Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Kamis, 03 Maret 2011

Sastra Banjar: Sebuah Orientasi Teoretis

/ 1 /
Antara akhir Juni 2005 hingga awal Januari 2006, di harian Radar Banjarmasin pernah berlangsung sebuah polemik seputar persoalan sastra Banjar yang sejauh pengetahuan saya merupakan polemik sastra terheboh dan terpanjang dalam sejarah sastra di Kalimantan Selatan. Sejumlah kritikus, pengamat, dan sastrawan lokal pun terlibat di dalamnya. Esai-esai polemis yang ditulis oleh Jamal T. Suryanata, Sainul Hermawan, Jarkasi, Burhanuddin Soebely, Fatchul Mu’in, Tarman Effendi Tarsyad, Harie Insani Putra, dan Setia Budhi yang ikut meramaikan polemik tersebut kemudian dihimpun, disunting, dan diterbitkan atas prakarsa Jarkasi dan Sainul Hermawan hingga menjadi sebuah buku penting yang kehadirannya telah menambah mitra pustaka di antara sedikit referensi mengenai sastra (daerah) Banjar.

Lepas dari soal terjadinya pergeseran tematis yang semula bertolak pada rasa kekhawatiran terhadap masa depan dan problem pengembangan sastra Banjar, hal yang kemudian menjadi fokus diskusi dalam polemik tersebut justru lebih memusat pada persoalan teoritis dalam upaya menjawab sebuah pertanyaan: apakah yang hendak disebut sastra Banjar itu? Bagi para sastrawan kreatif hal ini mungkin dipandang sebagai pekerjaan konyol, bahkan tak ada gunanya. Akan tetapi, terutama bagi kaum akademisi, pertanyaan ontologis semacam itu tampaknya sangat signifikan untuk dikemukakan manakala orang ingin membedakan antara ”sastra Banjar” dengan tradisi-tradisi sastra tertentu lainnya (sastra Jawa, sastra Sunda, sastra Bali, dan lain-lain). Masalah tersebut juga menjadi penting karena, sejauh yang saya ketahui, hingga polemik itu berlangsung belum ada satu definisi pun yang rumusannya dipandang universal sehingga dapat menjadi rujukan bersama dalam setiap pembicaraan mengenai konsep sastra Banjar. Dalam arti, rumusan tersebut tidak hanya mengacu pada atau mewakili genre dan periode tertentu saja, tetapi dapat berlaku umum sehingga relatif mampu mengakomodasi dan sekaligus merepresentasikan seluruh khazanah sastra Banjar –mulai dari periode sastra klasik hingga ke era sastra modernnya.

/ 2 /
Sebagaimana dapat kita baca melalui sejumlah literatur kesastraan yang ada, dalam upaya pendefinisian suatu tradisi sastra para ahli teori dan sejarah sastra pada umumnya menggunakan tiga aspek sebagai kriteria identifikasinya, yaitu (a) bahasa yang menjadi mediumnya, (b) unsur sosiokultural yang tercermin dalam karya-karya sastranya, dan (c) faktor kewarganegaraan atau kebangsaan (termasuk etnisitas) para pengarangnya. Dari ketiga aspek tersebut, orang dapat saja memilih salah satu di antaranya sebagai kriteria utama, tetapi dapat pula menggabungkan dua aspek atau bahkan mengenakan ketiga-tiganya secara integral bila kehadiran semua unsur tersebut memang dipandang signifikan.

Dalam berbagai tradisi sastra, khasnya tradisi sastra nasional, kriteria yang digunakan tampaknya memang berbeda-beda. Sastra India, misalnya, lebih cenderung mengenakan aspek kewarganegaraan pengarangnya sebagai patokan atau identitas utamanya. Dengan demikian, sastra India mencakup seluruh karya sastra yang hidup dan berkembang di negeri itu dan ditulis oleh para pengarang berkewarganegaraan India, tanpa begitu mempertimbangkan bahwa karya-karya tersebut diungkapkan dalam berbagai bahasa yang berkembang di sana (bahasa Urdu, Hindi, Persi, Benggali, dan bahkan Inggris).

Berbeda dengan tradisi sastra India, ketika mencobarumuskan definisi sastra Inggris, J. Burgess Wilson justru memilih aspek bahasanya saja sebagai kriteria utama. “English literature is literature written in English,” demikian tulis Wilson. Namun, ia masih merasa perlu menambahkan, ”It is not merely the literature of England or the British Isles, but a vast and growing body of writings made up of the work of authors who use the English language as a natural medium of communication. In other words, the ‘English’ or ‘English literature’ refers not to a nation but to a language.”

Di Indonesia, dalam usaha menjawab pertanyaan “Apakah sastra Indonesia itu?”, Sapardi Djoko Damono bahkan mengemukakan dua rumusan alternatif oleh karena kompleksnya permasalahan yang dihadapi. Pertama, sastra Indonesia adalah “karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia.” Pandangan semacam inilah agaknya yang menjadi dasar pembagian keseluruhan sastra Indonesia menjadi dua periode, yaitu sastra Melayu klasik dan sastra Indonesia modern. Sastra Melayu klasik termasuk ke dalam sastra Indonesia karena bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Dengan demikian, seluruh karya sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa lain yang ada di Indonesia bukanlah sastra Indonesia, tetapi sastra daerah namanya. Namun begitu, perlu dicatat bahwa sastra berbahasa Melayu yang berkembang di Malaysia, misalnya, juga tidak disebut sastra Indonesia oleh karena faktor perbedaan kewarganeragaraan penulisnya. Maka, dalam konteks ini, rumusan tersebut kiranya perlu dilengkapi menjadi “karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh penulis berkewarganegaraan Indonesia, tak peduli apakah mereka tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri.”

Alternatif kedua, menurut Damono, sastra Indonesia adalah “karya sastra yang ditulis oleh warga negara Indonesia dalam bahasa-bahasa yang ada di Indonesia.” Dengan demikian, pengertian ini mencakup seluruh karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia oleh para pengarang yang notabene berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, di samping sastra berbahasa Indonesia, di dalamnya termasuk pula karya-karya sastra berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Batak, Bugis, dan sastra-sastra berbahasa daerah lainnya –juga karya-karya sastra berbahasa Banjar, tentunya. Karena itu, jika kita menyusun sebuah antologi lengkap sastra Indonesia, maka antologi tersebut seyogianya akan memuat karya-karya sastra dari para pengarang klasik dari abad-abad silam (Hamzah Fansuri, Hasan Mustapa, Ronggowarsito, dan sederet nama lagi) sampai karya-karya para pengarang modern (Amir Hamzah, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Taufiq Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Afrizal Malna, Ayu Utami, Habiburrahman el-Syirazy, dan sejumlah pengarang Indonesia mutakhir lainnya).

Baik batasan yang telah dikemukakan Wilson (untuk sastra Inggris) maupun kedua definisi alternatif yang ditawarkan Damono (untuk sastra Indonesia) pada dasarnya hanya dapat diterima sekadar suatu upaya guna mengidentifikasi dan merumuskan pengertian mengenai tradisi sastra tertentu sehingga dapat dibedakan dari tradisi sastra lainnya, bukan sebagai rumusan yang final. Sebab, setiap kriteria yang dicobakenakan untuk mendefinisikan suatu tradisi sastra pada dasarnya selalu memiliki celah kelemahannya masing-masing. Juga, sesuai dengan dialektika keilmuan, setiap definisi sastra yang dirumuskan senantiasa bersifat tentatif karena selalu ada peluang untuk dimasuki dari perspektif yang berbeda. Namun, bagaimanapun, dalam rangka pembahasan ini kiranya dialektika semacam itu baik juga kita masuki.

Pertama, jika kita menggunakan aspek bahasa sebagai satu-satunya kriteria untuk menentukan suatu tradisi sastra (khasnya sastra nasional), ada kemungkinan batasan yang dirumuskan akan terlalu luas atau malah terlampau sempit. Untuk kasus sastra Inggris, misalnya, pada kenyataannya tidak setiap karya sastra yang diungkapkan dalam bahasa Inggris dapat begitu saja digolongkan sebagai sastra Inggris. Sebab, sebagaimana kita ketahui, sastra Amerika juga menggunakan bahasa Inggris sebagai medium cipta sastranya. Akan tetapi, sastra Amerika adalah sastra Amerika dan bukannya sastra Inggris. Oleh karena itu, kendati Ernest Hemingway menulis novel dalam bahasa Inggris, misalnya, tetapi orang tidak pernah menyebutnya sebagai novelis Inggris melainkan sebagai novelis Amerika. Hal serupa berlaku pula untuk tradisi sastra nasional di beberapa negara lain, terutama pada negara-negara yang memang secara resmi mengakui bahasa Inggris sebagai bahasa negara atau bahasa nasionalnya.

Untuk kasus seperti di atas, masalahnya tentu berkenaan dengan faktor kewarganegaraan pengarangnya, di samping memang terdapat perbedaan mendasar pada sejarah dan tradisi bahasanya (antara American English dan Britanian English). Selain itu, dalam penyebutan sastra Inggris juga terdapat perbedaan konseptual antara British Literature (sastra nasional Inggris) dengan English Literature (sastra berbahasa Inggris yang berkembang di berbagai negara). Oleh karena itu, jika kita mengacu pada perbedaan konseptual tersebut agaknya tradisi sastra yang disebut terakhir inilah yang dimaksudkan Wilson dalam rumusannya sebagaimana telah dikutipkan di atas. Dengan demikian, definisi tersebut memang secara khusus mengacu pada konsep English Literature dan bukannya pada konsep British Literature.
Contoh lain, Leopold Sedar-Senghor disebut-sebut sebagai penyair Senegal, padahal sajak-sajaknya ditulis dalam bahasa Perancis. Demikian pula Alfonso Reyes adalah penyair Mexico, meski puisi-puisinya diungkapkan dalam bahasa Spanyol. Begitu juga yang berlaku untuk sastra India, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Dalam kasus-kasus tersebut ternyata faktor kewarganegaraan seorang pengarang tampaknya lebih menonjol daripada faktor bahasa dan refleksi sosiokultural yang tercermin dalam karya-karya sastranya. Jadi, sekali lagi, khasnya untuk kasus sastra nasional tampak bahwa aspek bahasa saja belum cukup signifikan sebagai kriteria pembeda atau identitas utama yang bersifat determinatif.

Kedua, jika aspek sosiokultural seperti yang tercermin dalam karya-karya sastranya saja yang ingin dikenakan untuk mematok suatu tradisi sastra, kriteria semacam ini tampaknya justru terlampau mempersempit wilayah jangkauan kreativitas para pengarang. Sebab, kita tahu, tidak semua karya sastra yang lahir dalam suatu lingkungan atau tradisi sastra tertentu pasti akan merefleksikan aspek-aspek sosiokultural masyarakat tempat ia dilahirkan. Tidak setiap karya sastra yang mencerminkan kultur masyarakat Amerika, misalnya, dapat begitu saja dimasukkan sebagai warga sastra Amerika. Demikian pula sastra Indonesia, tidaklah secara otomatis bahwa setiap karya sastra (berbahasa) Indonesia pasti selalu mengandung atau merefleksikan unsur sosiokultural masyarakat Indonesia sendiri.

Khusus untuk kasus sastra Indonesia, kehadiran novel Olenka dan kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington (keduanya karya Budi Darma) merupakan contoh yang sangat tipikal (untuk dijadikan rujukan dan bahan kajian perbandingan). Kendati novel dan cerpen-cerpen tersebut jelas-jelas mengambil latar kehidupan orang Amerika atau mencerminkan kultur masyarakat Amerika, tetapi pada kenyataannya ia tidak pernah diakui atau disebut-sebut sebagai karya sastra Amerika. Hal itu tentu karena novel dan cerpen-cerpen dalam kumpulan tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia, oleh pengarang berkewarganegaraan Indonesia, dan kebetulan juga diterbitkan di Indonesia. Namun, kalaupun kedua buku itu diterbitkan di Amerika juga, saya yakin hal itu tetap saja tidak akan mampu mengubah status kesastraannya sebagai warga sastra Indonesia. Jadi, dengan demikian, dalam konteks tradisi sastra nasional ternyata aspek sosiokultural saja juga tidak dapat diberlakukan secara mutlak sebagai identitas pembeda antara satu tradisi sastra dengan tradisi sastra lainnya.
Ketiga, jika aspek kewarganegaraan atau kebangsaan pengarang yang menjadi kriteria utama dalam rangka merumuskan batasan suatu tradisi sastra, syarat ini pun ternyata tidak berlaku universal. Dalam hal ini, kasus yang terjadi pada tradisi sastra nasional Malaysia agaknya cukup relevan untuk dikemukakan. Sejak puluhan tahun silam, di negeri jiran ini terdapat dua kelompok besar kepengarangan berdasarkan bahasa yang mereka pakai sebagai medium cipta sastranya. Kelompok pertama adalah para pengarang yang hanya menulis dalam bahasa Melayu, sedangkan kelompok kedua adalah para pengarang yang hanya menulis dalam bahasa Inggris. Para pengarang (berikut karya-karyanya) dari kelompok pertama secara otomatis diakui sebagai sastrawan (dan karya sastra) Malaysia. Sebaliknya, para pengarang (berikut karya-karyanya) yang tergabung dalam kelompok kedua –meski mereka juga warga negara Malaysia dan bahasa Inggris diakui sebagai salah satu bahasa resmi di sana– keberadaan mereka (berikut karya-karyanya) tampaknya belum mendapat tempat dan pengakuan sebagai sastrawan (dan karya sastra) nasional Malaysia. Kelompok sastrawan yang hanya menulis dalam bahasa Inggris ini mungkin akan terus berada dalam posisi mengambang; di satu sisi mereka tidak diakui sebagai sastrawan Malaysia (mungkin karena dianggap tidak nasionalis?) –apalagi dinobatkan sebagai “Sasterawan Negara” semisal Shahnon Ahmad dan A. Samad Said, di sisi lain keberadaan mereka (berikut karya-karyanya) juga belum tentu diakui sebagai “keluarga” sastra Inggris (terutama mengacu pada konsep British Literature). Dengan demikian, dalam konteks ini identitas penentunya lebih pada aspek bahasa, bukan pada aspek sosiokultural maupun faktor kewarganegaraan pengarangnya. Oleh karena itu, bagi para pengarang dalam kelompok kedua, satu-satunya kemungkinan untuk mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan nasional (Malaysia) adalah apabila mereka mampu melakukan migrasi bahasa secara bolak-balik, yakni menulis dalam bahasa Melayu dan bahasa Inggris sekaligus. Jika hal itu yang terjadi, maka kelompok kepengarangan dalam tradisi sastra Malaysia modern boleh jadi akan bertambah satu lagi sehingga berkembang menjadi tiga golongan.

Problem teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas akan lebih kentara apabila kriteria tersebut ingin dikenakan pada karya-karya sastra daerah. Khusus menyangkut sastra Banjar, misalnya, dewasa ini diketahui ada sejumlah pengarang berkewarganegaraan Malaysia yang telah melahirkan karya-karya sastra (berbahasa) Banjar. Memang secara etnis (menurut konsep ius sanguinus) mereka itu berasal dari (keturunan) suku Banjar, tetapi jika dilihat dari segi kewarganegaraannya (menurut konsep ius soli) jelas mereka termasuk warga negara Malaysia. Oleh karena itu, ketika mereka menulis dalam bahasa Banjar, karya-karya sastra yang mereka hasilkan tentunya tidak diakui sebagai karya sastra Malaysia (antara lain, dengan alasan, karena bahasa Banjar bukan merupakan bahasa resmi di negara tersebut). Kasus serupa juga tidak menutup kemungkinan bagi lahirnya karya-karya sastra berbahasa Jawa, Sunda, Bali, atau berbahasa daerah lainnya dari tangan para pengarang yang secara politis sebenarnya harus disebut “orang asing”. Maka, sekali lagi, dalam kasus ini pun ternyata faktor kewarganegaraan atau kebangsaan atau etnisitas seorang pengarang tidak dapat secara mutlak dijadikan sebagai identitas penentu suatu tradisi sastra, baik sastra nasional maupun sastra daerah.

/ 3 /
Bertolak dari kasus-kasus di atas, tentunya kita telah mendapatkan gambaran yang cukup memadai tentang begitu kompleksnya permasalahan dalam usaha mendefinisikan suatu tradisi sastra dan betapa nisbinya berbagai kriteria yang dicobakenakan sebagai identitas pembedanya. Namun, kendati uraian di atas terutama berbicara dalam kerangka sastra nasional, kasus-kasus tersebut setidak-tidaknya dapat juga kita jadikan sebagai dasar analogi dan atau sekadar bahan bandingan untuk kepentingan mendiskusikan definisi dan identitas sastra daerah, sastra Banjar pada khususnya. Juga, kendati pembicaraan teoritis ini ibarat orang sedang mengurai benang kusut, tetapi setidak-tidaknya kita telah memulai sebuah kerja besar dalam usaha menyusun suatu rumusan yang relatif universal mengenai pengertian sastra Banjar.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, sekadar sebagai acuan teoritis dan bahan bandingan guna merumuskan pengertian sastra Banjar, ada baiknya jika pembahasan ini kita dahului dengan menurunkan beberapa batasan atau usaha pendefinisian yang pernah ada. Sunarti dkk., misalnya, dalam usaha memberikan batasan mengenai objek penelitian mereka tentang sastra lisan Banjar telah mencoba menawarkan sebuah definisi. Sebagaimana dikemukakan, “Sastra lisan Banjar adalah sastra yang lahir, hidup, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Banjar, diwariskan turun-temurun dari mulut ke mulut.” Kemudian, dalam rangka mengidentifikasi karya-karya yang hendak dijadikan objek penelitian tersebut, mereka juga telah menentukan aspek sosiokultural yang tercermin dalam karya-karya sastra bersangkutan sebagai kriteria utamanya. Jadi, dengan demikian, identifikasi tersebut hanya mengacu pada kultur masyarakat Banjar, sedangkan masalah bahasa yang digunakan maupun aspek lain yang mungkin ada cenderung terkesampingkan.

Secara implisit, kita dapat memahami segi-segi keterbatasan rumusan tersebut karena memang hanya dimaksudkan sekadar memberikan batasan mengenai salah satu bentuk sastra Banjar, yakni khazanah sastra lisannya saja. Oleh karena itu, tentunya rumusan yang dapat berlaku umum untuk konsep sastra Banjar tidak mungkin kita dapatkan. Selain itu, jika secara harfiah kita hanya berpijak pada rumusan definisi tersebut, kemungkinan untuk melakukan kekeliruan dengan memasukkan karya-karya dari berbagai tradisi sastra yang berbeda (sastra Jawa, sastra Arab, sastra India, dan lain-lain) tentunya akan relatif besar. Namun begitu, jika kita lacak lebih lanjut perihal materi hasil penelitian yang didasarkan atas pertimbangan aspek sosiokulturalnya (sebagaimana tampak dalam buku Sastra Lisan Banjar tersebut), niscaya kita akan sampai pada simpulan lain bahwa karya-karya sastra lisan Banjar yang dijadikan objek penelitian mereka –sebagian besar telah ditranskripsi dan ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia– pada awal mulanya memang diungkapkan dalam bahasa Banjar (tepatnya bahasa Melayu-Banjar yang berkembang pada masa lalu). Jadi, secara implisit sesungguhnya terkatakan pula bahwa aspek bahasa tetap merupakan kriteria yang tak dapat diabaikan.

Sebuah rumusan lain yang agaknya dimaksudkan untuk memberikan batasan yang dapat berlaku umum mengenai pengertian sastra Banjar pernah dikemukakan dalam salah satu diktum simpulan dan atau rekomendasi dari sebuah perhelatan akbar bertajuk Musyawarah Besar Pembangunan Banua Banjar yang berlangsung di Banjarmasin pada 10—13 Agustus 2000 lalu. Sebagaimana dapat kita baca, pada butir ke-16 “Hasil Rumusan Komisi C: Bidang Sosial Budaya” (salah satu komisi dalam rangkaian sidang musyawarah besar tersebut) secara tegas disebutkan, “Sastra Banjar adalah salah satu ciri (Sic!) sastra daerah yang hidup di Kalimantan Selatan dengan ciri: berbahasa Banjar, bersifat lisan, telah hidup/berkembang dua generasi, berisi nilai lokal/universal.”

Berdasarkan definisi tersebut, jelaslah bahwa keberadaan karya-karya sastra Banjar modern yang hidup dan berkembang dalam tradisi tulisan serta usianya belum mencapai dua generasi dengan sendirinya menjadi tersisihkan. Lagi pula, pengertian “dua generasi” itu sendiri masih sangat kabur acuannya –berapa tahun atau berapa dasawarsakah dalam satu generasi? Jadi, dengan begitu, definisi yang semula dimaksudkan untuk memberikan batasan umum mengenai sastra Banjar ini pada akhirnya justru telah mempersempit pengertian dan sasaran yang sebenarnya ingin dicapai lantaran ciri kelisanan dan faktor usia yang dikenakannya. Oleh karena itu, makna definisi ini nyaris tidak berbeda dengan rumusan Sunarti dkk. yang memang secara khusus mengkaji khazanah sastra lisannya saja. Padahal, kita tahu, pada kenyataannya sastra Banjar terus bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman hingga memasuki periode sastra modernnya seperti yang ada sekarang, di samping beberapa bentuk dari khazanah sastra klasiknya yang masih bisa bertahan. Maka, dilantarankan oleh beberapa segi kelemahannya, dengan sendirinya definisi (menurut versi ”Rumusan Komisi C”) ini pun tentunya tidak dapat kita jadikan acuan standar atau sebagai rumusan yang berlaku umum mengenai pengertian sastra Banjar.

Kemudian, guna melengkapi bahan kajian ini, satu lagi definisi lain mengenai pengertian sastra Banjar yang ingin saya kutipkan karena kehadirannya saya anggap sangat penting sehingga dapat menjadikan diskusi ini lebih intensif. Definisi yang hingga sekarang boleh dikata paling mutakhir ini dirumuskan oleh Tarman Effendi Tarsyad dalam dua buah esainya, masing-masing dengan judul ”Sastra Banjar: Definisi, Ciri, dan Karyanya” dan ”Etnografi Orang Banjar dalam Puisi”. Rumusan yang kriteria utamanya mengacu pada konsep ”etnografi” berdasarkan pendapat Koentjaraningrat tersebut selengkapnya berbunyi, ”Sastra Banjar adalah semua bentuk karya sastra yang diekspresikan oleh siapa saja baik dalam bahasa Banjar maupun dalam bahasa Indonesia selama karya sastra itu isinya mengungkapkan (segala) sesuatu yang terkait dengan etnografi orang Banjar.”

Dengan bertitik tolak pada konsep etnografi orang Banjar sebagaimana jelas dalam rumusan di atas, Tarsyad kemudian mencoba memperkuat argumennya dengan menyajikan data-data pendukung berupa contoh-contoh karya yang dianggapnya layak disebut sastra Banjar. Sesuai dengan kriteria utama yang dikenakannya, tidak mengherankan jika kemudian karya-karya selektif yang ditampilkan sebagai bukti pendukung uraiannya bukan saja terdiri atas karya-karya sastra berbahasa Banjar, melainkan juga menyertakan karya-karya sastra berbahasa Indonesia yang isinya mengungkapkan (segala) sesuatu yang terkait dengan etnografi orang Banjar. Jadi, dengan demikian, untuk menentukan layak-tidaknya sebuah karya disebut sastra Banjar sama sulitnya dengan ketika orang mencari intan di dalam dulang (yang masih penuh dengan pasir-kerikil) atau bahkan seperti orang membutiri setiap biji padi (yang berisi) dari lumbung gabah (yang masih penuh hampa). Sebab, dalam sebuah antologi yang berisi ratusan puisi berbahasa Banjar, kita harus memilah dan memilihnya secara sangat selektif berdasarkan isinya yang ”harus” mengungkapkan (segala) sesuatu yang terkait dengan etnografi orang Banjar. Oleh karena itu, setelah Tarsyad memerasnya sedemikian rupa, tidak mengherankan jika dari seluruh khazanah sastra (berbahasa) Banjar yang ada kemudian hanya tinggal 5—10 % saja yang bisa atau layak disebutnya sastra Banjar. Alahai, sebegitu sulitnyakah untuk menentukan suatu karya hingga layak disebut sastra Banjar?

Pada tataran lain, mengakui begitu saja karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia sebagai karya sastra Banjar tampaknya juga bermasalah. Hal ini setidak-tidaknya akan berkaitan dengan etika kekaryaan. Sebab, tidakkah kita mesti ”melamar” –setidaknya perlu permisi– dulu kepada Diah Hadaning atau Bambang Widiatmoko, misalnya, untuk memasukkan kedua sajak mereka yang masing-masing berjudul ”Sajak Pagi Muara Kuin” dan ”Pulau Kembang” itu ke dalam khazanah sastra Banjar sekadar ingin meluaskan wilayah ”kerajaan” sastra Banjar? Bahkan, dengan asumsi negatif, seorang Zulfaisal Putera yang orang Banjar tulen saja belum tentu tidak keberatan kalau ”Perkawinan Mustakimah”-nya yang ditulis dalam bahasa Indonesia itu disebut sebagai cerpen Banjar.

Sebenarnya, jika saja kita tidak berpretensi memaksakan kebenaran pendapat pribadi dan mencoba berendah hati dengan becermin pada realitas yang ada dari berbagai tradisi sastra daerah di tanah air, adakah selama ini dalam sederet buku yang membahas tentang sastra daerah para penulisnya telah menyebut-nyebut dan memasukkan sejumlah cerpen dalam kumpulan Senyum Karyamin (Ahmad Tohari) yang dari segi isinya jelas-jelas sangat beraroma Jawa itu sebagai cerpen (sastra) Jawa atau novel Upacara (Korrie Layun Rampan) sebagai novel (sastra) Dayak? Mengapa pula hingga sejauh ini para ahli sejarah dan kritikus sastra Jawa, sastra Sunda, atau sastra Bali selalu membatasi bahan kajiannya hanya pada karya-karya berbahasa daerah masing-masing dan tidak berani mencaplok begitu saja karya-karya sastra berbahasa Indonesia?

Maka, sekadar suatu upaya guna memenuhi tuntutan praktis dalam rangka merumuskan batasan mengenai pengertian sastra Banjar, sudah tentu dengan mempertimbangkan faktor relevansinya, dalam lingkupnya yang terbatas di sini saya akan mencoba beranalogi pada definisi sastra Inggris sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Akan tetapi, di samping mengacu pada rumusan Wilson, sebagai analogi utama –karena dalam banyak hal dianggap paling sepadan untuk situasi dan kondisi sastra Banjar– tentunya akan lebih realistis kalau dalam konteks ini saya justru lebih mengikuti pandangan umum mengenai berbagai tradisi sastra daerah di Indonesia yang terutama berpatokan pada aspek bahasa (daerah) yang menjadi mediumnya. Sebab, sejauh yang saya ketahui, dalam berbagai tradisi sastra daerah di Indonesia tampaknya sudah menjadi semacam konvensi umum bahwa aspek bahasa merupakan identitas utama yang dapat membedakan antara satu tradisi sastra (daerah) dengan tradisi sastra (daerah) lainnya. Jadi, dalam kerangka pemikiran demikian, secara normatif dapat dikemukakan bahwa yang hendak disebut ”sastra Banjar” adalah ”seluruh karya sastra –apa pun bentuk dan genrenya– yang diungkapkan dalam bahasa Banjar, baik dengan media lisan maupun tulisan”. Namun, perlu ditambahkan pula bahwa karya-karya sastra berbahasa Banjar tersebut seyogianya diciptakan oleh para pengarang yang memang menguasai dan dapat menggunakan bahasa Banjar secara alami sebagai alat komunikasi sehari-hari, tak peduli apakah mereka orang (berasal dari etnis) Banjar atau bukan (non-Banjar). Dengan demikian, kriteria ini tidak melihat status kewarganegaraan (terutama etnisitas) para pengarangnya maupun aspek sosiokultural yang tercermin dalam karya-karya sastranya sebagai faktor-faktor penting yang menentukan suatu karya sastra untuk disebut sebagai sastra Banjar. Oleh karena itu, kapan pun diciptakan dan di mana pun keberadaannya, sepanjang karya sastra tersebut tetap setia menggunakan bahasa Banjar sebagai mediumnya, maka tidak syak lagi bahwa karya-karya demikian harus diakui sebagai khazanah sastra Banjar (Banjarese Literature).

Rumusan di atas, sebagaimana telah disebutkan, memang bersifat normatif. Dalam arti, bahasa yang digunakan merupakan faktor penentu utama. Jadi, bukanlah sastra Banjar namanya jika karya sastra itu tidak diungkapkan dalam bahasa Banjar. Akan tetapi, terutama dalam rangka pembinaan dan pengembangan sastra Banjar ke depan, di samping definisi normatif (yang mencoba melihat sebagaimana adanya) agaknya kita juga perlu merumuskan sebuah definisi ideal (yang ingin melihat bagaimana seharusnya). Dalam perspektif demikian, pengertian sastra Banjar idealnya mencakup seluruh karya sastra yang secara integral diungkapkan dalam bahasa Banjar, diciptakan oleh orang atau para pengarang (dari etnis) Banjar, dan sekaligus mencerminkan unsur sosiokultural masyarakat Banjar sendiri. Namun, jika harus dihadapkan pada hanya satu pilihan, dari kedua definisi tersebut secara konsisten saya tetap akan berpegang pada definisi pertama. Pemilihan terutama pada definisi normatif yang menempatkan aspek bahasa sebagai identitas atau penentu utamanya paling tidak didasarkan atas lima pertimbangan.

Pertama, definisi ini bersifat sangat praktis karena hanya dengan mengenakan kriteria bahasa Banjar sebagai identitas utamanya kita dapat dengan mudah membedakan antara karya-karya sastra Banjar dengan karya-karya sastra Jawa, sastra Sunda, sastra Bali, sastra Bugis, sastra Madura, sastra Minangkabau, atau bahkan sastra Indonesia, sastra Jepang, sastra Arab, dan tradisi-tradisi sastra lainnya dari seluruh pelosok tanah air maupun dari berbagai belahan dunia lain.

Kedua, definisi ini juga lebih realistis karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua karya sastra (berbahasa) Banjar yang ada dengan sendirinya pasti akan merefleksikan unsur sosiokultural masyarakat Banjar atau selalu terkait dengan pernik-pernik etnografi orang Banjar. Banyak sekali karya sastra (berbahasa) Banjar (baik dari khazanah sastra klasik maupun sastra modernnya) yang ternyata mencoba menampilkan latar budaya lain atau dengan setting yang berlaku universal, tidak khas mencerminkan karakter sosiokultural masyarakat Banjar. Kemungkinan ini terjadi lantaran mereka pada mulanya memang menulis dalam bahasa Indonesia, misalnya, kemudian menuliskannya kembali ke dalam bahasa Banjar. Atau, setidak-tidaknya karya-karya tersebut diciptakan dalam bahasa Banjar, tetapi dengan kerangka berpikir Indonesia.

Ketiga, kenyataan juga menunjukkan bahwa tidak sedikit karya-karya sastra (berbahasa) Banjar yang ditulis oleh para pengarang yang tidak berdomisili di Kalimantan Selatan –bahkan bukan pula warga negara Indonesia– oleh karena mereka telah lama bermukim di negara lain. Sekadar contoh, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, belakangan diketahui ada sejumlah pengarang sastra Banjar yang tinggal di Malaysia dan sejak puluhan tahun silam sampai sekarang masih tetap setia hidup dalam tradisi-budaya leluhurnya, termasuk tetap menjunjung tinggi dan menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa pergaulan intern mereka. Sebagaimana dapat kita lacak melalui beberapa situs internet, mereka –para pengarang sastra Banjar yang secara politis termasuk warga negara Malaysia itu– ada yang menulis puisi, cerpen, dan drama, tetapi tetap menggunakan bahasa Banjar sebagai medium cipta sastranya. Dua cerpen Banjar dari pengarang asal Malaysia itu bahkan pernah dimuat dalam Tabloid Kebudayaan Wanyi yang terbit di Banjarmasin. Oleh karena itu, dengan menempatkan bahasa Banjar sebagai kriteria utama, tidak menutup kemungkinan akan lahirnya karya-karya sastra Banjar yang justru ditulis oleh para pengarang yang tidak berasal dari etnis Banjar, sepanjang mereka mampu menggunakan bahasa Banjar secara alami sebagai alat komunikasi sehari-hari.

Keempat, penggunaan bahasa Banjar sebagai identitas utama tidak akan memunculkan masalah etika kekaryaan ketika akan membuat suatu antologi atau menyusun sejarah sastra Banjar. Selain itu, penggunaan kriteria tersebut juga relatif dapat menghindari beberapa kerumitas teoritis sebagaimana tampak dalam uraian sebelumnya.

Kelima, dengan tetap berpegang pada rumusan definisi di atas, secara tidak langsung kita akan ikut berupaya menjaga kelestarian bahasa Banjar yang diakui merupakan aset penting budaya Banjar. Dengan tetap lestarinya bahasa Banjar, maka sampai kapan pun orang Banjar tidak akan kehilangan identitasnya.

/ 4 /
Berdasarkan uraian di atas, sekali lagi kiranya perlu dipertimbangkan bahwa penentuan kriteria untuk merumuskan definisi sastra daerah agaknya memang berbeda dengan kriteria yang lazim berlaku untuk berbagai tradisi sastra nasional. Bagi suatu tradisi sastra nasional, kriteria yang digunakan tidak hanya mengacu pada aspek bahasanya, tetapi aspek kewarganegaraan para pengarangnya sering kali bahkan lebih menonjol. Karena itulah, misalnya, drama-drama T.S. Eliot digolongkan sebagai warga sastra Inggris lantaran sang penulis telah melepaskan kewarganegaraan Amerika-nya dan menjadi “hamba” kerajaan Inggris. Demikian pula, orang tidak menyebut Dylan Thomas sebagai penyair Amerika atau Ernest Hemingway sebagai sastrawan Inggris hanya lantaran faktor kewarganegaraan mereka, kendati keduanya sama-sama menulis dalam bahasa Inggris.

Berbeda dengan sastra nasional, dalam kasus sastra daerah penggunaan kriteria kewarganegaraan atau kebangsaan para pengarang tampaknya memang kurang atau bahkan tidak relevan. Demikian pula aspek sosiokulturalnya, sebagaimana telah ditunjukkan dalam beberapa kasus di atas, tampaknya kriteria ini sama sekali tidak bisa diberlakukan secara normatif. Jadi, untuk definisi berbagai tradisi sastra daerah (khasnya sastra Banjar), kemungkinan dapat berintegrasinya ketiga kriteria seperti yang telah dikemukakan terdahulu jelas hanya ada dalam kerangka pemikiran yang ideal. Padahal, kita tahu, sesuatu yang sifatnya ideal tidak selalu realistis.
Akan tetapi, untuk kasus sastra Indonesia, pemilihan pada aspek bahasa (Indonesia) sebagai kriteria atau identitas utamanya tampaknya juga masih cukup relevan. Hal ini dapat kita telusuri melalui berbagai kasus yang berhubungan dengan karya-karya yang hendak disebut sebagai “sastra Indonesia” itu. Sekadar contoh lagi, beberapa karya Umar Kayam seperti Sri Sumarah, Bawuk, Para Priyayi, Jalan Menikung yang secara sosiokultural jelas-jelas merepresentasikan tradisi-budaya masyarakat Jawa, hingga dewasa ini para ahli dan pengamat sastra Jawa tidak pernah memasukkannya ke dalam khazanah sastra Jawa (modern) –hal yang sama juga berlaku untuk prosa lirik Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi Ag.), trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jentera Bianglala (Ahmad Tohari), atau novel Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya). Hal itu tentu dilantarankan oleh faktor bahasa (Indonesia) yang menjadi mediumnya.

Contoh-contoh serupa tentunya dapat diperpanjang lagi dengan mengetengahkan beberapa karya lain semisal Warisan (Chairul Harun), Bako (Darman Moenir), Hempasan Gelombang (Taufik Ikram Jamil), Dikalahkan Sang Sapurba (Ediruslan Pe Amanriza), Tambo: Sebuah Pertemuan (Gus tf Sakai), Perempuan Pala (Azhari), Cumbuan Sabana (Gerson Poyk), Bila Malam Bertambah Malam (Putu Wijaya), Sagra (Oka Rusmini), dan seterusnya. Karya-karya tersebut tidak pernah digolongkan sebagai khazanah sastra Batak, sastra Melayu, sastra Minangkabau, sastra Aceh, atau sastra Bali. Kenyataan ini menunjukkan bahwa aspek sosiokultural sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan untuk menentukan suatu tradisi sastra. Andai saja bukan karena faktor bahasa Indonesia yang dijadikan patokannya, kemungkinan besar sederetan karya di atas akan dimasukkan ke dalam tradisi sastra yang berbeda-beda, sesuai dengan tradisi-budaya atau kultur masyarakat yang menjadi latarnya.

Dalam kasus lain, kendati novel-novel (kuarternarius) karya Pramoedya Ananta Toer telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di dunia dan diterbitkan kembali di negara-negara bersangkutan, adakah ia sudah bukan warga sastra Indonesia lagi? Kalaupun Bumi Manusia atau Anak Semua Bangsa atau Jejak Langkah atau Rumah Kaca sudah dianggap sebagai karya-karya sastra dunia, penggolongan keempat novel tersebut tetap bisa dikembalikan pada bahasa aslinya (bahasa Indonesia) sehingga ia harus tetap disebut sebagai novel (sastra) Indonesia. Sebab, dengan istilah “sastra dunia” pada dasarnya ia hanya mencerminkan keluasan jangkauan pembacanya –pada tataran tertentu juga kualitas kesastraannya– yang sudah mendunia, bukan mengacu pada tradisi sastranya (dari segi ini, bandingkan juga dengan konsep “sastra daerah” versus “sastra nasional”). Begitu pula andaikata beberapa cerpen Banjar karya M. Fitran Salam dalam antologi Maundak Dandang (2005) diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, istilah sastra Jepang tidak mungkin dikenakan kepadanya oleh karena cerpen-cerpen tersebut pada mulanya ditulis dalam bahasa Banjar yang kebetulan juga oleh penulis beretnis Banjar. Jadi, benarlah kiranya ungkapan Jose Samarago bahwa sastrawan dengan bahasanya menciptakan sastra nasional (juga sastra daerah –pen.), sedangkan sastra dunia diciptakan oleh penerjemah.

Namun, dengan titik pandang yang berbeda, kiranya perlu ditegaskan juga bahwa jika karya-karya cerpen Banjar itu dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, maka di samping sebutan sebagai sastra Banjar (yang mengacu pada teks aslinya), tentunya istilah sastra Indonesia (yang mengacu pada teks terjemahannya) dapat pula dilekatkan kepadanya. Hal ini karena bahasa dan sastra Banjar itu sendiri merupakan salah satu khazanah kebudayaan nasional Indonesia, di samping karena pengarang-pengarangnya (khususnya yang tinggal di Kalimantan Selatan) merupakan para bilingualis (Banjar-Indonesia) dan sekaligus juga sebagai bagian dari masyarakat atau bangsa Indonesia. Maka, sebagaimana dikatakan Rosidi, setiap karya sastra daerah yang kemudian ditulis ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi milik seluruh bangsa Indonesia dan karena itu seyogianya disebut sebagai sastra Indonesia pula.

/ 4 /
Demikianlah, di penghujung pembicaraan ini saya ingin menunjukkan beberapa kelemahan definisi sastra Banjar yang dirumuskan berdasarkan aspek sosiokultural maupun etnisitas atau kewarganegaraan pengarangnya. Pertama, definisi sastra Banjar yang bertitik tolak pada muatan sosiokultural atau berdasarkan faktor etnografi orang (masyarakat) Banjar semata akan sangat menyempitkan ruang gerak tematis dalam proses kreatif kepengarangan para sastrawan Banjar sendiri. Agar karya-karya mereka dapat digolongkan dan diakui sebagai karya sastra Banjar, kreativitas para sastrawan dikebiri sedemikian rupa karena tangan dan imajinasi mereka ”diharamkan” untuk menulis dan berkhayal tentang sesuatu yang tidak mencerminkan sosiokultural (tidak berkaitan dengan etnografi) masyarakat Banjar. Lagi pula, apakah orang Minang yang menulis dalam bahasa Indonesia atau orang Mesir yang menulis dalam bahasa Arab mengenai kehidupan (sosiokultural atawa etnografi) masyarakat Banjar akan secara otomatis merelakan karyanya untuk disebut sastra Banjar? Juga, dengan kriteria tersebut, bukankah demikian tidak praktisnya untuk menggolongkan suatu karya ke dalam sastra Banjar karena para sejarawan, teoritisi, dan kritikus sastra harus mengetahui secara pasti muatan sosiokultural dalam setiap karya sastra dari berbagai bahasa di Indonesia? Lalu, hendak dikemanakan dan mau disebut apa karya-karya sastra berbahasa Banjar yang tidak mencerminkan unsur sosiokultural atau tidak terkait dengan etnografi masyarakat Banjar itu?

Kedua, definisi sastra Banjar yang hanya mengenakan kriteria kewarganegaraan atau kebangsaan (baca: etnisitas Banjar) juga akan menjadikan jangkauan kreatif kepengarangan semakin sempit. Sebab, dalam batasan demikian, dengan sendirinya akan menciptakan semacam rambu-rambu larangan dalam wilayah penciptaan sastra Banjar: yang bukan orang Banjar silakan minggir! Bagaimana kalau suatu ketika ada seorang penulis asal Madura atau Australia yang karena kemampuan linguistisnya lumayan bagus ingin menulis drama atau novel dalam bahasa Banjar dengan tema lokalitas masyarakat Banjar yang telah dikenalnya selama puluhan tahun? Haruskah kita (orang Banjar) menolak ”orang asing” yang justru ingin membesarkan sastra daerah kita sendiri yang tak pernah besar-besar itu? Betapa naifnya kita, bukan?