Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Senin, 03 Oktober 2011

 Kebanggaan Sastra
 Sebagai Kebanggaan Daerah
Sumber Kreativitas dan Inovasi Penciptaan


Oleh : Jamal T. Suryanata
 

Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri 
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di Taman Melayu 
Berduka suka, sertakan rayu; 
Perasaan serikat menjadi padu 
Dalam bahasanya, permai merdu.  
(Muhammad Yamin, ”Bahasa, Bangsa”) 

/ 1 /
Kedaerahan atau lokalitas sebagai persoalan penting dalam dunia penciptaan sastra modern sudah sejak lama menjadi perhatian para pengarang maupun kritikus dan pengamat sastra, baik telah dibentangkan dalam bentuk esai-esai kritis maupun didedahkan melalui berbagai forum diskusi sastra. Hal ini bukan hanya menjadi sorotan hangat dalam perbincangan sastra di negeri-negeri Timur pasca-Perang Dunia II ketika modernitas Barat semakin kuat merasuk ke dalam segala sendi kehidupan masyarakatnya, melainkan juga terjadi di banyak negeri kawasan Barat sendiri. Ada semacam kegelisahan, bahkan bisa menjadi sebentuk kecemasan, yang dirasakan oleh para pengarang modern itu akibat situasi sosial-budaya yang telah menyeret mereka pada kondisi sastra (lebih tepatnya: berkesusastraan) yang dinilai kurang membumi: keterasingan historis dari akar tradisi sendiri.
Dalam konteks sastra Indonesia modern, dunia kepenyairan pada khususnya, kegelisahan kultural semacam itu antara lain terungkap dalam sebuah esai Goenawan Mohamad bertajuk ”Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang” (1971).[1] Bagian awal esai yang sekaligus dijadikan judul buku kumpulan esai pertamanya ini lebih kurang berisi atau bercerita tentang petualangan pribadi sang penulis sendiri sebagai seorang penyair muda Indonesia yang tidak memiliki akar tradisi, kecuali sekadar mewarisi ’tradisi sastra Chairil Anwar’ yang boleh dikata merupakan representasi tradisi sastra Indonesia modern umumnya pada saat itu, setidak-tidaknya selama hampir tiga dasawarsa (1950-an hingga awal 1970-an). Dalam pandangan Goenawan Mohamad, seorang penyair Indonesia (pada masa itu —JTS) pada hakikatnya telah berjalan jauh sekali dari sekitarnya ketika ia sampai pada posisi yang sadar bahwa ia adalah seorang penyair. Hal itulah tampaknya yang terbetik dalam ’pengakuan’ pribadinya, ”Di belakang puisi yang dituliskannya, tidak ada suatu perbendaharaan sejarah sastra yang mantap untuk menopangnya.”[2]
            Cerita dan pengakuan Goenawan Mohamad di atas, saya kira, telah menjadi cerita dan pengakuan kolektif hampir semua penyair Indonesia modern selepas tahun 1940-an ketika mula pertama bersentuhan dengan dunia penulisan kreatif. Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-20, para pengarang Indonesia adalah generasi yang dilahirkan dan dibesarkan dalam tradisi sastra Chairil Anwar oleh karena tradisi sastra itulah yang mereka kenal dengan baik sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan, hingga sekarang —ketika sejarah peradaban manusia Indonesia telah memasuki awal abad ke-21 (alaf ketiga)— anak-anak sekolah dasar maupun sekolah lanjutan agaknya masih lebih akrab dengan sajak ”Aku” karya Chairil Anwar —terutama karena buku-buku teks pelajaran di sekolah selalu mengutip ulang sajak tersebut—ketimbang syair-syair dan hikayat-hikayat klasik yang sesungguhnya begitu kaya di daerahnya masing-masing. Maka, berangkat dari tradisi semacam itulah para pengarang Indonesia modern menulis puisi —bahkan juga merasuk ke dalam penulisan cerpen, novel, dan drama— hingga kemudian melahirkan apa yang kini populer dengan sebutan ’sastra urban’.
            Pada masa-masa awal kiprah kepengarangannya, sungguh tidak ada pilihan bagi para pengarang muda Indonesia yang lahir selepas masa Chairil Anwar kecuali harus menelan tradisi yang telah mapan itu. Nyaris tak ada tempat bagi tradisi lokal, khazanah seni-budaya daerah yang demikian melimpah itu, lantaran setiap celahnya telah diisi oleh teks-teks sastra urban yang tidak lain dari hasil pengaruh sastra Barat (Eropa dan Amerika). Jadi, dalam pandangan diskursifnya, sastra Indonesia modern adalah sastra yang telah tercerabut dari akar tradisinya sendiri. Tradisi sastra Indonesia modern periode 1950—1970 tidak lebih dari sekadar ’anak asuh’ tradisi sastra Barat dilantarankan oleh jejak historisnya yang memang relatif dekat selama masa kolonialisme. Maka, kalau benar demikian, saya pun tidak pernah tahu apakah gejala tersebut merupakan sesuatu yang patut disesali ataukah justru harus kita syukuri? Apakah ketercerabutan sastra Indonesia modern dari akar tradisinya sendiri merupakan suatu kerugian ataukah justru sebuah keuntungan?
            Akan tetapi, dalam hal ini, kiranya perlu kita sadari bahwa dunia sastra bukanlah dunia hitam-putih yang menempatkan satu kecenderungan dominan sebagai sebuah tolok ukur mutlak bagi kecenderungan-kecenderungan lainnya; bahwa kemunculan satu gejala yang dianggap dominan tidak lantas menenggelamkan pernik-pernik lain sebagai kemungkinan penolaknya. Oleh karena itu, dalam rangka menjernihkan persoalan ini memang diperlukan sikap netral dan kehati-hatian; bahwa dalam lingkup satu budaya dominan itu masih ada serpihan budaya lain sebagai alternatif yang menjadikannya berbeda.  
           
/ 2 /
Manakala perbincangan kemudian kita alihkan pada perkembangan sastra Indonesia terkini, suka atau tidak suka, pada kenyataannya kini kita telah berada jauh di depan.[3] Jika persoalan di atas dipandang sebagai sumber kegelisahan atau momok yang perlu dihindari, gejala keterasingan sastra Indonesia dari akar tradisinya sendiri kini tidak lebih dari sebuah bayangan masa lampau. Sastra Indonesia terkini bahkan telah melampaui sekat-sekat geografis maupun kultural sehingga kita seakan-akan sedang berada di sebuah negeri tanpa batas. Lebih jauh lagi, perkembangan sosial-politik Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir telah memberikan keleluasaan yang begitu terbuka bagi para pengarang dalam mengekspresikan jiwa dan pikirannya. Bahkan, kebebasan kreatif dalam berkarya (licentia poetica) kini bukan lagi sebuah slogan suci yang laku dijual sebagaimana dulu sering menjadi bahan perbantahan.  
Kondisi sastra Indonesia terkini ibarat sebuah taman dengan aneka ragam bunga menghiasinya, mulai dari perbedaan bentuk fisik, corak warna, hingga nuansa aromanya. Dalam taman sastra Indonesia yang luwes dan sangat akomodatif itu telah tumbuh berkembang beragam corak sastra dengan berbagai kecenderungan estetiknya, baik yang bercorak sastra rural, sastra urban, maupun sastra suburban. Pada saat yang sama, di situ juga tumbuh berkembang sastra bermuatan kritik sosial, sastra berwarna lokal, sastra religius, sastra sufistik, sastra feminis, atau sastra-wangi. Dilihat dari aspek medianya, di situ pun tumbuh berkembang ragam sastra koran, sastra majalah, sastra jurnal, dan sastra buku. Kemudian, jika masih perlu diangkat dan dibedakan lagi, di situ juga tumbuh berkembang dengan suburnya apa yang lazim dikelompokkan sastra serius dan sastra populer. Ringkas kata, kondisi sastra Indonesia terkini merupakan sebuah keniscayaan baru yang memberikan banyak kemungkinan.
Namun demikian, hendaknya kita sadari pula bahwa gejala keterbukaan ini bukanlah sebuah lembaran sejarah yang tanpa resiko. Sebab, ketika segalanya sudah terbuka dan cenderung menjadi sangat cair, hal ini memungkinkan suatu entitas akan kehilangan identitasnya. Jika identitas utama suatu tradisi sastra adalah faktor  kebangsaan pengarang dan bahasa yang menjadi mediumnya, maka sastra Indonesia berarti seluruh karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang (warga negara) Indonesia dan diungkapkan dalam bahasa Indonesia —apa pun bentuk, ragam, gaya, dan nilai budaya yang dikandungnya. Kalau persoalannya memang sesederhana itu, ihwal identitas kesastraan kita tentunya bukan suatu masalah yang perlu dirisaukan. Oleh karena itu, maka akan menjadi sah-sah saja jika semua pengarang Indonesia kemudian menulis karya-karya sejenis Olenka atau Orang-orang Bloomington sebagaimana yang dilakukan Budi Darma. Akan tetapi, persoalannya sekarang, apakah cukup identitas sastra Indonesia itu sekadar dicirikan oleh faktor kebangsaan pengarang dan bahasa yang digunakannya? Jika benar anggapan bahwa sastra merupakan refleksi sosial-budaya atau sebagai cerminan zaman yang melahirkannya, tidakkah kita ingin memiliki karya-karya yang benar-benar berkarakter Indonesia dengan segala kekhasan dan keunikannya ketika harus bersanding dengan karya-karya bangsa lain?
Lagi pula, pembatasan di atas agaknya terlalu sempit untuk menyatakan semangat nasionalisme dan konsep keindonesiaan. Sebab, jika ciri keindonesiaan sastra kita hanya diukur berdasarkan faktor kebangsaan (kewarganegaraan) sang pengarang dan bahasa yang menjadi mediumnya (baca: bahasa Indonesia), hal ini justru telah menegasikan kenyataan sosiokultural tentang eksistensi sastra daerah yang diungkapkan dalam berbagai bahasa daerah. Sebab, dengan demikian, seluruh karya sastra berbahasa daerah (Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Batak, Banjar, dan lain-lain) tentunya tidak termasuk dalam lingkup sastra Indonesia. Padahal, pada kenyataannya, secara geografis-politis-soiokultural semua daerah tersebut (notabene pengarang dan bahasanya) merupakan bagian dari konsep keindonesiaan karena termasuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, berdasarkan alasan geografis-politis-sosiokultural pula, sudah sepantasnyalah jika seluruh khazanah sastra (berbahasa) daerah juga disebut sastra Indonesia.
Dalam kaitan ini, ketika menyoal tentang konsep ”sastra Indonesia” dalam sebuah esainya (yang tidak lain berarti persoalan identitas pula), Sapardi Djoko Damono coba menawarkan dua alternatif jawaban, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pertama, sastra Indonesia ialah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia (kemudian dilengkapi dengan unsur: oleh penulis berkewarganegaraan Indonesia). Kedua, karya sastra yang ditulis oleh warga negara Indonesia dalam bahasa-bahasa yang ada di negeri ini.[4] Alternatif jawaban pertama, saya kira, pengertiannya sudah sangat jelas bagi kita: betapa sempitnya sastra Indonesia. Oleh karena itu, saya lebih bersetuju pada alternatif jawaban yang kedua karena konsep ini tidak saja merujuk pada karya-karya sastra berbahasa Indonesia, tetapi juga melingkupi seluruh karya sastra yang diungkapkan dalam bahasa-bahasa daerah. Di samping itu, dengan mengenakan konsep yang sangat akomodatif ini berarti kita juga telah memperluas wilayah konseptual dan sekaligus memperkaya khazanah sastra Indonesia karena di dalamnya telah tercakup seluruh karya sastra yang diciptakan oleh para pengarang berkewargaregaraan Indonesia, dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan.

/ 3 /
Memang, sastra pada dasarnya bisa terlahir dalam bahasa apa pun dan bebas mengusung nilai budaya manapun. Baik bahasa yang digunakan maupun nilai budaya yang diangkat oleh seorang pengarang pada dasarnya juga tidak lebih dari soal pilihan. Sementara, pilihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa dan penguasaan budaya sang pengarang. Karena itulah, beberapa pengarang Indonesia dengan latar belakang budaya Jawa bisa dengan lincahnya bercerita tentang tradisi-budaya Jawa dalam karya-karya mereka —sebutlah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi Ag), Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya), Arok Dedes (Pramoedya Ananta Toer), atau Para Priayi (Umar Kayam). Demikian juga sederet pengarang Indonesia lainnya dengan latar budaya daerah masing-masing telah coba ”mengindonesiakan” lokalitasnya dalam karya-karya mereka. Lihatlah karya-karya Korrie Layun Rampan (Dayak, Kalimantan), Wisran Hadi, Chairul Harun, Darman Moenir, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Gus tf Sakai, Marhalim Zaini, Andrea Herata (Minangkabau, Melayu, Padang), Putu Wijaya, Putu Arya Tirtawirya, Gerson Poyk, Putu Oka Sukanta, Oka Rusmini, Wayan Sunarta (Bali, Lombok), juga beberapa sajak Abdul Hadi WM dan D. Zawawi Imron (Madura), dan lain-lain.
            Secara teoretis, karya-karya yang mengangkat unsur-unsur kedaerahan atau lokalitas tersebut lazim dikelompokkan ke dalam genre sastra berwarna lokal. Istilah ”warna lokal” atau ”warna tempatan” (local colour) itu sendiri pada umumnya diartikan sebagai gambaran daerah tertentu seperti pakaian, sopan santun, dialek, dan sebagainya yang melatari kehidupan tokoh dalam karya sastra dan hanya bersifat dekoratif.[5] Namun, dalam pengertian yang lebih mendalam, konsep ini tentunya harus mengacu pada karya-karya yang memang menggambarkan totalitas latar sosial-budaya tempatan suatu daerah (etnisitas). Gambaran tersebut tidak saja terlihat dalam latar tempat cerita berlangsung atau sekadar mengutip beberapa kosa kata daerah, tetapi (idealnya) juga harus termanifestasikan dalam karakter tokoh dan gaya bahasa yang merupakan cerminan jiwa kebudayaan daerah bersangkutan.
Dalam lintasan sejarah sastra Indonesia, genre sastra semacam itu (baca: sastra berwarna lokal) sebenarnya telah tampak dalam novel-novel periode Balai Pustaka (1920-an) dan Pujangga Baru (1930-an). Namun, seiring dengan perkembangan pemikiran masyarakat Indonesia (khususnya di kalangan intelektualnya) yang semakin berorientasi pada modernisme Barat, dalam periode 1940—1960-an kecenderungan tersebut agaknya mulai menyusut (kalau bukan lepas sama sekali). Dengan demikian, boleh dikata bahwa selepas tahun 1960-an pada dasarnya hanya merupakan masa kebangkitan kembali genre sastra berwarna lokal dalam sastra Indonesia. Fenomena ini setidaknya ditandai dengan terbitnya novel Upacara karya Korrie Layun Rampan (1978) yang, karena kekhasan dan keunikannya, oleh sejumlah kritikus dipandang sebagai pembawa cakrawala baru dalam sastra Indonesia (dalam penulisan fiksi atau novel pada khususnya).[6]
Ketika harus bersanding dengan karya-karya sastra bangsa lain, lantaran kekhasan dan keunikannya yang mengusung warna lokal itu, justru karya-karya demikianlah yang dipandang berkarakter Indonesia dan karenanya paling representatif untuk mewakili sastra Indonesia. Sebab, karakter keindonesiaan tidak mungkin dapat ditangkap oleh pembaca asing dalam beberapa novel dan cerpen Iwan Simatupang atau Putu Wijaya (yang lazim disebut genre sastra absurd itu) maupun dalam karya-karya Dee, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Dinar Rahayu, Ratih Kumala, Eka Kurniawan, Afrizal Malna, Linda Christanty, dan sederet nama lagi. Selain itu, dalam konteks keindonesiaan yang multi-etnis (dengan bahasa dan tradisi-budaya masing-masing), karya-karya sastra berwarna lokal dapat perlakukan sebagai dokumen budaya yang sangat berharga bagi para ilmuwan yang bergerak di bidang etnografi dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Maka, dalam konteks inilah kita akan melihat urgensi kedudukan dan arti penting kehadiran karya-karya sastra Indonesia dengan kecenderungan warna lokal.
Namun, sekadar catatan tambahan, hendaknya kita juga perlu menyadari bahwa semaraknya kecenderungan sastra berwarna lokal dalam khazanah sastra (berbahasa) Indonesia bukannya suatu gejala yang tanpa resiko pula. Sebagai suatu contoh kasus, ketika membicarakan tentang novel Jawa tahun 1950-an, Sapardi Djoko Damono pernah mengingatkan mengenai resiko (terutama dari segi kerugiannya) yang harus ditanggungkan oleh novel-novel (berbahasa) Indonesia yang mengangkat latar sosial-budaya Jawa. Sebab, setiap bahasa memiliki seperangkat citraan, ungkapan, dan acuan tertentu yang menggambarkan sikap tertentu dari pemilik bahasa itu terhadap segala sesuatu. Berdasarkan pandangan ini, sebenarnya novel berbahasa Indonesia yang ingin mengungkapkan masalah Jawa tidak bisa sepenuhnya mengungkapkan gagasan, nilai, dan kaidah yang merupakan kebudayaan Jawa. Gagasan ”asing” yang tersirat dalam bahasa Indonesia tentu akan mempengaruhi usaha pengungkapan kebudayaan Jawa dalam bahasa Indonesia. Novel berbahasa Indonesia yang ditulis oleh orang Jawa mengenai masalah Jawa sebenarnya merupakan semacam terjemahan, yang tentu tidak sama dengan aslinya. Usaha untuk menyisipkan beberapa kata dan ungkapan Jawa, dalam usaha untuk tetap mempertahankan kemurnian gagasan dan nilai Jawanya, tidak jarang malah terasa mengganggu.[7]
            Kritik di atas memang merupakan sebuah kasus yang ditujukan untuk tradisi novel (sastra) Indonesia dengan warna lokal Jawa, tetapi jelas bahwa prinsip-prinsip dasarnya dapat berlaku umum untuk seluruh karya sastra berbahasa Indonesia yang mengangkat tema lokal atau unsur-unsur kedaerahan lainnya. Dalam kaitan ini, kita kembali dapat merujuk pada novel Upacara —sebuah novel (berbahasa) Indonesia yang mengangkat dan mengeksplorasi tradisi-budaya etnis Dayak (Benuaq) di Kalimantan Timur (daerah asal sang pengarang)— sebagai contoh bandingan. Dalam usaha tetap mempertahankan kemurnian gagasan dan nilai Dayaknya, maka di banyak tempat di halaman-halaman tersebar novel ini (dari Belahan Satu hingga Belahan Lima), sang pengarang ”terpaksa” harus menggunakan sejumlah kata dan idiom daerah bersangkutan. Untuk itu pula, di beberapa halaman akhir novel ini, sang pengarang merasa perlu menyertakan semacam kamus kecil (baca: Keterangan Istilah Benuaq) sebagai penjelasan atas sederet (sebanyak 83 buah) istilah dan ungkapan asli tersebut.[8]
            Benarlah seperti yang telah diungkapkan Sapardi Djoko Damono, kehadiran banyak kosa kata dan istilah asli daerah yang digunakan sang pengarang sebagai pendukung usaha pemurnian lokalitas atau membangun citraan yang lebih mendekati realitas tempatan dalam novel tersebut (lebih-lebih karena ditempatkan di halaman tersendiri) terasa cukup mengganggu proses pembacaan, khususnya oleh kalangan pembaca yang bukan dari etnis Dayak Benuaq atau bahkan bagi orang Dayak Benuaq sendiri yang tidak memahami bahasa-ibu mereka. Resiko serupa tentunya akan berlaku pula untuk karya-karya sastra Indonesia sejenis, dengan latar sosial-budaya yang berbeda. Namun, kalau kita mau jujur, ihwal rasa keterusikan pembaca seperti itu tampaknya bukan melulu milik para pembaca karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia dengan warna lokal tertentu, melainkan juga akan dialami oleh para pembaca umumnya yang sedang menikmati karya-karya sastra Indonesia (puisi, cerpen, novelet, novel, drama) yang penuh dengan catatan penjelas (apa pun istilahnya: catatan kaki, catatan belakang, senarai kata, kamus kecil, dan lain-lain) yang tampak kian marak dewasa ini.[9] Sebab, gejala demikian agaknya sudah merupakan sebuah realitas baru dalam sastra Indonesia terkini dan sulit untuk dihindari oleh siapa pun yang ingin membaca khazanah karyanya yang secara kuantitatif benar-benar telah menunjukkan kemajuan luar biasa pesatnya.
Akan tetapi, dari sisi lain, agaknya kita juga perlu memahami bahwa sang pengarang pun tampaknya tidak punya pilihan lain yang lebih komunikatif kecuali harus berbuat demikian. Sebab, jika penjelasan atas berbagai kosa kata dan idiom daerah itu dimasukkan ke dalam narasi tentu akan berpotensi menimbulkan kekacauan struktur cerita novel tersebut; alih-alih membantu pemahaman pembaca, malah dapat mengganggu proses pembacaan yang lebih serius. Kita tidak tahu bagaimana jadinya struktur cerita novel Jatisaba (Yogyakarta: ICE, 2011) —sebagai salah satu novel Indonesia terkini yang sarat warna lokal (sosial-budaya masyarakat Jatisaba, Cilacap, Jawa Tengah) dan karenanya juga banyak menghadirkan kosa kata dan idiom daerah (dengan 75 catatan kaki)— jika Ramayda Akmal (sang pengarang) memasukkan seluruh deskripsi dan atau uraian penjelasnya atas kosa kata dan idiom daerah itu ke dalam narasi novelnya (setebal 337 halaman); tentu bukan cuma novel itu akan bertambah tebal, melainkan juga dapat berimplikasi pada kekacauan struktur cerita dan akan mengusik kenikmatan para pembaca dalam proses pembacaan mereka.

/ 4 /
Dalam konsepsi yang lebih ideal, sejalan dengan argumen-argumen yang telah dikemukakan Sapardi Djoko Damono, penggambaran lokalitas suatu daerah dalam karya sastra selayaknya memang harus diungkapkan dalam bahasa yang selaras dengan tradisi-budaya yang melahirkannya, yakni bahasa daerah bersangkutan. Jadi, lokalitas (baca: masalah-masalah sosial-budaya) Jawa, misalnya, seharusnya juga ditulis dalam bahasa Jawa. Demikian juga lokalitas Sunda, Madura, Bali, Batak, Bugis, Dayak, Banjar, dan seterusnya. Akan tetapi, dalam rangka membangun nasionalisme, pada kenyataannya politik bahasa Indonesia telah berjalan sedemikian rupa sehingga seakan-akan telah mengesampingkan eksistensi bahasa-bahasa daerah yang ratusan jumlahnya, bahkan nyaris tidak memberi tempat bagi pertumbuhkembangannya. Kendati sastra (berbahasa) daerah tetap dapat tumbuh berkembang, tetapi dalam pertumbuhkembangannya sekarang pada umumnya selalu mengalami kondisi terjepit (meminjam istilah Sapardi Djoko Damono). Dengan kata lain, sastra daerah tidak dapat berkembang sebagaimana mestinya. Kondisi semacam inilah yang kini dialami oleh sastra Jawa, Sunda, Bali, dan Banjar —sekadar menyebut beberapa tradisi sastra (berbahasa) daerah yang masih eksis berkembang hingga sekarang, bahkan berlanjut dengan genre sastra modernnya.
            Menyadari akan keterbatasan daya jangkau sastra daerah, para pengarang pun pada akhirnya harus mencoba beradaptasi dengan kondisi yang ada. Dilantarankan oleh daya jangkaunya yang lebih luas, para pengarang pun lebih banyak memilih menulis dalam bahasa nasional (bahasa Indonesia). Sebab, dipandang dari berbagai sudut, menulis dalam bahasa Indonesia memang jauh lebih menguntungkan tinimbang menulis dalam bahasa daerah yang daya jangkau pembacanya sangat terbatas, sejauh daya jangkau bahasa bersangkutan. Seiring dengan daya jangkaunya yang luas, tingkat popularitas seorang pengarang juga jauh lebih terangkat jika menulis dalam bahasa Indonesia. Semua itu tentunya juga berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan hidup para pengarangnya. Belum lagi jika persoalannya dikaitkan dengan kenyataan bahwa —berdasarkan pengalaman beberapa pengarang— menulis dalam bahasa daerah jauh lebih sulit daripada menulis dalam bahasa Indonesia.
Namun demikian, kita juga masih punya harapan lain untuk prospek kebertahanan sastra daerah karena masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat bilingual (minimal menguasai bahasa daerah dan bahasa Indonesia), bahkan multiliangual. Dalam kondisi demikian, kita tidak perlu merasa heran jika dalam banyak kasus para pengarang Indonesia (yang umumnya juga dwibahasawan itu) justru merasa diuntungkan. Sebab, mereka dapat dengan mudah memilih jalur-jalur media penulisan sastra yang ada: hanya menulis sastra (berbahasa) daerah, hanya menulis sastra (berbahasa) Indonesia, atau dapat dengan bebas bolak-balik antara menulis sastra (berbahasa) daerah dan sastra (berbahasa) Indonesia.
Pilihan atas tradisi penulisan pertama dan ketiga jelas memberikan janji baik bagi prospek kebertahanan maupun pertumbuhkembangan sastra daerah, sebagaimana dapat kita lihat hingga sekarang. Namun demikian, andaipun kelak jalur penulisan sastra (berbahasa) daerah benar-benar sudah berada di jalan buntu, pilihan atas tradisi penulisan kedua sekalipun sebenarnya masih dapat menyelamatkan identitas keindonesiaan melalui karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia berwarna lokal. Karya-karya demikianlah sesungguhnya yang memiliki karakter keindonesiaan yang kuat oleh karena konsep ”Indonesia” itu sendiri tidak lain berarti sebuah titik temu dan merupakan perpaduan daerah-daerah. Akan tetapi, kebertahanan konsep ini sangat bergantung pada tingkat kesadaran para pengarang kita terhadap persoalan-persoalan sosial-budaya tempatan atau lokalitasnya masing-masing.
Agaknya, menyadari akan pentingnya identitas keindonesiaan (dalam sastra Indonesia) itulah sehingga para penggagas Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru (Riau) pada 26—30 November 2005 yang lalu merasa perlu mengusung sebuah tema besar bertajuk ”Ayo, Estetika Lokal!”. Penerjemahan atas tema besar tersebut di antaranya memang cukup terepresentasikan melalui sejumlah kertas kerja yang disajikan dalam serangkaian diskusinya, misalnya dalam makalah bertajuk ”Lokalitas Desa” (Ahmad Tohari), ”Lokalitas Minangkabau” (Gus tf Sakai), dan ”Lokalitas Melayu” (Taufik Ikram Jamil). Akan tetapi, penerjemahan atas konsep yang sama kemudian menjadi tampak mengambang ketika kita disodori beberapa makalah lain semisal ”Lokalitas Masyarakat Miskin Jakarta dan Saya” (Hamsad Rangkuti), ”Lokalitas Dunia Gelandangan” (Joni Ariadinata), dan bahkan ”Lokalitas Masyarakat Bloomington” (Budi Darma). Sebab, konsep lokalitas yang diusung oleh tiga kertas kerja yang disebut terakhir tentunya sangat berbeda dengan konsep lokalitas dalam tiga kertas kerja yang disebut pertama. Namun, hal itu pada akhirnya harus kita maklumi karena para penggagas dan atau penyelenggara penghelatan akbar tersebut tampaknya memang telah menempatkan makna ”lokalitas” itu sendiri sebagai sebuah konsep umum yang berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain.[10] Atau, dalam arti ”berbagai aspek kultural yang terjadi di suatu tempat dan masa tertentu.”[11] Jadi, dengan demikian, konsep lokalitas tidak hanya berkaitan dengan persoalan sosial-budaya etnis tertentu, tetapi juga menyentuh masalah-masalah soasial-budaya dalam suatu komunitas masyarakat di suatu wilayah dan masa tertentu, sebagaimana dimaksud dalam ketiga makalah yang disebut terakhir tadi.

/ 5 /
Kendati tidak sepenuhnya lepas dari konsepnya umum, dalam konteks sastra Indonesia saya lebih menempatkan ”lokalitas” sebagai sebuah konsep deferensial yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial-budaya yang hidup dan berkembang dalam suatu lingkungan masyarakat atau etnis tertentu di Indonesia, dalam suatu masa tertentu, yang terefleksikan dalam karya-karya sastranya. Dengan demikian, karena kekhasan dan keunikan lokalitasnya yang benar-benar berkarakter Indonesia, identitas sastra Indonesia dapat dengan mudah dibedakan dari karya-karya sastra bangsa lainnya. Hanya dalam pengertian inilah, saya kira, kebanggaan sastra Indonesia niscaya akan menjadi kebanggaan daerah pula.
            Manakala lokalitas atau aspek-aspek kedaerahan itu dihubungkaitkan dengan kedudukannya sebagai sumber kreativitas dan inovasi penciptaan karya-karya sastra, sejauh yang dapat saya tangkap, paling tidak ia bisa dipahami dari tiga posisi atau kategori. Pertama, daerah sebagai lokalitas fisik (baca: bentuk) karya sastra. Dalam hal ini, para pengarang sekadar meminjam nama-nama tempat (Kutai atau Banjar, misalnya), memakai nama-nama orang yang khas mencirikan daerah atau etnis tertentu (Wayan atau Cecep, misalnya), memasukkan beberapa kosa kata dan idiom daerah (emak atau balian, misalnya), atau menjadikan bentuk-bentuk sastra daerah tertentu sebagai sandaran kreativitas penciptaan karya-karyanya (pola persajakan atau teknik penceritaan, misalnya). Pengarang tidak mengeksplorasi berbagai persoalan sosial-budaya tempatan secara serius dan mendalam sehingga kehadiran unsur-unsur lokal itu di dalam karya-karyanya juga tidak lebih dari sekadar tempelan-tempelan artifisial. Oleh karena itu, ditinjau dari segi isinya, kehadiran unsur-unsur lokal tersebut tampaknya kurang fungsional karena sama sekali tidak mencerminkan kekuatan warna lokal daerah atau etnis tertentu. Karya-karya jenis ini mungkin cukup banyak kita temui, terutama dalam genre fiksi dan puisi hasil garapan para pengarang pemula yang agaknya bertendensi kuat ingin menulis karya sastra berwarna lokal, tetap tidak cukup pemahaman tentang lokalitas itu sendiri.
Kedua, daerah sebagai lokalitas mental (isi) karya sastra. Untuk kategori kedua ini, para pengarang lebih mencurahkan perhatiannya pada aspek kedalaman isi ketimbang bentuk dalam karya-karyanya. Dalam proses kreatif penulisan, mereka tidak begitu peduli pada urusan nama-nama tokoh atau tempat lokal, kosa kata dan istilah-istilah daerah, juga bentuk fisik karya sastra tradisional tertentu yang dapat dijadikan sandaran kreativitas teknik penulisannya. Sebab, hal utama yang menjadi fokus perhatiannya adalah keseriusan dalam mengolah dan menyajikan lokalitas isi —baik direfleksikan dalam garapan tema, latar sosial-budaya, maupun karakter tokoh-tokohnya. Akan tetapi, meski secara teoretis ada, pada kenyataannya karya-karya semacam ini agak sulit kita temukan.
Ketiga, daerah sebagai lokalitas fisik-mental (bentuk dan isi) karya sastra. Dalam arti, kehadiran unsur-unsur lokal tidak saja fungsional dalam membangun bentuk, tetapi juga menjadi bagian penting dalam penggarapan isi suatu karya sastra. Kategori ketiga ini merupakan wujud perpaduan yang utuh antara kategori pertama dan kedua di atas. Proses kreatif penulisan karya jenis ini juga tergolong paling sulit dilakukan karena memang menuntut seperangkat pengetahuan dan kemampuan teknis yang tinggi. Akan tetapi, pengarang-pengarang yang serius pada umumnya bukan hanya piawai dalam memanfaatkan teori-teori sastra (mencakup masalah anatomi, genre, gaya, aliran, dan teknik penulisannya), melainkan juga memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang berbagai hal terkait dengan konsep lokalitas. Kalau kita cermati, karya-karya yang termasuk dalam kategori ketiga inilah tampaknya yang paling banyak kita jumpai dalam khazanah sastra Indonesia modern, mulai dari awal abad ke-20 hingga memasuki abad ke-21 sekarang. Bacalah novel Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Sitti Nurbaya (Mh. Rusli), Sukreni Gadis Bali (Anak Agung Nyoman Pandji Tisna), Warisan (Chairul Harun), Bako (Darman Moenir), Canting (Arswendo Atmowiloto), Tambo (Gus tf Sakai), Tarian Bumi (Oka Rusmini); kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), Cerita dari Blora (Pramoedya Ananta Toer), Di Bawah Matahari Bali (Gerson Poyk), Senyum Karyamin (Ahmad Tohari), Hang Tuah (Taufik Ikram Jamil), Tarian Gantar (Korrie Layun Rampan), kumpulan puisi Anak Laut Anak Angin (Abdul Hadi W.M.), Berlayar di Pamor Badik (D. Zawawi Imron), dan lain-lain.
Memang, sebagaimana halnya pilihan atas ketiga jalur penulisan sastra seperti dalam uraian terdahulu, keberpihakan terhadap salah satu dari ketiga kategori lokalitas sastra di atas juga sangat bergantung pada kualitas diri masing-masing pengarang. Hampir tidak ada pilihan yang tidak mengandung resiko. Akan tetapi, tampak jelas bahwa jalan terbaik untuk mengisi warna lokal dan atau mempertahankan identitas keindonesiaan dalam karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia adalah dengan memihak pada kategori yang ketiga. Sebab, dengan begitu kita bukan saja telah memberikan sumbangsih berharga bagi upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Indonesia, melainkan juga ikut mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa sendiri.

/ 6 /
Begitulah, lokalitas sastra atau sastra berwarna lokal dalam sastra Indonesia modern memang sesuatu yang harus diperjuangkan jika kita memang berharap banyak untuk menghasilkan karya-karya yang benar-benar berkarakter Indonesia. Sebab, kalau karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia telah mampu mengadopsi berbagai persoalan lokalitas yang notabene merepresentasikan jiwa-raga daerah tertentu, sesungguhnya ia telah berfungsi sebagai perpanjangan tangan sastra (berbahasa) daerah —kendati memang tidak persis sama. Kalau sudah demikian, kekhasan dan keunikan sosial-budaya suatu daerah atau etnis tertentu di Indonesia agaknya tidak secara mutlak harus diungkapkan dalam bahasa daerah bersangkutan. Bukankah kini, dalam perkembangannya, bahasa Indonesia sudah memiliki kemampuan yang baik untuk mengomunikasikan pemikiran dan perasaan masyarakat Indonesia dengan segala ragam suku bangsa dan kebudayaan daerahnya?  
            Atas dasar pemikiran tersebut, konteks lokalitas dalam sastra dan kepengarangan di Indonesia hendaknya dapat ditempatkan secara proporsional antara kepentingan lokal dan nasional sekaligus. Ada batas-batas yang mesti dipatuhi, ada celah-celah yang layak dimasuki. Pemanfaatan daerah sebagai sumber kreativitas dan inovasi penciptaan dalam sastra Indonesia pada akhirnya akan menimbulkan keselarasan dalam satu ungkapan: kebanggaan sastra merupakan kebanggaan daerah. Maka, renungkanlah kembali kata-kata Muhammad Yamin seperti yang terungkap dalam bait kedua sajak ”Bahasa, Bangsa”-nya: Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri/ Diapit keluarga kanan dan kiri/ Besar budiman di Taman Melayu/ Berduka suka, sertakan rayu;/ Perasaan serikat menjadi padu/ Dalam bahasanya, permai merdu. Demikianlah kiranya! []

Pelaihari, 18 April 2011
CATATAN KAKI :

[1] Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1971), dimuat dan diterbitkan kembali dalam buku kumpulan esainya yang ketiga, Kesusastraan dan Kekuasaan (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 55—66.
[2] Ibid, hlm. 57.
[3] Secara konseptual, istilah “sastra Indonesia terkini” yang saya maksudkan di sini tidak saja merujuk pada karya-karya sastra Indonesia yang lahir dalam tahun 2000-an, tetapi dalam konteksnya yang lebih luas juga dapat mencakupi karya-karya yang lahir sejak awal dekade 80-an hingga sekarang. Sebab, sepanjang tiga dasawarsa (1980—2010) tersebut tidak tampak perbedaan yang demikian tegas dalam hal kecenderungan atau lompatan-lompatan estetiknya, kecuali situasi sosial-politiknya yang terus berubah. 
[4] Lihat Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), hlm. 131—133.
[5] Lihat Abdul Rozak Zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah, Kamus Istilah Sastra, cet. 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 214.
[6] Novel Upacara (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978) berasal dari naskah Pemenang II Sayembara Mengarang Roman oleh Dewan Kesenian Jakarta (1976). Komentar singkat tentang novel ini antara lain dapat dilihat dalam Dendy Sugono (ed.), Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), hlm. 257—258.  
[7] Lihat Sapardi Djoko Damono, Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 406—407.
[8] Korrie Layun Rampan, Upacara, cet. 2 (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), hlm. 125—128.
[9] Hal ini pernah dibicarakan secara khusus oleh Darmanto Jatman, “Cerpen dengan Catatan Kaki” (Makalah Cakrawala Sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, September 2005).
[10] Lihat Maman S. Mahayana, “Perjalanan Estetika Lokal Cerpen Indonesia” (Makalah Kongres Cerpen Indonesia V di Pekanbaru, Riau, 26—30 November 2005), hlm. 1.
[11] Melani Budianta, “Lokalitas Sastra dalam Konteks Global” (Makalah Kongres Cerpen Indonesia V di Pekanbaru, Riau, 26—30 November 2005), hlm. 1.
 

SUMBER TULISAN :  
Makalah Seminar Internasional: Dialog Borneo-Kalimantan XI pada 13--15 Juli 201 di Samarinda, Kalimantan Timur.

1 komentar:

  1. BetMGM: Launching online sportsbook, mobile app in New Jersey
    BetMGM, the online gambling and 군포 출장마사지 gaming division 대구광역 출장마사지 of 공주 출장샵 MGM Resorts International, today 문경 출장샵 announced that BetMGM, the online gambling 충청남도 출장마사지 and gaming division of MGM

    BalasHapus