Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Senin, 22 Februari 2010

Membaca Jejak Perpuisian Indonesia Terkini

Oleh : Jamal T. Suryanata


Tak dapat disangkal bahwa dunia perpuisian Indonesia telah mengalami perkembangan yang demikian pesat, terutama sejak dekade 80-an hingga tahun-tahun pertama di abad baru ini. Indikasi tersebut, antara lain, dapat kita lihat dari semakin banyaknya nama baru yang muncul menggoreskan sejarahnya dalam kancah kepenyairan Indonesia modern yang telah menghasilkan karya-karya terbaiknya. Namun, oleh karena sejarah merupakan suatu mata rantai, kiranya tak pula dapat dimungkiri bahwa jejak-jejak estetik kepenyairan sebelumnya masih tampak mewarnai karya-karya penyair yang muncul kemudian. Sebutlah nama-nama Amir Hamzah, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardojo, Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, atau Abdul Hadi WM yang hingga kini karya-karya mereka masih tetap dibaca ulang dan dibicarakan dalam berbagai kesempatan.

Di antara jejeran nama tersebut, dalam beberapa segi sosok Chairil Anwar-lah yang seringkali dipandang paling identik dengan citra perpuisian dan kepenyairan Indonesia modern. Karya-karyanya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, sebagaimana terbukti bahwa sajak-sajaknya yang tak mencapai seratus buah itu sampai saat ini masih diterbitkan orang – di dalam maupun di luar negeri – dalam berbagai versi semisal buku Aku ini Binatang Jalang (1991) dan Derai-derai Cemara (2000). Kenyataan ini berbeda dengan sosok Sutardji yang di tahun 1970-an pernah mencapai puncak menara gadingnya hingga awal 1980-an, tetapi kemudian memudar perlahan bersama stagnasi proses kreatif kepenyairannya, setidak-tidaknya sejak penghujung dekade 80-an. Kendati dalam suatu wawancara sang “Predisen Penyair” ini pernah “berjanji” untuk menemukan puncak-puncak baru pasca-kredo-puisinya yang mencoba melepaskan kata dari beban makna itu, nyatanya sekarang ia tampak sudah kehabisan napas untuk mewujudkan keinginan tersebut. Kalaupun, misalnya, ada sebuah buku baru yang lahir dari tangannya, Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 (2001), tetapi kehadiran kumpulan esai (komentar-komentarnya untuk sajak-sajak yang dimuat dalam rubrik “Bentara” di Kompas) tersebut tampaknya tidak cukup mampu untuk memulihkan kredibilitas kepenyairannya yang sudah terlanjur loyo.

Bertolak dari kasus Sutardji di atas, satu hal yang tampak mengemuka bahwa perdobrakan estetik yang dilakukannya ternyata tidak membuahkan sesuatu yang langgeng, meski dapat dianggap monumental. Setelah trend sajak-sajak-mantra mencapai puncaknya melalui O, Amuk, Kapak (1981), di awal tahun 1990-an Sutardji justru telah mengingkari kredo kepenyairannya sendiri dengan kembali pada pangkuan puisi konvensional. Hal ini dapat kita lihat dari kelima sajaknya yang dimuat dalam majalah Horison (No.3 Th.XXV, Maret 1991) – masing-masing berjudul “Cermin”, “Pemulung”, “Idul Fitri”, Berdepan-depan dengan Ka’bah”, dan “David Copperfield, Realities’90” – yang semuanya menunjukkan bahwa ia harus kembali tunduk pada konvensi bahasa dan kekuatan makna kata. Jadi, dari kasus ini dapat kita asumsikan betapa puisi-puisi konvensional lebih bisa bertahan dibandingkan dengan karya-karya yang bertolak dari estetika kepenyairan yang eksklusif seperti puisi-mantra, puisi-mbeling, atau puisi-konkret. Kenyataan inilah yang terjadi pada karya-karya Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, dan sejumlah nama lainnya.

Di sepanjang dasawarsa 80-an, sederet nama baru bermunculan mengisi ruang perpuisian Indonesia modern. Pesta “Puisi Indonesia ‘87” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki (DKJ-TIM) telah mengantarkan sejumlah nama penyair muda ke dalam elite kepenyairan Indonesia sebagai generasi lanjutan. Mereka, antara lain, adalah Afrizal Malna, Ahmadun Y. Herfanda, Agus R. Sarjono, Ahmad Nulullah, Ahmad Subhanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Soni Farid Maulana, Gus tf, Jamal D. Rahman, Dorothea Rosa Herliany, Abidah el-Khalieqy, dan Omi Intan Naomi – sekadar menyebut beberapa nama di antaranya. Dari generasi ini, sosok penyair muda yang paling berpengaruh dalam peta perpuisian Indonesia hingga memasuki awal abad ke-21 ini adalah Afrizal Malna. Eksistensi dan sosok kepenyairan Afrizal, dalam beberapa segi, dapat disetarakan dengan kedudukan para penyair kanonik semacam Amir Hamzah (1930-an), Chairil Anwar (1940-an), atau Sutardji Calzoum Bachri (1970-an). Baik dari segi bentuk maupun isinya, sajak-sajak Afrizal memang telah membawa warna baru dalam estetika perpuisian Indonesia. Ia hadir dengan estetika sastra postmodern, sastra urban yang lahir dari gejolak dan kompleksitas komunikasi massa yang meniupkan ruh pada dunia benda. Sajak-sajaknya sarat dengan suara-suara antroposentris dari dunia yang terus bergerak maju, diksi-diksinya penuh dengan repetisi yang keras menghentak-hentak, metafor-metafornya merepresentasikan “aku-aku” ideologis dari bentangan historika-filosofis. Gambaran semacam itu dapat kita tangkap dalam serangkaian sajaknya yang terhimpun dalam antologi Abad yang Berlari (1984), Yang Berdiam dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Kalung dari Teman (2001), dan Tak Ada Anjing di Rahim Bunda (2003).

Kecuali sebagai penyair, selama dasawarsa 90-an sosok Afrizal dikenal pula sebagai pengamat perpuisian dan teater Indonesia mutakhir yang paling rajin melontarkan gagasan-gagasannya melalui esai-esai dan diskusi dalam berbagai forum diskusi sastra-budaya. Esai-esainya yang secara khusus mengupas dialektika perpuisian Indonesia telah diterbitkan dalam sebuah buku tebal (mencapai 580 halaman) bertajuk Sesuatu Indonesia: Personifikasi dari Pembaca-yang-Tak-Bersih (2000). Dominasi estetika kepenyairan Afrizal Malna yang khas itu kemudian telah membentuk semacam totemisme-transformatif dengan munculnya sajak-sajak bergaya “Afrizalian” selama paro terakhir dekade 90-an. Isu besar ini, paling tidak, sempat hangat mengemuka dalam sebuah perhelatan akbar yang juga digelar DKJ di TIM, “Mimbar Penyair Abad 21” (1996).

Sekarang, bagaimana wajah perpuisian Indonesia terkini? – harap mafhum, konteks “terkini” dalam hal ini terutama merujuk pada karya-karya yang lahir di sepanjang dekade 90-an hingga memasuki tahun-tahun pertama abad ke-21. Mengingat bahwa dunia perpuisian merupakan sebuah mata rantai, jelas kiranya perkembangan puisi Indonesia hari ini tidak bisa benar-benar dilepaskan dari rangka sejarahnya yang panjang. Terdapatnya berbagai kemungkinan estetik yang cenderung hanya “meniru-niru” atau sekadar “menambal sulam” pola-pola yang telah ada tentu saja harus dipahami sebagai suatu gejala yang lumrah. Bagaimanapun, kata Michael Riffaterre dalam Semiotics of Poetry-nya (1978), fenomena sastra merupakan sebuah dialektika antara teks dan pembaca. Di sini, jika penyair termasuk makhluk langka yang disebut Riffaterre sebagai super-reader, terjadinya proses intertekstualitas tentunya selalu menjadi sesuatu yang mungkin. Proses intertekstualits itu sendiri pada akhirnya akan menimbulkan dua gejala sastra; di satu pihak ia dapat berupa sekadar “peniruan” dan kelak memunculkan epigon-epigon, tetapi di lain pihak ia mungkin muncul dalam bentuk “pengingkaran” yang kemudian melahirkan para penyair perbaru pada zamannya masing-masing.

Ketika trend “sajak-mantra”-nya Sutardji sedang hangat mengemuka hingga tahun 1980-an, misalnya, banyak penyair muda yang hanya pandai mengekor dengan mencoba-coba menulis sajak yang hanya berupa rangkaian bunyi berulang-ulang atau sekadar memanipulasi kata hingga tampak bebas dari beban makna (leksikal). Lalu, Afrizal tampil dengan menyajikan bentuk-bentuk pengingkaran sehingga namanya mencuat di atas penyair muda lainnya. Demikianlah manakala trend “Afrizalian” sedang ramai diperbincangkan, T. Wijaya melalui kumpulan sajaknya Dari Pesan Nyonya (1996) seakan ingin mengukuhkan namanya sebagai pengagum berat tradisi kepenyairan Afrizal Malna dan sekaligus harus dicatat sebagai seorang epigon tipikalnya. Namun, dengan semangat penentangannya, pada fase yang sama Agus R. Sarjono justru tampil sebagai “pahlawan” pendobrak konvensi kepenyairan semacam itu. Kendati, sebagaimana tampak melalui sejumlah sajaknya yang terhimpun dalam antologi Kenduri Air Mata (1996), gaya pengucapan Agus pun sesungguhnya belum bisa keluar terlalu jauh dari garis estetika perpuisian Indonesia yang sedang dininabobokan dunia benda tersebut.

Jika ada asumsi bahwa tradisi perpuisian Indonesia terkini sudah terkerangka atau bahkan terjebak dalam penyeragaman, sejauh mana kebenarannya? Dalam konteks ini, istilah “penyeragaman” itu sendiri tentu saja masih dapat dipertanyakan kembali, kemana arahnya? Lepas dari kemungkinan distorsi dan pengacauan maknanya, jika kita cermati perkembangan perpuisian Indonesia mutakhir jelas di sini tidak akan berlaku kata “penyeragaman” – bentuk maupun isi. Ahmadun Y. Herfanda, Ahmad Subhanuddin Alwy, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Jamal D. Rahman, Abidah el-Khaliqie, Aslan A. Abidin, dan Amien Wangsitalaja tetap memarakkan obor sajak-sajak bernuansa religius. Sitok Sringenge, Dorothea Rosa Herliani, Nenden Lilis A, Beni R. Budiman, Cecep Syamsul Hari, HU Mardiluhung, Arif B. Prasetyo, Adri Sandra, Iyut Fitra, atau Oka Rusmini tampak masih sayu-sayup menyanyikan lirik-lirik imagisnya. Lalu, ada juga Joko Pinurbo dan kawan-kawan yang secara guyon menyuarakan kritik sosialnya. Dengan begitu, bukannya kita kini sedang beramai-ramai menuju kandang bernama “penyeragaman”, melainkan telah berlarian memencar ke segala ceruk “keberagaman” dengan semangat kemerdekaan.

Barangkali, dengan mencoba bertitik tolak dari fakta-fakta yang ada, pada sepuluh tahun mendatang dapatlah diprediksikan bahwa sajak-sajak yang akan muncul kemudian tidak akan bergerak terlampau jauh dari kisaran estetika perpuisian Indonesia terkini. Setidaknya, hari ini kita dapat menghitung-hitung berapa jumlah penyair gaek yang benar-benar masih eksis berkarya, nama-nama penyair “Abad 21” yang masih tampak gamang di tempatnya berpijak, juga wajah-wajah baru yang sedang berusaha bersaing memasuki percaturan sastra Indonesia mutakhir? Adakah sesuatu yang pantas untuk dicatat? Rasanya tak ada napas baru, belum ada warna baru di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar