Kebanggaan Sastra
Sebagai Kebanggaan Daerah
Sebagai Kebanggaan Daerah
Sumber Kreativitas dan Inovasi Penciptaan
Oleh : Jamal T. Suryanata
Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di Taman Melayu
Berduka suka, sertakan rayu;
Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya, permai merdu.
(Muhammad Yamin, ”Bahasa, Bangsa”)
/ 1 /
Kedaerahan atau lokalitas sebagai persoalan
penting dalam dunia penciptaan sastra modern sudah sejak lama menjadi perhatian
para pengarang maupun kritikus dan pengamat sastra, baik telah dibentangkan
dalam bentuk esai-esai kritis maupun didedahkan melalui berbagai forum diskusi
sastra. Hal ini bukan hanya menjadi sorotan hangat dalam perbincangan sastra di
negeri-negeri Timur pasca-Perang Dunia II ketika modernitas Barat semakin kuat
merasuk ke dalam segala sendi kehidupan masyarakatnya, melainkan juga terjadi di
banyak negeri kawasan Barat sendiri. Ada semacam kegelisahan, bahkan bisa
menjadi sebentuk kecemasan, yang dirasakan oleh para pengarang modern itu akibat
situasi sosial-budaya yang telah menyeret mereka pada kondisi sastra (lebih
tepatnya: berkesusastraan) yang dinilai kurang membumi: keterasingan historis dari
akar tradisi sendiri.
Dalam konteks sastra Indonesia
modern, dunia kepenyairan pada khususnya, kegelisahan kultural semacam itu antara
lain terungkap dalam sebuah esai Goenawan Mohamad bertajuk ”Potret Seorang
Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang” (1971).[1] Bagian awal esai yang sekaligus dijadikan judul buku kumpulan esai pertamanya
ini lebih kurang berisi atau bercerita tentang petualangan pribadi sang penulis
sendiri sebagai seorang penyair muda Indonesia yang tidak memiliki akar
tradisi, kecuali sekadar mewarisi ’tradisi sastra Chairil Anwar’ yang boleh
dikata merupakan representasi tradisi sastra Indonesia modern umumnya pada saat
itu, setidak-tidaknya selama hampir tiga dasawarsa (1950-an hingga awal 1970-an).
Dalam pandangan Goenawan Mohamad, seorang penyair Indonesia (pada masa itu
—JTS) pada hakikatnya telah berjalan jauh sekali dari sekitarnya ketika ia
sampai pada posisi yang sadar bahwa ia adalah seorang penyair. Hal itulah
tampaknya yang terbetik dalam ’pengakuan’ pribadinya, ”Di belakang puisi yang
dituliskannya, tidak ada suatu perbendaharaan sejarah sastra yang mantap untuk
menopangnya.”[2]
Cerita
dan pengakuan Goenawan Mohamad di atas, saya kira, telah menjadi cerita dan
pengakuan kolektif hampir semua penyair Indonesia modern selepas tahun 1940-an ketika
mula pertama bersentuhan dengan dunia penulisan kreatif. Sejak pertengahan
hingga akhir abad ke-20, para pengarang Indonesia adalah generasi yang
dilahirkan dan dibesarkan dalam tradisi sastra Chairil Anwar oleh karena
tradisi sastra itulah yang mereka kenal dengan baik sejak masih duduk di bangku
sekolah dasar. Bahkan, hingga sekarang —ketika sejarah peradaban manusia
Indonesia telah memasuki awal abad ke-21 (alaf ketiga)— anak-anak sekolah dasar
maupun sekolah lanjutan agaknya masih lebih akrab dengan sajak ”Aku” karya
Chairil Anwar —terutama karena buku-buku teks pelajaran di sekolah selalu
mengutip ulang sajak tersebut—ketimbang syair-syair dan hikayat-hikayat klasik
yang sesungguhnya begitu kaya di daerahnya masing-masing. Maka, berangkat dari
tradisi semacam itulah para pengarang Indonesia modern menulis puisi —bahkan
juga merasuk ke dalam penulisan cerpen, novel, dan drama— hingga kemudian
melahirkan apa yang kini populer dengan sebutan ’sastra urban’.
Pada masa-masa awal kiprah
kepengarangannya, sungguh tidak ada pilihan bagi para pengarang muda Indonesia
yang lahir selepas masa Chairil Anwar kecuali harus menelan tradisi yang telah
mapan itu. Nyaris tak ada tempat bagi tradisi lokal, khazanah seni-budaya daerah
yang demikian melimpah itu, lantaran setiap celahnya telah diisi oleh teks-teks
sastra urban yang tidak lain dari hasil pengaruh sastra Barat (Eropa dan
Amerika). Jadi, dalam pandangan diskursifnya, sastra Indonesia modern adalah
sastra yang telah tercerabut dari akar tradisinya sendiri. Tradisi sastra
Indonesia modern periode 1950—1970 tidak lebih dari sekadar ’anak asuh’ tradisi
sastra Barat dilantarankan oleh jejak historisnya yang memang relatif dekat
selama masa kolonialisme. Maka, kalau benar demikian, saya pun tidak pernah
tahu apakah gejala tersebut merupakan sesuatu yang patut disesali ataukah
justru harus kita syukuri? Apakah ketercerabutan sastra Indonesia modern dari
akar tradisinya sendiri merupakan suatu kerugian ataukah justru sebuah
keuntungan?
Akan
tetapi, dalam hal ini, kiranya perlu kita sadari bahwa dunia sastra bukanlah
dunia hitam-putih yang menempatkan satu kecenderungan dominan sebagai sebuah tolok
ukur mutlak bagi kecenderungan-kecenderungan lainnya; bahwa kemunculan satu
gejala yang dianggap dominan tidak lantas menenggelamkan pernik-pernik lain
sebagai kemungkinan penolaknya. Oleh karena itu, dalam rangka menjernihkan
persoalan ini memang diperlukan sikap netral dan kehati-hatian; bahwa dalam
lingkup satu budaya dominan itu masih ada serpihan budaya lain sebagai
alternatif yang menjadikannya berbeda.
/ 2 /
Manakala perbincangan kemudian kita alihkan pada
perkembangan sastra Indonesia terkini, suka atau tidak suka, pada kenyataannya
kini kita telah berada jauh di depan.[3]
Jika persoalan di atas dipandang sebagai sumber kegelisahan atau momok yang
perlu dihindari, gejala keterasingan sastra Indonesia dari akar tradisinya
sendiri kini tidak lebih dari sebuah bayangan masa lampau. Sastra Indonesia
terkini bahkan telah melampaui sekat-sekat geografis maupun kultural sehingga
kita seakan-akan sedang berada di sebuah negeri tanpa batas. Lebih jauh lagi, perkembangan
sosial-politik Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir telah memberikan
keleluasaan yang begitu terbuka bagi para pengarang dalam mengekspresikan jiwa
dan pikirannya. Bahkan, kebebasan kreatif dalam berkarya (licentia poetica) kini bukan lagi sebuah slogan suci yang laku
dijual sebagaimana dulu sering menjadi bahan perbantahan.
Kondisi sastra Indonesia
terkini ibarat sebuah taman dengan aneka ragam bunga menghiasinya, mulai dari
perbedaan bentuk fisik, corak warna, hingga nuansa aromanya. Dalam taman sastra
Indonesia yang luwes dan sangat akomodatif itu telah tumbuh berkembang beragam
corak sastra dengan berbagai kecenderungan estetiknya, baik yang bercorak sastra
rural, sastra urban, maupun sastra suburban. Pada saat yang sama, di situ juga
tumbuh berkembang sastra bermuatan kritik sosial, sastra berwarna lokal, sastra
religius, sastra sufistik, sastra feminis, atau sastra-wangi. Dilihat dari
aspek medianya, di situ pun tumbuh berkembang ragam sastra koran, sastra
majalah, sastra jurnal, dan sastra buku. Kemudian, jika masih perlu diangkat
dan dibedakan lagi, di situ juga tumbuh berkembang dengan suburnya apa yang
lazim dikelompokkan sastra serius dan sastra populer. Ringkas kata, kondisi
sastra Indonesia terkini merupakan sebuah keniscayaan baru yang memberikan
banyak kemungkinan.
Namun demikian, hendaknya kita
sadari pula bahwa gejala keterbukaan ini bukanlah sebuah lembaran sejarah yang
tanpa resiko. Sebab, ketika segalanya sudah terbuka dan cenderung menjadi
sangat cair, hal ini memungkinkan suatu entitas akan kehilangan identitasnya. Jika
identitas utama suatu tradisi sastra adalah faktor kebangsaan pengarang dan bahasa yang menjadi
mediumnya, maka sastra Indonesia berarti seluruh karya sastra yang dihasilkan
oleh pengarang (warga negara) Indonesia dan diungkapkan dalam bahasa Indonesia
—apa pun bentuk, ragam, gaya, dan nilai budaya yang dikandungnya. Kalau
persoalannya memang sesederhana itu, ihwal identitas kesastraan kita tentunya
bukan suatu masalah yang perlu dirisaukan. Oleh karena itu, maka akan menjadi
sah-sah saja jika semua pengarang Indonesia kemudian menulis karya-karya
sejenis Olenka atau Orang-orang Bloomington sebagaimana yang
dilakukan Budi Darma. Akan tetapi, persoalannya sekarang, apakah cukup
identitas sastra Indonesia itu sekadar dicirikan oleh faktor kebangsaan
pengarang dan bahasa yang digunakannya? Jika benar anggapan bahwa sastra
merupakan refleksi sosial-budaya atau sebagai cerminan zaman yang
melahirkannya, tidakkah kita ingin memiliki karya-karya yang benar-benar
berkarakter Indonesia dengan segala kekhasan dan keunikannya ketika harus
bersanding dengan karya-karya bangsa lain?
Lagi pula, pembatasan di atas agaknya
terlalu sempit untuk menyatakan semangat nasionalisme dan konsep keindonesiaan.
Sebab, jika ciri keindonesiaan sastra kita hanya diukur berdasarkan faktor kebangsaan
(kewarganegaraan) sang pengarang dan bahasa yang menjadi mediumnya (baca:
bahasa Indonesia), hal ini justru telah menegasikan kenyataan sosiokultural
tentang eksistensi sastra daerah yang diungkapkan dalam berbagai bahasa daerah.
Sebab, dengan demikian, seluruh karya sastra berbahasa daerah (Jawa, Sunda,
Bali, Bugis, Batak, Banjar, dan lain-lain) tentunya tidak termasuk dalam
lingkup sastra Indonesia. Padahal, pada kenyataannya, secara geografis-politis-soiokultural
semua daerah tersebut (notabene pengarang dan bahasanya) merupakan bagian dari
konsep keindonesiaan karena termasuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Jadi, berdasarkan alasan geografis-politis-sosiokultural
pula, sudah sepantasnyalah jika seluruh khazanah sastra (berbahasa) daerah juga
disebut sastra Indonesia.
Dalam kaitan ini, ketika
menyoal tentang konsep ”sastra Indonesia” dalam sebuah esainya (yang tidak lain
berarti persoalan identitas pula), Sapardi Djoko Damono coba menawarkan dua
alternatif jawaban, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pertama, sastra Indonesia ialah karya sastra yang
ditulis dalam bahasa Indonesia (kemudian dilengkapi dengan unsur: oleh penulis berkewarganegaraan Indonesia).
Kedua, karya sastra yang ditulis oleh
warga negara Indonesia dalam bahasa-bahasa yang ada di negeri ini.[4]
Alternatif jawaban pertama, saya kira, pengertiannya sudah sangat jelas bagi
kita: betapa sempitnya sastra Indonesia. Oleh karena itu, saya lebih bersetuju
pada alternatif jawaban yang kedua karena konsep ini tidak saja merujuk pada
karya-karya sastra berbahasa Indonesia, tetapi juga melingkupi seluruh karya
sastra yang diungkapkan dalam bahasa-bahasa daerah. Di samping itu, dengan
mengenakan konsep yang sangat akomodatif ini berarti kita juga telah memperluas
wilayah konseptual dan sekaligus memperkaya khazanah sastra Indonesia karena di
dalamnya telah tercakup seluruh karya sastra yang diciptakan oleh para
pengarang berkewargaregaraan Indonesia, dalam bahasa daerah maupun bahasa
Indonesia, baik lisan maupun tulisan.
/ 3 /
Memang, sastra pada dasarnya bisa terlahir dalam
bahasa apa pun dan bebas mengusung nilai budaya manapun. Baik bahasa yang
digunakan maupun nilai budaya yang diangkat oleh seorang pengarang pada dasarnya
juga tidak lebih dari soal pilihan. Sementara, pilihan itu sendiri sangat
dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa dan penguasaan budaya sang pengarang.
Karena itulah, beberapa pengarang Indonesia dengan latar belakang budaya Jawa bisa
dengan lincahnya bercerita tentang tradisi-budaya Jawa dalam karya-karya mereka
—sebutlah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
(Ahmad Tohari), Pengakuan Pariyem
(Linus Suryadi Ag), Burung-burung Manyar
(Y.B. Mangunwijaya), Arok Dedes
(Pramoedya Ananta Toer), atau Para Priayi
(Umar Kayam). Demikian juga sederet pengarang Indonesia lainnya dengan latar
budaya daerah masing-masing telah coba ”mengindonesiakan” lokalitasnya dalam karya-karya
mereka. Lihatlah karya-karya Korrie Layun Rampan (Dayak, Kalimantan), Wisran
Hadi, Chairul Harun, Darman Moenir, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Gus
tf Sakai, Marhalim Zaini, Andrea Herata (Minangkabau, Melayu, Padang), Putu
Wijaya, Putu Arya Tirtawirya, Gerson Poyk, Putu Oka Sukanta, Oka Rusmini, Wayan
Sunarta (Bali, Lombok), juga beberapa sajak Abdul Hadi WM dan D. Zawawi Imron
(Madura), dan lain-lain.
Secara
teoretis, karya-karya yang mengangkat unsur-unsur kedaerahan atau lokalitas tersebut
lazim dikelompokkan ke dalam genre sastra berwarna lokal. Istilah ”warna lokal”
atau ”warna tempatan” (local colour) itu
sendiri pada umumnya diartikan sebagai gambaran daerah tertentu seperti
pakaian, sopan santun, dialek, dan sebagainya yang melatari kehidupan tokoh
dalam karya sastra dan hanya bersifat dekoratif.[5]
Namun, dalam pengertian yang lebih mendalam, konsep ini tentunya harus mengacu
pada karya-karya yang memang menggambarkan totalitas latar sosial-budaya
tempatan suatu daerah (etnisitas). Gambaran tersebut tidak saja terlihat dalam
latar tempat cerita berlangsung atau sekadar mengutip beberapa kosa kata
daerah, tetapi (idealnya) juga harus termanifestasikan dalam karakter tokoh dan
gaya bahasa yang merupakan cerminan jiwa kebudayaan daerah bersangkutan.
Dalam lintasan sejarah sastra
Indonesia, genre sastra semacam itu (baca: sastra berwarna lokal) sebenarnya
telah tampak dalam novel-novel periode Balai Pustaka (1920-an) dan Pujangga
Baru (1930-an). Namun, seiring dengan perkembangan pemikiran masyarakat
Indonesia (khususnya di kalangan intelektualnya) yang semakin berorientasi pada
modernisme Barat, dalam periode 1940—1960-an kecenderungan tersebut agaknya
mulai menyusut (kalau bukan lepas sama sekali). Dengan demikian, boleh dikata
bahwa selepas tahun 1960-an pada dasarnya hanya merupakan masa kebangkitan
kembali genre sastra berwarna lokal dalam sastra Indonesia. Fenomena ini
setidaknya ditandai dengan terbitnya novel Upacara
karya Korrie Layun Rampan (1978) yang, karena kekhasan dan keunikannya, oleh
sejumlah kritikus dipandang sebagai pembawa cakrawala baru dalam sastra
Indonesia (dalam penulisan fiksi atau novel pada khususnya).[6]
Ketika harus bersanding dengan
karya-karya sastra bangsa lain, lantaran kekhasan dan keunikannya yang
mengusung warna lokal itu, justru karya-karya demikianlah yang dipandang
berkarakter Indonesia dan karenanya paling representatif untuk mewakili sastra
Indonesia. Sebab, karakter keindonesiaan tidak mungkin dapat ditangkap oleh
pembaca asing dalam beberapa novel dan cerpen Iwan Simatupang atau Putu Wijaya (yang
lazim disebut genre sastra absurd itu) maupun dalam karya-karya Dee, Djenar
Maesa Ayu, Fira Basuki, Dinar Rahayu, Ratih Kumala, Eka Kurniawan, Afrizal
Malna, Linda Christanty, dan sederet nama lagi. Selain itu, dalam konteks
keindonesiaan yang multi-etnis (dengan bahasa dan tradisi-budaya masing-masing),
karya-karya sastra berwarna lokal dapat perlakukan sebagai dokumen budaya yang
sangat berharga bagi para ilmuwan yang bergerak di bidang etnografi dan
ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Maka, dalam konteks inilah kita akan melihat urgensi
kedudukan dan arti penting kehadiran karya-karya sastra Indonesia dengan
kecenderungan warna lokal.
Namun, sekadar catatan
tambahan, hendaknya kita juga perlu menyadari bahwa semaraknya kecenderungan
sastra berwarna lokal dalam khazanah sastra (berbahasa) Indonesia bukannya suatu
gejala yang tanpa resiko pula. Sebagai suatu contoh kasus, ketika membicarakan
tentang novel Jawa tahun 1950-an, Sapardi Djoko Damono pernah mengingatkan
mengenai resiko (terutama dari segi kerugiannya) yang harus ditanggungkan oleh
novel-novel (berbahasa) Indonesia yang mengangkat latar sosial-budaya Jawa.
Sebab, setiap bahasa memiliki seperangkat citraan, ungkapan, dan acuan tertentu
yang menggambarkan sikap tertentu dari pemilik bahasa itu terhadap segala
sesuatu. Berdasarkan pandangan ini, sebenarnya novel berbahasa Indonesia yang
ingin mengungkapkan masalah Jawa tidak bisa sepenuhnya mengungkapkan gagasan,
nilai, dan kaidah yang merupakan kebudayaan Jawa. Gagasan ”asing” yang tersirat
dalam bahasa Indonesia tentu akan mempengaruhi usaha pengungkapan kebudayaan
Jawa dalam bahasa Indonesia. Novel berbahasa Indonesia yang ditulis oleh orang
Jawa mengenai masalah Jawa sebenarnya merupakan semacam terjemahan, yang tentu
tidak sama dengan aslinya. Usaha untuk menyisipkan beberapa kata dan ungkapan
Jawa, dalam usaha untuk tetap mempertahankan kemurnian gagasan dan nilai
Jawanya, tidak jarang malah terasa mengganggu.[7]
Kritik
di atas memang merupakan sebuah kasus yang ditujukan untuk tradisi novel
(sastra) Indonesia dengan warna lokal Jawa, tetapi jelas bahwa prinsip-prinsip
dasarnya dapat berlaku umum untuk seluruh karya sastra berbahasa Indonesia yang
mengangkat tema lokal atau unsur-unsur kedaerahan lainnya. Dalam kaitan ini,
kita kembali dapat merujuk pada novel Upacara
—sebuah novel (berbahasa) Indonesia yang mengangkat dan mengeksplorasi
tradisi-budaya etnis Dayak (Benuaq) di Kalimantan Timur (daerah asal sang
pengarang)— sebagai contoh bandingan. Dalam usaha tetap mempertahankan
kemurnian gagasan dan nilai Dayaknya, maka di banyak tempat di halaman-halaman
tersebar novel ini (dari Belahan Satu hingga Belahan Lima), sang pengarang
”terpaksa” harus menggunakan sejumlah kata dan idiom daerah bersangkutan. Untuk
itu pula, di beberapa halaman akhir novel ini, sang pengarang merasa perlu
menyertakan semacam kamus kecil (baca: Keterangan Istilah Benuaq) sebagai
penjelasan atas sederet (sebanyak 83 buah) istilah dan ungkapan asli tersebut.[8]
Benarlah
seperti yang telah diungkapkan Sapardi Djoko Damono, kehadiran banyak kosa kata
dan istilah asli daerah yang digunakan sang pengarang sebagai pendukung usaha
pemurnian lokalitas atau membangun citraan yang lebih mendekati realitas tempatan
dalam novel tersebut (lebih-lebih karena ditempatkan di halaman tersendiri)
terasa cukup mengganggu proses pembacaan, khususnya oleh kalangan pembaca yang bukan
dari etnis Dayak Benuaq atau bahkan bagi orang Dayak Benuaq sendiri yang tidak
memahami bahasa-ibu mereka. Resiko serupa tentunya akan berlaku pula untuk
karya-karya sastra Indonesia sejenis, dengan latar sosial-budaya yang berbeda. Namun,
kalau kita mau jujur, ihwal rasa keterusikan pembaca seperti itu tampaknya bukan
melulu milik para pembaca karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia dengan warna
lokal tertentu, melainkan juga akan dialami oleh para pembaca umumnya yang
sedang menikmati karya-karya sastra Indonesia (puisi, cerpen, novelet, novel,
drama) yang penuh dengan catatan penjelas (apa pun istilahnya: catatan kaki, catatan
belakang, senarai kata, kamus kecil, dan lain-lain) yang tampak kian marak
dewasa ini.[9] Sebab, gejala demikian
agaknya sudah merupakan sebuah realitas baru dalam sastra Indonesia terkini dan
sulit untuk dihindari oleh siapa pun yang ingin membaca khazanah karyanya yang
secara kuantitatif benar-benar telah menunjukkan kemajuan luar biasa pesatnya.
Akan tetapi, dari sisi lain,
agaknya kita juga perlu memahami bahwa sang pengarang pun tampaknya tidak punya
pilihan lain yang lebih komunikatif kecuali harus berbuat demikian. Sebab, jika
penjelasan atas berbagai kosa kata dan idiom daerah itu dimasukkan ke dalam
narasi tentu akan berpotensi menimbulkan kekacauan struktur cerita novel
tersebut; alih-alih membantu pemahaman pembaca, malah dapat mengganggu proses
pembacaan yang lebih serius. Kita tidak tahu bagaimana jadinya struktur cerita
novel Jatisaba (Yogyakarta: ICE,
2011) —sebagai salah satu novel Indonesia terkini yang sarat warna lokal
(sosial-budaya masyarakat Jatisaba, Cilacap, Jawa Tengah) dan karenanya juga banyak
menghadirkan kosa kata dan idiom daerah (dengan 75 catatan kaki)— jika Ramayda
Akmal (sang pengarang) memasukkan seluruh deskripsi dan atau uraian penjelasnya
atas kosa kata dan idiom daerah itu ke dalam narasi novelnya (setebal 337
halaman); tentu bukan cuma novel itu akan bertambah tebal, melainkan juga dapat
berimplikasi pada kekacauan struktur cerita dan akan mengusik kenikmatan para
pembaca dalam proses pembacaan mereka.
/ 4 /
Dalam konsepsi yang lebih ideal, sejalan dengan
argumen-argumen yang telah dikemukakan Sapardi Djoko Damono, penggambaran lokalitas
suatu daerah dalam karya sastra selayaknya memang harus diungkapkan dalam
bahasa yang selaras dengan tradisi-budaya yang melahirkannya, yakni bahasa
daerah bersangkutan. Jadi, lokalitas (baca: masalah-masalah sosial-budaya)
Jawa, misalnya, seharusnya juga ditulis dalam bahasa Jawa. Demikian juga
lokalitas Sunda, Madura, Bali, Batak, Bugis, Dayak, Banjar, dan seterusnya.
Akan tetapi, dalam rangka membangun nasionalisme, pada kenyataannya politik
bahasa Indonesia telah berjalan sedemikian rupa sehingga seakan-akan telah
mengesampingkan eksistensi bahasa-bahasa daerah yang ratusan jumlahnya, bahkan
nyaris tidak memberi tempat bagi pertumbuhkembangannya. Kendati sastra
(berbahasa) daerah tetap dapat tumbuh berkembang, tetapi dalam
pertumbuhkembangannya sekarang pada umumnya selalu mengalami kondisi terjepit
(meminjam istilah Sapardi Djoko Damono). Dengan kata lain, sastra daerah tidak
dapat berkembang sebagaimana mestinya. Kondisi semacam inilah yang kini dialami
oleh sastra Jawa, Sunda, Bali, dan Banjar —sekadar menyebut beberapa tradisi sastra
(berbahasa) daerah yang masih eksis berkembang hingga sekarang, bahkan
berlanjut dengan genre sastra modernnya.
Menyadari
akan keterbatasan daya jangkau sastra daerah, para pengarang pun pada akhirnya
harus mencoba beradaptasi dengan kondisi yang ada. Dilantarankan oleh daya
jangkaunya yang lebih luas, para pengarang pun lebih banyak memilih menulis
dalam bahasa nasional (bahasa Indonesia). Sebab, dipandang dari berbagai sudut,
menulis dalam bahasa Indonesia memang jauh lebih menguntungkan tinimbang menulis
dalam bahasa daerah yang daya jangkau pembacanya sangat terbatas, sejauh daya
jangkau bahasa bersangkutan. Seiring dengan daya jangkaunya yang luas, tingkat
popularitas seorang pengarang juga jauh lebih terangkat jika menulis dalam
bahasa Indonesia. Semua itu tentunya juga berimplikasi pada peningkatan
kesejahteraan hidup para pengarangnya. Belum lagi jika persoalannya dikaitkan
dengan kenyataan bahwa —berdasarkan pengalaman beberapa pengarang— menulis
dalam bahasa daerah jauh lebih sulit daripada menulis dalam bahasa Indonesia.
Namun demikian, kita juga
masih punya harapan lain untuk prospek kebertahanan sastra daerah karena
masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat bilingual (minimal
menguasai bahasa daerah dan bahasa Indonesia), bahkan multiliangual. Dalam
kondisi demikian, kita tidak perlu merasa heran jika dalam banyak kasus para
pengarang Indonesia (yang umumnya juga dwibahasawan itu) justru merasa
diuntungkan. Sebab, mereka dapat dengan mudah memilih jalur-jalur media penulisan
sastra yang ada: hanya menulis sastra (berbahasa) daerah, hanya menulis sastra
(berbahasa) Indonesia, atau dapat dengan bebas bolak-balik antara menulis sastra
(berbahasa) daerah dan sastra (berbahasa) Indonesia.
Pilihan atas tradisi penulisan
pertama dan ketiga jelas memberikan janji baik bagi prospek kebertahanan maupun
pertumbuhkembangan sastra daerah, sebagaimana dapat kita lihat hingga sekarang.
Namun demikian, andaipun kelak jalur penulisan sastra (berbahasa) daerah
benar-benar sudah berada di jalan buntu, pilihan atas tradisi penulisan kedua
sekalipun sebenarnya masih dapat menyelamatkan identitas keindonesiaan melalui
karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia berwarna lokal. Karya-karya
demikianlah sesungguhnya yang memiliki karakter keindonesiaan yang kuat oleh
karena konsep ”Indonesia” itu sendiri tidak lain berarti sebuah titik temu dan
merupakan perpaduan daerah-daerah. Akan tetapi, kebertahanan konsep ini sangat
bergantung pada tingkat kesadaran para pengarang kita terhadap
persoalan-persoalan sosial-budaya tempatan atau lokalitasnya masing-masing.
Agaknya, menyadari akan
pentingnya identitas keindonesiaan (dalam sastra Indonesia) itulah sehingga
para penggagas Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru (Riau) pada 26—30
November 2005 yang lalu merasa perlu mengusung sebuah tema besar bertajuk ”Ayo,
Estetika Lokal!”. Penerjemahan atas tema besar tersebut di antaranya memang cukup
terepresentasikan melalui sejumlah kertas kerja yang disajikan dalam
serangkaian diskusinya, misalnya dalam makalah bertajuk ”Lokalitas Desa” (Ahmad
Tohari), ”Lokalitas Minangkabau” (Gus tf Sakai), dan ”Lokalitas Melayu” (Taufik
Ikram Jamil). Akan tetapi, penerjemahan atas konsep yang sama kemudian menjadi
tampak mengambang ketika kita disodori beberapa makalah lain semisal ”Lokalitas
Masyarakat Miskin Jakarta dan Saya” (Hamsad Rangkuti), ”Lokalitas Dunia
Gelandangan” (Joni Ariadinata), dan bahkan ”Lokalitas Masyarakat Bloomington”
(Budi Darma). Sebab, konsep lokalitas yang diusung oleh tiga kertas kerja yang
disebut terakhir tentunya sangat berbeda dengan konsep lokalitas dalam tiga
kertas kerja yang disebut pertama. Namun, hal itu pada akhirnya harus kita
maklumi karena para penggagas dan atau penyelenggara penghelatan akbar tersebut
tampaknya memang telah menempatkan makna ”lokalitas” itu sendiri sebagai sebuah
konsep umum yang berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu yang terbatas
atau dibatasi oleh wilayah lain.[10]
Atau, dalam arti ”berbagai aspek kultural yang terjadi di suatu tempat dan masa
tertentu.”[11] Jadi, dengan demikian, konsep
lokalitas tidak hanya berkaitan dengan persoalan sosial-budaya etnis tertentu,
tetapi juga menyentuh masalah-masalah soasial-budaya dalam suatu komunitas
masyarakat di suatu wilayah dan masa tertentu, sebagaimana dimaksud dalam
ketiga makalah yang disebut terakhir tadi.
/ 5 /
Kendati tidak sepenuhnya lepas dari konsepnya
umum, dalam konteks sastra Indonesia saya lebih menempatkan ”lokalitas” sebagai
sebuah konsep deferensial yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial-budaya
yang hidup dan berkembang dalam suatu lingkungan masyarakat atau etnis tertentu
di Indonesia, dalam suatu masa tertentu, yang terefleksikan dalam karya-karya
sastranya. Dengan demikian, karena kekhasan dan keunikan lokalitasnya yang
benar-benar berkarakter Indonesia, identitas sastra Indonesia dapat dengan
mudah dibedakan dari karya-karya sastra bangsa lainnya. Hanya dalam pengertian
inilah, saya kira, kebanggaan sastra Indonesia niscaya akan menjadi kebanggaan
daerah pula.
Manakala
lokalitas atau aspek-aspek kedaerahan itu dihubungkaitkan dengan kedudukannya
sebagai sumber kreativitas dan inovasi penciptaan karya-karya sastra, sejauh
yang dapat saya tangkap, paling tidak ia bisa dipahami dari tiga posisi atau
kategori. Pertama, daerah sebagai lokalitas fisik (baca: bentuk) karya sastra.
Dalam hal ini, para pengarang sekadar meminjam nama-nama tempat (Kutai atau Banjar, misalnya), memakai nama-nama orang yang khas mencirikan
daerah atau etnis tertentu (Wayan
atau Cecep, misalnya), memasukkan
beberapa kosa kata dan idiom daerah (emak
atau balian, misalnya), atau
menjadikan bentuk-bentuk sastra daerah tertentu sebagai sandaran kreativitas
penciptaan karya-karyanya (pola persajakan
atau teknik penceritaan, misalnya).
Pengarang tidak mengeksplorasi berbagai persoalan sosial-budaya tempatan secara
serius dan mendalam sehingga kehadiran unsur-unsur lokal itu di dalam
karya-karyanya juga tidak lebih dari sekadar tempelan-tempelan artifisial. Oleh
karena itu, ditinjau dari segi isinya, kehadiran unsur-unsur lokal tersebut
tampaknya kurang fungsional karena sama sekali tidak mencerminkan kekuatan
warna lokal daerah atau etnis tertentu. Karya-karya jenis ini mungkin cukup
banyak kita temui, terutama dalam genre fiksi dan puisi hasil garapan para
pengarang pemula yang agaknya bertendensi kuat ingin menulis karya sastra
berwarna lokal, tetap tidak cukup pemahaman tentang lokalitas itu sendiri.
Kedua, daerah sebagai
lokalitas mental (isi) karya sastra. Untuk kategori kedua ini, para pengarang
lebih mencurahkan perhatiannya pada aspek kedalaman isi ketimbang bentuk dalam
karya-karyanya. Dalam proses kreatif penulisan, mereka tidak begitu peduli pada
urusan nama-nama tokoh atau tempat lokal, kosa kata dan istilah-istilah daerah,
juga bentuk fisik karya sastra tradisional tertentu yang dapat dijadikan
sandaran kreativitas teknik penulisannya. Sebab, hal utama yang menjadi fokus
perhatiannya adalah keseriusan dalam mengolah dan menyajikan lokalitas isi
—baik direfleksikan dalam garapan tema, latar sosial-budaya, maupun karakter
tokoh-tokohnya. Akan tetapi, meski secara teoretis ada, pada kenyataannya karya-karya
semacam ini agak sulit kita temukan.
Ketiga, daerah sebagai
lokalitas fisik-mental (bentuk dan isi) karya sastra. Dalam arti, kehadiran
unsur-unsur lokal tidak saja fungsional dalam membangun bentuk, tetapi juga
menjadi bagian penting dalam penggarapan isi suatu karya sastra. Kategori
ketiga ini merupakan wujud perpaduan yang utuh antara kategori pertama dan
kedua di atas. Proses kreatif penulisan karya jenis ini juga tergolong paling
sulit dilakukan karena memang menuntut seperangkat pengetahuan dan kemampuan
teknis yang tinggi. Akan tetapi, pengarang-pengarang yang serius pada umumnya
bukan hanya piawai dalam memanfaatkan teori-teori sastra (mencakup masalah
anatomi, genre, gaya, aliran, dan teknik penulisannya), melainkan juga memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam tentang berbagai hal terkait dengan konsep
lokalitas. Kalau kita cermati, karya-karya yang termasuk dalam kategori ketiga
inilah tampaknya yang paling banyak kita jumpai dalam khazanah sastra Indonesia
modern, mulai dari awal abad ke-20 hingga memasuki abad ke-21 sekarang. Bacalah
novel Azab dan Sengsara (Merari
Siregar), Sitti Nurbaya (Mh. Rusli), Sukreni Gadis Bali (Anak Agung Nyoman
Pandji Tisna), Warisan (Chairul
Harun), Bako (Darman Moenir), Canting (Arswendo Atmowiloto), Tambo (Gus tf Sakai), Tarian Bumi (Oka Rusmini); kumpulan
cerpen Robohnya Surau Kami (A.A.
Navis), Cerita dari Blora (Pramoedya
Ananta Toer), Di Bawah Matahari Bali
(Gerson Poyk), Senyum Karyamin (Ahmad
Tohari), Hang Tuah (Taufik Ikram
Jamil), Tarian Gantar (Korrie Layun
Rampan), kumpulan puisi Anak Laut Anak
Angin (Abdul Hadi W.M.), Berlayar di
Pamor Badik (D. Zawawi Imron), dan lain-lain.
Memang, sebagaimana halnya
pilihan atas ketiga jalur penulisan sastra seperti dalam uraian terdahulu, keberpihakan
terhadap salah satu dari ketiga kategori lokalitas sastra di atas juga sangat
bergantung pada kualitas diri masing-masing pengarang. Hampir tidak ada pilihan
yang tidak mengandung resiko. Akan tetapi, tampak jelas bahwa jalan terbaik
untuk mengisi warna lokal dan atau mempertahankan identitas keindonesiaan dalam
karya-karya sastra (berbahasa) Indonesia adalah dengan memihak pada kategori
yang ketiga. Sebab, dengan begitu kita bukan saja telah memberikan sumbangsih berharga
bagi upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Indonesia, melainkan juga ikut
mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa sendiri.
/ 6 /
Begitulah, lokalitas sastra atau sastra berwarna
lokal dalam sastra Indonesia modern memang sesuatu yang harus diperjuangkan
jika kita memang berharap banyak untuk menghasilkan karya-karya yang
benar-benar berkarakter Indonesia. Sebab, kalau karya-karya sastra (berbahasa)
Indonesia telah mampu mengadopsi berbagai persoalan lokalitas yang notabene
merepresentasikan jiwa-raga daerah tertentu, sesungguhnya ia telah berfungsi
sebagai perpanjangan tangan sastra (berbahasa) daerah —kendati memang tidak
persis sama. Kalau sudah demikian, kekhasan dan keunikan sosial-budaya suatu
daerah atau etnis tertentu di Indonesia agaknya tidak secara mutlak harus
diungkapkan dalam bahasa daerah bersangkutan. Bukankah kini, dalam
perkembangannya, bahasa Indonesia sudah memiliki kemampuan yang baik untuk
mengomunikasikan pemikiran dan perasaan masyarakat Indonesia dengan segala ragam
suku bangsa dan kebudayaan daerahnya?
Atas
dasar pemikiran tersebut, konteks lokalitas dalam sastra dan kepengarangan di
Indonesia hendaknya dapat ditempatkan secara proporsional antara kepentingan
lokal dan nasional sekaligus. Ada batas-batas yang mesti dipatuhi, ada
celah-celah yang layak dimasuki. Pemanfaatan daerah sebagai sumber kreativitas
dan inovasi penciptaan dalam sastra Indonesia pada akhirnya akan menimbulkan
keselarasan dalam satu ungkapan: kebanggaan sastra merupakan kebanggaan daerah.
Maka, renungkanlah kembali kata-kata Muhammad Yamin seperti yang terungkap dalam
bait kedua sajak ”Bahasa, Bangsa”-nya: Terlahir
di bangsa, berbahasa sendiri/ Diapit keluarga kanan dan kiri/ Besar budiman di
Taman Melayu/ Berduka suka, sertakan rayu;/ Perasaan serikat menjadi padu/ Dalam
bahasanya, permai merdu. Demikianlah kiranya! []
Pelaihari,
18 April 2011
CATATAN KAKI :
[1] Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si
Malin Kundang (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1971), dimuat dan diterbitkan kembali dalam
buku kumpulan esainya yang ketiga, Kesusastraan
dan Kekuasaan (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 55—66.
[2] Ibid, hlm. 57.
[3] Secara konseptual, istilah “sastra Indonesia
terkini” yang saya maksudkan di sini tidak saja merujuk pada karya-karya sastra
Indonesia
yang lahir dalam tahun 2000-an, tetapi dalam konteksnya yang lebih luas juga
dapat mencakupi karya-karya yang lahir sejak awal dekade 80-an hingga sekarang.
Sebab, sepanjang tiga dasawarsa (1980—2010) tersebut tidak tampak perbedaan
yang demikian tegas dalam hal kecenderungan atau lompatan-lompatan estetiknya,
kecuali situasi sosial-politiknya yang terus berubah.
[4] Lihat Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan
Indonesia Modern: Beberapa Catatan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983),
hlm. 131—133.
[5] Lihat Abdul Rozak Zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah, Kamus Istilah Sastra, cet. 3 (Jakarta: Balai Pustaka,
2007), hlm. 214.
[6] Novel Upacara (Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya, 1978) berasal dari naskah Pemenang II Sayembara Mengarang
Roman oleh Dewan Kesenian Jakarta
(1976). Komentar singkat tentang novel ini antara lain dapat dilihat dalam
Dendy Sugono (ed.), Ensiklopedi Sastra
Indonesia Modern (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2003), hlm. 257—258.
[7] Lihat Sapardi Djoko Damono, Priayi
Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 406—407.
[8] Korrie Layun Rampan, Upacara,
cet. 2 (Jakarta:
Pustaka Jaya, 2000), hlm. 125—128.
[9] Hal ini pernah dibicarakan secara khusus oleh Darmanto Jatman,
“Cerpen dengan Catatan Kaki” (Makalah Cakrawala Sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, di Taman
Ismail Marzuki Jakarta,
September 2005).
[10] Lihat Maman S. Mahayana, “Perjalanan Estetika Lokal Cerpen Indonesia”
(Makalah Kongres Cerpen Indonesia V di Pekanbaru, Riau, 26—30 November 2005), hlm.
1.
[11] Melani Budianta, “Lokalitas Sastra dalam
Konteks Global” (Makalah Kongres Cerpen Indonesia V di Pekanbaru, Riau, 26—30
November 2005), hlm. 1.
SUMBER TULISAN :
Makalah Seminar Internasional: Dialog Borneo-Kalimantan XI pada 13--15 Juli 201 di Samarinda, Kalimantan Timur.
BetMGM: Launching online sportsbook, mobile app in New Jersey
BalasHapusBetMGM, the online gambling and 군포 출장마사지 gaming division 대구광역 출장마사지 of 공주 출장샵 MGM Resorts International, today 문경 출장샵 announced that BetMGM, the online gambling 충청남도 출장마사지 and gaming division of MGM