Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Senin, 22 Februari 2010

Sastra Banjar Mutakhir:

Tentang Delapan Fenomena Kesastraan

Oleh Jamal T. Suryanata

/ 1 /
Sejak kapan sesungguhnya sastra Banjar modern itu mulai muncul? Sebagaimana juga terjadi dalam usaha penyusunan sejarah sastra Indonesia yang hingga sekarang masih kontroversial itu, dalam hal ini agak sulit bagi kita untuk mendapatkan jawaban pasti. Namun, jika untuk sementara kita boleh bersepakat bahwa masa awal kelahiran sastra Indonesia modern itu ditandai dengan munculnya sajak-sajak Muhammad Yamin dan Rustam Effendi serta sejumlah novel tradisi Balai Pustaka di sekitar awal abad ke-20, maka secara analogis dapat pula kita letakkan bahwa sejarah awal sastra Banjar modern baru dimulai sekitar paro kedua dekade 40-an. Hal ini antara lain didukung oleh bukti munculnya beberapa karya puisi berbahasa Banjar dengan bentuk baru yang secara estetis mengikuti konvensi perpuisian Indonesia modern sehingga dapat dibedakan dengan karya-karya sastra klasik.

Bertolak dari pemahaman historis di atas, jika dalam pembicaraan selanjutnya saya menyebut istilah ”sastra Banjar modern”, konsep tersebut secara konsisten akan mengacu pada pengertian: seluruh karya sastra berbahasa Banjar yang dari segi bentuk maupun isinya telah mendapat pengaruh dari tradisi sastra Barat melalui persentuhannya dengan sastra Indonesia modern. Oleh karena itu, maka dalam hal pembagian genre sastranya pun akan mengikuti tradisi sastra Barat dan atau sastra Indonesia modern. Jadi, berdasarkan ciri-ciri kemodernan yang melekat padanya, secara garis besar keseluruhan khazanah sastra Banjar modern dapat dibagi ke dalam tiga bentuk generik: puisi, prosa-fiksi, dan drama. Kalaupun ketiga bentuk generik tersebut kemudian harus dibagi lagi ke dalam bentuk-bentuk yang lebih kecil, maka pembagian ragam yang merupakan hiponimnya tetap dapat merujuk pada tradisi sastra Barat dan atau sastra Indonesia modern.

Akan tetapi, selama lebih kurang tujuh dasawarsa, dalam perkembangannya hingga memasuki awal milenium ketiga ini sejarah hanya mencatat empat genre sastra yang dapat berkembang dalam tradisi penulisan sastra Banjar modern: puisi, cerpen, novel, dan drama. Bahkan, sejauh yang saya ketahui, untuk kedua bentuk yang disebut terakhir jumlah karya yang ada masih sangat (-sangat) jauh dari kondisi ideal. Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan, maka dalam diskusi selanjutnya mengenai berbagai fenomena atawa gejala kesastraan dalam sastra Banjar mutakhir ini tentu saja karya-karya puisi dan cerpenlah yang akan lebih banyak mendapatkan porsi pembahasan.

/ 2 /
Lepas dari soal lemahnya sistem sastra yang ada, sepanjang perjalanannya hingga menjelang akhir dasawarsa pertama abad ke-21 ini, sejauh yang dapat saya amati setidak-tidaknya terdapat delapan fenomena kesastraan yang layak dicatat karena memang relatif merepresentasikan pernik-pernik wajah sastra Banjar mutakhir. Fenomena yang saya maksudkan dalam konteks ini bukan saja menyangkut sistem mikro-sastranya, melainkan juga mencakup sistem makro-sastranya.
Fenomena pertama, yang kemunculannya terutama sangat menonjol antara awal 1980-an hingga akhir 1990-an, adalah apa yang sering saya sebut ”sastra-dalam-rangka”. Dengan istilah tersebut dimaksudkan bahwa perkembangan tradisi penulisan sastra Banjar modern selama ini sangat dipengaruhi dan bahkan tidak lepas dari dalam-rangka-tertentu sebagai dasar motivasi atau malah menjadi semacam katalisator penciptaannya. Tradisi penulisan puisi dan cerpen Banjar selama ini lebih banyak didorong oleh berbagai ajang lomba penulisan yang hampir selalu dikaitkan dengan dalam-rangka-tertentu, misalnya dalam rangka menyambut Hari Jadi Kota Banjarmasin.

Sekadar ilustrasi, hingga sekarang setidaknya sudah enam kali diselenggarakan kegiatan lomba penulisan puisi maupun cerpen Banjar yang masing-masing diprakarsai oleh HIMSI Kalsel (1985), HIMSI Kalsel (1988), Taman Budaya Provinsi Kalsel (1993), DKD Kalsel (1999), Disbudpar Provinsi Kalsel (2007), dan Disbudpar Provinsi Kalsel (2008). Ajang-ajang lomba penulisan demikianlah yang telah banyak memotivasi para pengarang di daerah ini hingga melahirkan sejumlah karya sastra Banjar modern yang secara literer lebih dapat dipertanggungjawabkan; misalnya puisi ”Sapuluh Dapa pada Masigit Nur” (Y.S. Agus Suseno), juga cerpen “Racun” (Y.S. Agus Suseno), “Kambang Kada Sakaki, Kumbang Kada Saikung, Alam Kada Batawing” (Y.S. Agus Suseno), “Rak Rak Gui!” (Burhanuddin Soebely), “Karindangan” (Seroja Murni), “Malam Kumpai Batu” (M. Rifani Djamhari), “Sawat Babulik” (Jaka Mustika), “Tajajak Suluh” (Jakaria Kastalani), “Mambari Maras Ni Diang” (S. Ripani Im), “Tihang Bamata Malingan” (Aria Patrajaya), ”Gandut Barniah” (Jamal T. Suryanata), ”Bagandang Nyiru” (Alfian Rifani), (Iwan Yusi), ( ).

Kecuali dalam-rangka mengikuti lomba penulisan, sejumlah karya sastra Banjar modern lainnya juga terlahir karena dorongan dalam-rangka memenuhi permintaan pihak tertentu. Misalnya, permintaan dari Panitia Lomba Baca Cerpen Bahasa Banjar yang selama kurun waktu 1980—2000 pernah lima kali berturut-turut dimotori dan dilaksanakan oleh Radio Nirwana Banjarmasin (1988—1992). Di antaranya tercatat cerpen-cerpen berjudul “Aluh Campaka” (B. Sanderta), “Kai Iyus” (B. Sanderta), “Lawang” (A. Rasyidi Umar), “Pitua” (A. Rasyidi Umar), “Surapil Mauk” (A. Rasyidi Umar), “Mangkusari” (Hijaz Yamani), “Luka nang Kada sing Baikan” (Hijaz Yamani), “Sapanjang Pamatang Panjang” (Syukrani Maswan), “Aluh Hati’ah” (Adjim Arijadi), “Hayam Walik” (Ajamuddin Tifani), “Taparukui” (M. Haderani Thalib), ”Sajampal Patirai” (M. Sulaiman Nazam), “Kambang Pambarian” (Sabrie Hermantedo), “Babini Pulang” (Sabrie Hermantedo), “Amun Tambus Hanyar Kawin” (Ian Emti), dan “Batandu” (Noor Aini Cahya Khairani).

Fenomena kedua yang cukup dominan mewarnai perkembangan tradisi penulisan sastra Banjar modern selama ini adalah munculnya sejumlah karya ”bercorak sastra terjemahan”. Disebut ”bercorak” dalam konteks ini karena proses penerjemahan karya-karya tersebut memang tidak tersistem, tidak dilakukan secara khusus oleh sang penulis sebagaimana layaknya penerjemahan sebuah karya sastra. Jika kita telusuri lebih jauh, ternyata latar belakang munculnya gejala ini masih erat kaitannya dengan fenomena sastra-dalam-rangka seperti yang telah diuraikan di atas. Istilah sastra terjemahan itu sendiri secara spesifik merujuk pada pengertian bahwa karya-karya sastra Banjar modern tertentu pada mulanya ditulis dalam dan dengan kerangka berpikir bahasa Indonesia, baik menyangkut aspek bahasa maupun isinya. Bahkan, ada beberapa karya yang jelas-jelas memperlihatkan corak keindonesiaannya dengan kadar sangat dominan. Hal ini terjadi, barangkali, lantaran proses penulisannya didesak oleh tenggat waktu yang ada (karena sempitnya rentang waktu yang diberikan oleh pihak panitia suatu sayembara penulisan, lomba baca cerpen, atau deadline penerbitan buku) sehingga karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia itu ditranslitrasi begitu saja (secara harfiah) ke dalam bahasa Banjar, tanpa mempertimbangkan perbedaan struktur bahasa maupun kekhasan aspek lokalitasnya.

Sekadar contoh, dua cerpen karya Hijaz Yamani dengan judul “Mangkusari” dan “Luka nang Kada sing Baikan” konon hanya merupakan terjemahan harfiah dari cerpennya yang semula ditulis dalam bahasa Indonesia lantaran keterbatasan waktu yang diberikan oleh Panitia Lomba Baca Cerpen Bahasa Banjar III yang diselenggarakan oleh Radio Nirwana Banjarmasin (1992). Kecenderungan semacam itu dapat pula kita lihat, misalnya, dalam cerpen-cerpen “Kebebasan” (Noor Aini Cahya Khairani), “Bau Harum matan Surga” (Ahmad Fahrawi), “Parak Dah KO” (Sofyan Hamid), “Rina wan Rini” (Aida), dan “Salah Maartiakan” (Muliani). Belakangan, setelah kian maraknya penerbitan buku di banua ini sejak awal tahun 2000-an lalu, gejala sastra bercorak terjemahan ini (bahkan bisa jadi dengan menanggalkan konsep ”bercorak”-nya) semakin banyak kita temukan terutama pada genre puisi. Lihatlah, misalnya, sejumlah sajak yang terhimpun dalam buku Baturai Sanja (Eza Thabry Husano dkk., 2004), Uma Bungas Banjarbaru (Hamami Adaby, 2004), dan lebih-lebih Garunum (Hamami Adaby dkk., 2006).

Kecuali kedua fenomena di atas, gejala ketiga yang dapat saya tangkap sepanjang perjalanan sastra Banjar modern hingga sekarang adalah terjadinya pergeseran dalam estetika kesastraannya, yakni dari genre ”sastra populer” ke ”sastra serius”. Dengan kedua istilah tersebut pada dasarnya hanya sebagai upaya praktis-dikotomis untuk menggeneralisasikan kenyataan terdapatnya perbedaan bobot literer dalam khazanah sastra Banjar modern yang ada selama ini. Karya-karya sastra yang dapat digolongkan ke dalam kelompok sastra populer secara umum memperlihatkan banyak kelemahan karena memang digarap secara populer, kurang mendalam, bahkan cenderung asal jadi. Sebaliknya, karya-karya yang termasuk sastra serius pada umumnya memang digarap secara serius oleh para penulisnya yang rata-rata juga termasuk penulis senior (istilah ”senior” di sini bukan dalam konteks usia, melainkan lebih mengacu pada segi jam terbang kepengarangannya) sehingga karya-karya mereka relatif menunjukkan banyak keunggulan.

Sekadar contoh lagi, beberapa cerpen seperti “Tuli Sarumahan” (B. Sanderta), ”Jabakan Kupi Kamandrah” (B. Sanderta), “Kaluku Tapilih Bangkung” (Y.S. Agus Suseno), “Surapil Mauk” (A. Rasyidi Umar), ”Sajampal Patirai” (M. Sulaiman Nazam), “Amun Tambus Hanyar Kawin” (Ian Emti), “Tambus nang Manyamani” (Abdus Syukur MH), ”Latupan Cabi” (Abdus Syukur MH), “Si Jek Siyup” (Sabrie Hermantedo), “Babini Pulang” (Sabrie Hermantedo), dan “Batandu” (Noor Aini Cahya Khairani) dapat dianggap mewakili kelompok sastra (cerpen) populer. Ciri-ciri kepopuleran dalam karya-karya tersebut terutama menyangkut pemilihan tema yang terlampau sederhana, lemahnya teknik penggarapan cerita, serta kecenderungannya yang hanya mengandalkan efek humor sebagaimana umumnya menjadi kecenderungan dalam cerita-cerita rakyat dari khazanah sastra lisan pada masa lampau –sebutlah, misalnya, kisah-kisah ”Si Palui” dan ”Surawin”. Sebaliknya, kendati tidak seluruh unsur kesastraannya terpenuhi, karya-karya yang cukup memenuhi syarat untuk disebut sastra serius di antaranya sederet cerpen yang pernah menjadi naskah pemenang lomba penulisan, beberapa dari cerpen pesanan, serta sejumlah cerpen yang terhimpun dalam buku Galuh (Jamal T. Suryanata, 2005) maupun Maundak Dandang (M. Fitran Salam, 2005).

Fenomena keempat yang muncul berkaitan dengan kian maraknya penerbitan buku sastra atau kita sebut saja ”era sastra buku”. Sampai akhir tahun 1990-an, dalam tradisi sastra Banjar modern, penerbitan buku masih merupakan sesuatu yang langka. Selama itu, satu-satunya buku sastra Banjar modern yang pernah terbit hanyalah antologi puisi Artum Artha dengan tajuk Unggunan Puisi Banjar (1988). Buku yang memuat 72 judul puisi itu pun diterbitkan dalam edisi dwibahasa, bahasa Banjar dan bahasa Indonesia. Namun, sebagaimana telah disinggung di atas, sejak awal tahun 2000-an sekurang-kurangnya sudah terbit lima judul buku, baik kumpulan puisi maupun cerpen; masing-masing berjudul Baturai Sanja (Eza Thabry Husano dkk., 2004), Uma Bungas Banjarbaru (Hamami Adaby, 2004), Galuh (Jamal T. Suryanata, 2005), Maundak Dandang (M. Fitran Salam, 2005), dan Garunum (Hamami Adaby dkk., 2006). Hal ini pantas untuk dicatat karena memang merupakan gejala baru dalam perjalanan sastra Banjar modern selama ini.

Jika kita telusuri, munculnya era sastra buku dalam tradisi sastra Banjar modern berjalan seiring dan di antaranya didahului oleh munculnya fenomena ”sastra koran” yang dalam konteks ini dipandang sebagai fenomena kelima. Gejala ini mulai muncul di pengujung dasawarsa 90-an dengan terbitnya sebuah tabloid kebudayaan milik Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan (DKD Kalsel) bernama Wanyi. Selama penerbitannya yang hanya berusia sekitar dua tahunan (dengan 36 nomor penerbitan) itu, tabloid setengah bulanan ini sempat memublikasikan puluhan judul cerpen dan puisi Banjar modern. Kemudian, setelah Wanyi tutup usia, muncul sebuah koral lokal bernama Radar Banjarmasin yang memberi tempat cukup longgar bagi pemuatan karya-karya sastra Banjar Modern. Meski tidak bisa terbit secara teratur, terutama lantaran ketiadaan naskah yang masuk, sejak tahun 2003 hingga sekarang setidak-tidaknya sudah tercatat dua puluhan judul cerpen Banjar yang disiarkan melalui rubrik ”Cakrawala Sastra & Budaya” Radar Banjarmasin yang kebetulan digawangi oleh seorang cerpenis pula, Sandi Firly.

Selanjutnya, merupakan fenomena keenam, adalah munculnya karya-karya sastra Banjar modern di ruang maya bernama internet (sastra-cyber). Melalui situs http://www. urangbanjar.com yang pernah dibidani Erwin D. Nugroho dan (terutama) Ersis Warmansyah Abbas, misalnya, kita dapat menemukan beberapa puisi dan cerpen Banjar karya Arsyad Indradi, Hamami Adaby, dan Jamal T. Suryanata. Akan tetapi, sejauh pengamatan saya, hingga sekarang fenomena baru sastra Banjar di ruang maya ini tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hal serupa juga terjadi pada dua situs lain yang digagas oleh komunitas orang Banjar di Malaysia, yakni http://www.geocities.com/Tokyo/Palace/ 5830/teater.html dan http://www.geocities.com/ Tokyo/Palace/5830/Pbanjar.htm.

Terkait dengan kedua situs yang disebut terakhir, saya juga menemukan suatu gejala baru dalam perkembangan sastra Banjar modern. Fenomena ketujuh ini adalah munculnya tradisi ”sastra Banjar serantau” dari beberapa komunitas penulis sastra Banjar modern di negeri jiran Malaysia yang dalam konsep sosiopolitis ius sanguinus mereka memang warga (keturunan) Banjar. Para penulis dan pengembang ”sastra Banjar serantau” tersebut antara lain berkhidmat di bawah naungan sebuah organisasi bernama Pertubuhan Banjar Malaysia. Beberapa tahun silam, organisasi orang Banjar-Malaysia ini bahkan pernah menggelar sebuah even sayembara penulisan cerpen bertajuk Pertandingan Mengarang dalam Bahasa Banjar Anjuran Pertubuhan Banjar Malaysia (1999). Dari even sayembara tersebut keluar tujuh cerpen Banjar sebagai pemenangnya; secara runtut, tiga naskah pemenang utama masing-masing berjudul ”Tuhalus” (Abdul Majid bin Lazim), ”Taganang” (Pn Hjh Norsiah bt Asaari), dan ”Kaingatan” (Mohamad Farid Alsafari bin Hj Ambiah), di samping empat pemenang saguhati yang masing-masing berjudul ”Lucung” (Ismail bin Najar), ”Banjar... Oh... Banjarku” (Mohamad Azlan Ali Bashah), ”Talajak” (Asari bin Osman), dan ”Batuahkah” (Tuan Haji Abdul Wahab bin Othman).

Terakhir, merupakan fenomena kedelapan yang dapat saya catatkan, adalah semakin dominannya pengaruh bahasa Indonesia ke dalam karya-karya sastra Banjar modern. Gejala ini terutama sekali muncul belakangan seiring dengan semakin maraknya tradisi penerbitan buku sastra di daerah ini sejak awal tahun 2000-an yang lalu. Sebagaimana juga telah saya singgung sebelumnya, kalau tidak hendak disebut sebagai karya terjemahan, maka karya-karya sastra Banjar modern (khususnya puisi) semacam ini paling tidak harus dikatakan karya bercorak terjemahan oleh karena bentuk (terutama dari aspek bahasanya) maupun isinya tidak lagi khas mencerminkan lokalitas Banjar.

/ 3 /
Demikianlah, sebagaimana sastra Indonesia modern dan tradisi-tradisi lainnya di berbagai belahan dunia, sastra Banjar modern telah tumbuh berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Akan tetapi, perkembangan sastra Banjar modern tentunya perlu dijaga dan digiring sedemikian rupa agar kelak tidak justru kehilangan identitasnya sebagai sastra daerah. Sebab, kalau sastra daerah sudah kehilangan jatidirinya, lalu apa bedanya dengan tradisi sastra lainnya? Apakah sastra Banjar masih bisa dibedakan dengan sastra Indonesia hanya dengan melihat aspek lokalitasnya, unsur sosiokulturalnya, atau segala sesuatu yang terkait dengan etnografi orang Banjarnya? Maka, kalau ada unsur yang harus dijaga ketat, itu adalah kemurnian bahasa yang menjadi mediumnya.

Sekarang, bagaimana masa depan sastra Banjar? Bagaimana prospek perkembangan sastra Banjar modern hingga setengah abad mendatang? Haruskah kita melakukan rekonsepsi atas modernitas yang terjadi dalam sastra Banjar modern selama ini? Apakah penyempitan atau perluasan terhadap definisi sastra Banjar akan sama berpengaruh buruk terhadap perkembangan sastra Banjar di masa-masa mendatang? Setidaknya, jawaban aksiologis untuk serentetan pertanyaan itulah yang tidak bisa saya urai-jelaskan sekarang secara panjang-lebar.

Akan tetapi, menyoal masa depannya, satu hal yang dapat saya pastikan bahwa eksistensi (tumbuh-berkembangnya atau hilang-lenyapnya) sastra Banjar modern di kemudian hari sangat ditentukan oleh kondusif-tidaknya sistem makro-sastranya yang ada sekarang dan akan datang. Maka, dengan pola pikir sistemik, masalah tersebut bukan saja bergantung pada apresiasi yang sehat dari masyarakat pendukungnya atau sistem penerbitan dan ketersediaan ruang publikasinya, melainkan juga (baca: lebih-lebih lagi) produktivitas dan kreativitas para pengarangnya. Buktinya, masyarakat sastra selalu menanti munculnya karya-karya sastra Banjar modern di harian Radar Banjarmasin, tetapi hingga hari ini pihak redaktur senantiasa merasa kekurangan naskah yang masuk. Namun, dalam selimut problematik yang terus berjalin-kelindan itu, tentu saja urusan pelestarian dan pengembangan aset penting kesenian daerah ini harus menjadi perhatian kita bersama.

Membaca Jejak Perpuisian Indonesia Terkini

Oleh : Jamal T. Suryanata


Tak dapat disangkal bahwa dunia perpuisian Indonesia telah mengalami perkembangan yang demikian pesat, terutama sejak dekade 80-an hingga tahun-tahun pertama di abad baru ini. Indikasi tersebut, antara lain, dapat kita lihat dari semakin banyaknya nama baru yang muncul menggoreskan sejarahnya dalam kancah kepenyairan Indonesia modern yang telah menghasilkan karya-karya terbaiknya. Namun, oleh karena sejarah merupakan suatu mata rantai, kiranya tak pula dapat dimungkiri bahwa jejak-jejak estetik kepenyairan sebelumnya masih tampak mewarnai karya-karya penyair yang muncul kemudian. Sebutlah nama-nama Amir Hamzah, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardojo, Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, atau Abdul Hadi WM yang hingga kini karya-karya mereka masih tetap dibaca ulang dan dibicarakan dalam berbagai kesempatan.

Di antara jejeran nama tersebut, dalam beberapa segi sosok Chairil Anwar-lah yang seringkali dipandang paling identik dengan citra perpuisian dan kepenyairan Indonesia modern. Karya-karyanya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, sebagaimana terbukti bahwa sajak-sajaknya yang tak mencapai seratus buah itu sampai saat ini masih diterbitkan orang – di dalam maupun di luar negeri – dalam berbagai versi semisal buku Aku ini Binatang Jalang (1991) dan Derai-derai Cemara (2000). Kenyataan ini berbeda dengan sosok Sutardji yang di tahun 1970-an pernah mencapai puncak menara gadingnya hingga awal 1980-an, tetapi kemudian memudar perlahan bersama stagnasi proses kreatif kepenyairannya, setidak-tidaknya sejak penghujung dekade 80-an. Kendati dalam suatu wawancara sang “Predisen Penyair” ini pernah “berjanji” untuk menemukan puncak-puncak baru pasca-kredo-puisinya yang mencoba melepaskan kata dari beban makna itu, nyatanya sekarang ia tampak sudah kehabisan napas untuk mewujudkan keinginan tersebut. Kalaupun, misalnya, ada sebuah buku baru yang lahir dari tangannya, Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 (2001), tetapi kehadiran kumpulan esai (komentar-komentarnya untuk sajak-sajak yang dimuat dalam rubrik “Bentara” di Kompas) tersebut tampaknya tidak cukup mampu untuk memulihkan kredibilitas kepenyairannya yang sudah terlanjur loyo.

Bertolak dari kasus Sutardji di atas, satu hal yang tampak mengemuka bahwa perdobrakan estetik yang dilakukannya ternyata tidak membuahkan sesuatu yang langgeng, meski dapat dianggap monumental. Setelah trend sajak-sajak-mantra mencapai puncaknya melalui O, Amuk, Kapak (1981), di awal tahun 1990-an Sutardji justru telah mengingkari kredo kepenyairannya sendiri dengan kembali pada pangkuan puisi konvensional. Hal ini dapat kita lihat dari kelima sajaknya yang dimuat dalam majalah Horison (No.3 Th.XXV, Maret 1991) – masing-masing berjudul “Cermin”, “Pemulung”, “Idul Fitri”, Berdepan-depan dengan Ka’bah”, dan “David Copperfield, Realities’90” – yang semuanya menunjukkan bahwa ia harus kembali tunduk pada konvensi bahasa dan kekuatan makna kata. Jadi, dari kasus ini dapat kita asumsikan betapa puisi-puisi konvensional lebih bisa bertahan dibandingkan dengan karya-karya yang bertolak dari estetika kepenyairan yang eksklusif seperti puisi-mantra, puisi-mbeling, atau puisi-konkret. Kenyataan inilah yang terjadi pada karya-karya Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, dan sejumlah nama lainnya.

Di sepanjang dasawarsa 80-an, sederet nama baru bermunculan mengisi ruang perpuisian Indonesia modern. Pesta “Puisi Indonesia ‘87” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki (DKJ-TIM) telah mengantarkan sejumlah nama penyair muda ke dalam elite kepenyairan Indonesia sebagai generasi lanjutan. Mereka, antara lain, adalah Afrizal Malna, Ahmadun Y. Herfanda, Agus R. Sarjono, Ahmad Nulullah, Ahmad Subhanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Soni Farid Maulana, Gus tf, Jamal D. Rahman, Dorothea Rosa Herliany, Abidah el-Khalieqy, dan Omi Intan Naomi – sekadar menyebut beberapa nama di antaranya. Dari generasi ini, sosok penyair muda yang paling berpengaruh dalam peta perpuisian Indonesia hingga memasuki awal abad ke-21 ini adalah Afrizal Malna. Eksistensi dan sosok kepenyairan Afrizal, dalam beberapa segi, dapat disetarakan dengan kedudukan para penyair kanonik semacam Amir Hamzah (1930-an), Chairil Anwar (1940-an), atau Sutardji Calzoum Bachri (1970-an). Baik dari segi bentuk maupun isinya, sajak-sajak Afrizal memang telah membawa warna baru dalam estetika perpuisian Indonesia. Ia hadir dengan estetika sastra postmodern, sastra urban yang lahir dari gejolak dan kompleksitas komunikasi massa yang meniupkan ruh pada dunia benda. Sajak-sajaknya sarat dengan suara-suara antroposentris dari dunia yang terus bergerak maju, diksi-diksinya penuh dengan repetisi yang keras menghentak-hentak, metafor-metafornya merepresentasikan “aku-aku” ideologis dari bentangan historika-filosofis. Gambaran semacam itu dapat kita tangkap dalam serangkaian sajaknya yang terhimpun dalam antologi Abad yang Berlari (1984), Yang Berdiam dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Kalung dari Teman (2001), dan Tak Ada Anjing di Rahim Bunda (2003).

Kecuali sebagai penyair, selama dasawarsa 90-an sosok Afrizal dikenal pula sebagai pengamat perpuisian dan teater Indonesia mutakhir yang paling rajin melontarkan gagasan-gagasannya melalui esai-esai dan diskusi dalam berbagai forum diskusi sastra-budaya. Esai-esainya yang secara khusus mengupas dialektika perpuisian Indonesia telah diterbitkan dalam sebuah buku tebal (mencapai 580 halaman) bertajuk Sesuatu Indonesia: Personifikasi dari Pembaca-yang-Tak-Bersih (2000). Dominasi estetika kepenyairan Afrizal Malna yang khas itu kemudian telah membentuk semacam totemisme-transformatif dengan munculnya sajak-sajak bergaya “Afrizalian” selama paro terakhir dekade 90-an. Isu besar ini, paling tidak, sempat hangat mengemuka dalam sebuah perhelatan akbar yang juga digelar DKJ di TIM, “Mimbar Penyair Abad 21” (1996).

Sekarang, bagaimana wajah perpuisian Indonesia terkini? – harap mafhum, konteks “terkini” dalam hal ini terutama merujuk pada karya-karya yang lahir di sepanjang dekade 90-an hingga memasuki tahun-tahun pertama abad ke-21. Mengingat bahwa dunia perpuisian merupakan sebuah mata rantai, jelas kiranya perkembangan puisi Indonesia hari ini tidak bisa benar-benar dilepaskan dari rangka sejarahnya yang panjang. Terdapatnya berbagai kemungkinan estetik yang cenderung hanya “meniru-niru” atau sekadar “menambal sulam” pola-pola yang telah ada tentu saja harus dipahami sebagai suatu gejala yang lumrah. Bagaimanapun, kata Michael Riffaterre dalam Semiotics of Poetry-nya (1978), fenomena sastra merupakan sebuah dialektika antara teks dan pembaca. Di sini, jika penyair termasuk makhluk langka yang disebut Riffaterre sebagai super-reader, terjadinya proses intertekstualitas tentunya selalu menjadi sesuatu yang mungkin. Proses intertekstualits itu sendiri pada akhirnya akan menimbulkan dua gejala sastra; di satu pihak ia dapat berupa sekadar “peniruan” dan kelak memunculkan epigon-epigon, tetapi di lain pihak ia mungkin muncul dalam bentuk “pengingkaran” yang kemudian melahirkan para penyair perbaru pada zamannya masing-masing.

Ketika trend “sajak-mantra”-nya Sutardji sedang hangat mengemuka hingga tahun 1980-an, misalnya, banyak penyair muda yang hanya pandai mengekor dengan mencoba-coba menulis sajak yang hanya berupa rangkaian bunyi berulang-ulang atau sekadar memanipulasi kata hingga tampak bebas dari beban makna (leksikal). Lalu, Afrizal tampil dengan menyajikan bentuk-bentuk pengingkaran sehingga namanya mencuat di atas penyair muda lainnya. Demikianlah manakala trend “Afrizalian” sedang ramai diperbincangkan, T. Wijaya melalui kumpulan sajaknya Dari Pesan Nyonya (1996) seakan ingin mengukuhkan namanya sebagai pengagum berat tradisi kepenyairan Afrizal Malna dan sekaligus harus dicatat sebagai seorang epigon tipikalnya. Namun, dengan semangat penentangannya, pada fase yang sama Agus R. Sarjono justru tampil sebagai “pahlawan” pendobrak konvensi kepenyairan semacam itu. Kendati, sebagaimana tampak melalui sejumlah sajaknya yang terhimpun dalam antologi Kenduri Air Mata (1996), gaya pengucapan Agus pun sesungguhnya belum bisa keluar terlalu jauh dari garis estetika perpuisian Indonesia yang sedang dininabobokan dunia benda tersebut.

Jika ada asumsi bahwa tradisi perpuisian Indonesia terkini sudah terkerangka atau bahkan terjebak dalam penyeragaman, sejauh mana kebenarannya? Dalam konteks ini, istilah “penyeragaman” itu sendiri tentu saja masih dapat dipertanyakan kembali, kemana arahnya? Lepas dari kemungkinan distorsi dan pengacauan maknanya, jika kita cermati perkembangan perpuisian Indonesia mutakhir jelas di sini tidak akan berlaku kata “penyeragaman” – bentuk maupun isi. Ahmadun Y. Herfanda, Ahmad Subhanuddin Alwy, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Jamal D. Rahman, Abidah el-Khaliqie, Aslan A. Abidin, dan Amien Wangsitalaja tetap memarakkan obor sajak-sajak bernuansa religius. Sitok Sringenge, Dorothea Rosa Herliani, Nenden Lilis A, Beni R. Budiman, Cecep Syamsul Hari, HU Mardiluhung, Arif B. Prasetyo, Adri Sandra, Iyut Fitra, atau Oka Rusmini tampak masih sayu-sayup menyanyikan lirik-lirik imagisnya. Lalu, ada juga Joko Pinurbo dan kawan-kawan yang secara guyon menyuarakan kritik sosialnya. Dengan begitu, bukannya kita kini sedang beramai-ramai menuju kandang bernama “penyeragaman”, melainkan telah berlarian memencar ke segala ceruk “keberagaman” dengan semangat kemerdekaan.

Barangkali, dengan mencoba bertitik tolak dari fakta-fakta yang ada, pada sepuluh tahun mendatang dapatlah diprediksikan bahwa sajak-sajak yang akan muncul kemudian tidak akan bergerak terlampau jauh dari kisaran estetika perpuisian Indonesia terkini. Setidaknya, hari ini kita dapat menghitung-hitung berapa jumlah penyair gaek yang benar-benar masih eksis berkarya, nama-nama penyair “Abad 21” yang masih tampak gamang di tempatnya berpijak, juga wajah-wajah baru yang sedang berusaha bersaing memasuki percaturan sastra Indonesia mutakhir? Adakah sesuatu yang pantas untuk dicatat? Rasanya tak ada napas baru, belum ada warna baru di sini.