Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Senin, 07 Februari 2011

Telaah Puisi Eko


Aku, Kau, Kita:
Menandai Personalitas Sajak-sajak Eko Suryadi WS



Oleh : Jamal T. Suryanata



Manusia demikian bodohnya
Menombaki alam dari waktu ke waktu
Kemudian kembali terperosok
Di lubang yang sama
(Eko Suryadi WS, ”Fenomena”)

/ 1 /
Lebih-kurang empat tahun setelah menerbitkan kumpulan puisi tunggalnya bertajuk Di Batas Laut (selanjutnya disingkat DBL, 2005), kini Eko Suryadi WS kembali menghimpun dan menerbitkan sepilihan sajak terbarunya dalam sebuah buku dengan judul Elegi Negeri Seribu Ombak (selanjutnya disingkat ENSO, 2010).[1] Secara kuantitatif, dibandingkan dengan DBL yang memuat 86 sajak yang ditulis Eko sepanjang rentang waktu sekitar 20 tahun masa kepenyairannya (1979—2000), sajak-sajak yang terangkum dalam ENSO memang lebih sedikit karena hanya memuat 51 sajak yang ditulisnya selama lebih kurang 10 tahunan (2000—2009).[2] Meskipun kedua buku ini sama-sama menyajikan sajaknya secara kronologis (berdasarkan urutan tahun penulisan), tetapi tidak sebagaimana dalam DBL yang seluruh sajaknya disajikan dalam satu kesatuan (baca: tanpa subjudul tertentu yang memayungi beberapa sajak), sajak-sajak dalam ENSO dibagi menjadi tiga bagian yang masing-masing diberi subjudul ”Elegi Negeri Seribu Ombak” (2000—2005, berisi 16 sajak), ”Tanjung Dewa” (2006—2007, berisi 15 sajak), dan ”Bajau” (2008—2009, berisi 20 sajak).

Jika kita perhatikan, dari aspek bentuk dan gaya penulisan, sajak-sajak yang terhimpun dalam ENSO ini tampak mengalami perkembangan drastis dibandingkan dengan sajak-sajaknya yang tersaji dalam DBL. Perkembangan (baca: perubahan bentuk dan gaya penulisan) itu terutama tampak pada model tipografi (tampilan bentuk) sajaknya yang secara konsisten dilakukan sang penyair pada semua sajaknya yang terangkum dalam ENSO. Jika dalam DBL semua sajaknya ditulis dengan model tipografi lurus margin kiri (sebagai pola yang tetap), seluruh sajaknya yang terangkum dalam ENSO ditulis dengan model tipografi bebas-terikat, bahkan cenderung agak kacau (semacam gejala ”inkonsistensi dalam konsistensi” atau ”konsistensi yang inkonsisten”). Dikatakan demikian karena sang penyair sebenarnya telah memilih bentuk tertentu, tetapi penulisan larik-larik sajaknya tidak mengacu pada pola yang tetap (termasuk dalam hal penulisan enjambemen dan batas sintaksisnya). Hal yang tidak kita dapati dalam DBL, dalam ENSO akan kita temukan pola-pola tipografi dengan model yang seakan-akan lurus margin kiri (tetapi dengan variasi larik kedua atau ketiga atau keempat atau kelima atau lainnya ditulis menjorok ke dalam, kendati bisa juga terbalik), lurus margin tengah, zig-zag, dan entah apa lagi sebutannya. Untuk lebih jelasnya, sekadar sebagai gambaran bandingan, kita dapat menunjuk gaya penulisan atau model tipografi yang pernah diterapkan dalam sejumlah sajak Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Sapardi Djoko Damono, dan beberapa penyair tertentu lainnya.

Dilihat dari segi faset tematisnya, secara umum garapan tema sajak-sajak Eko dalam ENSO sebenarnya tidak jauh beranjak dari tema-tema yang pernah dieksplorasinya dalam buku puisi yang diterbitkan sebelumnya. Sebagaimana dalam DBL, hampir seluruh sajaknya yang ”diabadikan” dalam ENSO secara dominan kembali menyuarakan kegelisahan batin dan sekaligus tanggapan personal (baca: refleksi sosiopsikologis) sang penyair sebagai seseorang yang ”ditakdirkan” memiliki kepekaan tinggi terhadap alam atau lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, dalam hampir semua sajak Eko, spiritualitas alam-lingkungan itu tidak disajikan dengan bahasa mendayu-dayu (sebagaimana umumnya sajak-sajak para penyair Pujangga Baru) maupun secara vulgar-frontal (semisal sajak-sajak kritik sosial-politik terhadap penguasa atau kaum kapitalis yang dianggap bertanggung jawab atas rusaknya tatanan ekologis tertentu). Dalam sajak-sajaknya, sang penyair lebih memilih diksi-diksi yang sederhana, wajar, serta terbungkus rapi dalam balutan metafor-metafor segar yang diolah dari alam-lingkungan terdekatnya. 

Dalam konteksnya yang luas, istilah ”alam” atau ”lingkungan sekitar” itu sendiri bisa saja dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar diri individu, yang dekat maupun yang jauh; sesuatu yang jika dikaitkan dengan bagan skematis (dalam konteks pemahaman situasi sastra secara holistik) yang pernah dikemukakan M.H. Abrams disebut universe (semesta, realitas alam raya). Dalam konteks the total situation of a work of art itu, di samping work (karya sastra), secara timbal-balik tercakup pula komponen pengarang (artist —sebagai penghasil karya sastra), semesta (universe —sebagai representasi realitas alam raya), dan pembaca (audience —selaku penikmat dan sekaligus penanggap karya sastra).[3] Sementara, tanggapan personal yang termanifestasikan melalui media sastra (baca: puisi) itu dapat berwujud kritik sosial, luapan emosi individu, penghayatan religius, lengkap dengan harapan dan mimpi-mimpi keakanannya tentang dunia ideal. 
Masih terkait dengan aspek faset tematisnya, ketika kita coba menelisik seluruh lapis sajak Eko dalam ENSO ini sebenarnya tak ada sesuatu yang mengejutkan karena sang penyair memang kembali mendedahkan gelisah batin dan tanggapan kritisnya terhadap kondisi sosial tertentu di sekitarnya: alam yang rusak, lingkungan yang terkotori oleh kerakusan manusia, tatanan sosial yang kian runtuh, atau kebangkrutan moral yang disaksikan dalam lingkungan kekiniannya. Pada tataran lain, kita pun kembali dihadapkan pada lirisme kesunyian jiwa sang pencari Kebenaran Sejati (The Ultimate Truth) melalui sejumlah sajaknya yang bercorak religius atau bahkan bermuatan sufistik. Hanya saja, dalam hal ini kiranya perlu ditekankan bahwa spiritualitas semacam itu tetap tampil dalam bingkai penyajian seorang penyair lirik yang kuat.

/ 2 /
Sebuah rumusan sosiologis yang terdengar sudah begitu akrab di telinga kita, bahkan mungkin terasa telah menjadi sebuah klise, mengatakan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Setiap karya sastra tidak terlahir dari suatu kekosongan (budaya), tetapi senantiasa dipengaruhi oleh lingkungan (sosial-budaya) penciptaannya. Sajak-sajak yang ditulis oleh seorang penyair pada dasarnya merupakan bentuk refleksi sosial, tanggapan kritis, sekaligus sebagai suara batin atau ekspresi estetis sang penyair atas situasi sosial (mungkin juga: budaya-politik-ekonomi) tertentu yang didengar, disaksikan, dan dirasakannya.[4] Dalam proses kreatif penciptaan sajak-sajaknya, setiap penyair (juga sastrawan-kreatif pada umumnya) tak bisa mengelak dari situasi timbal-balik, kausalitas yang melibatkan empat komponen yang merupakan caturtunggal itu: work (karya sastra), artist (pengarang), universe (semesta), dan audience (pembaca; masyarakat). Demikianlah pula apa yang dapat saya temukan ketika membaca sajak-sajak Eko dalam antologi ENSO ini, di samping menonjolnya kekuatan unsur lokalitas yang terdedahkan melalui diksi-diksinya yang segar dan khas beraroma kota kecil yang dikelilingi laut dan pantai dengan segala ornamennya.

        Ketika coba menggali lebih dalam lagi, secara intuitif pikiran saya serasa digiring (entah oleh suatu dorongan arus-bawah-sadar macam apa) untuk melakukan pemaknaan kontekstual terhadap seluruh sajak Eko dalam antologi ENSO ini dalam satu bingkai sosiopsikologis bernama personalitas. Konsep ini mengandaikan terjadinya beragam wujud relasi dan reaksi sosial maupun psikologis seseorang (individu), sistesis kehidupan emosional dan mental-spiritual, terhadap kefaktaan-kefaktaan tertentu di lingkungan sekitarnya (dalam konteksnya yang luas). Kemudian, bertolak dari diksi-diksi dan matafor-metafor yang relatif dominan digunakan sang penyair, konsep personalias itu sendiri dapat ditandai lagi dengan tiga kata kunci: aku, kau, dan kita. Dalam hubungan dialogis ketiga unsur inilah secara impulsif pemaknaan terhadap sajak-sajak Eko bergerak ke arah pemahaman sosiopsikologis (pada tataran lebih lanjut bisa jadi akan bercorak semiosis-filosofis). 

          Jika sebuah kumpulan sajak kita andaikan sebagai sebuah taman dengan aneka ragam bunga di dalamnya dan jenis bunga-bunga itu dapat dipilah-pilah lagi berdasarkan karakteristik tertentu, secara tematis sajak-sajak Eko yang tersaji dalam ENSO memang dapat diklasifikasikan (setidak-tidaknya) menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, sajak-sajak yang secara dominan bermuatan kritik sosial atau yang secara implisit memperlihatkan kecenderungan tersebut. Sajak-sajak yang termasuk dalam kelompok ini terutama mengungkap, mendedahkan, menggelisahkan, menyesalkan, dan mengkritisi berbagai kondisi dan/atau fenomena sosial (termasuk di dalamnya budaya-politik-ekonomi) yang terjadi di sekelilingnya. Muatan kritik sosial itu bahkan dapat kita kerucutkan lagi dalam satu garis-besar, kritik sosial yang terkait dengan kegelisahan sang penyair terhadap kondisi alam-lingkungannya. Kelompok ini, antara lain, diwakili oleh sajak-sajak bertajuk ”Dendam Pohon”, ”Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya”, ”Hujan Meninggalkan Kota”, ”Elegi Negeri Seribu Ombak”, ”Sungai Luka”, ”Ketika Kita Tak Mampu Membujuk Hujan”, ”Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima”, ”Tanjung Dewa”, ”Kemerdekaan”, ”Saranjana”, ”Sebelum Halimun”, ”Fenomena”, dan ”Di Tanah Retak”.

          Kelompok kedua, sajak-sajak yang secara dominan bermuatan religius atau yang, pada level tertentu, memperlihatkan kecenderungan sufistik. Sajak-sajak yang termasuk dalam kelompok ini terutama menyuarakan kegelisahan religius, kecintaan dan kerinduan seorang hamba terhadap Sang Khalik, tetesan air mata doa, pencerahan spiritual, pun mimpi-mimpi keakanan aku-lirik tentang dunia ideal atau kondisi teleologis yang surgawi. Kelompok kedua ini, antara lain, diwakili oleh sajak-sajak bertajuk ”Ruang Angin”, ”Kukitari Rumahmu”, ”Ziarah Puisi”, ”Air Mata Semesta”, ”Berdiri di Fort Rotterdam”, ”Setelah Air Mata”, ”Setelah Perarakanmu”, ”Sedekat Rindu”, ”Di Kedalaman Waktu”, ”Ramadhan”, ”Idul Fitri”, ”Berjalan di Belakang Keranda Menuju ke Pemakaman”, ”Fajar Air Mata”, ”Cinta Ini Kususun”, dan ”Menunggu Perjamuan”.

           Akan tetapi, saya selalu yakin bahwa di balik berbagai klasifikasi teoretis senantiasa ada sesuatu yang menghuni wilayah abu-abu; sesuatu yang tidak dapat dikelompokkan dalam satu kecenderungan besar atau sebaliknya ia malah termasuk dalam beberapa kecenderungan itu. Kita sebut, misalnya, sajak-sajak bertajuk ”Figura (1)”, ”Figura (2)”, ”Menggenapi Langkahmu”, “Kutimba Badai Pamor Lautmu”, “Ibu”, ”Pertanda Apa”, ”Membaca Tanah Risaumu”, ”Di Langit Kota Ada Menara”, “Hikayat”, ”Jejak”, ”Melayu”, ”Bajau”, dan ”Terbanglah Kuat-kuat ke Langit Lukaku”. Secara teoretis, dengan mengenakan faset tematis tertentu sebagai payungnya, sajak-sajak tersebut sulit untuk dapat dimasukkan ke dalam kelompok pertama (yang bercorak kritik sosial) maupun kelompok kedua (yang berkecenderungan religius). Akan tetapi, dengan penandaan dan/atau melalui proses semiosis tertentu, mereka (baca: sajak-sajak tersebut) sekaligus bisa leluasa memasuki kedua wilayah yang seakan-akan hitam-putih itu. Namun, satu hal yang penting bahwa hampir semua sajak Eko dalam ENSO ini pada esensinya dapat diikat dalam satu bingkai sosiopsikologis, yakni personalitas itulah (sekali lagi, di dalamnya mengandaikan terdapatnya hubungan dialogis antara konstituen aku, kau, dan kita). Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kutipan lengkap sajak yang oleh sang penyair dijadikan judul buku puisinya berikut ini.


ELEGI NEGERI SERIBU OMBAK

Di negeri seribu ombak
            kubangun kota-kota peradaban
Kutaburkan mimpi daun, sungai, cakrawala, hujan
            Lewat kasih sayang bunga

Kuhisap udaramu
            kuhirup sungaimu
                        kupijak bumimu
                                    kukayuh lautmu

            menjadi semestaku.

            Di sini perarakan musim datang dari segala penjuru
membawa mimpi peristiwa
            dari nol kilometer ke kilometer lima puluh tiga

kusapa duka lara.

            Tangismu melarutkan jembatan kekinian
Air matamu meruntuhkan beton-beton
Menisbikan sejarah yang lahir dari doa-doa leluhur
Kuburnya ditenggelamkan para pengembara
            Kota-kota telah dibakar para perambah
Mimpi musim pun diseret putaran waktu:
            tak pernah kembali
            tak pernah tersisa

Adakah semestaku.

Mereka  lukai negeri ini
Mereka hirup darahnya
Dengan rasa haus dan mata terpejam

Di negeri seribu ombak
Burung-burung pemangsa meninggalkan bangkai

            setelah pesta


Terasa sekali bahwa larik-larik sajak di atas sarat dengan muatan kritik sosial yang menyuarakan kegelisahan batin aku-lirik (bukan aku-penyair) manakala menyaksikan kondisi alam maupun tatanan sosial-budaya sekelilingnya yang telah rusak, terkontaminasi, atau bahkan terjarah oleh berbagai kepentingan, di sebuah wilayah yang disebut sang penyair sebagai Negeri Seribu Ombak (sebuah metafor yang tentu saja menyaran pada lokalitas yang paling dekat dengan kehidupan sang penyair sendiri). Dengan gaya satiris yang sangat halus, aku-lirik menyayangkan segala yang telah terjadi di sekitarnya, di ”negeri”-nya: Tangismu melarutkan jembatan kekinian/ Air matamu meruntuhkan beton-beton/ Menisbikan sejarah yang lahir dari doa-doa leluhur/ Kuburnya ditenggelamkan para pengembara/ Kota-kota telah dibakar para perambah/ Mimpi musim pun diseret putaran waktu:/ tak pernah kembali/ tak pernah tersisa. Kemudian, sindiran tajam pun ditujukan kepada ”mereka” yang terlibat: Mereka  lukai negeri ini/ Mereka hirup darahnya/ Dengan rasa haus dan mata terpejam// Di negeri seribu ombak/ Burung-burung pemangsa meninggalkan bangkai/ setelah pesta.

Dalam konteks personalitas, kehadiran pronomina persona pertama dan kedua tunggal (aku-kau) —secara eksplisit maupun implisit— tampak lebih mendominasi wacana dialogis yang seakan berada dalam suasana berdepan-depan, sementara keberadaan pronomina persona ketiga jamak (mereka) dihadirkan sebagai entitas lain (sebagai bukan pihak kami) karena memang secara sadar diposisikan sebagai ”orang lain”, the other man (baca: para pengembara, para perambah, atau dengan depersonifikasi burung-burung pemangsa). Sebagai orang tempatan, aku-lirik memang merasa miris melihat kondisi sekelilingnya yang seakan telah kehilangan sejarahnya itu. Akan tetapi, ia sendiri tampaknya tak bisa berbuat banyak kecuali sekadar mengungkapkan gelisah batinnya dalam wujud monolog yang dialogis atau dalam bentuk dialog-monologis. Dalam sajak di atas, hubungan personalitas aku-kau (yang pada tataran selanjutnya dapat bertransformasi menjadi kita) tersebut direpresentasikan melalui kata-kata tangismu dan matamu (klitika –mu sebagai derivasi kau) —dengan aku yang diimplisitkan.

Sebagaimana pernah diungkapkan Jacques Maritain (seorang filsuf Perancis), pengalaman estetis pada dasarnya merupakan intercommunication between the inner being of things and the inner being of the human self —interaksi antara manusia dan hakikat alam raya.[5] Karya-karya sastra merupakan proyeksi perasaan subjektif manusia ke dalam alam raya dan sebaliknya alam raya bercerita tentang perasaan manusia. Oleh karenanya, jika anggapan itu benar, dalam konteks inilah kiranya kita dapat dengan setepat-tepatnya menandai spirit sajak-sajak Eko (yang bermuatan kritik sosial maupun yang bercorak religius) sebagaimana tergambar dalam ”Elegi Negeri Seribu Ombak” di atas. Karena itu pula, dalam konteksnya yang luas, tak syak lagi bahwa sajak-sajaknya yang secara teoretis diasumsikan sebagai wacana yang menempati wilayah abu-abu pun sebenarnya merupakan representasi dialogis interkomunikasi semacam itu (baca: hubungan antara manusia dan hakikat alam raya). Lihat saja, misalnya, betapa kepedulian sang penyair terhadap bencana tsunami yang terjadi di Aceh (dari lingkungan yang jauh itu) melalui sajaknya ”Pertanda Apa” dan ”Membaca Tanah Risaumu” juga menyiratkan personalitas aku-kau dalam hubungan ke-kita-an yang sungguh intim dan familiar.

Personalitas ke-kita-an (sebagai unifikasi dua konstituen yang bersisian atau saling berhadapan secara dialogis, aku-kau) yang menandai estetika perpuisian Eko sebenarnya menyebar dalam hampir semua sajak yang pernah ditulisnya. Personalitas demikian tidak hanya hadir dalam sajak-sajaknya yang bertema kritik sosial, tetapi juga dalam sajak-sajaknya yang bernilai religius maupun dalam corak lainnya. Beberapa di antaranya bahkan dieksplisitkan dengan langsung menghadirkan pronomina kita itu sendiri, sebagaimana dapat kita temukan dalam sajak-sajak bertajuk ”Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya”, ”Hujan Meninggalkan Kota”, ”Ketika Kita Tak Mampu Membujuk Hujan”, ”Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima”, ”Fenomena”, ”Saranjana”, ”Hikayat”, dan ”Melayu”. Perhatikan beberapa larik dari penggalan sajak ”Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya” di bawah ini.

Sepanjang kelokan jalan Tanjung Serdang
            kita melukis wajah dengan beton
Rumah yang dihadapkan pagar
            kita durikan pada bola mata
            Runcingnya menusuk lengan kita
Seperti ada yang terlepas
            Darah membaui hutan pinus
            Angin membaui jalan-jalan
Dalam sajak di atas, demikian juga pada sajak-sajak lainnya yang bertema kritik sosial, konteks personalitas ke-kita-an itu lebih menunjuk pada hubungan sosiokultural aku-lirik dengan orang-orang (lain) di sekitarnya. Kendati secara historis aku dan kau mungkin berasal dari entitas sosiokultural yang berbeda, tetapi dalam konteks personalitas sajak-sajak Eko pada esensinya mereka dipandang sebagai ”sama” dan ”setara” sehingga keduanya dapat luluh atau bertransformasi dalam kekuatan sosiokultural baru (kami atau kita) sebagai penanda kekerabatan yang intim. Hal ini bukan saja merupakan sebuah gambaran konformitas yang baik dari dua kekuatan yang berbeda, melainkan juga menunjukkan sikap moderat dan jalan kompromi yang telah ditempuh aku-lirik saat menghadapi berbagai persoalan sosiokultural di sekitarnya. Unifikasi demikian agaknya dapat kita telusuri kembali dengan membawanya pada pemahaman sosiopsikologis yang paling intim dengan ranah budaya sang penyair (baca: tradisi-budaya Banjar), yakni konsep papadaan.[6] Oleh karena itu, dengan mengenakan konsep papadaan tersebut, siapa pun dan pihak mana pun yang terlibat dan/atau dilibatkan dalam suatu dialog akan merasa terpanggil untuk masuk ke dalam wacana kita (kami, jika sedang berhadapan dengan mereka sebagai representasi entitas di luar komunitasnya). Dengan cara demikian pula, terasa tak ada jarak ketika dalam sajak di atas sang aku-lirik mempertanyakan (tepatnya, mengkritisi) sikap-laku ”kaum kerabat” atau ”anggota komunitas”-nya secara internal: Kenapa kita melukai semesta/ Sementara kita menghirup air susunya/ Kenapa kita menyumbat sungai kehidupan/ Padahal di sana ruh dimandikan (?). Sebab, dalam konteks papadaan, pemahaman terhadap kritik semacam itu tidak lebih dari suatu upaya untuk melakukan introspeksi (melihat ke dalam diri). Kendati, kita pun segera mafhum bahwa pada ujung-ujungnya sang aku-lirik tetap berdiri dalam jarak tertentu sebagai seseorang dengan personalitasnya sendiri, sebagaimana terungkap dalam larik-larik: Mengunyah rasa sakit ini/ Kuludahkan darahnya/ Nyerinya tak terasakan olehmu.
Secara umum, dalam sajak-sajak Eko, pemanfaatan konsep papadaan sebagai mediator untuk meminimalisasi ketegangan atau sebagai upaya untuk mempersempit jarak-batas sosiokultural tampaknya cukup efektif dalam rangka memuluskan penyampaian pesan. Sebab, sekali lagi perlu ditekankan, dalam konsep tersebut siapa pun akan merasa terlibat dan dilibatkan. Jarak-batas personalitas terasa menjadi lebih intim karena kebersamaan yang dibangun dalam konsep papadaan memungkinkan aku-kau maupun kita (kami)-mereka (kalian) tidak dalam hubungan yang konfrontatif, tetapi bersifat konformistis. Demikianlah pula yang dapat saya tangkap dan rasakan dalam sajaknya yang bertajuk ”Saranjana”, lantaran pemanfaatan konsep papadaan-nya yang tepat pula hingga membuat sajak yang sesungguhnya bisa bernada sarkas dan sangat garang ini tinggal tersulap menjadi sebuah satire ”retaknya persaudaraan” yang sangat halus. Perhatikan dalam larik-larik berikut ini, betapa ”sang kakak” masih bisa bersikap arif menerima kesuksesan ”adik”-nya yang justru dibangun dengan tetes keringat, air mata, dan segala pengorbanannya:

Sambu, kepurbaan cintamu menjadi pengembaraan
Di padang-padang sunyi kau gembalakan angan
            Memasuki lorong-lorong intipmu
Periuk yang kami tanak berisi air mata kandamu
Ranjang pengantin batu bersimbah darahnya
            Jangan simpan perihmu ke lukanya
            Jangan biarkan keanyiran menyergap

Di situ tergambar ada jarak (pembatas duniamu dan para juriat), keterpisahan secara fisik maupun mental, sebagai konsekuensi terburuk putusnya hubungan silaturrahmi atau retaknya persaudaraan. Akan tetapi, sebagai saudara tua (dengan bentuk sapaan kandamu), atas nama ”cinta mereka” sang aku-lirik (yang dalam sajak ini dijamakkan menjadi kami-lirik yang impersonal) bukan saja sedia menerima ”kelatahan” adiknya untuk berpisah, melainkan juga siap membuka diri untuk membangun kembali kebersamaan baru: Sangkarmu penuh tangkapan –bukalah/ Biarkan halimun itu tersibak/ Burung-burung kembali ke sarang pertama/ Fajarmu harus kita bangkit ke ufuknya. Tidakkah semua itu dilakukannya demi sang adik, Sambu, yang kedalaman cinta-nya menjadi periuk itu? Ya, demikianlah personalitas aku-kau atau kami-kalian tersambung dalam konteks ke-kita-an yang intim hingga aku-lirik (kami-lirik) pun berpetuah dengan bijak: Angkatlah lubuk cintamu menemu kuali.[7]

/ 3 /
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, di luar sajak-sajak bertema kritik sosial setidak-tidaknya ada sepuluh sajak lain yang secara eksplisit berdimensi religius atau bahkan berkecenderungan sufistik. Dalam kaitan ini, hal penting yang perlu dikemukakan kembali bahwa dalam sajak-sajaknya yang bernilai religius pun estetika perpuisian Eko senantiasa dapat ditandai dengan kehadiran personalitas aku-kau-kita, kendati makna hubungan itu lebih menunjuk pada konsep homo-religiousus. Lebih jelasnya, jika personalitas dalam sajak-sajak kritik sosialnya pada galibnya menunjukkan relasi sosiopsikologis antar-sesama-manusia, dalam sajak-sajaknya yang bermuatan religius hubungan personalitas itu lebih mengacu pada kerangka dialogis aku-lirik dengan Khaliknya.

Dalam konteks sastra religius, konstruksi kita merupakan bentuk transformatif dari konstituen aku yang antropomorfis dengan Kau yang teomorfis. Lebih jauh lagi, dalam dimensi sufistiknya, konstruksi kita bahkan mengandaikan terjadinya proses unifikasi antara aku-hamba dengan Kau-Tuhan atau luluhnya kemakhlukan dalam keilahian secara transendental. Dari sejumlah sajak religius yang lahir dari tangan Eko, khususnya dalam ENSO ini, salah satu di antaranya yang dipandang relatif kuat memperlihatkan kecenderungan sufistik adalah sajak bertajuk ”Kukitari Rumahmu”. Kendati memang tidak sampai menyentuh konsep ”Kemanunggalan Ilahiah” (dalam sufisme Jawa dikenal dengan istilah manunggaling kaula lan Gusti), tetapi sajak yang selengkapnya dikutipkan di bawah ini cukup representatif sebagai model sastra sufistik.[8]

KUKITARI RUMAHMU

Betapa rindunya aku dalam tawaf subuhku
            Engkau berdiri di pintu masuk
            - menyeruku

            Di jalan sepimu
Kukumpulkan potongan-potongan sunyi
            Dari gelas cahaya cintamu
            - memburuku

Sisa waktu ini menyingkap hari-hari
            Menyelam dalam diriku
Kayuhan ini menyisakan wajahmu
            Kucari dalam himpitan peristiwa
            - kemana perginya

Kuseru dalam jalan-jalan mimpi
            Kubingkai sunyi bersama anak-anak rindu
            - yang lahir dari rahim malammu

Matahari dan bulan mengitari rumahmu
Air mata kekasih membasuh luka semesta
Kemana kan kusembunyikan debu kemusykilan
Air mata itu mencari diriku
            Aku terkepung dan tak bisa lari

Kata-kata telah menjadi kesturi dan zaitun
Kusampaikan dalam bahasa puisi
Aku tak bisa membaca
            Karena bacaan adalah diriku

Kukitari rumahmu

            Tidak dalam hitungan lagi

Dalam bahasa sederhananya, sajak di atas sebenarnya hanya mengungkapkan pengalaman spiritual aku-lirik saat ia melakukan tawaf (berjalan mengitari ka’bah; bagian dari ritual ibadah haji), sebagaimana dapat kita pahami dari larik pembukanya (Betapa rindunya aku dalam tawaf subuhku). Namun, karena oleh sang penyair sajak tersebut tidak langsung diberi judul ”Tawaf” tetapi secara metaforis dibungkus dengan tamsil ”Mengitari Rumahmu” (sebagaimana dapat kita rujuk pada larik-larik Kukitari rumahmu// Tidak dalam hitungan lagi), kesederhanaan tersebut terasa menjadi sesuatu yang sublim.

Muatan sufistik dalam sajak di atas terasa sangat impresif mulai dari larik pembuka hingga ke larik penutupnya. Kita rasakan betapa sang aku-lirik yang ontologis demikian merindu dalam suatu perjumpaan transendental dengan Khaliknya. Sebagai seorang mahabbah (sebagaimana dapat kita pahami melalui konsep ”Cinta Ilahiah”-nya Rabiah al-Adawiyyah, misalnya), ia benar-benar merindukan kebersamaannya dengan Tuhan secara imanen hingga secara personal seakan tak ada jarak lagi antara aku (makhluk) dengan Kau (Khalik): Engkau berdiri di pintu masuk/ menyeruku//... Di jalan sepimu/ Kukumpulkan potongan-potongan sunyi/ Dari gelas cahaya cintamu/ memburuku. Akan tetapi, kerinduan itu tetaplah sebatas kerinduan seorang manusia yang eksistensial, bukan dalam kondisi fana-nya seorang sufi: Kayuhan ini menyisakan wajahmu/ Kucari dalam himpitan peristiwa/ kemana perginya.

/ 4 /
Dari seluruh sajak Eko yang bertema kritik sosial, sejauh yang dapat saya tangkap, pesan moral yang ingin disampaikan sesungguhnya dapat dikerucutkan hanya dalam empat larik sederhana, yakni pada bait penutup sajak ”Fenomena” berikut: Manusia demikian bodohnya/ Menombaki alam dari waktu ke waktu/ Kemudian kembali terperosok/ Di lubang yang sama. Kendati pada simpul besarnya gaya bahasa dalam larik-larik tersebut terasa agak sinis, tetapi di banyak tempat dalam banyak sajaknya yang lain sang penyair selalu menyajikan pesan-pesan moralnya secara dialogis (monologis) melalui pertautan personalitas (aku, kau, kita) yang intim. Keintiman personalitas itulah yang membuat sajak-sajak kritik-sosialnya tidak terasa sebagai pesan yang bernada kelewat tendensius, tetapi lebih berupa satire yang halus.

Sementara, untuk sajak-sajak Eko yang bertema religius, pesan moral itu agaknya tidak cukup hanya direpresentasikan dalam beberapa larik singkat. Namun, bagaimanapun, sejatinya sajak-sajak religius senantiasa akan membawa pesan-pesan cinta dan kerinduan antara aku-makhluk dengan Kau-Khalik hingga diandaikan mencapai suatu kondisi kebersamaan (ilahiah), menyatunya sang hamba dengan Sang Khalik dalam personalitas ke-kita-an yang transenden. Akan tetapi, dalam sajak-sajak Eko, spiritualitas semacam itu masih dalam batas pencarian. Perhatikan, misalnya, larik-larik dalam bait kedua sajak ”Air Mata Semesta” berikut ini.

Tidak ada yang perlu dicurigai
            Walau antara kita saling intip
Mengapa rindu yang berurai air mata ini
            Terus mencarimu sepanjang zikir dan sajadahku
Engkau berkeliling memunguti air mata itu
            di sepanjang lorong, trotoar dan puncak kesepian
bersama anak-anak sunyi

Hal lain yang juga cukup menonjol dalam sajak-sajak Eko (lebih luas lagi menyentuh estetika kepenyairannya), setidaknya melalui antologi ENSO ini, seakan ia ingin meneguhkan keyakinannya pada kekuatan puisi (dalam sajak-sajaknya, kecuali untuk judul ”Sajak Politik” dan beberapa larik sajak lainnya, pada umumnya Eko tidak menggunakan istilah ”sajak”). Di sini, dalam bentuknya yang eksplisit maupun implisit, puisi dipandang sebagai ”kubangan kerbau imajinasi” (meminjam istilah Ajamuddin Tifani) seorang penyair, baik sebagai media pengucapan artistiknya yang sangat personal maupun sebagai pengungkap pesan-pesan moral kemanusiaan yang universal. Keyakinan semacam itu dapat kita lihat pada sejumlah sajaknya, antara lain ”Air Mati Mata Air Mata”, ”Sungai Luka”, ”Ziarah Puisi”, ”Rumah Puisi”, ”Menggenapi Langkahmu”, ”Rumahmu Cuma Kata-kata”, ”Luka-luka Kubur Kota”, ”Bingkai”, dan ”Jejak”. Untuk melihat sejauh mana perhatian, kecintaan, keyakinan, kerisauan, dan harapan-harapan sang penyair pada puisi, mari kita simak larik-larik ”Rumah Puisi”-nya yang dikutipkan selengkapnya di bawah ini.

RUMAH PUISI

Rumah puisi adalah hatimu
            yang merangkai kota-kota dunia

Membaca dan merekam peristiwa
            lewat jemari waktu

Dalam pahatan hari
            tanpa henti     

Rumah puisi kita bangun
            dari kecemasan dan mimpi embun
Hati kita adalah jembatannya
            kita biarkan terasing sendiri

            Kekosongan kita lukis di selembar kertas
Dengan tipu daya
            warna-warna diputihkan tanpa ujung
Kita melukisnya dengan tombak, panah, keris, pedang
            bayonet, molotov, hingga bom
Kita menguasnya dengan ekspresi
            dan tangan sendiri
Gambarnya beterbangan di udara
            Kita santap setiap sarapan pagi

Rumah puisi tak lagi kita tulis dengan kata-kata
            Atau kita bingkai dengan hati
Tetapi sudah mereka tulis dengan peristiwa
            Setiap waktu

Rumah puisi bukan lagi rumah kita

ia adalah cuaca

            sebab musim dan angkara pemiliknya

          Dengan diksi yang apik, penyair mendeskripsikan gejolak batin dan tanggapan kritisnya terhadap puisi (baca: kondisi perpuisian di tanah air) yang kini hidup dalam lingkaran paradoks. Ada kontras, juga bayangan anakronisme di dalamnya. Bangunan personalitas pun seakan pecah, terbelah, karena kita-mereka (termasuk di dalamnya aku-kau) secara implisit telah diposisikan (juga dioposisikan?) sebagai dua kekuatan yang berseberangan. ”Puisi” (yang bisa saja ditafsirkan lain) yang dulu merupakan persoalan hati, kini sudah dikuasai oleh anarkisme peristiwa (baca: nafsu duniawi). Perhatikan kembali paradoks dalam dua baitnya ini: Rumah puisi kita bangun/ dari kecemasan dan mimpi embun/ Hati kita adalah jembatannya/ kita biarkan terasing sendiri//... Rumah puisi tak lagi kita tulis dengan kata-kata/ Atau kita bingkai dengan hati/ Tetapi sudah mereka tulis dengan peristiwa/ Setiap waktu/ Rumah puisi bukan lagi rumah kita/ ia adalah cuaca/ sebab musim dan angkara pemiliknya. Betapa tragisnya, bukan?

          Namun, bagaimanapun, jarak personalitas yang terbangun dalam hampir semua sajak Eko sebenarnya masih selalu menyisakan ruang dialog untuk menyikapi segala sesuatu dalam spirit kebersamaan; bahwa konsep papadaan, sekali lagi, senantiasa menjadi esensi personalitas yang dibangunnya; bahwa dengan konsep sosiokultural tempatan itu memungkinkan segalanya bisa mencair untuk mencapai harmoni (unifikasi kata, hati, waktu, dan peristiwa). Bukankah harmoni merupakan inti segala keindahan? Akan tetapi, sebuah pertanyaan aksiologis juga dilontarkan penyair ke hadapan kita (baca: siapa pun yang merasa dirinya penyair), sebagaimana terungkap dalam bait keempat sajak “Bingkai”-nya ini: Seperti ada yang terlepas di jemariku/ luka peradaban menggiring kepada waktu/ Haruskah tangisan anak-anak pecah/ dalam ruang hatimu/ sebelum puisi menjadi batu (?).

            Kecuali hal di atas, masih dalam kaitannya dengan “puisi” sebagai media, di antara banyak sajaknya yang rata-rata relatif panjang itu ternyata Eko juga menulis beberapa sajak alit —istilah “alit” (dari bahasa Jawa yang berarti “kecil”, “pendek”, “singkat”, atau “padat”) dalam hal ini bukan saja merujuk pada perhitungan jumlah lariknya yang minim, melainkan juga pada minimnya jumlah kata dalam setiap lariknya. Sajak-sajaknya yang tergolong alit atau sering disebut “sajak minimalis” (dalam arti “hemat kata”) dimaksud antara lain diwakili oleh sajak-sajak bertajuk “Jejak” (14 larik), “Luka-luka Kubur Kota” (12 larik), “Di Langit Kota Ada Menara” (12 larik), “Sajak Politik” (8 larik), dan “Idul Fitri” (4 larik). Kecuali kelima sajak yang isinya berkisar antara 4—14 larik tersebut, masih ada dua sajak lagi yang boleh dikata merupakan pamungkas untuk ragam sajak alit ini (karena superalitnya), yakni “Kemerdekaan” dan “Ramadhan” (masing-masing hanya berisi 1 larik) —sajak “Kemerdekaan” hanya berisi larik kereta belum tiba di stasiun (sebagai metafor belum terwujudnya konsep “kemerdekaan” yang ideal), sedangkan sajak “Ramadhan” berisi larik aku tersungkur (sebagai metafor totalitas penyerahan diri seorang hamba di hadapan Sang Pencipta).

             Di luar konteks interpretasi atas kandungan maknanya yang sering kontroversial, paling tidak ada tiga kemungkinan yang melatarbelakangi mengapa seorang penyair menulis sajak-sajak alit (khususnya yang superalit).[9] Kemungkinan pertama, ia ingin menunjukkan bahwa untuk mengungkapkan suatu pesan (dengan media puisi, tentunya) sesungguhnya bisa dilakukan dalam wujud bahasa yang sangat padat atau dengan kata-kata yang sehemat mungkin. Dengan demikian, kata (-kata) yang digunakan hanyalah kata (-kata) yang benar-benar selektif dan kehadirannya dipandang sangat fungsional dalam membangun makna atau untuk menyampaikan pesan (secara teoretis, hal ini tentu sesuai dengan ciri khas cipta-puisi yang lebih mengutamakan kepadatan pengucapan, terutama dalam perbandingannya dengan ragam prosa). Agaknya, alasan demikianlah yang kemudian memunculkan genre “sajak minimalis”.

Kemungkinan kedua, pada saat ingin menulis sajak sang penyair sebenarnya merasa sudah kehabisan kata untuk dituliskan. Namun, dengan hanya bermodal satu atau dua kata yang ditemukannya, dalam kondisinya yang tidak mood itu ia tetap nekad memaksakan diri untuk menulis sajak hingga akhirnya melahirkan bentuk sajak-sajak superalit. Karena itu, dari dulu hingga sekarang, jenis sajak-sajak superalit ini selalu tidak banyak ditulis orang. Dalam sebuah antologi puisi tunggal karya seorang penyair yang berisi lebih dari lima puluhan sajak paling-paling hanya akan kita temukan satu-dua sajak superalit.

Lalu, sebagai kemungkinan ketiga, tanpa dilandasi kesadaran dan pandangan estetik tertentu sang penyair tampaknya sekadar ikut-ikutan “latah” dengan menulis sajak-sajak superalit pula. Posisinya tidak lebih dari sebagai epigon para pendahulunya semisal Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum Bachri, atau Hamid Jabbar yang pernah menciptakan satu-dua sajak superalitnya.[10] Maka, jika kemungkinan kedua dan ketiga yang menjadi penyebabnya, dapat diduga bahwa sajak-sajak superalit (yang cenderung ditulis dengan paksa atau sekadar mengikuti penyair lain) tersebut akan rendah mutu sastranya atau setidak-tidaknya kurang berbobot literer.

/ 5 /
Lepas dari soal penandaan personalitasnya, juga di luar masalah alit-alitan, sekali lagi dapat dikatakan bahwa sajak-sajak yang pernah ditulis Eko pada umumnya selalu diwarnai oleh diksi dan metafor-metafor yang menunjukkan keakraban sang penyair dengan alam-lingkungan terdekatnya. Sebagai seorang penyair yang lahir, besar, dan tinggal di sebuah kota pesisir (Kotabaru), metafor-metafor yang dieksplorasinya juga tidak jauh beranjak dari panorama lokal semacam laut, sungai, danau, ombak, gelombang, awan, badai, langit, pasir, batu karang, ikan, nelayan, perahu, kapal, pelayaran, juga burung, pohon, hutan, dan pegunungan. Namun, menjadi terasa kontradiktif ketika dalam sajak tertentu sang penyair mencoba memberi warna lain dengan menempatkan metafor “asing” semacam stasiun karena ia justru sedang berbicara dalam konteks lokal (lihat, misalnya, sajak bertajuk “Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima”). Hal itu tentunya berbeda kalau ia sedang mengembara (secara fisik maupun imajiner) ke tempat-tempat lain yang jauh (semisal Malioboro, Aceh, atau Fort Rotterdam, Makassar) atau saat sang penyair ingin berbagi pengalaman batinnya dalam konteks kemanusiaan yang universal (semisal kereta dan stasiun dalam sajak “Kemerdekaan” yang telah dikutipkan di atas).

Akan tetapi, perlu dicatat kembali bahwa secara umum sajak-sajak Eko lebih banyak berbicara tentang lokalitas sosiokultural atau alam-lingkungan terdekatnya. Aspek ini merupakan salah satu kekhasan dan sekaligus menjadi kekuatan sajak-sajaknya. Selain itu, keintiman personalias yang dibangunnya merupakan faktor lain yang mendukung signifikansi pengucapan estetik sajak-sajaknya. Akan tetapi pula, biarlah sajak-sajak berbicara dengan bahasanya sendiri, tentang metafor-metafor yang didedahkannya, tentang kedalaman makna yang ditawarkannya, juga tentang takaran bobot literernya. Ya, seperti kata sebuah pepatah Latin, “Verba Volant, Schrifta Manent” (terbang tak tentu, tetapi apa yang tertulis tetap tinggi mutunya selama-lamanya).

Pelaihari, 2 Februari 2010
CATATAN KAKI :

[1] Berdasarkan biografi kepenyairannya, Elegi Negeri Seribu Ombak (2010) adalah antologi puisi tunggal Eko yang kelima setelah meluncurkan Sebelum Tidur Berangkat (1982), Ulang Tahun (1982), dan Di Balik Bayang-bayang (1983), dan Di Batas Laut (2005). Akan tetapi, sejauh yang dapat saya lacak, hanya antologi yang disebut pertama dan terakhirlah agaknya yang diterbitkan dalam bentuk buku yang reperesentatif.   
[2] Menurut penyunting (Y.S. Agus Suseno), dalam kumpulan ini Eko memang sengaja hanya memuat 51 sajak terpilihnya sebagai penanda hari ulang tahunnya yang ke-51 (1959—2010). Sekadar catatan tambahan, Eko Suryadi WS dilahirkan pada 12 April 1959 di Kotabaru (sebuah kota pesisir di ujung selatan Kalimantan Selatan).
[3] Lihat M.H. Abrams, The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition (London-Oxford-New York: Oxford University Press, 1976), hlm. 6—7.
[4] Bandingkan, misalnya, dengan uraian Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1984), hlm. 1. Bandingkan juga dengan esai Jiwa Atmaja, “Sastra Bukan Jatuh dari Langit” dalam Notasi tentang Novel dan Semiotika Sastra (Ende: Nusa Indah, 1986), hlm. 9—22. 
[5] Sebagaimana dikutip Yoseph Yapi Taum, Pengantar Teori Sastra (Ende-Flores: Nusa Indah, 1997), hlm. 10.
[6] Secara leksikal, kata papadaan (bahasa Banjar) berarti “konco (Jawa), sesama teman, satu keluarga, atau anggota kelompok”. Lihat Abdul Djebar Hapip, Kamus Bahasa Banjar-Indonesia, Edisi III (Banjarmasin: PT Grafika Wangi Kalimantan, 1997), hlm. 129. Sebagai suatu konsep sosiokultural, istilah papadaan memiliki ranah pengertian yang lebih luas dari sekadar konsep kekerabatan hingga melampaui batas-batas tradisi-budaya konvensional.
[7] Untuk sajak yang satu ini, sayang sekali, saya merasa seakan kehilangan referennya. Sebab, dalam beberapa kamus yang ada, saya tidak menemukan entri kata saranjana maupun sanbu —yang jika ”keliru tulis”, misalnya, kata ”Sanbu” bisa saja menjadi ”Tanbu” (?)— karena, boleh jadi, keduanya merupakan bentuk akronim dari nama tertentu yang diimplisitkan. Namun, secara intuitif saya dapat memahami kedua kata (yang sesungguhnya merupakan kata-kata kunci) tersebut sebagai dua nama-ganti tempat yang merujuk pada wilayah geografis tertentu, bukan sebagai pronomina yang menunjuk pada individu tertentu sebagai referennya. Dengan demikian, konteks ”retaknya persaudaraan” yang dimaksudkan dalam sajak ini lebih mengacu pada makna konotatifnya sebagai keterpisahan secara geopolitis, bukan dalam makna ”persaudaraan” yang denotatif.  
[8] Secara konseptual, istilah “sastra sufistik” dalam konteks ini dibedakan dari ”sastra sufi”. Konsep sastra sufistik dipahami sebagai bentuk transformatif dari sastra sufi, yaitu karya-karya sastra yang ditulis oleh para sastrawan yang sekaligus menjalani kehidupannya sebagai ahli sufi. Disebut demikian, karena secara sadar para pengarang sastra sufistik itu tidak berpretensi untuk menjadi seorang sufi, sementara dalam proses kreatifnya mereka menggali berbagai kemungkinan estetik dari pandangan kaum sufi. Bandingkan dengan uraian Abdul Hadi W.M., ”Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia” (Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, Th. 1992), hlm. 28.
[9] Ingat, misalnya, kontroversi pemaknaan atas sajak “Malam Lebaran”-nya Sitor Situmorang yang hanya berisi satu larik berbunyi: Bulan di atas kuburan. Dilantarankan oleh kontrovesi yang dibawanya, sajak ini menjadi salah satu karya sastra Indonesia (karya Sitor pada khususnya) yang dipandang fenomenal pada masanya. Setidaknya, sajak tersebut telah dibahas oleh J.U. Nasution dalam Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek (Jakarta: Gunung Agung, 1963), hlm. 22; Subagio Sastrowardoyo dalam Sosok Pribadi dalam Sajak (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 92; Umar Junus dalam Dasar-dasar Interpretasi Sajak (Kuala Lumpur: Heinemann, 1981), hlm. 26; juga dalam pengantar ringkas Pamusuk Eneste (Ed.) untuk buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. vii—x.
[10] Sitor Situmorang dengan sajak “Malam Lebaran” (Bulan di atas kuburan), Sutardji Calzoum Bachri dengan sajak “Luka” (ha ha) dan “Kalian” (pun), serta Hamid Jabbar dengan sajak “Doa Terakhir Seorang Musyafir” (amin) dan ”Doa Para Penguasa Sepanjang Masa” (aman).


SUMBER TULISAN :
Makalah diskusi dalam Peluncuran dan Bedah Buku Elegi Negeri Seribu Ombak Karya Eko Suryadi WS di Aula Kantor Perpustakaan, Dokumentasi, dan Arsip Daerah Kabupaten Kotabaru, April 2010; dimuat sebagai Kata Pengantar buku Elegi Negeri Seribu Ombak (Yogyakarta: Framepublishing, 2010).

Sekadar Berbagi Pengalaman


Membaca, Buku, Menulis :
Sepotong Cerita tentang Kemabukan Cinta

Oleh :  Jamal T. Suryanata

semenjak menatap wajahnya
aku tak bisa lagi memandang yang lain
sekilas pandang lepas darinya dan aku jadi mabuk
( Jalaluddin Rumi )

/ 1 /
Dalam enam bulan terakhir (Maret—Agustus 2010), jika dikalkulasikan secara kasar, saya telah menghabiskan uang lebih tiga juta rupiah bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup saya sekeluarga (sandang, pangan, papan), melainkan sekadar untuk belanja sejumlah buku —di toko-toko buku besar maupun kecil— di empat kota yang sempat saya singgahi: Banjarmasin, Banjarbaru, Jakarta, dan Yogyakarta. Motif pertama sebagai pemantiknya dimulai pada awal Maret yang lalu ketika saya begitu terobsesi untuk segera menyelesaikan sebuah naskah buku bertajuk Tragika Sang Pecinta (sebuah risalah kritik sastra yang mengupas sajak-sajak Ajamuddin Tifani dalam perspektif sufistik) yang, setelah melalui usaha dan kerja keras, akhirnya dapat saya selesaikan juga pada akhir Mei melewat —rencananya akan diterbitkan di Yogyakarta pada tahun ini juga, insya Allah!

Jujur saja, dalam enam bulan terakhir ini saya memang merasakan telah terjadi sesuatu yang agak berbeda dalam diri saya. Sesuatu yang muskil untuk dapat diformulasikan dengan kata-kata (hoayyo!). Ada semacam getaran-getaran aneh merasuki jiwa saya, tetapi sebenarnya yang sudah tak begitu asing saya rasakan. Jujur saya katakan, saya sedang jatuh cinta lagi; bahkan, boleh dikata kini sedang berada di puncak ”mabuk cinta” (isyq) bagi seseorang yang sudah memasuki fase ”puber kedua” —semisal kisah perselingkuhan dari akar cinta melankolis anak SMA yang bersemi kembali setelah cukup lama terpisahkan oleh jarak ruang dan waktu. Sebab, kemabukan cinta dan gairah syahwat saya pada kecantikan-”nya” selepas merampungkan naskah buku tersebut ternyata tidak terhenti sampai di situ. Kisah cinta ini berlanjut. Ada obsesi lain yang mengiringi motif pertama yang sejatinya sudah tamat itu. Ya, cinta saya kian berkobar, menyala-nyala kembali, dan saya membeli banyak buku lagi. Belakangan, syahwat saya yang aneh itu lebih terfokus untuk memburu buku-buku bertemakan cinta —cinta dalam perspektif keislaman, sufisme pada khususnya. Persis seperti kata seorang penyair-sufi agung Persia, Maulana Jalaluddin Rumi, dalam sebait syairnya yang telah saya kutipkan di atas.

/ 2 /
Sebagai seseorang yang sedang dimabuk cinta, saya menyesal agak terlambat membaca La Tahzan, sebuah karya fenomenal (bahkan berkategori international best seller) yang lahir dari tangan seorang doktor muda dalam bidang hadis, jebolan Fakultas Ushuluddin Al-Imam Islamic University (Riyadh, Arab Saudi), bernama Dr. ‘Aidh al-Qarni. Sebab, berdasarkan pengalaman pribadi dan juga bersandar pada nasihat seorang bijak yang dikenalnya, dalam salah satu risalahnya di salah satu halaman buku tersebut, al-Qarni antara lain mengingatkan bahwa kalau seseorang sedang dimabuk cinta pada buku hingga ketika ia sedang berada di toko buku seakan semua buku hendak diambilnya, maka yang sebaiknya ia lakukan adalah membeli buku-buku induknya saja.

Mengapa keterlambatan perkenalan dengan La Tahzan itu harus saya sesali? Pasalnya, kemabukan cinta pada buku sebagaimana telah saya ceritakan di atas ternyata telah menjerumuskan saya menjadi seseorang yang berwatak rakus, loba, tamak, ibarat seekor monyet yang tersesat ke kebun penduduk. Saya membeli banyak buku dengan segala ragamnya (yang tipis maupun yang tebal, yang ringan maupun yang berat, yang murah maupun yang agak mahal) sepanjang berkaitan dengan tema cinta, sufisme, dan risalah-risalah keislaman yang berkaitan dengannya —terutama jika (secara fisik) judul yang tertera pada cover depan buku itu memakai label kata-kata cinta, sufisme, sufi, atau tasawuf. Alhasil, secara mataeriil saya merasa lumayan dirugikan karena telah membeli beberapa buku yang sebenarnya tidak begitu saya perlukan atau karena buku-buku itu hanya merupakan bentuk saduran atau ulasan ringkas dari beberapa buku induk yang menjadi rujukannya.

Kecuali kerugian akibat salah pilih (dalam hal materi buku) itu, saya juga sudah dua kali tertipu hanya lantaran perbedaan judul dan cover depan buku. Pertama, saat berada di Jogja saya membeli sebuah buku baru bertajuk Intelegensi dan Spritualitas Agama-agama (Jakarta: Inisiasi Press, Jakarta, 2004), terjemahan Suharsono dkk. dari edisi Inggris, Knowledge and the Sacred, karya Seyyed Hossein Nasr. Setelah saya baca sekilas (tepatnya: survey reading, tapi sedikit sudah memasuki level skimming), ternyata isi dan sistematika penulisan buku ini sama persis dengan buku Pengetahuan dan Kesucian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) —oleh penulis dan penerjemah yang sama— yang sebenarnya sudah saya miliki sejak beberapa tahun sebelumnya. Kedua, hanya berselang minggu dalam bulan yang sama, saya membeli dua buah buku lagi yang keduanya memang sama-sama terjemahan dari edisi aslinya, Nafahat al-Uns Min Hadarat al-Quds, karya Mawlana ’Abd ar-Rahman Jami; masing-masing bertajuk Pancaran Ilahi Kaum Sufi (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Sufi, 2003) dan Ensiklopedi Tokoh Sufi: Warisan Spiritual dan Keluhuran Para Mahaguru Sufi (Yogyakarta: Penerbit Beranda, 2007).

Buku yang saya sebut pertama (Pancaran...) saya beli di TB Riyadh (Banjarbaru) lantaran ia merupakan sebuah referensi klasik, tak peduli pada tampilan fisiknya yang sudah terbuka, agak kotor, dan mulai lusuh pula. Sementara, buku yang disebut kedua (Ensiklopedi...) saya beli di TB Alfat (Banjarmasin), juga lantaran ketertarikan saya pada buku-buku klasik. Namun, apa hendak dikata, kali ini lagi-lagi saya tertipu gara-gara perbedaan judul yang digunakan oleh penerbit yang berbeda, sedangkan isi dan sistematikanya juga sama persis (termasuk penerjemahnya). Saya yakin, perbedaan judul itu tentulah dimaksudkan penerbit sebagai taktik untuk mengecoh mata calon pembelinya. Kalau tidak, pastilah saya tidak akan terpedaya karenanya. Akan tetapi, dalam hal buku yang kedua itu, ketertipuan saya tentu saja juga dilantarankan oleh kondisi buku-buku baru di hampir semua toko buku yang selalu terbungkus rapi dalam kemasan plastik yang ”dilarang merobeknya secara terang-terangan!” hingga tak memungkinkan bagi saya untuk membandingkan setiap buku yang akan dibeli dengan buku-buku yang sudah saya miliki berdasarkan daftar isi maupun indikator lainnya.

Memang, sebagaimana pernah diungkapkan Al-Qadhi Abu Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Salman an-Nuqati dalam buku Mihnah azh-Zharraf-nya, ”Orang-orang yang dimabuk cinta itu tersiksa dengan berbagai kondisi. Musibah yang mereka alami adalah di luar pilihan, jadi menimpa mereka di luar keinginan. Seseorang akan dicela pada hal-hal yang mereka mampu melakukannya, bukan pada hal-hal yang telah ditentukan dan telah ditakdirkan.”[1] Kata-kata an-Nuqati ini segera mengingatkan kita pada satu nukilan kisah dalam al-Quran tentang sekelompok perempuan Mesir yang (saat memenuhi undangan perjamuan di rumah Zulaikha, istri Raja al-Aziz, yang merasa kesal lantaran cemooh perempuan-perempuan usil yang gemar gosip itu) tanpa sadar telah melukai jari-jemari mereka sendiri manakala menyaksikan langsung ketampanan seorang pemuda bernama Yusuf (kelak dikenal sebagai Nabi Yusuf as.) seraya berkata dengan takzim, ”Mahasempurna Allah, ini (baca: Yusuf) bukanlah manusia. Sesungguhnya ini (Yusuf) tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.” (QS. Yusuf [12]: 30—34).[2]

Demikianlah, sebagai hikmah positifnya, pengalaman buruk itu telah mengajari saya untuk menjadi lebih arif dan selektif saat akan membeli buku lagi. Beberapa waktu berikutnya (sekira dua atau tiga minggu kemudian), ketika suatu hari saya berkunjung ke TB Usaha Jaya (Banjarmasin), seperti biasa saya langsung menuju rak buku-buku khazanah Islam. Di salah satu rak buku pajangan itu, tiba-tiba mata saya terfokus pada sebuah buku cantik. ”Eureka! Eureka!” mungkin begitulah ucapan yang sekonyong-konyong terlontar di benak saya, menirukan Archimedes (ilmuwan masyhur Yunani klasik). Sontak saja, saya pun langsung mengambil dan segera membolak-balik buku baru bertajuk Risalah Cinta (terbitan Mizan, Bandung) karya Ibnu Hazm al-Andalusi tersebut. Desain cover depannya memang sangat menggoda, dengan dasar warna biru langit, bermotif bunga-bunga, sungguh seronok untuk sebuah buku bertema cinta.

Namun, setelah menemukan beberapa kata-kuncinya, kali ini saya boleh tersenyum (bahkan dengan agak sinis) seraya membatin, ”He, kini kau tak akan bisa menipuku lagi, sobat cantik!” Sebab, seketika hati saya jadi curiga: tentulah judul buku ini sekadar ”baju baru” (sebagai taktik jitu penerbit untuk memelet calon pembelinya) dari buku bertajuk Sabda Cinta dari Andalusia (terbitan Gudang Ilmu, 2008) yang sudah saya miliki sejak beberapa bulan sebelumnya. Pengalaman empiris telah mengajari saya hingga kali ini menjadi begitu yakin bahwa buku yang masih terbungkus rapi dalam sampul plastiknya di salah satu rak pajangan TB Usaha Jaya tersebut tidak lebih dari versi lain (terjemahan Indonesia) dari buku yang edisi aslinya berjudul Thuq al-Hamamah (738 H/1338 M) karya Abu Muhammad ’Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ra. —penulis yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Hazm al-Andalusi itu.[3] Jadi, benarlah kata orang bijak, “Experience is the best teacher, but experience must be bought!”

/ 3 /
Bertolak dari pengalaman pribadi di atas, ternyata minat baca (pada level yang tinggi, tentu saja) juga berpotensi membawa seseorang pada kondisi mabuk cinta yang berlebihan hingga syahwatnya berupa keinginan untuk memiliki banyak buku menjadi kurang terkendali. Namun, sepotong kisah tentang kemabukan cinta yang saya ceritakan tadi tentu saja hanyalah secuil sisi negatif dibanding dengan luasnya dimensi nilai-nilai positif yang dapat kita petik dari sebuah buku karena setiap buku yang baik niscaya akan memberikan manfaat yang baik pula, bahkan hikmah tak berhingga, pada diri setiap pembaca.

Setidaknya, berdasarkan ”jam-terbang” pengalaman baca saya yang kiranya sudah lumayan, kini saya dapat memahami bahwa buku adalah ”kekasih” yang tak pernah marah atau ”pacar” yang tak akan pernah cemburu. Kehadirannya bahkan bisa menjadi pengobat rindu, sebagai pemberi nasihat yang bijak, dan sebagai penenteram jiwa manakala sedang gundah-gelisah. Seperti kata al-Jahizh, ”Buku adalah teman duduk yang tak akan memujimu dengan berlebihan, sahabat yang tidak akan menipumu, dan teman yang tidak membuatmu bosan. Dia adalah teman yang sangat toleran yang tidak akan mengusirmu. Dia adalah tetangga yang tidak akan menyakitimu....” Maka, ’Aidh al-Qarni pun berpetuah bahwa sebaik-baik teman duduk adalah buku. Karena, ”Di antara sebab kebahagiaan adalah meluangkan waktu untuk mengkaji, menyempatkan diri untuk membaca, dan mengembangkan kekuatan otak dengan hikmah-hikmah.”[4]

Kemabukan cinta sebagaimana yang saya ilustrasikan di atas (baca: kecintaan yang tinggi terhadap buku, notabene semua bahan bacaan lain dalam berbagai wujudnya) mungkin saja tidak berjalan paralel dengan tingkat kemampuan membaca (reading capability) seseorang. Sebab, boleh jadi bahwa ahwal (bentuk jamak dari hal; kondisi) kemabukan semacam itu memang telah melampaui batas-batas teoretis mengenai maqâmat (bentuk jamak dari maqâm; tingkatan) kemampuan membaca. Dalam konteks ini, menurut hemat saya, aspek ideal pertama yang perlu diupayakan adalah mengondisikan tumbuhnya minat baca karena dengan modal inilah ketercapaian segala sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan membaca —termasuk kemungkinan tercapainya maqâm tertinggi kemampuan membaca— maupun derajat keilmuan pada umumnya akan menjadi mungkin.

Namun, oleh karena membaca itu merupakan suatu bentuk keterampilan —yang dalam perspektif ilmu bahasa terapan (applied linguistics) lazim disebut ”keterampilan berbahasa” (language skills, khasnya reading skill)—, maka kemampuan membaca (reading competence) seseorang tidak mungkin diperoleh secara otomatis, sebagaimana kisah-kisah kaum arifin yang (terutama dalam konteks kesufian) konon mendapatkan ilmu ladunni-nya langsung dari Allah Azza wa Jalla. Sebagai suatu bentuk keterampilan (berbahasa), secara kodrati, pemerolehan kemampuan membaca pada galibnya selalu melalui proses yang panjang dengan tahapan-tahapan tertentu. Jika pembaca diandaikan sebagai seorang sâlik (dalam konteks sufisme, secara etimologis berarti ”penempuh jalan spiritual”), sebelum seseorang mencapai maqâm tertinggi berupa kemampuan membaca yang baik atau cepat (jika dinisbahkan pada kondisi ma’rifatullâh), ia harus melalui proses penempaan diri (riyadhah) terlebih dahulu —yang secara teknis mungkin berbeda satu sama lain dalam cara atau jalan yang ditempuh (thariqah). Di sini, penting kiranya diperhatikan agar setiap pembaca berkesadaran untuk mengukur diri sendiri (muhâsabah) guna memperoleh gambaran umum potensi pribadi (mukasyafah) yang mungkin dapat dikembangkan lebih lanjut.

Dalam kaitan ini, kalau saya boleh sedikit berteori, secara kronologis proses itu setidak-tidaknya akan melalui tahap-tahap yang secara gradual bergerak dari tingkat terendah (lower level) menuju tingkat yang lebih tinggi hingga mencapai tingkatan tertinggi (high level); mulai dari tahap (1) sekadar membaca iseng untuk mengisi waktu senggang, ke tahap (2) membaca yang lebih serius karena adanya minat pada topik tertentu, ke tahap (3) membaca yang lebih serius lagi karena telah dilandasi kesadaran sebagai suatu kebutuhan, hingga akhirnya mencapai tahap (4) membaca habitualistis yang mengandaikan suatu kebiasaan atau tindak-laku keseharian. Pada tahap akhir inilah budaya baca sudah terbentuk sebagai tradisi yang pagan. Adapun kemampun membaca, menurut hemat saya, akan bertumbuh seiring dengan proses tersebut.[5] Dengan kata lain, jika budaya baca sudah terbentuk, maka kemampuan membaca pun akan mengikuti dengan sendirinya. Proses demikian, secara sederhana, dapat digambarkan dalam matriks berikut ini.

Proses Pemerolehan Kemampuan Membaca




Tahapan
Bentuk
Motif
Indikator
Pertama
Sekadar Iseng
Mengisi Waktu Senggang
Tanpa Kesan
Kedua
Ada Minat Tertentu
Mengetahui Sesuatu
Mendapatkan Jawaban
Ketiga
Merasa sbg Kebutuhan
Harus Melakukan
Melepaskan Beban
Keempat
Menjadi Kebiasaan
Tanpa Ketergantungan
Kepuasan Batin & Intelektual
Kemampuan Membaca

            Tentu saja, proses tersebut sekadar suatu gambaran teoretis yang mustahil akan tercapai tanpa latihan dan kedisiplinan yang baik. Sebagai suatu bentuk keterampilan, pemerolehan dan peningkatan kemampuan jelas menuntut latihan-latihan tertentu dengan berbagai langkah strategisnya. Tanpa kedisiplinan yang tinggi untuk selalu berlatih secara terus-menerus, kemampuan membaca seseorang akan berpotensi untuk terus merosot hingga ke titik terendah seiring dengan perjalanan waktu. Maka, dalam konteks inilah kiranya kehadiran buku-buku petunjuk praktis peningkatan kemampuan membaca menjadi penting bagi seseorang yang ingin mencapai kemampuan tersebut —sebutlah, misalnya, buku bertajuk Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif dan Efisien (DP. Tampubolon) atau Membaca: Meretas Jalan Menuju Sukses (Daud Pamungkas).

/ 4 /
Kendati sepotong cerita tentang kemabukan cinta seperti yang telah saya ungkapkan di atas barangkali hanya akan terjadi atau setidaknya bersesuaian dengan kerja keseharian seseorang yang kebetulan juga “berprofesi” gandengan sebagai penulis, tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan juga akan berlaku bagi siapa pun yang telah menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Akan tetapi, langkah tegap kita untuk menjadikan baca-tulis sebagai sebuah tradisi yang kuat tampaknya bukan perkara yang mudah. Realitas masyarakat kita yang hingga hari ini masih bermasalah dengan target penuntasan buta huruf (baca: melek aksara dan angka) merupakan sisi lain yang masih membebani “misi suci” kita dalam rangka membangun tradisi keberaksaraan. Dengan kata lain, secara umum masyarakat kita saat ini sesungguhnya masih hidup di bawah kungkungan (setidaknya bayang-bayang) tradisi lisan. Jadi, jelas bahwa upaya membangun tradisi keberaksaraan yang mapan masih merupakan masalah besar dan penuh tantangan besar.

Lebih jauh harus saya katakan, di tengah realitas kehidupan masyarakat yang masih didominasi tradisi lisan dan belum lagi menjadikan kegiatan baca-tulis sebagai sebuah tradisi yang kuat, kini pada saat yang sama —ketika kita sudah memasuki abad ke-21 dan milenium ketiga ini— kita pun harus berhadapan lagi dengan satu persoalan sosiologis lainnya yang oleh para pakar komunikasi disebut sebagai gejala “kelisanan kedua” (secondary orality). Dengan demikian, masih dalam abad dan periode yang sama, berarti kita tengah mengalami tiga bentuk transformasi budaya secara tumpang-tindih, yakni bertolak dari tradisi lisan, memasuki budaya keberaksaraan, kemudian (seakan-akan kembali) ke kelisanan (kedua). Sementara itu, sejak penghujung abad yang lalu, masyarakat sedunia sudah pun ribut-ribut dengan segala keniscayaan teknologi informasi mutakhir sebagai “anak emas” Era Globalisasi —yang secara sayup-sayup kemudian kita kenal adanya e-life, e-learning, e-business, e-commer, e-book, e-mail, internet home, atau cyber era sebagai gaya hidup dan peradaban baru umat manusia. Maka, persoalan pun menjadi semakin kompleks, kian berjalin berkelindan, serupa benang kusut. Lalu, di mana kini harus kita tempatkan duduk perkara budaya baca masyarakat Indonesia? Bagaimana pula kita mesti membincangkan ihwal budaya menulis, kecintaan pada buku, dan berbagai atribut tradisi keberaksaraan lainnya?[6]

Sungguhpun demikian, janganlah kita segera pesimis. Kita masih punya peluang untuk melakukan berbagai bentuk kegiatan, dari banyak pilihan yang mungkin, dalam upaya menumbuhkembangkan tradisi baca-tulis —yang tidak lain berarti pula sebagai usaha untuk menunmbuhkembangkan ilmu yang bermanfaat di muka bumi ini. Setiap orang yang terlibat dalam usaha positif ini, insya Allah, ia akan termasuk dalam majelis para pecinta ilmu. Dalam sebuah hadis shâhih yang diriwayatkan dari Abu Bakar ra., Rasulullah saw. telah bersabda:  

Jadilah engkau orang yang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Janganlah engkau menjadi orang yang kelima sehingga engkau akan binasa.” Atha menambahkan: Ibnu Mas’ud mengatakan kepadaku, ”Engkau menambahkan yang kelima, yang itu bukan termasuk kami. Yang kelima itu adalah yang membenci ilmu dan orang yang berilmu.” (HR. Thabrani).

            Maka, saya tak habis pikir ketika melihat banyak orang tua yang dengan bangga dan penuh kepuasan telah menghabiskan uang ratusan ribu untuk mentraktir keluarga di sebuah restoran mewah atau merogoh isi dompetnya hingga jutaan rupiah sekadar menghabiskan malam di bawah remang lampu di sebuah ruang karaoke bersama kawan-kawannya, tetapi ketika anaknya minta dibelikan sebuah buku seharga lima puluh ribu saja ia masih berpikir dua kali —syukur-syukur kalau rengekan positif sang anak masih didengarkan dan dipenuhi!


CATATAN KAKI :

[1] Dikutip via Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Taman Para Pecinta, terj. Emiel Ahmad dari (edisi Arab) Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2009), hlm. 145—146.
[2] Untuk lebih lengkapnya lihat Ibnu Katsir, Qishashul Anbiya’ (Kisah Para Nabi), terj. Moh. Syamsi Hasan (Surabaya: Amelia, 2008), hlm. 363—429.
[3] Seingat saya, dalam selisih waktu yang tak begitu lama, saya juga pernah menemukan sebuah buku karya al-Andalusi dengan judul dan penerbit yang berbeda, tetapi masih tetap menggunakan kata ”cinta” sebagai bagian judulnya —mungkin bertajuk Senandung Cinta (saya lupa persisnya). Maka, karena kecurigaan yang sama, saya pun tidak berniat untuk membelinya karena khawatir akan tertipu lagi.
[4] ‘Aidh al-Qarni, La Tahzan: Jangan Bersedih, terj. Samson Rahman dari (edisi Arab) Lâ Tahzan (Jakarta: Qisthi Press, 2004), hlm. 128. Adapun ihwal manfaat membaca, secara ringkas al-Qarni telah menyajikannya dalam sebelas butir. Silakan baca dalam risalahnya, “Faedah Membaca”, di hlm. 131—132 buku yang sama.
[5] Secara konseptual, istilah ”kemampuan membaca” (reading capability) dalam konteks ini dimaksudkan sebagai tingkat kecepatan membaca dan pemahaman isi bacaan secara keseluruhan. Jadi, kemampuan membaca merupakan suantu bentuk keterampilan yang terukur. Lihat D.P. Tampubolon, Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif dan Efisien (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 7.

[6] Uraian kritis tentang masalah ini lihat Jamal T. Suryanata, “Budaya Baca dan Prospek Buku di Tengah Godaan Tradisi Kelisanan Kedua” (Makalah Seminar Internasional tentang Pengajaran Sastra Indonesia/Melayu di Sekolah yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa dan Majelis Sastera Asia Tenggara pada 30 Juli 2007 di Hotel Mesra Indah, Samarinda, Kalimantan Timur), hlm. 6.