tetap dipertahankan, tetapi kedua sajak ini telah berubah tipografinya akibat munculnya upaya pemadatan pada larik-larik yang (mungkin) terasa longgar dan cenderung berpanjang-panjang dalam versi MR-1.
Bertolak dari beberapa kasus di atas, satu hal yang dapat dikatakan bahwa dalam proses kreatif kepenyairannya Micky Hidayat termasuk salah seorang penyair yang tak pernah puas dengan kata-kata yang pernah dielaborasi dalam sajak-sajak yang telah diciptakannya. Setiap kali membaca ulang sajak-sajaknya, ia ingin selalu menuliskannya kembali dengan versi yang baru (dengan pemikiran, intuisi, sikap, dan cara pandang yang baru pula). Jika beberapa penyair lain sering berharap bahwa dengan telah dihimpun dan diterbitkannya sejumlah sajak yang pernah ditulis dalam periode tertentu dalam sebuah antologi puisi tunggal, maka sajak-sajak tersebut dianggap telah ”aman” (dan karenanya menjadi ”abadi”) dari kemungkinan-kemungkinan ”tindak-keusilan-kreatif” untuk selalu mengotak-atik dan mengubahnya dengan versi baru. Akan tetapi, pada Micky, hal itu agaknya tidak berlaku. Sebab, meskipun sepilihan sajak yang pernah ditulisnya selama periode 1980—2008 telah dihimpun dan diterbitkan dalam sebuah buku puisi tunggal bertajuk Meditasi Rindu (Desember 2008), ternyata keinginan kreatifnya tetap tak terbendung sehingga hanya dalam selisih waktu sekitar dua bulan saja lahir kembali Meditasi Rindu (Februari 2009) dalam versi baru.
Dalam konteks ini, munculnya versi MR-2 boleh jadi dilantarankan oleh dan atau merupakan wujud ”tanggapan positif” sang penyair terhadap beberapa kritik (baca: komentar bernada negatif) yang dilontarkan para pembaca, terutama oleh Agus R. Sarjono melalui ”Catatan Pengantar”-nya untuk buku MR-1. Sejauh pandangan penulis buku Sastra dalam Empat Orba (2001) ini, dalam banyak hal sajak-sajak Micky yang menunjukkan hasil berguru dan mengaji pada sajak (orang lain) tidaklah kelewat mengesankan dibanding sajak-sajaknya yang berguru dan mengaji pada kemurnian alam.[1] Atau, boleh jadi pula perubahan sikap itu dipicu oleh komentar singkat yang dengan nada polos dan tanpa tedeng aling-aling dilontarkan oleh penyair senior D. Zawawi Imron, ”Sajak-sajak Micky yang alam bagus. Tapi yang sosial politik aku kurang suka.”[2] Sebab, pada kenyataannya, dalam versi MR-2 sejumlah sajak yang bertema sosial-politik agaknya sengaja telah ditiadakan (tentunya setelah melalui proses seleksi yang cukup ketat oleh penyairnya). Lihatlah, misalnya, sajak-sajak bertajuk ”Lagu Lapar”, ”Malam Jakarta”, ”Literatur Kesaksian”, ”Testimoni Penyair”, ”Banjarmasin, 23 Mei 1997 (1)”, ” Banjarmasin, 23 Mei 1997 (2)”, ”Reportase dari Kaki Pegunungan Meratus”, ”Palestina, Palestina, Tak Bisa Aku Melupakanmu”, ”Sampit”, ”Duh, Aceh”, dan ”SOS Kalimantan Selatan”, semuanya sudah tidak disertakan lagi dalam versi MR-2.        
            Sebagai pembaca, jujur harus saya katakan bahwa dari aspek bobot literernya sikap dan penilaian saya tidak jauh berbeda dengan D. Zawawi Imron maupun Agus R. Sarjono. Sebab, secara intuitif saya merasakan sajak-sajak Micky yang bercorak liris jauh lebih memukau tinimbang sejumlah sajak sosial-politiknya yang garang, tendensius, dan karenanya cenderung lemah dalam nilai estetisnya. Oleh karena itu, kalau saja harus memilih, secara pribadi saya lebih menyukai MR-2 (yang lebih merepresentasikan sajak-sajak lirik) daripada MR-1 (yang banyak diwarnai sajak-sajak sosial-politik). Namun, persoalannya tentu tidaklah sesederhana itu. Masalah pemilihan genre sajak (baca: juga sastra pada umumnya) biasanya sangat ditentukan oleh momen yang tertangkap, nilai aktualitas, tujuan penulisan, dan publik pembaca yang hendak dijadikan sasaran. Lagi pula, sebagaimana telah saya katakan sebelumnya, dalam rangka menyingkap jejak estetik kepenyairan Micky Hidayat, suka tidak suka, jelas versi MR-1 akan lebih memegang peranan penting dalam pembicaraan selanjutnya. Dengan kata lain, pilihan saya untuk menempatkan versi MR-1 sebagai rujukan utama lebih disebabkan oleh aspek dokumentarnya, bukan pada bobot literernya.

/ 3 /
Mengamati perjalanan estetik kepenyairan Micky Hidayat sepanjang rentang waktu 1980—2008, minimal sejauh yang terungkap melalui Meditasi Rindu, setidaknya ada dua kecenderungan estetik yang dapat saya tangkap. Pada periode awal kepenyairannya hingga paro dekade 90-an, Micky telah berhasil mengukuhkan jatidirinya sebagai penulis sajak-sajak lirik. Beberapa di antaranya, sajak-sajak dari genre inilah yang oleh Agus R. Sarjono disebut sebagai ”sajak-sajak yang berguru dan mengaji pada kemurnian alam” —yang dalam konteks telaah komparatifnya diingkarkan dengan ”sajak-sajak yang berguru dan mengaji pada sajak (orang lain)”.[3] Salah satu sajak liriknya yang secara estetis saya nilai sangat berhasil (karena larik-lariknya yang koherensif, penempatan diksinya yang tepat, metafornya yang segar, dan unsur musikalitasnya yang menonjol) adalah sajak bertajuk ”Peristiwa”. Mari kita simak kutipan seutuhnya di bawah ini.

            PERISTIWA

Diam-diam gerimis berguguran
Mengabarkan peristiwa duka pada pohonan
Di pinggir musim penghabisan

Jalan-jalan lengang mendenguskan keasingan
Kota pun tertidur lelap tanpa cahaya bulan
Dan angin menaburkan aneka warna kembang ziarah
Pada tanah yang berlumur anyir darah

Kulihat orang-orang menyelinap dalam kegelapan
Sambil menundukkan wajah berkeringat kepedihan
Dari mulut mereka bermuntahan batu-batu zikir
Menimbuni keharuan, dan pekik-tangis pun berakhir

Segala peristiwa hanya tinggal abu kenangan
Seperti matahari yang meledak seketika
Lalu jatuh di hutan, mendesahkan suara luka
Dari kejauhan, kudengar ratap burung-burung kehilangan

Kecuali sajak ”Peristiwa”, Micky juga telah berhasil menulis beberapa sajak alit dengan intensitas perenungan yang dalam.[4] Sajak-sajak tersebut antara lain bertajuk ”Sajak Untukmu”, ”Tangkap Aku, Kekasihku”, ”Fantasi Malam”, ”Bicara pada Batu”, ”Sungai Martapura”, ”Interlude (1)”, ”Angin”, ”Batas”, ”Cerita tentang Musim”, ”Pelayaran”, ”Semakin Senja Hari”, ”Jalan Sunyi”, ”Memandang Langit”, ”Daerah Kematian”, serta ”Ibu, 1” dan ”Ibu, 2”.  Namun demikian, buru-buru harus saya katakan bahwa selepas periode 1980—1995 pun jejak estetik kepenyairan Micky sebagai penyair lirik yang baik sebenarnya masih terasa pada beberapa sajaknya yang kemudian. Sebutlah sajak ”Meditasi Rindu”, ”Jalan Sunyi Pendakian”, dan ”Membaca Bahasa Sunyimu”. Akan tetapi, dibanding dengan sajak-sajak yang ditulisnya pada periode sebelumnya, kebanyakan sajak yang terlahir selama periode 1996—2008 sangat terasa intensitas kontemplasinya yang semakin menurun. Barangkali, pokok persoalannya terletak pada kian menguatnya kecenderungan yang oleh Agus R. Sarjono dianggap sebagai ”sajak-sajak yang berguru dan mengaji pada sajak (orang lain)” itulah.
Pada periode ini, proses kreatif kepenyairan Micky yang jati agaknya memang mulai terkontaminasi oleh berbagai kecenderungan estetik yang muncul silih-berganti dan menjadi trend pada masanya. Micky mulai terpukau pada sederet nama besar yang notabene berpengaruh kuat dalam estetika kepenyairan Indonesia. Melalui beberapa sajaknya, secara eksplisit maupun implisit dapat kita rasakan napas kepenyairan Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, W.S. Rendra, Emha Ainun Nadjib, Isbedy Stiawan ZS, Afrizal Malna, hingga Ajamuddin Tifani. Kendati yang tampak secara eksplisit sekadar upaya peminjaman bentuk (bandingkan, misalnya, dengan tipografi dan gaya penulisan beberapa sajak Sapardi, Sutardji, Afrizal, juga Hamid Jabbar dan Abrar Yusra), tetapi rembesan diksi dan metafornya pun kadangkala masuk secara tak disadari. Bahkan, dalam batas tertentu, kadang-kadang tampak pula keinginan sang penyair sekadar ikut ”bergenit-genit” dengan bentuk. Eksplorasi bentuk inilah yang kemudian melahirkan sajak-sajak ”Lelah”, ”Ekstase Puisi, 1”, ”Ekstase Puisi, 2”, ”Yang Bernama”, ”Ziarah”, ”Berkali-kali Aku Mabuk”, atau ”Persenggamaan Matahari dan Bulan”.
Kemudian, masih dalam cantelannya dengan persoalan bentuk, Micky juga telah menulis tiga ”sajak” yang bagi saya cukup meragukan secara literer. Akan tetapi, penyair ini tampaknya sangat yakin bahwa ”Banjarmasin, 23 Mei 1997 (2)” yang hanya berisi sederet daftar kata-kata, ”Testimoni Penyair” yang lebih menyerupai sebuah kredo kepenyairan, dan bahkan ”Sajak Tak Berisi” yang memang tak berisi satu huruf pun di dalamnya (kecuali judul dan titimangsa tahun penulisan) adalah karya-karya sastra (baca: puisi atawa sajak).[5] Khusus untuk kasus ”Sajak Tak Berisi”, kalau kita coba kaitkan secara referensial dengan pernyataannya yang terungkap dalam ”Catatan Penyair”, sangat mungkin terlahirnya teks ini dilandasi oleh suatu keyakinan pribadi pula bahwa ”penyair adalah puisi itu sendiri” dan karenanya sebuah puisi tak perlu berisi kata-kata.[6]  
Dalam sejumlah sajak Micky yang lain, pengaruh Rendra dan Emha juga sangat terasa. Hal ini terutama merujuk pada sajak-sajaknya yang bertema sosial-politik dan atau sosial-budaya yang cenderung transparan, tendensius, dan bernada meletup-letup. Genre sajak-sajak kritik sosial semacam inilah tampaknya yang mendominasi estetika perpuisian Micky selepas paro dekade 90-an. Simaklah beberapa sajaknya (terutama sajak-sajak panjang) seperti ”Litertur Kesaksian”, ”Reportase dari Kaki Pegunungan Meratus”, ”Palestina, Palestina, Tak Bisa Aku Melupakanmu”, ”Air Matamu yang Mawar”, ”Sampit”, Duh, Aceh”, atau ”SOS Kalimantan Selatan”. Namun, sekali lagi, mulai menguatnya trend ini dalam sajak-sajak Micky yang kemudian mungkin lebih dilantarankan oleh dorongan mood sesaat yang seakan terdesak oleh situasi sosial-politik negeri ini yang memang sedang kritis, terutama pada sepuluh tahun terakhir menjelang tumbangnya rezim Orde Baru. Oleh karena itu, di samping karena secara kuantitatif jumlahnya relatif kecil, kehadiran sajak-sajak tersebut bagi saya tidak lebih dari semacam wujud keinginan ”seorang tukang kebun” untuk memberi nuansa warna lain dalam keanekaragaman taman bunga kepenyairan yang telah dibangun dan dirawatnya selama puluhan tahun. Dengan kata lain, kendati oleh beberapa pengamat sastra lokal kehadiran sejumlah sajak yang bertema sosial-politik seringkali dianggap merepresentasikan dan atau dipandang identik dengan estetika kepenyairan Micky Hidayat, menurut hemat saya hal itu sama sekali tidak dapat dijadikan landasan untuk menggeneralisasikan ciri khas estetika kepenyairannya. Sebab, secara komparatif, jelas bahwa sajak-sajak lirisnya jauh lebih dominan dibandingkan dengan sajak-sajaknya yang bercorak kritik sosial. Bahkan, jika pun harus dilakukan persentasi, saya yakin jumlah sajaknya yang bercorak kritik sosial-politik itu tidak lebih dari 10 % dibandingkan genre sajaknya yang lain (khususnya sajak-sajak liris).[7]

/ 4 /
Kalau dalam pembahasan di atas seakan kita telah memetakan sekadar dua simpul besar kecenderungan estetik sepanjang perjalanan kepenyairan Micky Hidayat (bahwa paro dekade 90-an ke bawah sebagai ”periode sajak liris” yang sangat kontemplatif dan paro dekade 90-an ke atas sebagai ”periode sajak sosial-politik” yang cenderung cair), pada kenyataannya asumsi demikian terlampau mudah membuat kita terjebak pada upaya menjustifikasikan segala sesuatu secara hitam-putih. Kita sering lupa melirik ”daerah abu-abu” yang sebenarnya hampir selalu ada dalam setiap persoalan. Kita sering lupa melihat sesuatu dari dimensi-dimensi yang lain.
            Jika kita cermati lebih jauh lagi, sepanjang proses kreatif kepenyairannya ternyata Micky senantiasa mencoba menyemaikan benih-benih nuansa estetik dalam tamansari perpuisiannya. Paro dekade 90-an ke atas yang diasumsikan sebagai ”periode sajak sosial-politik” dalam estetika kepenyairan Micky, pada kenyataannya juga banyak diwarnai oleh sajak-sajak liris yang sarat dengan kontemplasi dan pencerahan spiritual. Dalam periode 1996—2001, di tengah desakan melahirkan sajak-sajak bertema sosial-politik, di sini juga masih kita jumpai beberapa sajak bertema religius atau berkecenderungan transendental. Sajak-sajak semacam ”Doa Sederhana, 1”, ”Doa Sederhana, 2”, ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi”, dan ”Meditasi Rindu” merupakan beberapa indikator masih adanya kecenderungan tersebut.  
Bertolak dari sejumlah sajak lirisnya yang kemudian, saya melihat bahwa  perjalanan estetik kepenyairan Micky yang kemudian tampaknya bermuara dan seakan terkristalisasi dalam sebuah sajak bertajuk ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi”. Sajak ini merupakan titik temu, suatu sintesis, antara kesilaman dan keakanan dalam seluruh rangkaian proses kreatif kepenyairannya. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak larik-larik pembukanya yang cukup sederhana: Dengan hati yang jelaga/ Akhirnya kutempuh jalan sunyi/ Di antara kebisingan dan polusi kota/ Di balik tatapan aneh iklan-iklan baja/ Gemerlap cahaya lampu elektronika/ Dan gedung-gedung kaca berjulangan/ Memantulkan bayanganku yang seakan tiada. Kemudian, sajak ini ditutup dengan larik-larik senada: Akhirnya kutempuh jalan sunyi/ Sendirian, sendirian/ Seperti hatiku yang sunyi/ Pasrah di atas batu, diterjang arus air kali/ Tak pernah cemas menerima duka abadi.
Sajak di atas (baik dari segi judul maupun bait pembuka dan penutupnya) segera mengingatkan saya pada salah satu sajak yang pernah ditulis Emha Ainun Nadjib, ”Jalan Sunyi”. Perhatikan diksi dan rangkaian gatra yang digunakan Emha dalam bait pembuka sajaknya ini: Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi/ Mendendangkan lagu bisu, sendiri di lubuk hati/ Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ Cinta yang tak ’kan kutemukan bentuknya (...).[8] Dalam konteks ini, tentu saja menarik untuk diungkai lebih jauh apakah dalam proses kreatif penciptaan sajak ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi” sebenarnya telah terjadi semacam proses intertekstual terhadap sajak ”Jalan Sunyi”? Atau, dengan kata lain, adakah bait pertama sajak ”Jalan Sunyi”-nya Emha tersebut telah dimanfaatkan Micky sebagai hipogram untuk penulisan sajaknya yang bertajuk ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi” itu?
Kalaupun intertektualitas memang telah terjadi dan sajak ”Jalan Sunyi” benar merupakan hipogramnya, sejauh yang dapat saya tangkap hal itu hanya sebatas pemicu munculnya inspirasi dalam proses kreatif penciptaan sajak ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi”. Sebab, kecuali pada bait pembuka dan penutupnya, pada lima bait lainnya Micky tampaknya telah melepaskan ”sauh” dari ”jangkar” intertekstual (hipogramatik) penciptaan sajaknya. Dalam sajak yang tergolong sebagai salah satu dari sejumlah sajak panjang yang pernah ditulis Micky, khasnya dalam Meditasi Rindu (versi MR-1 maupun MR-2), baik dari segi diksi maupun metafor-metafor yang digunakan dalam larik-larik selanjutnya telah kembali memperlihatkan kecerdasan personalnya sebagai seorang penyair liris. Sekadar contoh yang dianggap cukup representatif, mari kita simak sembilan larik pada bait ketiganya berikut ini.

Akhirnya kutempuh juga jalan sunyi
Dalam getar sujudku, kuseru berulang nama-Mu
Telah kusempurnakan pasrahku yang membatu
Di tengah himpitan peradaban zalim dan jahiliyah ini
Di tengah cengkeraman materialisme dan hedonisme ini
Di saat terpaan kanker teknologi
Membius akal sehat ini
Hanya kepada-Mu aku mengadu
Menyampaikan ketidakberdayaanku

Lepas dari keinginan untuk berkutat lebih jauh pada persoalan intertekstualitas, dimensi lain yang lebih penting untuk disoroti adalah spirit dan nilai-nilai implisit yang ingin diwartakan sang penyair kepada pembaca. ”Jalan sunyi”, saya kira, itulah kata kuncinya; bahwa ”jalan sunyi” kini telah menjadi pilihan spirit estetika kepenyairan Micky Hidayat, setidaknya sejak penghujung dekade 90-an hingga menjelang akhir dasawarsa pertama tahun 2000-an ini. Dengan demikian, kalau hal itu memang benar, secara futuristis dapat diprediksikan bahwa semangat estetika kepenyairan Micky pada periode-periode selanjutnya adalah keinginan untuk bersunyi-sunyi (kembali). Ada semacam kerinduan untuk pulang ke rumah batin sendiri. ”Bismillah/ Akhirnya harus kutempuh jalan sunyi yang paling sunyi/ Dengan kesabaran dan kesadaran/ Yang menuntunku tanpa kata/ Aku telah siap mendaki ketinggian gunung/ Tak gentar walau terjatuh dari puncaknya (...),” ungkap penyair dalam bait keenam sajak di atas. Sebab, dari berbagai catatan biografis beberapa tokoh sastrawan terkemuka, kecenderungan semacam itu pada galibnya hampir selalu berlangsung seiring dengan perkembangan usia seorang penyair. Bukankah kesadaran transendental atawa pencapaian spiritual yang lebih tinggi biasanya memang tidak datang secara tiba-tiba, tetapi melalui perjalanan panjang dan dengan proses yang relatif lama?
Dari dimensi ini, perlu dipertanyakan lebih jauh, ”jalan sunyi” macam apakah sesungguhnya yang hendak ditempuh sang penyair melalui sajak-sajak transendentalnya itu? Benarkah jalan sunyi yang dimaksudkan berarti kerinduan untuk pulang ke rumah batin sendiri atau perjalanan mendaki menuju puncak batin sendiri, sebagaimana yang secara implisit tampak pada kutipan di atas? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita lacak kembali jejak estetik kepenyairannya pada periode sebelumnya, setidaknya ke tahun-tahun awal 1980-an. Pada periode 1980—1983, Micky sebenarnya telah menulis sejumlah sajak liris yang bertema ketuhanan atau bercorak religius (Islam). Baik dalam versi MR-1 maupun versi MR-2, kedua versi buku puisi ini sama-sama dibuka dengan sebuah sajak liris bertajuk ”Sajak Untukmu” yang sarat dengan pesan profetik (bahkan bernada sufistik). Perhatikan kutipan lengkapnya di bawah ini.

SAJAK UNTUKMU

bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
adalah rinduku yang mengharapkan kehadiranmu

bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku
adalah kesepianku ingin selalu bersamamu

bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu

bila lukaku meneteskan darah di batu
adalah kekerasan hatiku mencintaimu

bila ternyata kau tak mencintaiku
aku tetap menulis sajak-sajak untukmu

Sekarang, apa sesungguhnya makna kehadiran sajak di atas dan bagaimana seharusnya kita tempatkan dalam konteks kepenyairan Micky Hidayat? Mengapa sang penyair memilih sajak tersebut sebagai karya pembuka (dan bukan dengan sajaknya yang lain) untuk kedua versi antologi Meditasi Rindu ini? Saya yakin, tentu ada persoalan diskursif yang terkandung di dalamnya. Tentu ada sikap dan interes tertentu yang ingin ditunjukkan sang penyair dengan pilihan tersebut.

/ 5 /
”Pada awal mula, segala sastra adalah religius,” demikian Romo Mangunwijaya mengawali uraian panjangnya yang ”sangat lezat dan sarat gizi” tentang keterkaitan antara sastra dan religiusitas.[9] Kemudian, dari perspektif yang lain, penyair Abdul Hadi WM pernah pula mengemukakan tentang hakikat berkesusastraan atau berkesenian dengan kata-kata, ”Kembali ke akar, kembali ke sumber.”[10] Saya kira, dalam konteks pembacaan terhadap kemungkinan arah estetika perpuisian Micky Hidayat pada masa-masa mendatang, kedua ungkapan tersebut merupakan referensi penting dan sekaligus menjadi kata kunci selanjutnya.
Jika Meditasi Rindu kita posisikan sebagai tumpu seluruh proses kreatif kepenyairan Micky (kendati tidak selalu demikian, tentu saja), jelas bahwa ungkapan Mangunwijaya di atas sangat mengena dengan kembali membaca “Sajak Untukmu” sebagai karya pembuka untuk kedua versi Meditasi Rindu-nya yang sedang kita perbincangkan ini. Sajak tersebut menjadi semacam isyarat pembenaran terhadap kemungkinan perjalanan estetik kepenyairannya yang diawali dengan spirit transenden dan diakhiri dengan spirit transenden pula sebagai bentuk implementasi atas konsep ”pada awal mula, segala sastra adalah religius” (Y.B. Mangunwijaya) dan “kembali ke akar, kembali ke sumber” (Abdul Hadi WM). Bukankah dalam bait penutup sajak di atas, dengan segala kesadaran transendentalnya, Micky telah mengungkapkan sebuah janji primordial “di hadapan” Sang Kekasih: bila ternyata kau tak mencintaiku/ aku tetap menulis sajak-sajak untukmu.
Secara semantis, kehadiran bentuk enklitik -mu pada kata-kata namamu, kehadiranmu, dirimu, bersamamu, melukaimu, di hadapanmu, mencintaimu, dan untukmu atau pronomoni persona kedua kau dalam sajak di atas memang masih bermakna universal dan karenanya tetap terbuka untuk berbagai penafsiran. Sebagai sebuah sajak bercorak romantis, makna konstituen -mu dalam kata-kata tersebut setidaknya akan berasosiasi dengan kata “kekasih” atau “orang yang dicintai”. Namun, baik dengan maupun tanpa M kapital di depannya, dalam sebuah sajak bertema religius jelas bahwa kehadiran bentuk enklitik -mu atau pronomoni persona kedua kau secara intuitif dapat dipertautkan dengan bentuk referennya yang juga religius, yakni Kamu Yang Transenden atau Engkau Yang Transenden (baca: Tuhan). Dengan demikian, secara keseluruhan, jelas bahwa signifikansi sajak di atas merupakan ungkapan cinta sang aku-lirik (yang memosisikan dirinya sebagai makhluk yang lemah; dhaif dalam bahasa agamanya) terhadap Khaliknya, sebagaimana tersirat dalam larik keenam: adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu. Atau, kalau kita mengacu pada konsep sufisme, sajak di atas merupakan pernyataan cinta seorang mistikus terhadap Sang Kekasih —sebagaimana konsep Cinta Ilahi dalam pandangan Rabi’ah al-Adawiyah, Jalaluddin Rumi, Hujwiri, Hafiz, Jami, dan beberapa tokoh penyair-sufi klasik lainnya.[11] Percintaan dalam konteks inilah agaknya yang dimaksudkan Micky sebagai “jalan sunyi” dalam sajak ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi”-nya di atas. Jadi, “jalan sunyi” itu adalah perjalanan mendaki menuju puncak batin sendiri atau yang lebih-kurang bermakna pendakian spiritual menuju Cinta Ilahi.
Keyakinan saya pada asumsi tersebut (jika pernyataan tadi masih dianggap sebatas asumsi) diperkuat dengan kehadiran beberapa sajak bertema religius lainnya, baik yang ditulis Micky sebelum maupun selepas paro dekade 90-an. Jalan sunyi itu kadangkala terungkap secara eksplisit sebagaimana terepresentasikan melalui sajak-sajak bertajuk “Jalan Sunyi”, “Jalan Sunyi Pendakian”, dan “Tahajud Sunyi”, tetapi tidak jarang hanya bersifat implisit sebagaimana dapat kita rasakan melalui sajak-sajak ”Tangkap Aku, Kekasihku”, “Aku Sampan Kau Sungai”, “Memandang Langit”, “Pelayaran”, dan “Muhammad”. Kecuali ingin mewartakan bahwa “jalan sunyi” itu merupakan manifestasi pendakian spiritual menuju Cinta Ilahi, secara implisit kehadiran sajak-sajak tersebut juga merepresentasikan sisi lain dari kesadaran personal seorang teomorfis untuk pulang ke rumah batin sendiri atau dalam ungkapan “kembali ke akar, kembali ke sumber”.  
Akan tetapi, kalau selanjutnya konsep-konsep sufisme dan sastra sufi yang hendak dikenakan sebagai acuan estetik atau sebagai kanon-puitiknya, tampak bahwa sajak-sajak Micky (sejauh yang dapat saya tangkap melalui Meditasi Rindu ini) yang berkecenderungan transendental sekalipun pada umumnya masih dalam batas meraba-raba pada tataran permukaan. Saya belum melihat adanya kesungguhan sang penyair untuk benar-benar masuk secara total ke dalam haribaan sastra sufistik. Saya belum melihat pemanfaatan metafor-metafor yang khas sastra sufistik sebagaimana yang dulu lazim digunakan oleh para penyair sufi klasik, apalagi untuk membangun pencitraan baru secara eksploratif dengan ungkapan-ungkapan yang lebih segar. Akan tetapi, buru-buru harus saya katakan bahwa —di samping “Sajak Untukmu” yang telah dikutipakan di atas— kehadiran sajak “Pelayaran” cukup membuat saya bahagia. Sebab, dalam sajak ini, harapan saya untuk dapat kembali menikmati lirik-lirik sufistik sedikit terobati. Sajak ini mengingatkan saya pada dua larik pembuka sajak “Karam” yang pernah ditulis Ajamuddin Tifani: aku ingat kamu, sebab, bukanlah laut namanya/ kalau kau tak membiarkan perahu berkaraman.[12] Lalu, Micky pun menulis sajaknya seperti berikut ini.

PELAYARAN

Kalau laut tak berombak
Bukan laut namanya

Kalau pantai tak berpasir
Bukan pantai namanya

Kalau angin tak meniupkan badai
Bukan angin namanya

Kalau perahuku tak bertolak
Bukan aku takut dihantam ganasnya ombak

Kalau ada isyarat di cakrawala
Aku siap berlayar
Mengarungi keluasan semesta-Mu

            Berdasarkan inti gagasan dan metafor-metafor yang digunakan penyair, sajak di atas cukup kuat untuk dikatakan berkecenderungan sufistik. Akan tetapi, sebagaimana telah saya kemukakan sebelumnya, dari segi kedalaman makna esoterisnya sajak ini pun masih berada pada tataran permukaan. Atau, dengan kata lain, jejak langkah sang penyair baru menyentuh pintu gerbang sastra sufistik. Sebab, secara implisit dapat kita tangkap bahwa kesiapan sang aku-lirik untuk berlayar mengarungi keluasan semesta-Mu (baca: Tuhan) masih sangat bergantung pada ada-tidaknya isyarat untuk itu. Bukankah, kalau (misalkan) tak ada isyarat di cakrawala berarti aku-lirik tak akan pernah siap untuk berlayar mengarungi semesta-Mu?
   
/ 6 /
Sesungguhnya, cerita ini ingin saya akhiri sampai di sini saja; bahwa ”jalan sunyi” yang hendak ditempuh sang penyair adalah jalan menuju kedamaian Cinta Ilahi; bahwa jejak langkah kepenyairannya akan segera memasuki wilayah estetika sastra transendental, serasa sudah sebagai simpulan final. Akan tetapi, begitu membaca beberapa sajak akhir yang termuat dalam antologi Meditasi Rindu versi pertama ini, saya pun segera tertegun dan terpaksan harus berpikir ulang. Kini, agak sulit bagi saya untuk memetakan secara lebih tajam arah estetika kepenyairan Micky Hidayat manakala perbicaraan harus dikaitkan dengan beberapa sajak akhirnya. Mungkin saja saya telah berlaku serampangan, tapi mungkin pula tidak terlalu latah untuk mengangkat sajak ”Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi” sebagai spirit masa depan kepenyairan seorang Micky Hidayat. Entahlah. Namun, setidaknya ada beberapa kontras konseptual lagi yang kemudian menyisakan bimbang.
            Sekarang, mari kita siapkan diri untuk menjadi saksi sejarah. Dalam suatu pentas perjamuan artistik, pada level depan dihadirkan sajak-sajak bertajuk ”Beribu Kata”, ”Tak Bisa Kucatat dalam Sajak”, dan ”Sebab Sajak Masih Kutulis”. Antusiasme meruap maju, optimisme berhamburan. Lihatlah!
             
            beribu kata tergeletak diam
            satu demi satu kutikam
            dengan pisau rinduku yang berkilat tajam
            melampiaskan rindu dendam
(Bait terakhir sajak ”Beribu Kata”)

begitu banyak peristiwa
dan kata-kata
lunglai tak berdaya
ketika kucoba
membangunkannya
(Bait terakhir sajak ”Tak Bisa Kucatat dalam Sajak”)

Kalau sajak tak lagi ditulis, lalu kata-kata harus
diapakan dan ke mana dicampakkan?

Sudahlah, tak perlu saling berdebat!
Sebab sajak masih kutulis.
(Dua bait terakhir sajak ”Sebab Sajak Masih Kutulis”)

Antusiasme dan optimisme itu didedahkan sedemikian rupa, menohok ke jantung penonton. Namun, perasaan optimis itu segera dilukai oleh sang sutradara dengan torehan kata-katanya sendiri. Sebab, pada level belakangnya, semua kemungkinan estetik itu kemudian diingkari dengan sederet kemustahilan melalui kehadiran beberapa sajak lainnya: ”Telah Kuhapus Kata-kata”, ”Hilang Kata”, dan terutama ”Sajak Tak Berisi”.
Latar pun mulai gelap, sorot lampu kian temaram. Pesimisme diam melingkar. Kini sejarah mengantarkan sebuah kota tua mulai beringsut memasuki rembang malam. Lalu, beberapa orang bijak tercenung, puluhan kursi penonton mulai kosong. Mereka harus bersabar menunggu adegan baru dalam babak lanjutan. Mereka mimpikan pula semuanya akan berakhir dengan happy ending. Akan tetapi, sang sutradara agaknya sudah lelah. Suplemen terakhir sudah pula ditelannya. Ia telah kehabisan kata, lalu berbisik pada asisten agar segera menutup tabir pementasan. Demikianlah!
  
telah kuhapus kata-kata
dan biarlah segalanya kulupakan
sebelum matahari, bulan, dan bintang-bintang
tak lagi memancarkan sinarnya
pada diriku yang tiada
(Bait terakhir sajak ”Telah Kuhapus Kata-kata”)

tapi kata-kata tak kunjung datang
hingga penyair lelah bertualang
malam ke siang menanti petang
(Bait terakhir sajak ”Hilang Kata”)

Sebagai klimak, puncak adegan dalam pementasan yang sangat dramatis itu, sang asisten bukannya menutup tabir dengan gerakan pelan-pelan, melainkan meruntuhkannya dengan cara memotong putus tali layar seketika. Ya, karena sang penyair justru menutup kumpulan sajak Meditasi Rindu versi pertamanya ini dengan sebuah sajak yang tak berisi satu kata pun (kecuali judul dan tahun penulisan, 2008). Adakah ini semacam pertanda akan kesudahan segala? Lihat saja!

SAJAK TAK BERISI

            ....

            Dengan ”sajak” (baca: sajak yang bukan sajak) semacam itu sebagai penutup antologi puisinya, apakah Micky ingin menegaskan bahwa ”jalan sunyi” yang dimaksudkannya benar-benar sebagai jalan yang paling sunyi hingga tak satu suara pun akan terdengar? Apakah ”jalan sunyi” kepenyairan yang hendak ditempuhnya selepas Meditasi Rindu justru dalam konteks tidak akan bersentuhan lagi dengan dunia olah-kata yang selama puluhan tahun telah digelutinya itu? Entahlah! 

CATATAN KAKI :

[1] Lihat Agus R. Sarjono, ”Catatan Pengantar: Sepi, Luka, Cinta, dan Meditasi Rindu Micky Hidayat dalam Micky Hidayat, Meditasi Rindu (Banjarmasin: Tahura Media, 2008), hlm. viii.
[2] Komentar D. Zawawi Imron ini dapat dilihat pada bagian “Komentar Para Sahabat” dalam Hidayat, ibid., hlm. 176.
[3] Sarjono, loc. cit.
[4] Untuk sajak ”Peristiwa” kiranya saya tak salah pilih karena, setelah saya cek beberapa literatur yang ada, ternyata sajak ini pernah terpilih sebagai salah satu dari sepuluh puisi terbaik nonranking versi Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali Tahun 1992; dimuat dalam antologi Kul Kul (Denpasar: SMK, 1992), hlm. 9.
[5] Dalam konteks ini, saya sering mempertanyakan: apakah kriteria kesastraan sebuah teks (tulisan) cukup  ditentukan oleh maksud dan atau pernyataan penulisnya ataukah justru oleh konvensi masyarakat pembaca? Bagaimana kalau sebuah teks dimaksudkan atau dikatakan oleh penulisnya sebagai ”puisi” sementara secara literer kualitas unsur-unsur (intrinsik) sastranya sangat lemah atau bahkan tidak terpenuhi? Namun, tanpa bermaksud melakukan pembenaran, saya yakin suara pembaca tentu lebih dominan daripada sekadar mendengar suara seorang penulis dengan segala subjektivitas peribadinya.
[6] Dalam “Catatan Penyair” yang dimuat di bagian belakang MR-1, Micky antara lain menyatakan, ”Saya pun mengamini dengan adanya anggapan kalau penyair adalah puisi itu sendiri.” Apakah makna pernyataan ini mengacu pada konsep puisi tanpa kata, puisi kongkret, atau puisi lainnya? Namun, hal ini ternyata sangat kontradiksi dengan pernyataannya selanjutnya bahwa hakikat sastra adalah mengongkretkan yang abstrak. Bukankah sebuah sajak yang kosong melompong justru lebih gelap daripada genre sajak-sajak gelap (semisal karya-karya Afrizal Malna)? Lihat Hidayat, op. cit., hlm. 193—194.
[7] Micky agaknya sangat keberatan kalau sajak-sajak sosial-politiknya dikatakan sebagai ”sajak pamflet” sebagaimana sajak-sajak Rendra, meski kecenderungan ke arah itu tetap ada. Keberatan tersebut, secara implisit, terungkap pula melalui “Catatan Penyair”-nya yang bernada apologis. Lihat kembali Hidayat, ibid, hlm. 191.
[8] Lihat Emha Ainun Nadjib, Abacadabra Kita Ngumpet... (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), hlm. 29.
[9] Lihat Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 11.
[10] Uraian lebih jauh tentang pemikiran Abdul Hadi WM sekitar masalah tersebut dapat dibaca dalam esai panjangnya yang bertajuk “Kembali ke Akar Tradisi: Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia”  dalam Ulumul Qur’an (Vol. III No. 3 Th. 1992), hlm. 12—29. Lihat juga bukunya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 3—61.
[11] Uraian lebih detail tentang konsep Cinta Ilahi, antara lain, dapat dibaca dalam buku Reynold A. Nicholson, Tasawuf: Menguak Cinta Ilahiah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993); juga Asfari MS dan Otto Sukatno CR, Mahabbah-Cinta Rabi’ah al-Adawiyah (Yogyakarta: Jejak, 2007).
[12] Kutipan selengkapnya dapat dibaca dalam Horison, No. 7+8 Th. XXVIII, Edisi Juli+Agustus 1993, hlm. 259 dan dimuat kembali dalam buku puisi Ajamuddin Tifani, Tanah Perjanjian (Jakarta: Harta Mitra, 2005), hlm. 179.

SUMBER TULISAN : 
Makalah Diskusi Sastra, Komunitas Sastra Indonesia Kalimantan Selatan (2010), dimuat juga dalam Majalah Sastra HORISON (Tahun XLVI, No. 8 / 2011, Agustus 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar