Aku, Kau,
Kita:
Menandai
Personalitas Sajak-sajak Eko Suryadi WS
Oleh : Jamal T. Suryanata
Manusia demikian bodohnya
Menombaki alam dari waktu ke
waktu
Kemudian kembali terperosok
Di
lubang yang sama
(Eko Suryadi WS, ”Fenomena”)
/ 1 /
Lebih-kurang empat tahun setelah menerbitkan
kumpulan puisi tunggalnya bertajuk Di
Batas Laut (selanjutnya disingkat DBL,
2005), kini Eko Suryadi WS kembali menghimpun dan menerbitkan sepilihan sajak
terbarunya dalam sebuah buku dengan judul Elegi
Negeri Seribu Ombak (selanjutnya disingkat ENSO, 2010).[1]
Secara kuantitatif, dibandingkan dengan DBL
yang memuat 86 sajak yang ditulis Eko sepanjang rentang waktu sekitar 20 tahun
masa kepenyairannya (1979—2000), sajak-sajak yang terangkum dalam ENSO memang lebih sedikit karena hanya memuat 51 sajak yang
ditulisnya selama lebih kurang 10 tahunan (2000—2009).[2]
Meskipun kedua buku ini sama-sama menyajikan sajaknya secara kronologis
(berdasarkan urutan tahun penulisan), tetapi tidak sebagaimana dalam DBL yang seluruh sajaknya disajikan
dalam satu kesatuan (baca: tanpa subjudul tertentu yang memayungi beberapa
sajak), sajak-sajak dalam ENSO dibagi
menjadi tiga bagian yang masing-masing diberi subjudul ”Elegi Negeri Seribu
Ombak” (2000—2005, berisi 16 sajak), ”Tanjung Dewa” (2006—2007, berisi 15
sajak), dan ”Bajau” (2008—2009, berisi 20 sajak).
Jika kita perhatikan, dari
aspek bentuk dan gaya penulisan, sajak-sajak yang terhimpun dalam ENSO ini tampak mengalami perkembangan
drastis dibandingkan dengan sajak-sajaknya yang tersaji dalam DBL. Perkembangan (baca: perubahan
bentuk dan gaya penulisan) itu terutama tampak pada model tipografi (tampilan
bentuk) sajaknya yang secara konsisten dilakukan sang penyair pada semua
sajaknya yang terangkum dalam ENSO.
Jika dalam DBL semua sajaknya ditulis
dengan model tipografi lurus margin kiri (sebagai pola yang tetap), seluruh
sajaknya yang terangkum dalam ENSO
ditulis dengan model tipografi bebas-terikat, bahkan cenderung agak kacau
(semacam gejala ”inkonsistensi dalam konsistensi” atau ”konsistensi yang
inkonsisten”). Dikatakan demikian karena sang penyair sebenarnya telah memilih
bentuk tertentu, tetapi penulisan larik-larik sajaknya tidak mengacu pada pola
yang tetap (termasuk dalam hal penulisan enjambemen dan batas sintaksisnya).
Hal yang tidak kita dapati dalam DBL,
dalam ENSO akan kita temukan
pola-pola tipografi dengan model yang seakan-akan lurus margin kiri (tetapi
dengan variasi larik kedua atau ketiga atau keempat atau kelima atau lainnya
ditulis menjorok ke dalam, kendati bisa juga terbalik), lurus margin tengah,
zig-zag, dan entah apa lagi sebutannya. Untuk lebih jelasnya, sekadar sebagai
gambaran bandingan, kita dapat menunjuk gaya penulisan atau model tipografi
yang pernah diterapkan dalam sejumlah sajak Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar,
Sapardi Djoko Damono, dan beberapa penyair tertentu lainnya.
Dilihat dari segi faset
tematisnya, secara umum garapan tema sajak-sajak Eko dalam ENSO sebenarnya tidak jauh beranjak dari tema-tema yang pernah
dieksplorasinya dalam buku puisi yang diterbitkan sebelumnya. Sebagaimana dalam
DBL, hampir seluruh sajaknya yang
”diabadikan” dalam ENSO secara
dominan kembali menyuarakan kegelisahan batin dan sekaligus tanggapan personal
(baca: refleksi sosiopsikologis) sang penyair sebagai seseorang yang ”ditakdirkan”
memiliki kepekaan tinggi terhadap alam atau lingkungan sekitarnya. Akan tetapi,
dalam hampir semua sajak Eko, spiritualitas alam-lingkungan itu tidak disajikan
dengan bahasa mendayu-dayu (sebagaimana umumnya sajak-sajak para penyair
Pujangga Baru) maupun secara vulgar-frontal (semisal sajak-sajak kritik
sosial-politik terhadap penguasa atau kaum kapitalis yang dianggap bertanggung
jawab atas rusaknya tatanan ekologis tertentu). Dalam sajak-sajaknya, sang
penyair lebih memilih diksi-diksi yang sederhana, wajar, serta terbungkus rapi
dalam balutan metafor-metafor segar yang diolah dari alam-lingkungan
terdekatnya.
Dalam konteksnya yang luas,
istilah ”alam” atau ”lingkungan sekitar” itu sendiri bisa saja dipahami sebagai
sesuatu yang berada di luar diri individu, yang dekat maupun yang jauh; sesuatu
yang jika dikaitkan dengan bagan skematis (dalam konteks pemahaman situasi
sastra secara holistik) yang pernah dikemukakan M.H. Abrams disebut universe (semesta, realitas alam raya).
Dalam konteks the total situation of a work of art itu, di samping work (karya sastra), secara timbal-balik
tercakup pula komponen pengarang (artist
—sebagai penghasil karya sastra), semesta (universe
—sebagai representasi realitas alam raya), dan pembaca (audience —selaku penikmat dan sekaligus
penanggap karya sastra).[3]
Sementara, tanggapan personal yang termanifestasikan melalui media sastra
(baca: puisi) itu dapat berwujud kritik sosial, luapan emosi individu,
penghayatan religius, lengkap dengan harapan dan mimpi-mimpi keakanannya
tentang dunia ideal.
Masih terkait dengan aspek
faset tematisnya, ketika kita coba menelisik seluruh lapis sajak Eko dalam ENSO ini sebenarnya tak ada sesuatu yang
mengejutkan karena sang penyair memang kembali mendedahkan gelisah batin dan
tanggapan kritisnya terhadap kondisi sosial tertentu di sekitarnya: alam yang
rusak, lingkungan yang terkotori oleh kerakusan manusia, tatanan sosial yang
kian runtuh, atau kebangkrutan moral yang disaksikan dalam lingkungan
kekiniannya. Pada tataran lain, kita pun kembali dihadapkan pada lirisme
kesunyian jiwa sang pencari Kebenaran Sejati (The Ultimate Truth)
melalui sejumlah sajaknya yang bercorak religius atau bahkan bermuatan
sufistik. Hanya saja, dalam hal ini kiranya perlu ditekankan bahwa spiritualitas
semacam itu tetap tampil dalam bingkai penyajian seorang penyair lirik yang
kuat.
/ 2 /
Sebuah rumusan sosiologis yang terdengar sudah
begitu akrab di telinga kita, bahkan mungkin terasa telah menjadi sebuah klise,
mengatakan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Setiap karya
sastra tidak terlahir dari suatu kekosongan (budaya), tetapi senantiasa
dipengaruhi oleh lingkungan (sosial-budaya) penciptaannya. Sajak-sajak yang
ditulis oleh seorang penyair pada dasarnya merupakan bentuk refleksi sosial, tanggapan
kritis, sekaligus sebagai suara batin atau ekspresi estetis sang penyair atas
situasi sosial (mungkin juga: budaya-politik-ekonomi) tertentu yang didengar,
disaksikan, dan dirasakannya.[4]
Dalam proses kreatif penciptaan sajak-sajaknya, setiap penyair (juga
sastrawan-kreatif pada umumnya) tak bisa mengelak dari situasi timbal-balik,
kausalitas yang melibatkan empat komponen yang merupakan caturtunggal itu: work (karya sastra), artist (pengarang), universe (semesta), dan audience (pembaca; masyarakat).
Demikianlah pula apa yang dapat saya temukan ketika membaca sajak-sajak Eko
dalam antologi ENSO ini, di samping
menonjolnya kekuatan unsur lokalitas yang terdedahkan melalui diksi-diksinya
yang segar dan khas beraroma kota kecil yang dikelilingi laut dan pantai dengan
segala ornamennya.
Ketika
coba menggali lebih dalam lagi, secara intuitif pikiran saya serasa digiring
(entah oleh suatu dorongan arus-bawah-sadar macam apa) untuk melakukan
pemaknaan kontekstual terhadap seluruh sajak Eko dalam antologi ENSO ini dalam satu bingkai
sosiopsikologis bernama personalitas.
Konsep ini mengandaikan terjadinya beragam wujud relasi dan reaksi sosial
maupun psikologis seseorang (individu), sistesis kehidupan emosional dan
mental-spiritual, terhadap kefaktaan-kefaktaan tertentu di lingkungan
sekitarnya (dalam konteksnya yang luas). Kemudian, bertolak dari diksi-diksi
dan matafor-metafor yang relatif dominan digunakan sang penyair, konsep
personalias itu sendiri dapat ditandai lagi dengan tiga kata kunci: aku, kau, dan kita. Dalam hubungan dialogis ketiga unsur inilah secara impulsif
pemaknaan terhadap sajak-sajak Eko bergerak ke arah pemahaman sosiopsikologis
(pada tataran lebih lanjut bisa jadi akan bercorak semiosis-filosofis).
Jika
sebuah kumpulan sajak kita andaikan sebagai sebuah taman dengan aneka ragam
bunga di dalamnya dan jenis bunga-bunga itu dapat dipilah-pilah lagi
berdasarkan karakteristik tertentu, secara tematis sajak-sajak Eko yang tersaji
dalam ENSO memang dapat
diklasifikasikan (setidak-tidaknya) menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama,
sajak-sajak yang secara dominan bermuatan kritik sosial atau yang secara
implisit memperlihatkan kecenderungan tersebut. Sajak-sajak yang termasuk dalam
kelompok ini terutama mengungkap, mendedahkan, menggelisahkan, menyesalkan, dan
mengkritisi berbagai kondisi dan/atau fenomena sosial (termasuk di dalamnya
budaya-politik-ekonomi) yang terjadi di sekelilingnya. Muatan kritik sosial itu
bahkan dapat kita kerucutkan lagi dalam satu garis-besar, kritik sosial yang terkait
dengan kegelisahan sang penyair terhadap kondisi alam-lingkungannya. Kelompok
ini, antara lain, diwakili oleh sajak-sajak bertajuk ”Dendam Pohon”, ”Mengunyah
Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya”, ”Hujan Meninggalkan Kota”, ”Elegi Negeri
Seribu Ombak”, ”Sungai Luka”, ”Ketika Kita Tak Mampu Membujuk Hujan”, ”Stasiun
Waktu Kilometer Lima Puluh Lima”, ”Tanjung Dewa”, ”Kemerdekaan”, ”Saranjana”,
”Sebelum Halimun”, ”Fenomena”, dan ”Di Tanah Retak”.
Kelompok
kedua, sajak-sajak yang secara dominan bermuatan religius atau yang, pada level
tertentu, memperlihatkan kecenderungan sufistik. Sajak-sajak yang termasuk
dalam kelompok ini terutama menyuarakan kegelisahan religius, kecintaan dan
kerinduan seorang hamba terhadap Sang Khalik, tetesan air mata doa, pencerahan spiritual,
pun mimpi-mimpi keakanan aku-lirik tentang dunia ideal atau kondisi teleologis
yang surgawi. Kelompok kedua ini, antara lain, diwakili oleh sajak-sajak
bertajuk ”Ruang Angin”, ”Kukitari Rumahmu”, ”Ziarah Puisi”, ”Air Mata Semesta”,
”Berdiri di Fort Rotterdam”, ”Setelah Air Mata”, ”Setelah Perarakanmu”,
”Sedekat Rindu”, ”Di Kedalaman Waktu”, ”Ramadhan”, ”Idul Fitri”, ”Berjalan di
Belakang Keranda Menuju ke Pemakaman”, ”Fajar Air Mata”, ”Cinta Ini Kususun”,
dan ”Menunggu Perjamuan”.
Akan
tetapi, saya selalu yakin bahwa di balik berbagai klasifikasi teoretis
senantiasa ada sesuatu yang menghuni wilayah abu-abu; sesuatu yang tidak dapat
dikelompokkan dalam satu kecenderungan besar atau sebaliknya ia malah termasuk
dalam beberapa kecenderungan itu. Kita sebut, misalnya, sajak-sajak bertajuk
”Figura (1)”, ”Figura (2)”, ”Menggenapi Langkahmu”, “Kutimba Badai Pamor
Lautmu”, “Ibu”, ”Pertanda Apa”, ”Membaca Tanah Risaumu”, ”Di Langit Kota Ada
Menara”, “Hikayat”, ”Jejak”, ”Melayu”, ”Bajau”, dan ”Terbanglah Kuat-kuat ke
Langit Lukaku”. Secara teoretis, dengan mengenakan faset tematis tertentu
sebagai payungnya, sajak-sajak tersebut sulit untuk dapat dimasukkan ke dalam
kelompok pertama (yang bercorak kritik sosial) maupun kelompok kedua (yang
berkecenderungan religius). Akan tetapi, dengan penandaan dan/atau melalui
proses semiosis tertentu, mereka (baca: sajak-sajak tersebut) sekaligus bisa
leluasa memasuki kedua wilayah yang seakan-akan hitam-putih itu. Namun, satu
hal yang penting bahwa hampir semua sajak Eko dalam ENSO ini pada esensinya dapat diikat dalam satu bingkai
sosiopsikologis, yakni personalitas
itulah (sekali lagi, di dalamnya mengandaikan terdapatnya hubungan dialogis
antara konstituen aku, kau, dan kita). Untuk lebih jelasnya, mari kita
simak kutipan lengkap sajak yang oleh sang penyair dijadikan judul buku
puisinya berikut ini.
ELEGI
NEGERI SERIBU OMBAK
Di negeri seribu ombak
kubangun kota-kota peradaban
Kutaburkan mimpi daun,
sungai, cakrawala, hujan
Lewat kasih sayang bunga
Kuhisap udaramu
kuhirup sungaimu
kupijak bumimu
kukayuh lautmu
menjadi semestaku.
Di sini perarakan musim datang dari segala penjuru
membawa mimpi peristiwa
dari nol kilometer ke kilometer lima puluh tiga
kusapa duka lara.
Tangismu melarutkan jembatan kekinian
Air matamu meruntuhkan
beton-beton
Menisbikan sejarah yang
lahir dari doa-doa leluhur
Kuburnya ditenggelamkan para
pengembara
Kota-kota telah dibakar para perambah
Mimpi musim pun diseret
putaran waktu:
tak pernah kembali
tak pernah tersisa
Adakah semestaku.
Mereka lukai negeri ini
Mereka
hirup darahnya
Dengan rasa haus dan mata
terpejam
Di negeri seribu ombak
Burung-burung pemangsa
meninggalkan bangkai
setelah pesta
Terasa sekali bahwa
larik-larik sajak di atas sarat dengan muatan kritik sosial yang menyuarakan
kegelisahan batin aku-lirik (bukan aku-penyair) manakala menyaksikan kondisi
alam maupun tatanan sosial-budaya sekelilingnya yang telah rusak,
terkontaminasi, atau bahkan terjarah oleh berbagai kepentingan, di sebuah
wilayah yang disebut sang penyair sebagai Negeri Seribu Ombak (sebuah metafor
yang tentu saja menyaran pada lokalitas yang paling dekat dengan kehidupan sang
penyair sendiri). Dengan gaya satiris yang sangat halus, aku-lirik menyayangkan
segala yang telah terjadi di sekitarnya, di ”negeri”-nya: Tangismu melarutkan jembatan kekinian/ Air matamu meruntuhkan
beton-beton/ Menisbikan sejarah yang lahir dari doa-doa leluhur/ Kuburnya
ditenggelamkan para pengembara/ Kota-kota telah dibakar para perambah/ Mimpi
musim pun diseret putaran waktu:/ tak pernah kembali/ tak pernah tersisa. Kemudian,
sindiran tajam pun ditujukan kepada ”mereka” yang terlibat: Mereka
lukai negeri ini/ Mereka hirup darahnya/ Dengan rasa haus dan mata
terpejam// Di negeri seribu ombak/ Burung-burung pemangsa meninggalkan bangkai/
setelah pesta.
Dalam konteks personalitas,
kehadiran pronomina persona pertama dan kedua tunggal (aku-kau) —secara eksplisit maupun implisit— tampak lebih
mendominasi wacana dialogis yang seakan berada dalam suasana berdepan-depan,
sementara keberadaan pronomina persona ketiga jamak (mereka) dihadirkan sebagai entitas lain (sebagai bukan pihak kami) karena memang secara sadar
diposisikan sebagai ”orang lain”, the
other man (baca: para pengembara,
para perambah, atau dengan depersonifikasi burung-burung pemangsa). Sebagai orang tempatan, aku-lirik memang
merasa miris melihat kondisi sekelilingnya yang seakan telah kehilangan
sejarahnya itu. Akan tetapi, ia sendiri tampaknya tak bisa berbuat banyak
kecuali sekadar mengungkapkan gelisah batinnya dalam wujud monolog yang
dialogis atau dalam bentuk dialog-monologis. Dalam sajak di atas, hubungan
personalitas aku-kau (yang pada
tataran selanjutnya dapat bertransformasi menjadi kita) tersebut direpresentasikan melalui kata-kata tangismu dan matamu (klitika –mu
sebagai derivasi kau) —dengan aku yang diimplisitkan.
Sebagaimana pernah diungkapkan
Jacques Maritain (seorang filsuf Perancis), pengalaman estetis pada dasarnya
merupakan intercommunication between the
inner being of things and the inner being of the human self —interaksi
antara manusia dan hakikat alam raya.[5] Karya-karya sastra merupakan proyeksi
perasaan subjektif manusia ke dalam alam raya dan sebaliknya alam raya
bercerita tentang perasaan manusia. Oleh karenanya, jika anggapan itu benar,
dalam konteks inilah kiranya kita dapat dengan setepat-tepatnya menandai spirit
sajak-sajak Eko (yang bermuatan kritik sosial maupun yang bercorak religius)
sebagaimana tergambar dalam ”Elegi Negeri Seribu Ombak” di atas. Karena itu
pula, dalam konteksnya yang luas, tak syak lagi bahwa sajak-sajaknya yang
secara teoretis diasumsikan sebagai wacana yang menempati wilayah abu-abu pun
sebenarnya merupakan representasi dialogis interkomunikasi semacam itu (baca:
hubungan antara manusia dan hakikat alam raya). Lihat saja, misalnya, betapa
kepedulian sang penyair terhadap bencana tsunami
yang terjadi di Aceh (dari lingkungan yang jauh itu) melalui sajaknya ”Pertanda
Apa” dan ”Membaca Tanah Risaumu” juga menyiratkan personalitas aku-kau dalam hubungan ke-kita-an yang sungguh intim dan familiar.
Personalitas ke-kita-an (sebagai unifikasi dua
konstituen yang bersisian atau saling berhadapan secara dialogis, aku-kau) yang menandai estetika
perpuisian Eko sebenarnya menyebar dalam hampir semua sajak yang pernah
ditulisnya. Personalitas demikian tidak hanya hadir dalam sajak-sajaknya yang
bertema kritik sosial, tetapi juga dalam sajak-sajaknya yang bernilai religius
maupun dalam corak lainnya. Beberapa di antaranya bahkan dieksplisitkan dengan
langsung menghadirkan pronomina kita
itu sendiri, sebagaimana dapat kita temukan dalam sajak-sajak bertajuk
”Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya”, ”Hujan Meninggalkan Kota”, ”Ketika
Kita Tak Mampu Membujuk Hujan”, ”Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima”,
”Fenomena”, ”Saranjana”, ”Hikayat”, dan ”Melayu”. Perhatikan beberapa larik
dari penggalan sajak ”Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya” di bawah ini.
Sepanjang
kelokan jalan Tanjung Serdang
kita melukis wajah dengan beton
Rumah yang dihadapkan pagar
kita durikan pada bola mata
Runcingnya menusuk lengan kita
Seperti ada yang terlepas
Darah membaui hutan pinus
Angin membaui jalan-jalan
Dalam sajak
di atas, demikian juga pada sajak-sajak lainnya yang bertema kritik sosial,
konteks personalitas ke-kita-an itu lebih
menunjuk pada hubungan sosiokultural aku-lirik dengan orang-orang (lain) di
sekitarnya. Kendati secara historis aku
dan kau mungkin berasal dari entitas
sosiokultural yang berbeda, tetapi dalam konteks personalitas sajak-sajak Eko
pada esensinya mereka dipandang sebagai ”sama” dan ”setara” sehingga keduanya
dapat luluh atau bertransformasi dalam kekuatan sosiokultural baru (kami atau kita) sebagai penanda kekerabatan yang intim. Hal ini bukan saja
merupakan sebuah gambaran konformitas yang baik dari dua kekuatan yang berbeda,
melainkan juga menunjukkan sikap moderat dan jalan kompromi yang telah ditempuh
aku-lirik saat menghadapi berbagai persoalan sosiokultural di sekitarnya.
Unifikasi demikian agaknya dapat kita telusuri kembali dengan membawanya pada
pemahaman sosiopsikologis yang paling intim dengan ranah budaya sang penyair
(baca: tradisi-budaya Banjar), yakni konsep papadaan.[6]
Oleh karena itu, dengan mengenakan konsep papadaan
tersebut, siapa pun dan pihak mana pun yang terlibat dan/atau dilibatkan dalam
suatu dialog akan merasa terpanggil untuk masuk ke dalam wacana kita (kami, jika sedang berhadapan dengan mereka sebagai representasi entitas di luar komunitasnya). Dengan
cara demikian pula, terasa tak ada jarak ketika dalam sajak di atas sang aku-lirik
mempertanyakan (tepatnya, mengkritisi) sikap-laku ”kaum kerabat” atau ”anggota
komunitas”-nya secara internal: Kenapa
kita melukai semesta/ Sementara kita menghirup air susunya/ Kenapa kita
menyumbat sungai kehidupan/ Padahal di sana ruh dimandikan (?). Sebab,
dalam konteks papadaan, pemahaman
terhadap kritik semacam itu tidak lebih dari suatu upaya untuk melakukan
introspeksi (melihat ke dalam diri). Kendati, kita pun segera mafhum bahwa pada
ujung-ujungnya sang aku-lirik tetap berdiri dalam jarak tertentu sebagai
seseorang dengan personalitasnya sendiri, sebagaimana terungkap dalam
larik-larik: Mengunyah rasa sakit ini/ Kuludahkan
darahnya/ Nyerinya tak terasakan olehmu.
Secara umum, dalam sajak-sajak
Eko, pemanfaatan konsep papadaan
sebagai mediator untuk meminimalisasi ketegangan atau sebagai upaya untuk
mempersempit jarak-batas sosiokultural tampaknya cukup efektif dalam rangka
memuluskan penyampaian pesan. Sebab, sekali lagi perlu ditekankan, dalam konsep tersebut siapa pun akan
merasa terlibat dan dilibatkan. Jarak-batas personalitas terasa menjadi lebih
intim karena kebersamaan yang dibangun dalam konsep papadaan memungkinkan aku-kau
maupun kita (kami)-mereka (kalian) tidak dalam hubungan yang
konfrontatif, tetapi bersifat konformistis. Demikianlah pula yang dapat saya
tangkap dan rasakan dalam sajaknya yang bertajuk ”Saranjana”, lantaran
pemanfaatan konsep papadaan-nya yang
tepat pula hingga membuat sajak yang sesungguhnya bisa bernada sarkas dan
sangat garang ini tinggal tersulap menjadi sebuah satire ”retaknya
persaudaraan” yang sangat halus. Perhatikan dalam larik-larik berikut ini,
betapa ”sang kakak” masih bisa bersikap arif menerima kesuksesan ”adik”-nya
yang justru dibangun dengan tetes keringat, air mata, dan segala
pengorbanannya:
Sambu, kepurbaan cintamu
menjadi pengembaraan
Di padang-padang sunyi kau
gembalakan angan
Memasuki lorong-lorong intipmu
Periuk yang kami tanak
berisi air mata kandamu
Ranjang pengantin batu
bersimbah darahnya
Jangan simpan perihmu ke lukanya
Jangan biarkan keanyiran menyergap
Di situ tergambar ada jarak (pembatas duniamu dan para juriat), keterpisahan secara fisik
maupun mental, sebagai konsekuensi terburuk putusnya hubungan silaturrahmi atau
retaknya persaudaraan. Akan tetapi, sebagai saudara tua (dengan bentuk sapaan kandamu), atas nama ”cinta mereka” sang
aku-lirik (yang dalam sajak ini dijamakkan menjadi kami-lirik yang impersonal) bukan saja sedia menerima ”kelatahan”
adiknya untuk berpisah, melainkan juga siap membuka diri untuk membangun
kembali kebersamaan baru: Sangkarmu penuh
tangkapan –bukalah/ Biarkan halimun itu tersibak/ Burung-burung kembali ke
sarang pertama/ Fajarmu harus kita bangkit ke ufuknya. Tidakkah semua itu
dilakukannya demi sang adik, Sambu,
yang kedalaman cinta-nya menjadi periuk itu? Ya, demikianlah
personalitas aku-kau atau kami-kalian tersambung dalam konteks ke-kita-an yang intim hingga aku-lirik
(kami-lirik) pun berpetuah dengan bijak: Angkatlah
lubuk cintamu menemu kuali.[7]
/ 3 /
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, di luar sajak-sajak bertema kritik sosial
setidak-tidaknya ada sepuluh sajak lain yang secara eksplisit berdimensi
religius atau bahkan berkecenderungan sufistik. Dalam kaitan ini, hal penting
yang perlu dikemukakan kembali bahwa dalam sajak-sajaknya yang bernilai
religius pun estetika perpuisian Eko senantiasa dapat ditandai dengan kehadiran
personalitas aku-kau-kita, kendati
makna hubungan itu lebih menunjuk pada konsep homo-religiousus. Lebih jelasnya, jika personalitas dalam
sajak-sajak kritik sosialnya pada galibnya menunjukkan relasi sosiopsikologis
antar-sesama-manusia, dalam sajak-sajaknya yang bermuatan religius hubungan
personalitas itu lebih mengacu pada kerangka dialogis aku-lirik dengan
Khaliknya.
Dalam konteks sastra religius,
konstruksi kita merupakan bentuk
transformatif dari konstituen aku
yang antropomorfis dengan Kau yang
teomorfis. Lebih jauh lagi, dalam dimensi sufistiknya, konstruksi kita bahkan mengandaikan terjadinya
proses unifikasi antara aku-hamba
dengan Kau-Tuhan atau luluhnya
kemakhlukan dalam keilahian secara transendental. Dari sejumlah sajak religius
yang lahir dari tangan Eko, khususnya dalam ENSO
ini, salah satu di antaranya yang dipandang relatif kuat memperlihatkan
kecenderungan sufistik adalah sajak bertajuk ”Kukitari Rumahmu”. Kendati memang
tidak sampai menyentuh konsep ”Kemanunggalan Ilahiah” (dalam sufisme Jawa
dikenal dengan istilah manunggaling kaula
lan Gusti), tetapi sajak yang selengkapnya dikutipkan di bawah ini cukup
representatif sebagai model sastra sufistik.[8]
KUKITARI
RUMAHMU
Betapa rindunya aku dalam tawaf subuhku
Engkau berdiri di pintu masuk
- menyeruku
Di jalan sepimu
Kukumpulkan
potongan-potongan sunyi
Dari gelas cahaya cintamu
- memburuku
Sisa waktu ini menyingkap
hari-hari
Menyelam dalam diriku
Kayuhan ini menyisakan
wajahmu
Kucari dalam himpitan peristiwa
- kemana perginya
Kuseru dalam jalan-jalan
mimpi
Kubingkai sunyi bersama anak-anak rindu
- yang lahir dari rahim malammu
Matahari dan bulan mengitari
rumahmu
Air mata kekasih membasuh
luka semesta
Kemana kan kusembunyikan
debu kemusykilan
Air mata itu mencari diriku
Aku terkepung dan tak bisa lari
Kata-kata telah menjadi
kesturi dan zaitun
Kusampaikan dalam bahasa
puisi
Aku tak bisa membaca
Karena bacaan adalah diriku
Kukitari rumahmu
Tidak dalam hitungan lagi
Dalam
bahasa sederhananya, sajak di atas sebenarnya hanya mengungkapkan pengalaman
spiritual aku-lirik saat ia melakukan tawaf (berjalan mengitari ka’bah; bagian
dari ritual ibadah haji), sebagaimana dapat kita pahami dari larik pembukanya (Betapa
rindunya aku dalam tawaf
subuhku). Namun, karena
oleh sang penyair sajak tersebut tidak langsung diberi judul ”Tawaf” tetapi
secara metaforis dibungkus dengan tamsil ”Mengitari Rumahmu” (sebagaimana dapat
kita rujuk pada larik-larik Kukitari
rumahmu// Tidak dalam hitungan lagi), kesederhanaan tersebut terasa menjadi
sesuatu yang sublim.
Muatan sufistik dalam sajak di
atas terasa sangat impresif mulai dari larik pembuka hingga ke larik
penutupnya. Kita rasakan
betapa sang aku-lirik yang ontologis demikian merindu dalam suatu perjumpaan
transendental dengan Khaliknya. Sebagai seorang mahabbah (sebagaimana dapat kita pahami melalui konsep ”Cinta
Ilahiah”-nya Rabiah al-Adawiyyah, misalnya), ia benar-benar merindukan
kebersamaannya dengan Tuhan secara imanen hingga secara personal seakan tak ada
jarak lagi antara aku (makhluk)
dengan Kau (Khalik): Engkau berdiri di pintu masuk/
menyeruku//... Di jalan sepimu/ Kukumpulkan potongan-potongan sunyi/ Dari gelas
cahaya cintamu/ memburuku. Akan tetapi, kerinduan itu tetaplah sebatas
kerinduan seorang manusia yang eksistensial, bukan dalam kondisi fana-nya seorang sufi: Kayuhan ini menyisakan wajahmu/ Kucari dalam
himpitan peristiwa/ kemana perginya.
/ 4 /
Dari seluruh sajak Eko yang bertema kritik sosial,
sejauh yang dapat saya tangkap, pesan moral yang ingin disampaikan sesungguhnya
dapat dikerucutkan hanya dalam empat larik sederhana, yakni pada bait penutup
sajak ”Fenomena” berikut: Manusia
demikian bodohnya/ Menombaki alam dari waktu ke waktu/ Kemudian kembali
terperosok/ Di lubang yang sama. Kendati pada simpul besarnya gaya bahasa
dalam larik-larik tersebut terasa agak sinis, tetapi di banyak tempat dalam
banyak sajaknya yang lain sang penyair selalu menyajikan pesan-pesan moralnya
secara dialogis (monologis) melalui pertautan personalitas (aku, kau, kita) yang intim. Keintiman
personalitas itulah yang membuat sajak-sajak kritik-sosialnya tidak terasa
sebagai pesan yang bernada kelewat tendensius, tetapi lebih berupa satire yang
halus.
Sementara, untuk sajak-sajak
Eko yang bertema religius, pesan moral itu agaknya tidak cukup hanya
direpresentasikan dalam beberapa larik singkat. Namun, bagaimanapun, sejatinya
sajak-sajak religius senantiasa akan membawa pesan-pesan cinta dan kerinduan
antara aku-makhluk dengan Kau-Khalik hingga diandaikan mencapai
suatu kondisi kebersamaan (ilahiah), menyatunya sang hamba dengan Sang Khalik
dalam personalitas ke-kita-an yang
transenden. Akan tetapi, dalam sajak-sajak Eko, spiritualitas semacam itu masih
dalam batas pencarian. Perhatikan, misalnya, larik-larik dalam bait kedua sajak
”Air Mata Semesta” berikut ini.
Tidak ada yang perlu
dicurigai
Walau antara kita saling intip
Mengapa rindu yang berurai
air mata ini
Terus mencarimu sepanjang zikir dan
sajadahku
Engkau berkeliling memunguti
air mata itu
di sepanjang lorong, trotoar dan puncak kesepian
bersama anak-anak sunyi
Hal lain yang juga cukup
menonjol dalam sajak-sajak Eko (lebih luas lagi menyentuh estetika
kepenyairannya), setidaknya melalui antologi ENSO ini, seakan ia ingin meneguhkan keyakinannya pada kekuatan
puisi (dalam sajak-sajaknya, kecuali untuk judul ”Sajak Politik” dan beberapa
larik sajak lainnya, pada umumnya Eko tidak menggunakan istilah ”sajak”). Di
sini, dalam bentuknya yang eksplisit maupun implisit, puisi dipandang sebagai
”kubangan kerbau imajinasi” (meminjam istilah Ajamuddin Tifani) seorang
penyair, baik sebagai media pengucapan artistiknya yang sangat personal maupun
sebagai pengungkap pesan-pesan moral kemanusiaan yang universal. Keyakinan
semacam itu dapat kita lihat pada sejumlah sajaknya, antara lain ”Air Mati Mata
Air Mata”, ”Sungai Luka”, ”Ziarah Puisi”, ”Rumah Puisi”, ”Menggenapi
Langkahmu”, ”Rumahmu Cuma Kata-kata”, ”Luka-luka Kubur Kota”, ”Bingkai”, dan
”Jejak”. Untuk melihat sejauh mana perhatian, kecintaan, keyakinan, kerisauan,
dan harapan-harapan sang penyair pada puisi, mari kita simak larik-larik ”Rumah
Puisi”-nya yang dikutipkan selengkapnya di bawah ini.
RUMAH
PUISI
Rumah puisi adalah hatimu
yang merangkai kota-kota dunia
Membaca dan merekam
peristiwa
lewat jemari waktu
Dalam pahatan hari
tanpa henti
Rumah puisi kita bangun
dari kecemasan dan mimpi embun
Hati kita adalah jembatannya
kita biarkan terasing sendiri
Kekosongan kita lukis di selembar kertas
Dengan tipu daya
warna-warna diputihkan tanpa ujung
Kita melukisnya dengan
tombak, panah, keris, pedang
bayonet, molotov, hingga bom
Kita menguasnya dengan
ekspresi
dan tangan sendiri
Gambarnya beterbangan di
udara
Kita santap setiap sarapan pagi
Rumah puisi tak lagi kita
tulis dengan kata-kata
Atau kita bingkai dengan hati
Tetapi sudah mereka tulis
dengan peristiwa
Setiap waktu
Rumah
puisi bukan lagi rumah kita
ia adalah cuaca
sebab musim dan angkara pemiliknya
Dengan
diksi yang apik, penyair mendeskripsikan gejolak batin dan tanggapan kritisnya
terhadap puisi (baca: kondisi perpuisian di tanah air) yang kini hidup dalam
lingkaran paradoks. Ada kontras, juga bayangan anakronisme di dalamnya.
Bangunan personalitas pun seakan pecah, terbelah, karena kita-mereka (termasuk di dalamnya aku-kau) secara implisit telah diposisikan (juga dioposisikan?)
sebagai dua kekuatan yang berseberangan. ”Puisi” (yang bisa saja ditafsirkan
lain) yang dulu merupakan persoalan hati, kini sudah dikuasai oleh anarkisme
peristiwa (baca: nafsu duniawi). Perhatikan kembali paradoks dalam dua baitnya
ini: Rumah puisi kita bangun/ dari
kecemasan dan mimpi embun/ Hati kita adalah jembatannya/ kita biarkan terasing
sendiri//... Rumah puisi tak lagi kita tulis dengan kata-kata/ Atau kita
bingkai dengan hati/ Tetapi sudah mereka tulis dengan peristiwa/ Setiap waktu/
Rumah puisi bukan lagi rumah kita/ ia adalah cuaca/ sebab musim dan angkara
pemiliknya. Betapa tragisnya, bukan?
Namun,
bagaimanapun, jarak personalitas yang terbangun dalam hampir semua sajak Eko
sebenarnya masih selalu menyisakan ruang dialog untuk menyikapi segala sesuatu
dalam spirit kebersamaan; bahwa konsep papadaan,
sekali lagi, senantiasa menjadi esensi personalitas yang dibangunnya; bahwa
dengan konsep sosiokultural tempatan itu memungkinkan segalanya bisa mencair
untuk mencapai harmoni (unifikasi kata, hati, waktu, dan peristiwa). Bukankah
harmoni merupakan inti segala keindahan? Akan tetapi, sebuah pertanyaan
aksiologis juga dilontarkan penyair ke hadapan kita (baca: siapa pun yang merasa dirinya penyair), sebagaimana
terungkap dalam bait keempat sajak “Bingkai”-nya ini: Seperti ada yang terlepas di jemariku/ luka peradaban menggiring kepada
waktu/ Haruskah tangisan anak-anak pecah/ dalam ruang hatimu/ sebelum puisi menjadi
batu (?).
Kecuali
hal di atas, masih dalam kaitannya dengan “puisi” sebagai media, di antara
banyak sajaknya yang rata-rata relatif panjang itu ternyata Eko juga menulis
beberapa sajak alit —istilah “alit” (dari bahasa Jawa yang berarti “kecil”, “pendek”,
“singkat”, atau “padat”) dalam hal ini bukan saja merujuk pada perhitungan
jumlah lariknya yang minim, melainkan juga pada minimnya jumlah kata dalam
setiap lariknya. Sajak-sajaknya yang tergolong alit atau sering disebut “sajak
minimalis” (dalam arti “hemat kata”) dimaksud antara lain diwakili oleh
sajak-sajak bertajuk “Jejak” (14 larik), “Luka-luka Kubur Kota” (12 larik), “Di
Langit Kota Ada Menara” (12 larik), “Sajak Politik” (8 larik), dan “Idul Fitri”
(4 larik). Kecuali kelima sajak yang isinya berkisar antara 4—14 larik
tersebut, masih ada dua sajak lagi yang boleh dikata merupakan pamungkas untuk
ragam sajak alit ini (karena superalitnya), yakni “Kemerdekaan” dan “Ramadhan”
(masing-masing hanya berisi 1 larik) —sajak “Kemerdekaan” hanya berisi larik kereta belum tiba di stasiun (sebagai
metafor belum terwujudnya konsep “kemerdekaan” yang ideal), sedangkan sajak
“Ramadhan” berisi larik aku tersungkur (sebagai
metafor totalitas penyerahan diri seorang hamba di hadapan Sang Pencipta).
Di luar konteks interpretasi atas kandungan
maknanya yang sering kontroversial, paling tidak ada tiga kemungkinan yang
melatarbelakangi mengapa seorang penyair menulis sajak-sajak alit (khususnya
yang superalit).[9] Kemungkinan pertama, ia ingin menunjukkan
bahwa untuk mengungkapkan suatu pesan (dengan media puisi, tentunya)
sesungguhnya bisa dilakukan dalam wujud bahasa yang sangat padat atau dengan
kata-kata yang sehemat mungkin. Dengan demikian, kata (-kata) yang digunakan
hanyalah kata (-kata) yang benar-benar selektif dan kehadirannya dipandang
sangat fungsional dalam membangun makna atau untuk menyampaikan pesan (secara
teoretis, hal ini tentu sesuai dengan ciri khas cipta-puisi yang lebih
mengutamakan kepadatan pengucapan, terutama dalam perbandingannya dengan ragam
prosa). Agaknya, alasan demikianlah yang kemudian memunculkan genre “sajak
minimalis”.
Kemungkinan kedua, pada saat
ingin menulis sajak sang penyair sebenarnya merasa sudah kehabisan kata untuk
dituliskan. Namun, dengan hanya bermodal satu atau dua kata yang ditemukannya,
dalam kondisinya yang tidak mood itu
ia tetap nekad memaksakan diri untuk menulis sajak hingga akhirnya melahirkan
bentuk sajak-sajak superalit. Karena itu, dari dulu hingga sekarang, jenis
sajak-sajak superalit ini selalu tidak banyak ditulis orang. Dalam sebuah
antologi puisi tunggal karya seorang penyair yang berisi lebih dari lima
puluhan sajak paling-paling hanya akan kita temukan satu-dua sajak superalit.
Lalu, sebagai kemungkinan
ketiga, tanpa dilandasi kesadaran dan pandangan estetik tertentu sang penyair
tampaknya sekadar ikut-ikutan “latah” dengan menulis sajak-sajak superalit
pula. Posisinya tidak lebih dari sebagai epigon para pendahulunya semisal Sitor
Situmorang, Sutardji Calzoum Bachri, atau Hamid Jabbar yang pernah menciptakan
satu-dua sajak superalitnya.[10] Maka, jika kemungkinan kedua dan ketiga
yang menjadi penyebabnya, dapat diduga bahwa sajak-sajak superalit (yang
cenderung ditulis dengan paksa atau sekadar mengikuti penyair lain) tersebut
akan rendah mutu sastranya atau setidak-tidaknya kurang berbobot literer.
/ 5 /
Lepas dari soal penandaan personalitasnya, juga di
luar masalah alit-alitan, sekali lagi dapat dikatakan bahwa sajak-sajak yang
pernah ditulis Eko pada umumnya selalu diwarnai oleh diksi dan metafor-metafor
yang menunjukkan keakraban sang penyair dengan alam-lingkungan terdekatnya.
Sebagai seorang penyair yang lahir, besar, dan tinggal di sebuah kota pesisir
(Kotabaru), metafor-metafor yang dieksplorasinya juga tidak jauh beranjak dari
panorama lokal semacam laut, sungai,
danau, ombak, gelombang, awan, badai, langit, pasir, batu karang, ikan,
nelayan, perahu, kapal, pelayaran, juga burung,
pohon, hutan, dan pegunungan. Namun, menjadi terasa
kontradiktif ketika dalam sajak tertentu sang penyair mencoba memberi warna
lain dengan menempatkan metafor “asing” semacam stasiun karena ia justru sedang berbicara dalam konteks lokal
(lihat, misalnya, sajak bertajuk “Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima”).
Hal itu tentunya berbeda kalau ia sedang mengembara (secara fisik maupun
imajiner) ke tempat-tempat lain yang jauh (semisal Malioboro, Aceh, atau Fort
Rotterdam, Makassar) atau saat sang penyair ingin berbagi pengalaman batinnya
dalam konteks kemanusiaan yang universal (semisal kereta dan stasiun dalam
sajak “Kemerdekaan” yang telah dikutipkan di atas).
Akan tetapi, perlu dicatat
kembali bahwa secara umum sajak-sajak Eko lebih banyak berbicara tentang
lokalitas sosiokultural atau alam-lingkungan terdekatnya. Aspek ini merupakan
salah satu kekhasan dan sekaligus menjadi kekuatan sajak-sajaknya. Selain itu,
keintiman personalias yang dibangunnya merupakan faktor lain yang mendukung
signifikansi pengucapan estetik sajak-sajaknya. Akan tetapi pula, biarlah
sajak-sajak berbicara dengan bahasanya sendiri, tentang metafor-metafor yang
didedahkannya, tentang kedalaman makna yang ditawarkannya, juga tentang takaran
bobot literernya. Ya, seperti kata sebuah pepatah Latin, “Verba Volant, Schrifta Manent” (terbang tak tentu, tetapi apa yang
tertulis tetap tinggi mutunya selama-lamanya).
Pelaihari, 2
Februari 2010
CATATAN KAKI :
[1] Berdasarkan biografi kepenyairannya, Elegi Negeri Seribu Ombak (2010) adalah
antologi puisi tunggal Eko yang kelima setelah meluncurkan Sebelum Tidur Berangkat (1982), Ulang
Tahun (1982), dan Di Balik
Bayang-bayang (1983), dan Di Batas
Laut (2005). Akan tetapi, sejauh yang dapat saya lacak, hanya antologi yang
disebut pertama dan terakhirlah agaknya yang diterbitkan dalam bentuk buku yang
reperesentatif.
[2] Menurut penyunting (Y.S. Agus Suseno),
dalam kumpulan ini Eko memang sengaja hanya memuat 51 sajak terpilihnya sebagai
penanda hari ulang tahunnya yang ke-51 (1959—2010). Sekadar catatan tambahan,
Eko Suryadi WS dilahirkan pada 12 April 1959 di Kotabaru (sebuah kota pesisir
di ujung selatan Kalimantan Selatan).
[3] Lihat M.H. Abrams,
The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition
(London-Oxford-New York: Oxford University Press, 1976), hlm. 6—7.
[4] Bandingkan, misalnya, dengan uraian Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1984), hlm. 1. Bandingkan
juga dengan esai Jiwa Atmaja, “Sastra Bukan Jatuh dari Langit” dalam Notasi tentang Novel dan Semiotika Sastra
(Ende: Nusa Indah, 1986), hlm. 9—22.
[5] Sebagaimana dikutip Yoseph Yapi Taum, Pengantar Teori Sastra (Ende-Flores:
Nusa Indah, 1997), hlm. 10.
[6] Secara leksikal, kata papadaan (bahasa Banjar) berarti “konco (Jawa), sesama teman, satu
keluarga, atau anggota kelompok”. Lihat Abdul Djebar Hapip, Kamus Bahasa Banjar-Indonesia, Edisi III
(Banjarmasin: PT Grafika Wangi Kalimantan, 1997), hlm. 129. Sebagai suatu
konsep sosiokultural, istilah papadaan
memiliki ranah pengertian yang lebih luas dari sekadar konsep kekerabatan
hingga melampaui batas-batas tradisi-budaya konvensional.
[7] Untuk sajak yang satu ini, sayang sekali, saya merasa seakan kehilangan
referennya. Sebab, dalam beberapa kamus yang ada, saya tidak menemukan entri
kata saranjana maupun sanbu —yang jika ”keliru tulis”,
misalnya, kata ”Sanbu” bisa saja menjadi ”Tanbu” (?)— karena, boleh jadi,
keduanya merupakan bentuk akronim dari nama tertentu yang diimplisitkan. Namun,
secara intuitif saya dapat memahami kedua kata (yang sesungguhnya merupakan kata-kata
kunci) tersebut sebagai dua nama-ganti tempat yang merujuk pada wilayah
geografis tertentu, bukan sebagai pronomina yang menunjuk pada individu
tertentu sebagai referennya. Dengan demikian, konteks ”retaknya persaudaraan”
yang dimaksudkan dalam sajak ini lebih mengacu pada makna konotatifnya sebagai
keterpisahan secara geopolitis, bukan dalam makna ”persaudaraan” yang
denotatif.
[8] Secara konseptual, istilah “sastra sufistik” dalam konteks ini dibedakan
dari ”sastra sufi”. Konsep sastra sufistik dipahami sebagai bentuk transformatif
dari sastra sufi, yaitu karya-karya sastra yang ditulis oleh para sastrawan
yang sekaligus menjalani kehidupannya sebagai ahli sufi. Disebut demikian,
karena secara sadar para pengarang sastra sufistik itu tidak berpretensi untuk
menjadi seorang sufi, sementara dalam proses kreatifnya mereka menggali
berbagai kemungkinan estetik dari pandangan kaum sufi. Bandingkan dengan uraian
Abdul Hadi W.M., ”Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Sastra Transendental dan
Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia” (Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, Th. 1992), hlm. 28.
[9] Ingat, misalnya, kontroversi pemaknaan
atas sajak “Malam Lebaran”-nya Sitor Situmorang yang hanya berisi satu larik
berbunyi: Bulan di atas kuburan. Dilantarankan
oleh kontrovesi yang dibawanya, sajak ini menjadi salah satu karya sastra
Indonesia (karya Sitor pada khususnya) yang dipandang fenomenal pada masanya.
Setidaknya, sajak tersebut telah dibahas oleh J.U. Nasution dalam Sitor Situmorang sebagai Penyair dan
Pengarang Cerita Pendek (Jakarta: Gunung Agung, 1963), hlm. 22; Subagio
Sastrowardoyo dalam Sosok Pribadi dalam
Sajak (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 92; Umar Junus dalam Dasar-dasar Interpretasi Sajak (Kuala
Lumpur: Heinemann, 1981), hlm. 26; juga dalam pengantar ringkas Pamusuk Eneste
(Ed.) untuk buku Proses Kreatif: Mengapa
dan Bagaimana Saya Mengarang II (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. vii—x.
[10] Sitor Situmorang dengan sajak “Malam
Lebaran” (Bulan di atas kuburan),
Sutardji Calzoum Bachri dengan sajak “Luka” (ha ha) dan “Kalian” (pun),
serta Hamid Jabbar dengan sajak “Doa Terakhir Seorang Musyafir” (amin) dan ”Doa Para Penguasa Sepanjang
Masa” (aman).
SUMBER TULISAN :
Makalah diskusi dalam
Peluncuran dan Bedah Buku Elegi Negeri
Seribu Ombak Karya Eko Suryadi WS di Aula Kantor Perpustakaan, Dokumentasi,
dan Arsip Daerah Kabupaten Kotabaru, April 2010; dimuat sebagai Kata Pengantar
buku Elegi Negeri Seribu Ombak (Yogyakarta: Framepublishing, 2010).