Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Jumat, 11 November 2011

Tradisi Cerpen di Kalsel


Jalan Berliku Menuju Indonesia:
Tentang Tradisi Penulisan Cerpen
di Kalimantan Selatan


Oleh : Jamal T. Suryanata


Dengarkanlah Kumandang Tanah Air,
tidakkah ada saling mengerti antara Maseri Matali, Suhana dan Achmad Nur
di pedalaman dan pesisir Kalimantan dengan penyair-penyair pulau Ambon
Lisapaly dan Sijaranamual dan penyair Gorontalo M.A. Kamah?
 ( H.B. Jassin )

/ 1 /
Saya tahu, sesungguhnya agak naif menempatkan kutipan kalimat di atas untuk mengawali tulisan ini. Kutipan tersebut tak lebih dari sebuah pertanyaan retoris yang dilontarkan H.B. Jassin dalam salah satu esainya yang bertajuk ”Seni, Seniman, dan Peminat” di majalah Mimbar Indonesia saat menyoal ketidak-mengertian banyak orang terhadap bahasa penyair (baca: puisi).[1] Lalu, apa perlunya saya mengutipkan kalimat itu? Apa relevansinya persoalan puisi dan kepenyairan dibawa-bawa ke dalam perbincangan mengenai tradisi cerpen di Kalimantan Selatan (Kalsel) ini?

           Tentu saja saya punya alasan tersendiri sehingga merasa perlu menempelkan kutipan kalimat tersebut di awal tulisan ini. Dengan kutipan itu saya ingin memberikan sebuah gambaran komparatif antara tradisi penulisan puisi atawa kepenyairan dengan tradisi penulisan cerpen di Kalsel yang – minimal secara kuantitas – tampaknya cukup paradoks selama ini. Sebagaimana secara historis dapat kita lacak, sejak tahun 1930-an Kalsel niscaya merupakan lahan yang sangat subur bagi pertumbuhkembangan spesies yang bernama puisi dan atau makhluk yang lazim digelari ”penyair”. Demikianlah, sejarah telah mencatat, pada sekitar dekade 40-an sajak-sajak Maseri Matali sudah pun sahut-bersahut dengan karya-karya Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Siti Nuraini, dan beberapa penyair berpengaruh lainnya yang kala itu sedang giat-giatnya meramaikan jagat sastra di tanah air melalui sejumlah majalah yang terbilang cukup prestesius semisal Mimbar Indonesia, Pantja Raja, dan Spektrum (Jakarta). Dalam kaitan inilah, disebut-sebutnya nama Maseri Matali oleh H.B. Jassin – terutama karena posisinya sebagai tokoh kritikus sastra yang paling berpengaruh, bahkan nyaris tak tertandingi, pada masa itu – tentunya dapat dipandang sebagai bentuk legitimasi tak langsung atas popularitas dan kewibawaan penyair asal Kalsel tersebut di antara sederet nama penyair nasional papan atas lainnya. 

Selepas Maseri Matali, anggapan tentang kedudukan Kalsel sebagai lahan subur bagi pertumbuhkembangan puisi dan atau kepenyairan kembali dikukuhkan oleh kehadiran beberapa penyair generasi penerus yang aktif berkarya antara 1950-an hingga 1990-an semisal Hijaz Yamani, D. Zauhidhie, Salim Fachri, Ajamuddin Tifani, Ahmad Fahrawi, Noor Aini Cahya Khairani, Micky Hidayat, Maman S. Tawie, Eza Thabry Husano, Burhanuddin Soebely, Tarman Effendi Tarsyad, Y.S. Agus Suseno, Ariffin Noor Hasby, Jamal T. Suryanata, dan beberapa nama lainnya yang karya-karya mereka pernah menghiasi sejumlah media sastra maupun antologi puisi bersama berskala nasional. Bahkan, jika kemudian kita merasa perlu menggunakan parameter kepenyairan yang relatif lebih longgar, maka telah tercatat tidak kurang dari 300-an nama penyair Kalsel yang pernah aktif meramaikan dunia perpuisian di tanah air (dalam lingkup Kalsel pada khususnya).[2] Belum lagi jika peta kepenyairan di Kalsel tersebut menghadirkan sederet nama baru yang mulai aktif berkarya sejak penghujung abad ke-20 atau awal abad ke-21 sekarang yang tampaknya lebih didominasi oleh penyair-penyair muda perempuan.  

Eksistensi dan kontinuitas tradisi kepenyairan sebagaimana tergambar di atas bukan saja telah mengukuhkan posisi Kalsel sebagai lahan yang sangat subur bagi pertumbuhkembangan puisi, tetapi boleh jadi juga menunjukkan bahwa Kalsel selama ini memang merupakan salah satu “lumbung penyair” terbesar atau bahkan sebagai daerah yang “surplus puisi dan penyair” di tanah air. Kondisi tersebut tampaknya masih berlanjut hingga memasuki dasawarsa pertama di awal alaf baru sekarang ini. Namun, tidak sebagaimana maraknya penulisan puisi dan bejibun-nya jumlah penyair, sejarah pun telah mencatat bahwa sepanjang perjalanan sastra Indonesia modern ternyata Kalsel senantiasa tampil sebagai daerah yang minus karya dan penulis prosa (cerpenis, apalagi novelis). 

Sejak dimulainya tradisi penulisan sastra Indonesia modern di Kalsel pada sekitar awal 1930-an – sejauh yang saya ketahui – hingga kini tak ada satu nama pengarang pun dari daerah ini yang pernah disebut-sebut – apalagi sampai dibahas secara mendalam dan panjang-lebar dalam karya-karya kritik dan sejarah sastra – sebagai tokoh cerpenis nasional semacam A.A. Navis, Yusach Ananda, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, Kuntowijoyo, Budi Darma, Korrie Layun Rampan, Seno Gumira Ajidarma, atau Gus tf Sakai – untuk menyebut beberapa nama saja. Jadi, ada apa sebenarnya dengan tradisi cerpen di Kalsel? Apa yang terjadi dalam jagat kepengarangan di Kalsel selama ini?

/ 2 /
Sebelum lebih jauh memasuki pembahasan tentang tradisi cerpen di Kalsel, sekarang mari kita tengok sebentar sejarah awal tradisi penulisan prosanya secara umum. Masa-masa awal tradisi penulisan prosa (fiksi) di daerah ini setidak-tidaknya ditandai sejak lahirnya karya-karya Merayu Sukma, khususnya dalam bentuk roman, yang terbit pada sekitar dasawarsa 30-an hingga 40-an. Beberapa romannya yang telah diterbitkan antara lain Kunang-kunang Kuning, Berlindung di Balik Tabir Rahasia, Menanti Kekasih dari Mekkah, Teratai Terkulai, Yurni Yusri, Sinar Memecah Rahasia, Putera Mahkota yang Terbuang, Jurang Meminta Korban, Dalam Gelombang Darah, Gema dari Menara, Mariati Wanita Ajaib, dan Kawin Cita-cita

Pada kurun waktu berikutnya, tradisi penulisan roman atau novel kemudian dilanjutkan oleh Artum Artha, Anggraini Antemas, dan Ian Emti. Antara akhir 1940-an hingga penghujung 1970-an, Artum Artha antara lain menerbitkan roman Kumala Gadis Zaman Kartini, Tahanan yang Hilang, Kepada Kekasihku Rokhayanah, Putera Mahkota yang Terbuang, dan Kartamina. Sementara itu, kendati Anggraeni Antemas sudah memulai karier kepengarangannya sejak tahun 1940-an, tetapi sejumlah karyanya baru terbit pada awal tahun 1980-an. Beberapa romannya yang sudah diterbitkan di antaranya Melamar Puteri Purnama, Si Bunglon Jadi Detektif, Menghindar dari Telaga Kematian, Tunas-tunas Mekar Pagi, dan Mendulang Intan. Sedangkan Ian Emti telah menerbitkan empat novel pada tahun 1978, masing-masing berjudul Dosen Komersiel, Pada Sebuah Kapal, Perawan Tapi Hamil, dan Insan-insan Pop. Setelah itu, penulisan novel nyaris tak ada gaungnya lagi selama hampir dua dasawarsa sebelum hadirnya Burhanuddin Soebely dengan tiga karyanya yang (ketiganya) pernah meraih penghargaan sebagai Pemenang II dalam sayembara penulisan novel yang digelar majalah Femina (1997, 1998, 2001) dan kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di majalah tersebut.[3] 

Sampai saat ini, barangkali, Aliman Syahrani dan Farah Hidayati adalah dua novelis Kalsel generasi terkini. Aliman ”eksis” berkat keberhasilannya menerbitkan novel Palas (2004), sedangkan Farah dengan novel Rumah Tumbuh dan Alexandria. Sebab, selepas keduanya tak tampak lagi cikal-bakal penulis novel baru yang lebih menjanjikan. Namun begitu, jikapun catatan ini ingin dilengkapkan lagi (tentu dengan melepaskan parameter kesastraan yang agak njelimet dan bersifat normatif), tak pula dapat diabaikan nama-nama seperti Ajamuddin Tifani, Y.S. Agus Suseno, Alipir Budiman, dan Tajuddin Noor Ganie karena pada dasarnya mereka pun pernah menulis novel (yang masing-masing naskah novelnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di koran lokal). 

           Berdasarkan data historis di atas, tradisi penulisan prosa di Kalsel pada masa lampau sesungguhnya sudah cukup menggembirakan. Kemudian, khusus dalam bidang penulisan cerpen, sejarah pun telah mencatat ”prestasi masa lampau” yang mesti diperhitungkan. Secara pasti, sejarah awal tradisi penulisan cerpen di Kalsel setidak-tidak telah dimulai sejak tahun 1950-an dengan tampilnya Masrin Mastur yang kala itu aktif memublikasikan karya-karyanya (tercatat 7 cerpen) dalam Mimbar Indonesia antara 1951—1953. Prestasi serupa juga telah ditunjukkan oleh Ramtha Marta dengan keberhasilannya menembus sejumlah media nasional dalam kurun waktu 1953—1974. Beberapa cerpennya antara lain dimuat dalam Mimbar Indonesia (11 cerpen), Kisah (2 cerpen), Tribun (1 cerpen), dan Mimbar (1 cerpen). Selanjutnya, pada kurun waktu antara 1955—1960, Syamsiar Seman juga telah berhasil memublikasikan karya-karya cerpennya di empat majalah berskala nasional; masing-masing di majalah Star Weekly (1 cerpen), Pantjawarna (1 cerpen), Indonesia (1 cerpen), dan Konfrontasi (1 cerpen). Lalu, antara 1955—1959, Hijaz Yamani telah pun mencatat prestasi tersendiri dengan sejumlah cerpennya yang berhasil menembus beberapa media nasional seperti Pahatan (1 cerpen), Minggu Pagi (2 cerpen), Roman (3 cerpen), Tjerita (3 cerpen), Indonesia (2 cerpen), dan Konfrontasi (1 cerpen). Selain itu, karya-karya Darmansyah Zauhidie juga telah berhasil menembus Roman (1 cerpen), Tribun (1 cerpen), dan Zaman (5 cerpen) dalam kurun waktu antara 1955—1981. Sementara itu, Artum Artha hadir dengan 7 cerpen yang semuanya dimuat di majalah Senang antara 1976—1984.[4]

Selanjutnya, sejak pertengahan 1980-an sampai sekarang, beberapa nama yang karya-karya cerpennya pernah menembus media dan atau masuk dalam suatu lomba penulisan berskala nasional antara lain Ajamuddin Tifani, Ahmad Fahrawi, M. Rifani Djamhari, Y.S. Agus Suseno, Jamal T. Suryanata, Sandi Firly, Joni Wijaya, dan Zulfaisal Putera. Karya-karya mereka di antaranya pernah dimuat dalam majalah Horison, Matra, Jurnal Cerpen Indonesia, Selarong, SKH Jawa Pos, Surya, dan beberapa media lainnya. Di samping mereka, memang masih ada sejumlah nama lagi yang pantas dicatat dalam deretan cerpenis Indonesia asal Kalsel; sebutlah A. Rasyidi Umar, Syukrani Maswan, Zain Noktah, Eddy Wahyudin SP, Maman S. Tawie, Aliman Syahrani, M. Fitran Salam, Harie Insani Putra, Sainul Hermawan, Dewi Alfianti, Rismiyana, Ratih Ayuningrum, dan Syafieqotul Machmudah – sekadar menyebut beberapa nama yang pernah cukup produktif berkarya. 

Berdasarkan pemetaan di atas, pada tataran tertentu tampak bahwa dari dasawarsa ke dasawarsa tradisi penulisan prosa (termasuk cerpen) di Kalsel terus mengalami penurunan. Lebih-lebih jika patokannya terbatas pada publikasi berskala nasional, jelas penurunan itu akan sangat terasa selepas dekade 80-an. Maka, atas dasar itulah, jika dibanding dengan tradisi penulisan puisinya yang dari masa ke masa selalu ramai dan terus tumbuh subur, satu hal yang dapat dikatakan bahwa hingga sejauh ini Kalsel memang tak ubahnya ibarat lahan gersang bagi persemaian genre cerpen atau prosa pada umumnya. Di antara sederet nama cerpenis yang disebutkan di atas ternyata pula hanya ada beberapa nama yang terbilang cukup produktif dan relatif konstan dalam berkarya. Kemudian, di antara jumlah yang sedikit itu, lebih terbatas lagi yang karya-karyanya mampu menembus media massa berskala nasional. 

Dibanding karya-karya puisinya yang relatif banyak atau sering dimuat dalam sejumlah buku antologi puisi bersama yang juga berskala nasional, sampai saat ini hanya ada dua cerpen yang beruntung ikut diterbitkan dalam dua buku berskala nasional yang cukup monumental, yakni cerpen berjudul “Petaka Teluk Mendung” karya Ajamuddin Tifani (dengan nama-pena Laila Fakhriani) dalam buku Cerita Pendek Indonesia, Jilid IV (Editor: Satyagraha Hoerip, 1984) dan cerpen “Sebelas” karya Jamal T. Suryanata dalam buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Editor: Korrie Layun Rampan, 2000). Akan tetapi, boleh jadi ada orang yang beranggapan bahwa dimuatnya kedua cerpen tersebut lebih bersifat kebetulan belaka (baca: kebetulan ada editor yang ”secara tidak sengaja” menemukan kedua cerpen itu saat ia melakukan penelitian atau pengumpulan naskah untuk penerbitan bukunya). Namun, lepas dari persoalan tersebut, pada akhirnya harus diakui bahwa sampai saat ini Kalsel memang belum punya seorang tokoh cerpenis nasional yang popularitas dan kewibawaannya setaraf, misalnya, dengan Danarto, Kuntowijoyo, Budi Darma, Umar Kayam, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Korrie Layun Rampan, Taufik Ikram Jamil, Harris Effendi Tahar, Ratna Indraswari Ibrahim, Seno Gumira Ajidarma, Gus tf Sakai, Agus Noor, Joni Ariadinata, Triyanto Triwikromo, Puthut EA, Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, atau Raudal Tanjung Banua (maaf, juga hanya untuk menyebut beberapa saja). Maka, sekali lagi, ada apa sebenarnya dengan tradisi cerpen di Kalsel? 

/ 3 /
Sebagaimana telah disinggung di atas, prestasi masa lampau yang telah ditunjukkan oleh para penulis roman asal Kalsel sebenarnya sudah cukup membanggakan. Akan tetapi, mengapa selama ini nama-nama serta karya-karya mereka tak pernah disebut-sebut dan atau dibahas dalam buku-buku sejarah dan kritik sastra Indonesia? Adakah sesuatu yang salah dalam sejarah masa lalu itu? Padahal, lewat karya-karya mereka, kita tahu bahwa Merayu Sukma, Anggraeni Antemas, maupun Artum Artha telah memberikan sumbangan yang cukup besar dalam rangka membentangkan khazanah penulisan roman di Indonesia. Dengan begitu, boleh jadi pengungkapan data historis mengenai sastra Indonesia yang ada selama ini memang masih bermasalah .[5]

Jika persoalan di atas kita telusuri lebih jauh, tampak bahwa dalam istilah “bermasalah” tersebut setidak-tidaknya mengandaikan terdapatnya tiga kemungkinan yang menjadi faktor penyebabnya. Pertama, dari segi kualitasnya, kedudukan karya-karya para pengarang Kalsel tersebut memang dinilai kalah penting dibanding dengan karya-karya penulis kenamaan Indonesia lainnya. Hal ini, misalnya, berkaitan dengan konsep pembaruan yang seringkali dijadikan tolok ukur utama dalam pembahasan kritik sastra. Kedua, mungkin pula persoalannya lebih dilantarankan oleh perbedaan sudut pandang para kritikus atau sejarawan sastra mengenai parameter kesastraan yang berlaku ketat pada masa itu; bahwa kedudukan karya-karya para pengarang Kalsel itu secara normatif digolongkan sebagai roman picisan atau sastra populer, sementara para kritikus dan sejarawan sastra secara kaku hanya memasukkan karya-karya yang lazim disebut sastra serius. Dengan kata lain, ruang lingkup penelitian mereka pada akhirnya hanya terfokus pada buku-buku dan media massa yang memuat karya-karya yang dianggap serius dan dengan sendirinya akan mengesampingkan semua objek yang berbau populer. Ketiga, mungkin akibat kedua faktor di atas, boleh jadi tradisi kepengarangan di Kalsel pada saat itu memang belum dianggap “ada” oleh para kritikus dan sejarawan sastra Indonesia. Sebab, orientasi pemetaan sastra pada masa itu – bahkan jejak-jejaknya masih tampak hingga sekarang – tampaknya punya kecenderungan untuk terfokus pada titik-titik tertentu yang sejak lama telah dianggap sebagai kantong-kantong sastra utama di tanah air atau karena telah punya tradisi sastra yang baik (misalnya Padang, Jakarta, dan Yogyakarta). 

Lepas dari keinginan untuk menghakimi atau sekadar melakukan pembelaan, pada sisi lain tampak pula bahwa tradisi penulisan cerpen di Kalsel sebenarnya juga tidaklah terlalu buruk (minimal jika dibandingkan dengan tradisi kepengarangan di tiga wilayah Kalimantan lainnya). Berdasarkan data historis di atas, selama rentang waktu antara 1950-an hingga 1980-an (sekitar empat dasawarsa) sejumlah cerpenis Kalsel jelas telah menunjukkan prestasi yang cukup signifikan melalui karya mereka masing-masing yang mampu “berbicara” di pentas nasional. Namun, kendati demikian, tetap saja masih terasa ada yang kurang. Sebab, sebagaimana tradisi penulisan novelnya yang selalu terdengar sayup sampai, sampai saat ini juga tak pernah ada seorang cerpenis Kalsel pun yang nama dan karya-karyanya dicatat atau dibahas dalam buku-buku sejarah dan kritik sastra Indonesia. Jadi, sekali lagi, ada apa sesungguhnya dengan tradisi cerpen di Kalsel? Apakah persoalannya sama dengan yang berlaku dalam tradisi penulisan roman? Adakah ia telah mengidap semacam penyakit kronis, cukup akut, atau bahkan sudah bersifat epidemis? 

Kalau tradisi penulisan cerpen ini kita coba cermati, persoalannya mungkin sangat berbeda dengan yang berlaku dalam tradisi penulisan roman atau novel sebagaimana tergambar di atas. Dalam konteks ini, relevansi masalahnya hampir tak ada gayutannya dengan perbedaan paradigma kesastraan yang bersifat dikotomis itu: “sastra serius” versus “sastra populer”. Pertanyaan tersebut tampaknya lebih merupakan representasi (mungkin pula sebagai akumulasi) dari sebentuk kegelisahan yang seyogianya menjadi kegelisahan bersama. Jawabnya pun bisa jadi bersentuhan dengan segepok persoalan, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah teknis kesastraan maupun nonkesastraan. Di sini, sederet persoalan yang mungkin mengemuka di antaranya menyangkut faktor-faktor ketiadaan bakat, rendahnya minat, kurangnya semangat, minimnya pengetahuan, miskinnya pengalaman, tak cukupnya penguasaan bahasa, rumitnya teknik penulisan, ketatnya seleksi media massa, rendahnya honor tulisan, kondisi lingkungan yang kurang kondusif, gagap teknologi, kemalasan pribadi, pertimbangan popularitas pengarang, tumbuh suburnya koncoisme, atau lantaran sikap apriori para editor penerbit nasional (di Jakarta dan Yogyakarta pada khususnya) yang sudah terlanjur tak sudi menengok potensi para penulis dari luar kantong-kantong sastra tanah air (Kalsel pada khususnya).[6] 

            Terkait dengan masalah di atas, akibat berbagai faktor atau alasan-alasan yang seringkali justru lebih mengandalkan pertimbangan-pertimbangan non-kesastraan juga cukup menyempitkan peluang bagi para pengarang Kalsel untuk memublikasikan karya-karya mereka di media sastra nasional. Diakui atau tidak, para redaktur kita pada umumnya masih tak bisa melepaskan sikap mereka dari kuatnya pengaruh ungkapan klasik “tak kenal maka tak sayang”. Oleh karena itu, akibat yang muncul kemudian adalah sebentuk kalimat peringatan, “Kalau engkau belum mengenal dekat redaktur sebuah media, maka karyamu tak akan pernah bisa dimuat di media tersebut!” Dengan demikian, dalam upaya menyikapi problem semacam itu sedianya kita harus melazimkan ayat-ayat cinta, “Wahai para pengarang, jika karyamu ingin dimuat dalam sesuatu media massa, maka kenalilah redakturnya terlebih dahulu sebelum engkau mengirimkan karya-karyamu. Akan tetapi, ingatlah pula olehmu bahwa dengan modal mengenal para redaktur saja tidaklah cukup bagimu sebagai jaminan atas pemuatan karya-karyamu. Maka pikirkanlah olehmu agar engkau termasuk golongan orang-orang yang beruntung!”

/ 4 /
Tumbuh suburnya koncoisme dan sikap keberpihakan dalam aktivitas berkesusastraan, juga masih bertahannya pemikiran sentralistik yang mengandaikan pemisahan dan atau perbedaan pusat—daerah, hingga kini tampaknya masih begitu kuat mewarnai tradisi penerbitan maupun publikasi karya sastra di media massa kita. Bertolak dari kondisi yang tidak kondusif semacam itulah tampaknya yang kemudian memunculkan tradisi atau trend baru dalam konteks publikasi karya sastra di tanah air dewasa ini. Dimaksudkan sebagai bentuk penentangan, setidak-tidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, sejumlah penulis akhirnya mencoba menempuh jalan pintas dengan menerbitkan “sendiri” media sastra alternatif atau menempuh penerbitan buku secara swakelola (self-publisher). Akan tetapi, sebagai konsekuensi selanjutnya, hanya individu atau komunitas yang punya modal cukuplah yang akan mampu bertahan lama (survive) di tengah persaingan yang semakin ketat. Sebaliknya, mereka yang tak punya modal pada akhirnya tetaplah sebagai penonton. 

Akan tetapi, benarkah masih rapuhnya bangunan tradisi penulisan cerpen di Kalsel selama ini dilantarankan oleh faktor-faktor tersebut? Benarkah semua itu merupakan problem utama yang dihadapi para cerpenis Kalsel sehingga tampak begitu sulit untuk menemukan jalan ke Indonesia? Saya kira, persoalannya justru terlebih dahulu harus dikembalikan kepada pribadi-pribadi pengarang Kalsel sendiri. Mari kita instrospeksi diri sejenak, apakah selama ini para pengarang Kalsel sudah melakukan hal yang sama sebagaimana yang telah ditempuh oleh kawan-kawan cerpenis lain semisal Gus tf Sakai, Taufik Ikram Jamil, Joni Ariadinata, Triyanto Triwikromo, Puthut E.A, Zen Hae, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, Linda Christanty, atau Lan Fang? Jawabnya, rasanya, emang belum sih

Bukankah selama ini kita lebih banyak jadi penonton saja? Bukankah selama ini kita lebih banyak berbicara daripada menulis? Bukankah tradisi lisan kita masih lebih dominan tinimbang tradisi keberaksaraan? Kita seringkali lebih tergiur untuk ikut-ikutan membentuk berbagai komunitas sastra, tetapi kita masih suka lupa bahwa tujuan utama pembentukan wadah adalah untuk memompa semangat berkarya. Kita juga sudah begitu banyak menggelar diskusi-diskusi kesastraan, tetapi kita toh tetap saja tak begitu mengindahkan bahwa puncak berbagai perbincangan itu adalah meningkatnya produktivitas dan kreativitas dalam berkarya.

/ 5 /
Beberapa faktor di atas tampaknya merupakan sederet alasan yang menyebabkan tradisi penulisan cerpen di Kalsel selama ini seakan-akan masih menemukan jalan buntu untuk menuju Indonesia. Dan pada tataran tertentu, celakanya pula, pengertian “Indonesia” itu agaknya masih berkiblat dan atau berkonotasi pada Jakarta (kini mungkin juga plus Yogyakarta karena tradisi penerbitannya yang semakin kuat). Dengan kata lain, sebelum seorang penulis daerah berhasil menembus Jakarta atau Yogyakarta, maka ia belum “menjadi” penulis Indonesia. Sebab, tanpa bermaksud meremehkan, cobalah tanyakan: seberapa luaskah jangkauan pembaca untuk karya-karya yang sekadar dipublikasikan di media lokal? Jadi, dalam pengertiannya yang sangat spesifik, “penulis Indonesia” berarti para penulis yang – lantaran karya-karyanya dibaca oleh banyak orang dari hampir seluruh pelosok Indonesia – popularitasnya sudah mengindonesia. 

Kini, dalam perspektif masa depan, akankah pemetaan sastra Indonesia itu masih terus berkutat dalam zona Jakartasentris atau Yogyasentris? Kalau begitu, sampai pertengahan abad mendatang pun para penulis Kalsel akan terus teralienasi di tengah keramaian lalu-lintas sastra Indonesia jika mereka masih saja berkutat dalam lokalitas dunianya sendiri. Namun, sekali lagi, marilah kita instrospeksi diri. Tak adil rasanya kalau kita hanya pandai menyalahkan orang lain atau menjadikan keadaan sebagai kambing hitam. Bagaimanapun, semua itu pastilah tidak layak dijadikan sebagai alasan pembenaran kemalasan pribadi sehingga tetap saja tidak berkarya pada akhirnya.[7]

CATATAN PUBLIKASI
Makalah ini disampaikan dalam Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V Tahun 2007 (26—28 Oktober 2007) di Taman Budaya Kalimantan Selatan. 

CATATAN KAKI

[1] Lihat H.B. Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya (Jakarta: Haji Masagung, 1991), hlm. 2. ”Kumandang Tanah Air” adalah nama rubrik puisi di majalah Mimbar Indonesia saat itu.
[2] Baca, misalnya, biografi para pengarang Kalsel yang telah dihimpun Jarkasi dan Tajuddin Noor Ganie dalam buku Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Balai Bahasa Banjarmasin, 2001). Lepas dari soal kurang jelasnya kriteria penyusunan yang digunakan, dari 307 nama pengarang yang berhasil dikumpulkan, hampir semuanya bisa dikelompokkan sebagai penyair (karena pernah menulis puisi, tentu saja). Akan tetapi, hanya beberapa nama di antaranya (mungkin tidak lebih dari 10 %) yang disebut-sebut pernah menulis fiksi (novel atau cerpen), di samping kegiatan utamanya menulis puisi.
[3] Dalam konteks ini, dimasukkannya nama Burhanuddin Soebely sebagai penulis novel terutama jika kita mengacu pada konsep kesastraan yang lebih luwes mengenai batasan novel. Dalam batasan ini, istilah novel tidak saja merujuk pada karya-karya yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, tetapi juga mengakomodasi karya-karya dalam bentuk cerita bersambung yang dimuat di media massa. Lihat misalnya Sapardi Djoko Damono, Priayi-Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000).
[4] Sebagian data didasarkan pada catatan Ernst Ulrich Kratz, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988). Untuk karya-karya Artum Artha dapat dilacak dalam 7 edisi majalah Senang pada kurun waktu tersebut.
[5] Mengenai peran kepengarangan Merayu Sukma, dalam salah satu esainya Maman S. Mahayana tampak sangat menyesalkan keterlanjuran para peneliti dan penyusun sejarah sastra Indonesia sebelumnya – antara lain H.B. Jassin, A. Teeuw, Ajip Rosidi, Bakri Siregar, Zuber Usman, dan Jacob Sumardjo – yang begitu saja mengabaikan empat nama penting: M. Dimyati, Yousouf Sou’yb, Andjar Asmara, dan Merayu Sukma. “Inilah ’blunder’ para peneliti yang hanya mengandalkan satu sumber saja,” ungkapnya agak ketus. Lihat Maman S. Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005), hlm. 437—438.
[6] Paling tidak, dalam konteks ini, saya pribadi telah merasakan pengalaman pahit dalam upaya ”menjajakan” beberapa naskah buku (antologi puisi, kumpulan cerpen, dan telaah sastra) dengan menempuh jalur formal ke beberapa penerbitan di Jakarta dan Yogyakarta. Dan, sebagaimana sudah saya duga, setelah lelah berkelana ke sana-kemari pada akhirnya hasilnya memang nihil. Padahal, tanpa mengesampingkan kemungkinan subyektivitas pribadi, saya bisa menilai kualitas karya-karya saya dengan karya-karya beberapa teman tertentu dari luar Kalsel yang beruntung bukunya telah diterbitkan. Akan tetapi, menyebut Kalsel saja mungkin bukanlah pernyataan yang tepat. Sebab, pengalaman yang sama tentunya juga pernah dirasakan oleh kawan-kawan dari berbagai daerah lainnya.
[7] Saya kira masih begitu banyak persoalan yang sama layaknya untuk diangkat dan didiskusikan dalam forum kongres seperti ini. Perkembangan estetik dan masalah eksplorasi budaya lokal, misalnya, merupakan dua topik yang sangat menarik tinimbang sekadar aspek historisnya saja. Akan tetapi, hal itu dengan sangat terpaksa harus saya abaikan lantaran berbagai keterbatasan.

Telaah Novel Sandi Firly


Sastra, Realitas, Imajinasi:
Membaca Rumah Debu dalam Bingkai Sosiologis



Oleh : Jamal T. Suryanata



pada setiap jejak
adalah jalan pulang
( Sandi Firly, ”Epigram Petualang” )

/ 1 /
Sudah berulang kali saya kemukakan, tahun 2000 boleh dikata merupakan titik tolak perkembangan baru dalam jagat sastra Indonesia di Kalimantan Selatan (Kalsel). Sejauh pengamatan saya, terutama dalam perbandingannya dengan situasi sastra di Kalsel pada beberapa dekade sebelumnya (antara dekade 60-an hingga akhir 90-an), perkembangan baru itu setidaknya tampak dalam tiga hal (sekadar menyebut kecenderungan yang paling dominan): pertama, terjadinya pergeseran yang signifikan dalam penulisan ragam sastra kreatif dari genre puisi ke genre prosa-fiksi (cerpen dan novel); kedua, semakin banyaknya bermunculan penulis muda perempuan (cerpenis maupun penyair); dan ketiga, kian maraknya penerbitan buku-buku sastra (mencakup buku puisi, cerpen, novel, juga esai dan kritik sastra). 

Kalau kita telusuri (secara kausal), munculnya ketiga kecenderungan baru tersebut tentu saja bukanlah suatu kebetulan, melainkan berjalan seiring dengan perkembangan sastra Indonesia terkini dalam lingkup nasional. Hal ini bisa dipahami karena sastra Indonesia di Kalsel pada dasarnya merupakan subtradisi dari satu tradisi besar bernama sastra Indonesia (yang tentunya juga tidak hanya berkonotasi pada Jakarta sebagai ”pusat” keramaiannya, tetapi harus dilihat secara holistik dalam rangka keindonesiaan yang desentralistik). Dengan kata lain, sastra Indonesia yang berkembang di suatu daerah (termasuk di Kalsel) tidak bisa lepas dari pengaruh timbal-balik perkembangan sastra Indonesia pada umumnya. 

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, salah satu fenomena baru dalam perkembangan sastra Indonesia di Kalsel selama lebih kurang sepuluh tahun terakhir ini (2000—2010) adalah kian suburnya penulisan ragam fiksi.[1] Namun, sejauh ini penulisan ragam fiksi tersebut masih lebih didominasi oleh genre cerpen, sedangkan karya berbentuk novel masih dapat dihitung dengan jari. Langkanya penulisan novel tersebut, barangkali, ada hubung-kaitnya dengan proses kreatif dan teknis penulisannya yang memang lumayan berat serta menuntut energi lebih dari para pengarangnya dibandingkan dengan menulis cerpen, misalnya. Akan tetapi, di tengah kelangkaan tersebut, kini telah terbit sebuah novel lagi bertajuk Rumah Debu (Banjarmasin, Tahura Media, 2010) karya Sandi Firly (Kuala Pembuang, Kalteng, 16 Oktober 1975) —penulis muda Kalsel yang selama ini lebih dikenal sebagai seorang cerpenis, di samping wartawan dan redaktur seni-budaya. Maka, dalam konteks inilah kiranya kehadiran novel ini menjadi penting dan selayaknya mendapatkan apresiasi yang positif. Paling tidak, kecuali sebagai pengobat rindu, kehadirannya telah memperkaya khazanah karya fiksi di daerah yang selama beberapa dasawarsa sebelumnya hanya mengesankan sebagai ”lumbung penyair” ini, sekaligus ikut memberi warna bagi perkembangan sastra di Kalsel maupun sastra Indonesia pada umumnya. 

Sebagai bentuk apresiasi, dalam risalah singkat ini saya akan coba memperbincangkan novel debutan Sandi Firly tersebut dari kacamata sosiologi sastra atau dalam bingkai sosiologis yang mengandaikan terdapatnya hubungan timbal-balik antara sastra, pengarang, dan masyarakat. Namun, dengan istilah yang berbeda, untuk kepentingan pembahasan selanjutnya saya akan lebih memokuskan perhatian pada berbagai kemungkinan relasional antara karya sastra, realitas sosial, dan imajinasi pengarang. Sebab, setelah membaca sekilas novel ini, saya berkeyakinan bahwa dalam proses kreatif penulisannya sang pengarang tidak sekadar mengandalkan keliaran imajinasinya semata, tetapi tampak sangat dipengaruhi oleh —atau bahkan bertolak dari— kenyataan faktual masyarakat dan zaman yang menjadi latar penciptaannya, seberapa kecil pun kenyataan itu terungkapkan dalam novel tersebut.

/ 2 /
Dalam kajian sosiologi sastra, kita telah mengenal adanya berbagai klasifikasi teoretis, terutama dalam kaitannya dengan model-model pendekatan kritik sastra. Namun, secara ringkas dapat dikatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra pada umumnya dibagi dalam tiga bidang kajian utama. Pertama, sosiologi pengarang —yang objek telaahnya berkaitan dengan kehidupan pribadi sang pengarang selaku penghasil karya sastra (tercakup di dalamnya masalah status sosial, ekonomi, ideologi, agama, pekerjaan, dan lain-lain). Jadi, proses pengkajian itu bergerak dari dunia pengarang ke karya sastra dan hubungannya dengan masyarakat (pembaca). Kedua, sosiologi karya sastra —yang objek telahnya adalah teks sastra itu sendiri (menyangkut genre, struktur, maupun isinya). Dengan demikian, proses pengkajiannya bergerak dari teks sastra ke persoalan-persoalan di luar sastra (misalnya pengaruh sosial karya sastra atau sebaliknya, termasuk juga masalah refleksi sosial karya sastra dalam kaitannya dengan konsep ”sastra sebagai cermin kenyataan”). Ketiga, sosiologi pembaca —yang objek telaahnya menyangkut pengaruh sosial karya sastra terhadap pembaca (masyarakat) maupun penerimaan dan tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Jadi, dengan demikian, proses pengkajiannya bergerak dari berbagai gejala sosial  (di luar sastra) ke teks sastra.[2]  

            Berdasarkan beberapa pendapat yang berkembang, Sapardi Djoko Damono justru menyimpulkan klasifikasi sosiologi sastra itu hanya dalam dua bidang kajian. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Jadi, dalam konteks ini, sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra tersebut. Dengan demikian, dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, tetapi hanya merupakan gejala kedua (epiphenomenon). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami berbagai gejala sosial yang ada di luar sastra secara lebih mendalam.[3] 

Sejalan dengan pokok masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, juga dengan mempertimbangkan beberapa pandangan sosiologis di atas, pembahasan terhadap novel Rumah Debu ini akan lebih dilandaskan pada sosiologi karya sastra —terutama untuk mengacu pada konsep ”sastra sebagai cermin masyarakat” yang telah dikemukakan Watt maupun dalam pengertian klasifikasi kedua yang ditawarkan Damono. Dengan demikian, pokok kajian ini pada khususnya akan mempertanyakan: sejauh mana relevansi dan kebenaran konsep ”sastra sebagai cermin masyarakat” itu dapat dipertanggungjawabkan? Atau, dengan kata lain, seberapa jauh ”realitas imajinatif” dalam novel ini dapat dipandang sebagai cermin ”realitas faktual” yang ada di masyarakat dan zaman yang melahirkannya? —jadi, konsep ini berkaitan erat dengan dimensi ruang dan waktu. 

Kendati titik tolak kajian ini tampak mengerucut pada klasifikasi yang kedua (baca: sosiologi karya sastra), tetapi dalam usaha menemutunjukkan keterkaitan antara sastra, realitas, dan imajinasi, kelak pada titik-titik tertentu akan terlihat bahwa secara eklektis pembahasan ini juga akan memanfaatkan bidang kajian sosiologi pengarang sebagai pendampingnya. Hal ini karena sedari awal saya telah menyadari bahwa pokok masalah yang akan dibicarakan memang melibatkan unsur imajinasi yang mau tidak mau pasti akan bersentuhan dengan wilayah kepengarangan. Sungguhpun demikian, dalam prosedur penelaahannya tetap akan bergerak dari ranah ”teks-dalam” untuk menggayutkannya dengan ”teks-luar” atau dari realitas internal sastra ke realitas eksternalnya (masyarakat tempatan dan zaman yang menjadi acuan novel), sebagaimana yang dimaksudkan Damono di atas. 

Usaha menghubungkaitkan karya sastra dengan realitas sosial terutama dimaksudkan untuk meminimalisasi kelemahan yang sering dinisbahkan pada kajian strukturalisme murni. Sebab, sebagaimana pernah ditegaskan A. Teeuw, strukturalisme yang hanya menekankan kajiannya pada otonomi karya sastra mempunyai dua kelemahan pokok, yaitu (1) melepaskan karya sastra dari rangka sejarah sastra dan (2) mengasingkan karya sastra dari rangka sosial-budayanya.[4] Kendati demikian, dalam hal ini saya juga merasa perlu untuk menjaga jarak agar jangan sampai tergelincir pada penilaian historis sebagaimana yang dilakukan oleh para sejarawan atau penyusun buku-buku sejarah. Sebab, meskipun sebuah karya sastra dapat dimanfaatkan sebagai ”dokumen” tertulis untuk penelitian sosial dalam rangka memahami masyarakat tertentu, misalnya, tetapi keberadaannya tidak bisa diperlakukan sebagai ”monumen” sejarah. Hal ini sejalan dengan keyakinan Ariel Heryanto ketika mengupas ihwal hubungan antara sastra, sejarah, dan sejarah sastra. Maka, saya pun berkeyakinan bahwa tak ada suatu fakta dan peristiwa apa pun yang mampu dipahami dan diungkapkan kembali untuk dipahami orang lain secara total, objektif, dan netral (atau, menurut istilah Kuntowijoyo, ”sebagai sesungguhnya terjadi”). Sebaliknya, saya juga percaya bahwa tak ada suatu ungkapan atau karya sastra yang paling imajiner mana pun yang sanggup memiliki wilayah otonomi mutlak, subjektif, dan ”tak ada sangkut-pautnya apa pun dengan individu atau kalangan tertentu” —sebagaimana lazim dijadikan petunjuk pemakaian atau sebagai peringatan penting (warning up) bagi pembaca novel atau penonton karya sinematografi.[5] Jadi, dalam kerangka demikianlah pembacaan novel Rumah Debu ini dilakukan.     

/ 3 /
Novel Rumah Debu pada intinya bercerita tentang perjalanan panjang seorang anak muda bernama Rozan dalam usaha mencari dan menemukan jatidirinya; bahwa kemudian di dalam perjalanan panjang tersebut —secara fisik maupun mental— sang tokoh utama novel ini banyak menemukan pengetahuan dan pengalaman baru lengkap dengan suka-duka dan berbagai problem yang harus dihadapinya, itulah makna dan hakikat hidup yang sesungguhnya. Jadi, berdasarkan faset tematisnya, boleh dikata bahwa novel perdana Sandi Firly ini sebenarnya mengangkat tema tentang pencarian hakikat hidup dan hakikat kemanusiaan itu sendiri. 

Cerita dalam novel setebal 151 halaman dan secara episodis terbagi dalam empat bagian besar ini dimulai (Bagian 1) dengan keberangkatan Rozan dari Martapura (ibukota Kabupaten Banjar, kota tempat tinggalnya) menuju Rantau (ibukota Kabupaten Tapin) untuk menemui seseorang bernama Guru Zaman yang oleh Guru Aran (ayah angkatnya) telah diperkenalkan sebagai sosok penting bagi kehidupannya kelak (bahkan turut menentukan jalan hidup dan masa depannya). Namun, cerita selanjutnya justru bergerak dominan ke persoalan-persoalan hidup yang lebih luas menyangkut situasi dan kondisi sosiokultural masyarakat Rantau kontemporer yang sedang gamang menghadapi perubahan atas munculnya ”peradaban baru” dengan penambangan batu bara sebagai penandanya. Kegamangan yang sama turut dirasakan Rozan, terutama setelah ia mendengar dan menyaksikan sendiri berbagai perintiwa menggetarkan sebagai dampak negatif peradaban baru tersebut. Sebagai selingan, di tengah kegundahan hatinya, cerita juga dibumbui dengan kenangan-kenangan kecil Rozan semasa ia tinggal di lingkungan pondok pesantren di Martapura. Selanjutnya (Bagian 2), dengan gaya sorot balik (flash back), cerita bergerak ke belakang untuk menjelaskan siapa Rozan sesungguhnya, sekaligus merupakan sebagian jawaban atas teka-teki surat yang dikirimkan Guru Aran (melalui tangan Rozan sendiri) kepada Guru Zaman. Cerita (Bagian 3) terus berkembang, ketegangan kian meninggi, konflik semakin memuncak, dan akhirnya mencapai klimaks ketika seluruh rahasia hidup Rozan terpecahkan. Lalu (Bagian 4), sebagai antiklimaksnya, oleh sang pengarang novel ini ditutup dengan teknik penyelesaian menggantung: belajar banyak dari pengalaman kelampaunnya, Rozan tidak sedia (tidak siap?) menghadapi lebih lanjut persoalan hidup kekiniannya yang ada di depan mata, tetapi justru cenderung menghindar dan lebih memilih jalan hidup keakanannya yang baru sebagai pengembara. 

Jika secara teoretis ingin kita klasifikasikan menurut genre sastranya, jelas bahwa novel bertajuk Rumah Debu ini termasuk dalam kelompok sastra realis. Sebagai karya sastra realis, tentu saja keberadaan novel ini dapat dibaca dalam kerangka berpikir realisme dan atau realisme sosialis, baik terkait langsung dengan Marxisme sebagai konsep awalnya maupun dengan penafsiran baru Georg Lukacs dan tokoh-tokoh pemikir sesudahnya. Kecenderungan karya-karya yang bertolak dari realisme pada umumnya lebih membumi, dekat dengan kenyataan hidup sehari-hari, serta bersifat normal dan pragmatis. Realisme menolak klasikisme, romantisme, dan doktrin seni untuk seni (l’art pour l’art). Sebab, sebagaimana diungkapkan Lukacs, seni sastra bukan sekadar daya artistik imajinatif yang terpisah dari realitas kehidupan masyarakat. Sebuah karya sastra merupakan titik puncak dari sebuah proses di mana sastrawan mengerahkan seluruh daya akal dan rasanya untuk menghidupkan kembali suatu realitas. Sastra bukan hanya menampilkan kembali pengalaman, melainkan menyusunnya kembali jalinan antar-unsur dari suatu pengalaman sehingga tampak ”jalannya” suatu daya gerak kesadaran yang menghidupkan manusia.[6] Oleh karena itu, dalam proses kreatifnya, seorang pengarang realis memang selalu berurusan dengan peristiwa sehari-hari, dengan lingkungannya sendiri, dan dengan gerakan sosial politik pada zamannya sendiri. 

Kalaupun tidak hendak memaknainya dalam kerangka realisme sosialis, kita tentu masih punya pilihan lain dengan menempatkan novel ini ke dalam genre sastra berwarna lokal. Namun, dalam konteks ini, perlu diingat pula bahwa secara konseptual istilah warna lokal (local colour) pada kenyataannya masih berkerabat dekat dengan konsep sastra realis karena aspek lokalitas sendiri merupakan bagian dari karakteristik sastra realis. Hal ini tentunya akan mengingatkan kita pada novel-novel tradisi Balai Pustaka yang secara umum dapat dikatakan sebagai karya-karya sastra realis dengan warna lokal Minangkabau di awal abad ke-20. Dengan begitu, untuk kasus novel Rumah Debu ini, dalam rangka menemukan makna esensialnya yang bersemayam di balik teks sastranya jelas bahwa pertautan dialektis antara sastra dan realitas sosial dari zaman yang melahirkannya sudah merupakan harga mati dan tak dapat ditawar-tawar lagi. 

Namun demikin, oleh karena sebuah karya sastra pada dasarnya dapat diperlakukan sebagai sebuah sistem tanda (menurut pandangan semiotik), maka realitas itu juga memiliki kemungkinan tafsir ganda: ia individual sekaligus kolektif, personal sekaligus universal, dan lokal sekaligus global. Pengalaman personal Rozan maupun lokalitas Martapura dan Rantau, misalnya, cumalah sebuah penanda kecil yang tentu boleh jadi akan menemukan korelasi penandaannya pada tokoh lain di suatu tempat dan pada suatu masa yang lain. Begitu juga dengan penyebutan penanda waktu ”Sabtu, 27 November 1999” (hlm. 19) pada cacatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel mengenai dampak negatif keberadaan tambang batu bara yang ditemukan Rozan di ruang maya (internet), misalnya, boleh jadi pula akan bermakna kontekstual sesuai dengan ruang-waktu yang ada (entah di mana, entah kapan). 

Jika kita cermati lebih jauh, novel ini sesungguhnya juga merupakan sebuah cerita bersayap yang menghadirkan realitas diskursif dari dua sisi. Realitas itu dapat bertemu secara diagonal, tetapi tidak jarang terus berjalan simetris di atas koridornya masing-masing. Hal ini, antara lain, dapat kita lihat dari kekaguman berlebih Rozan pada sosok dan syair-syair Maulana Jalaluddin Rumi (seorang penyair-sufi besar asal Persia) yang seyogianya akan memberikan pengaruh besar bagi jalan hidupnya kelak, tetapi ternyata kemudian justru kalimat-kalimat Guru Aran-lah yang paling membekas dan menjadi panutan hidupnya ketika akhirnya ia harus memilih. Larik-larik syair Rumi yang sering berkelebat dalam ingatannya (hlm. 12, 23, 72) segera menghilang seperti embus angin yang berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan suatu jejak. Perhatikan, misalnya kutipan: Dia datang, bak rembulan yang tak pernah terlihat di langit, baik dalam jaga maupun dalam mimpi (hlm. 23), seakan tak menemukan cantelan filosofisnya dalam jejak langkah Rozan selanjutnya. Sebab, larik-larik syair Rumi itu tampaknya hanya dimaksudkan sebagai afirmasi atas gejolak hati Rozan manakala ia bertemu dengan Kira (tokoh perempuan muda, putri pasangan Pak Ismail dan Ibu Diyang). Hal ini jauh berbeda dengan dengan ungkapan bijak Guru Aran yang benar-benar menemukan lahan suburnya dalam diri Rozan di kemudian hari. 

Sekarang, kalau kita lihat kembali ke episode awal cerita, jelas bahwa keberangkatan Rozan menuju Rantau juga lebih dipicu oleh anjuran (kalau bukan perintah) ayah angkatnya yang seringkali diulang-ulang itu, hampir setiap senja menjelang magrib, yakni tentang jiwa petualang atau obsesi seorang pengembara: ”... Naluri pengembaraan itu adalah jiwa seorang anak laki-laki yang ingin melihat hamparan bumi ini hingga ke kota-kota jauh, hingga ke negri-negeri jauh. (...) keinginan melihat banyak kota dan negeri jauh pasti juga menjadi mimpi banyak manusia, terutama anak laki-laki yang pada dasarnya memiliki jiwa petualang...” (hlm. 10). Atau, pada bagian lain dikatakan, ”Kelak kau harus meninggalkan rumah ini untuk melakukan perjalanan,” (hlm. 72). Namun, dalam kaitan ini, secara implisit kita juga diberi tahu bahwa di balik petuahnya yang bernada filosofis itu sesungguhnya ada maksud lain yang terselubung dan sangat tidak mungkin diungkapkan Guru Aran secara terbuka di hadapan Rozan karena hal tersebut menyangkut persoalan yang sangat pribadi dan dapat mengganggu kejiwaan Rozan yang masih labil (dalam usia 16—17 tahun) maupun hak privasi anak angkatnya itu. Dengan demikian, sejauh yang terbaca dalam novel ini, kehadiran sosok Rumi dan Guru Aran masing-masing telah menempuh jalannya sendiri.

/ 4 /
Kembali ke soal semula, sejauh mana realitas imajinatif dalam novel ini mencerminkan atau merefleksikan realitas faktual yang tumbuh berkembang di lingkungan masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu yang dijadikan referen penceritaannya? Persoalan ini agaknya dapat dijawab melalui penelusuran tekstual terhadap struktur atau unsur-unsur pembangun sastranya, khususnya menyangkut aspek latar ceritanya (setting), untuk kemudian menghubungkaitkannya secara kontekstual dengan kondisi riil yang ada di masyarakat. Namun begitu, dalam usaha memberikan pemerian yang lebih komprehensif juga tidak menutup kemungkinan akan melibatkan aspek perwatakan tokoh dan komponen bahasanya. 

Berdasarkan pembacaan komparatif antara ”teks-dalam” dan ”teks-luar”-nya, dapat dikatakan bahwa novel Rumah Debu hampir sepenuhnya mengambil latar ceritanya (tempat, waktu, maupun sosial-budaya) dari kehidupan masyarakat (etnis) Banjar di Kalsel pada kurun waktu sekitar paro kedua tahun 1990-an hingga menjelang akhir dekade pertama tahun 2000-an. Dari segi latar tempat, ihwal lokalitas Martapura (ibukota Kabupaten Banjar) yang memiliki ikon ”kota santri” agaknya cukup mudah untuk dikenali, diidentifikasi, dan dihubungkaitkan dengan realitas faktual pada kurun waktu tersebut —tentunya dengan beberapa catatan, sebagaimana akan saya kemukakan nanti. Sementara itu, untuk lokalitas Rantau yang hendak dirujuk dalam novel agaknya harus dimaknai secara fleksibel bukan sekadar ibukota Kabupaten Tapin an sich yang secara geografis maupun politis dibatasi oleh desa dan atau kecamatan tertentu, melainkan lebih pada pemahaman simbolik sebagai latar imajiner yang meminjam Rantau faktual sebagai acuannya. Dengan kata lain, untuk lebih tegasnya, lokalitas Rantau dalam novel ini seyogianya ditempatkan dalam arti ”Rantau dan sekitarnya” atau ”pinggiran kota Rantau” (jika merujuk pada desa tempat tinggal Guru Zaman) —terutama dalam tarikan garis-batas antara ujung selatan desa Kupang sampai ke desa Tatakan, bahkan mungkin sampai ke Binuang. Sebab, pada kenyataannya, di poros jalan provinsi antara batas selatan kota Rantau dan batas utara Binuang inilah yang dulu (di sekitar paro kedua dekade 90-an hingga menjelang akhir dekade pertama tahun 2000-an itu) selalu digunakan para pengusaha tambang sebagai jalur angkutan batu batu mereka untuk menuju pelabuhan laut (baca: sekitar Pelabuhan Laut Bandarmasih) di Banjarman. 

Gambaran umum kehidupan ”Rantau” akibat penambangan batu bara selama kurun waktu tersebut telah dikemukakan pengarang sejak halaman-halaman awal novelnya. Pada saat itu, sejak siang hingga senja menjelang maghrib, di sepanjang tepi jalan dari batas selatan kota Rantau hingga batas utara kota Martapura selalu dipenuhi oleh deretan truk angkutan batu bara yang parkir secara berkelompok-kelompok menunggu ”jam boleh berangkat lagi” (pukul 18.00 Wita), sesuai dengan aturan Pemerintah Provinsi Kalsel. Pada jam-jam itulah jalanan seringkali macet total hingga berkilometer panjangnya. Di sepanjang tepi jalan itu juga penuh dengan debu limbah batu bara sehingga bangunan-bangunan apa pun akan tampak kusam tersapu debu hitam itu. Lantaran kondisi yang sesungguhnya sangat membosankan itu terus berlangsung tanpa solusi nyata, lama-kelamaan seolah diterima sebagai hal biasa. Masyarakat Kalsel pun pada akhirnya harus mencari cara masing-masing untuk mengatasinya, kendati umpatan dan gerutuan seringkali tetap tak terhindarkan. Gambaran demikianlah yang dimaksudkan pengarang dalam novelnya sebagaimana dikutipkan berikut: 

Jalanan lantas menjadi macet, truk-truk dan mobil-mobil bergerak bagai merayap. Namun tak ada sumpah serapah yang diteriakkan—hanya bergema di dalam rongga-rongga jiwa terdalam. Orang-orang seperti telah menemukan cara bagaimana menikmati parade senja yang membosankan itu, sambil mendengarkan musik dangdut di dalam mobil (hlm. 3—4).

            Senada dengan gambaran di atas, dari segi latar waktu pun hampir seluruh peristiwa yang bermain di dalam novel ini —khususnya menyangkut problematik pertambangan batu bara dengan armada angkutannya (berupa truk-truk berukuran besar) yang bebas berkeliaran di jalan umum, bahkan menghabiskan lebih dari separo badan jalan tersebut— juga hampir sepenuhnya mengacu pada realitas faktual yang pernah terjadi di Kalsel sekitar paro kedua 1990-an hingga hampir penghujung dekade pertama tahun 2000-an, sebelum aturan pelarangan melewati jalan umum diberlakukan bertahun kemudian (kalau saya tak salah ingat, baru berlaku sejak awal 2008). Kecuali kondisi suram seperti telah saya gambarankan di atas, banyaknya korban tewas akibat kecerobohan supir truk batu bara (lantaran mengantuk atau bahkan sedang mabuk), perseteruan antar-pengusaha tambang batu bara secara diam-diam maupun terbuka, atau seringnya terjadi perang mulut maupun pertikaian fisik antarkelompok preman di sekitar area penambangan batu bara sudah merupakan gambaran umum pula di Kalsel pada saat itu. Dengan kata lain, latar waktu dalam novel ini secara jelas mengacu pada situasi dan kondisi riil di Kalsel selama lebih-kurang satu dasawarsa tersebut. Jadi, dari aspek latar waktunya, sudah jelas kiranya bahwa realitas imajinatif dalam novel ini benar-benar berkorelasi positif dengan realitas faktual di luar novel pada saat itu. 

Kalaupun ada keterlibatan unsur imajinasi pengarang, hal itu hanya sebatas dalam fungsi estetiknya guna memoles plot cerita agar menjadi lebih dramatik sehingga para pembaca pun merasa lebih gurih saat menikmati novelnya. Jadi, dalam proses kreatif penulisan novel ini, ada kemiripan metodologis antara cara kerja pengarang dengan cara kerja seorang sosiolog atau antropolog dalam proses penelitiannya; bahwa sang pengarang tentunya juga melakukan teknik-teknik pengumpulan data yang tersebar di masyarakat sekelilingnya, dengan caranya sendiri, yang tidak harus sama dengan prosedur suatu penelitian ilmiah. Hal ini tidak sulit kita pahami karena, sebagaimana telah kita maklumi, sang pengarang novel ini kebetulan juga berprofesi sebagai wartawan dan redaktur di salah satu media massa cetak lokal (Kalsel). Artinya, teknik pengumpulan data yang dilakukannya tentu tidak cuma mengandalkan berbagai varian cerita dan kabar burung yang berkembang dari mulut ke mulut, tetapi ia dapat memanfaatkan banyak dokumen tertulis dengan berbagai ragamnya (berita-berita hasil liputan lapangan maupun artikel-artikel yang pernah dimuat di koran lokal, di samping pelacakan melalui jaringan internet). Jadi, dalam konteks novel ini, benarlah kata Lukacs bahwa suatu karya sastra memang bukan sekadar daya artistik imajinatif yang terpisah dari realitas kehidupan masyarakat, melainkan sebuah upaya rekonstruksi pengalaman nyata yang dicerap sang pengarang dari realitas keseharian masyarakat di sekitarnya.[7]

Selanjutnya, ihwal pertautan dialektis antara realitas imajinatif (dalam novel) dengan realitas faktual (di masyarakat) ini tampaknya akan lebih menarik lagi kalau kita cermati dari aspek latar sosial-budaya atau sosiokulturalnya (termasuk segi-segi sosioreligiusnya). Kendati masyarakat dalam novel memang berbeda dengan masyarakat yang ada dalam realitas keseharian, sebagaimana dimaksudkan Elezabeth Langland,[8] tetapi dalam sebuah novel realis seperti Rumah Debu ini jelas bahwa masyarakat-imajinatif yang dimaksudkan pengarang dalam teks novelnya memiliki hubungan indeksikal dengan masyarakat-faktual tertentu pada zaman penciptaannya.[9] Tegasnya, seperti telah saya singgung sebelumnya, masyarakat-faktual yang hendak ditunjuk pengarang dalam novelnya adalah masyarakat Banjar di Kalsel pada kurum waktu antara paro kedua dekade 90-an hingga menjelang akhir dekade pertama tahun 2000-an. Namun, persoalannya sekarang, seberapa jauh kondisi sosiokultural masyarakat-imajinatif yang digambarkan pengarang dalam novelnya mencerminkan kondisi sosiokultural masyarakat-faktual yang dijadikan acuan penulisan novelnya? Juga, sejauh mana teks novel ini merefleksikan kondisi dan semangat zaman penciptaannya? 

Sekaitan dengan kondisi sosiokultural masyarakat novel, ada beberapa aspek yang sungguh menarik perhatian saya untuk ditelisik lebih jauh; di antaranya yang terpenting adalah tentang stratifikasi sosial, perilaku dan pandangan sosiokultural masyarakat, serta sikap dan tanggapan sosioreligiusnya. Menyoal aspek pertama, stratifikasi sosial masyarakat-imajinatif dalam novel —sebagaimana juga dalam masyarakat di dunia nyata— memang mengandaikan terdapatnya upaya pengelompokan dan penjenjangan kelas masyarakat berdasarkan status sosial tertentu, khasnya menyangkut hubungan kausal antara pihak yang berkuasa (majikan) dengan pihak yang dikuasai (bawahan). Bagi para pemikir Marxis, hal ini tentu akan segera dikaitkan dengan dua kelompok masyarakat yang terutama dibedakan berdasarkan tingkat status sosial-ekonominya, yaitu yang lazim mereka sebut ”kaum borjuis” (pihak penguasa, pemodal, majikan) dan ”kaum proletar” (masyarakat banyak, buruh-upahan, bawahan). Bagi masyarakat Banjar tradisional (di Kalsel), masalah stratifikasi sosial ini erat kaitannya dengan konsep pagustian (junjungan, penguasa) yang seringkali diingkarkan dengan urang jaba (masyarakat biasa). Namun, dalam struktur masyarakat Banjar modern ternyata persoalan konseptual tersebut tidak lagi sesederhana dulu karena dalam berbagai segi kehidupan praktisnya sudah menjadi demikian majemuk dan sangat kompleks. 

Dalam sebuah telaah kritisnya, Aprinus Salam (seorang peneliti dan pengamat sastra dari FIB UGM Yogyakarta) melihat bahwa sang pengarang lewat novel Rumah Debu-nya ini sebenarnya sedang mendedahkan tiga elemen kekuasaan sekaligus, tentu dengan karakteristik dan wilayah kekuasaannya masing-masing. Ketiga elemen tersebut adalah kekuasaan agama (diwakili oleh Guru Zaman), kekuasaan uang (diwakili oleh Pak Ismail dan Ibu Diyang), dan kekuasaan fisik (diwakili oleh kelompok Pak Sawang dan Udin Tungkih). Di samping itu, ia juga melihat kemungkinan potensial munculnya satu bentuk kekuasaan lain (direpresentasikan melalui tokoh Rozan) yang masih rapuh dan pada akhirnya memang takluk di bawah pengaruh segitiga kekuasaan yang telah mapan tersebut.[10] Kendati telaah ini semata-mata didasarkan atas hasil amatan tekstual ”seorang luar” (orang lain, the other man), saya yakin bahwa dalam banyak hal ”orang dalam” pun tentu akan dapat bersepakat dengan simpulan tersebut. Sebab, bagaimanapun khasnya persoalan sosiologis yang disajikan pengarang, moralitas dan spirit kemanusiaan yang hendak didedahkannya pada dasarnya boleh berlaku universal. 

Baik secara eksplisit maupun implisit, novel Rumah Debu memang tidak menampilkan bentuk kekuasaan birokrasi pemerintahan yang didasarkan pada tingkat kewenangan tertentu. Namun begitu, konsep sosiokultural Banjar berwujud pagustian dan urang jaba agaknya tetap relevan untuk disandingkan di sini. Ketiga kelompok kekuasaan yang ditengarai Salam di atas secara silih-berganti dapat menempati wilayah pagustian, tetapi pada tataran tertentu di antaranya dapat bergeser secara kontekstual ke wilayah urang jaba. Dalam konteks sosioreligius (baca: kekuasaan agama), misalnya, Guru Zaman yang sangat dihormati oleh masyarakat sekitarnya maupun di kalangan preman (kelompok Udin Tungkih maupun kelompok Jantra) dapat menempati wilayah pagustian, tetapi dalam konteks sosioekonomis (baca: kekuasaan uang) ia tidak lebih sebagai sosok urang jaba di hadapan Pak Ismail —meskipun Bos Batu Bara yang kaya-raya ini tetap memperlihatkan sikap hormat kepada Guru Zaman, tetapi sikap itu cumalah sebuah formalitas dan sebentuk penghormatan palsu. Hal yang sama juga terjadi pada tokoh preman legendaris bernama Pak Sawang dan Udin Tungkih yang dalam konteks kekuasaan fisik mereka dapat menempati wilayah pagustian di antara kelompok preman di bawahnya, tetapi posisi Pak Sawang di hadapan Pak Ismail dan Udin Tungkih di hadapan Ibu Diyang segera bertukar-tangkap menjadi urang jaba yang mesti tunduk-patuh pada bos (gusti) mereka masing-masing —tentu saja dengan alasan ekonomis tadi; bahwa penghidupan mereka sangat bergantung pada upah yang diberikan oleh Pak Ismail maupun Ibu Diyang. 

Dalam hubungannya dengan soal perilaku dan pandangan sosiokultural, masyarakat Banjar modern pada dasarnya bukanlah masyarakat yang memiliki akar tradisi feodalisme, tetapi merupakan kelompok masyarakat yang egaliter dan demokratis. Hal ini dapat dilihat dari sudut linguistiknya, khususnya dalam bidang perbendaharaan kosa katanya yang sangat miskin tentang tradisi dan spirit feodalisme. Kata-kata semacam ulun-pian/andika (ragam hormat dari pronomina ”saya-kamu/Anda”) sebenarnya tidaklah merepresentasikan sikap feodal karena penggunaan kosa kata tersebut semata-mata berfungsi sebagai bentuk penghormatan dari seorang komunikator muda terhadap komunikan yang lebih tua. Akan tetapi, pada sisi lain, kata-kata yang sama juga dapat digunakan kepada ”orang yang dituakan” karena posisi dan status sosial tertentu (semisal Pak Ismail, Guru Zaman, atau Pak Sawang), meskipun pada kenyataannya sang penutur berusia lebih tua daripada figur yang dituakan tadi. 

Sekarang, kembali ke pokok masalah lagi, sudah jelas pula bahwa berbagai aspek sosiokultural masyarakat dalam novel ini merujuk pada kondisi sosiokultural dalam dunia keseharian masyarakat Banjar pada zaman penciptaannya. Persetruan diam-diam di kalangan para pengusaha tambang batu bara maupun pertikaian fisik di kalangan preman penguasa wilayah pertambangan merupakan implikasi tak langsung dari konsep kada kawa tadua jagau (tidak boleh ada dua orang jagoan) yang sudah berurat-akar sejak lama dalam masyarakat Banjar tradisional. Begitu juga dengan mitos-mitos tentang kesaktian para tokoh preman (tacut) tertentu (khususnya Pak Sawang dan Udin Tungkih) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja justru dibangun oleh pihak lain, hal itu boleh jadi merupakan semacam terjemahan dari konsep harat (berani, sakti, jago). Demikian pula ihwal bentuk-bentuk kekuasaan yang ada sekarang (sebagaimana rumusan Salam di atas) pada dasarnya merefleksikan konsep sosiokultural masyarakat Banjar tradisional, pagustian versus urang jaba, tetapi mewujud dalam bentuk kontemporernya yang cenderung bercorak materialistis.  

Kecuali beberapa aspek di atas, menyoal tentang sikap dan tanggapan sosioreligius masyarakat dalam novel, menarik sekali untuk menelusuri lebih jauh bagaimana relevansinya dengan kondisi sosioreligius masyarakat Banjar kontemporer yang memang menjadi acuan novel Rumah Debu. Sebagaimana dapat kita saksikan sekarang, kecenderungan hidup masyarakat Banjar yang kini tampak semakin direduksi oleh pandangan materialistis dan sikap pragmatis benar-benar telah membawa pergeseran nilai dalam berbagai aspek kehidupannya, tak terkecuali dalam aspek sosioreligiusnya. Sekaitan dengan posisi dan sikap Guru Zaman, meskipun secara kasatmata ia tampak terkooptasi oleh kekuasaan uang Pak Ismail, tentu ia pun punya alasan lain yang mulia sifatnya: misi dakwah dan syiar agama (Islam). Akan tetapi, pada beberapa peristiwa, ia berada dalam posisi yang serba salah hingga akhirnya ketulusan sikapnya seringkali dimanfaatkan orang lain secara salah kaprah. Dalam posisi demikianlah Guru Zaman terpaksa melakoni tugasnya sebagai pihak penengah pada peristiwa blokade jalan oleh masyarakat (hlm. 36) atau ketika akan terjadinya bentrok bersenjata antara kelompok preman Udin Tungkih dengan kelompok Pak Sawang yang berada di belakang Jantra (hlm. 62—64). Hal itu dapat dimengerti karena pada kenyataannya, lebih-lebih dalam pandangan masyarakat awam, sosok seorang tokoh agama memang selalu diposisikan sebagai figur yang paling netral, bahkan untuk semua perkara. Lagi pula, status Guru Zaman hanya seorang guru agama (ustazd) ”kelas kampung”, bukan seorang ulama (tuan guru) kharismatik yang sudah berada di ”menara gading” dengan lingkup pengaruh yang sangat luas. Dalam posisi demikian, Guru Zaman tidak bisa mengelak dari tanggung jawab moral atas segala persoalan kemasyarakatan di sekitarnya. 

Masih menyoal aspek sosioreligius, ada satu rangkaian adegan dalam novel ini yang bagi saya terasa agak prelogis ketika dicobasandingkan dengan realitas-faktual masyarakat yang menjadi acuan novel ini. Rangkaian adegan dimaksud berkaitan dengan peristiwa kehamilan seorang anak santri putri (kelak diketahui, santri putri itu bernama Sarah Hidayati) yang tinggal di lingkungan sebuah pondok pesantren di kota Martapura akibat hubungan gelapnya (konon akibat perkosaan) dengan seorang pemuda luar pondok yang bekerja sebagai penjaga toko pakaian di pasar Martapura (kelak diketahui, lelaki muda itu bernama Jantra). Di sini, serasa terlampau dipaksakan jika berbagai tanda kehamilan yang dialami Sarah hanya diketahui oleh seorang Zahra (sahabat dekatnya yang kemudian menjadi ustazdah di situ), tetapi tidak diketahui sama sekali oleh para pengasuh pondok dan ustadz-ustadzah lainnya yang sehari-hari mengajar di pondok pesantren tersebut. Perhatikan sebagian pengakuan Sarah berikut ini:

Seiring perjalanan waktu, saya mulai merasakan perbedaan pada diri saya yang rupanya merupakan tanda-tanda bahwa saya hamil. Hampir saja saya melakukan perbuatan hina yang akan membuat saya dilempar bulat-bulat ke neraka. ... Bulan ke bulan, saya mulai bisa menerima janin yang saya kandung. Berbagai langkah persiapan apabila waktunya tiba pun mulai saya susun. Termasuk di mana saya harus melahirkan dan juga menitipkan —sekali lagi, kedengarannya pastilah tidak seperti itu—bayinya di depan pintu rumah Guru Aran, semua itu adalah rancangan saya. ... 

Rupanya, pengarang melupakan sebuah pepatah lama: sebaik-baiknya menyimpan barang busuk, kelak baunya akan tercium juga! Rentang waktu kehamilan sekitar sembilan bulan lebih bukanlah waktu yang singkat, bukankah? Sungguh mustahil kiranya jika peristiwa hamil di luar nikah semacam itu bisa terjadi dan bahkan berjalan sangat mulus dalam lingkungan sebuah pondok pesantren (lebih-lebih pesantren tradisional, salafiyah) yang umumnya para pengasuhnya sangat ketat menjaga kehormatan lembaga pendidikan mereka. Kendati ia melahirkan di luar lingkungan pondok, di rumah seorang dukun beranak bernama Nini Salmah, tetap saja ada yang janggal karena sangat tidak mungkin segala gejala kehamilan itu dapat disimpan dengan rapi sampai menjelang hari melahirkan (hlm. 101—103 dan 128). Sebab, tanda-tanda kehamilan itu (apalagi hamil pertama) tentu saja bukan cuma dalam bentuk perubahan perut yang kian membesar (yang mungkin bisa saja ditutupi dengan jubah —pakaian panjang santri putri— berukuran lebih besar), melainkan juga akan muncul pada raut wajah yang memucat, batang tengah leher depan yang semakin cekung, dan terutama rasa mual yang akan selalu membuat si hamil sering muntah-muntah tanpa bisa dicegah kapan datangnya. Di sini, sang pengarang tampaknya terlampau bertumpu pada keliaran imajinasinya sehingga cenderung telah mengabaikan logika cerita. Padahal, sebagai sebuah novel realis, logika cerita tidak bisa tidak ia harus tunduk pada logika yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat di sekelilingnya. Jadi, kalau kita coba kalkulasikan secara komparatif antara logika cerita dengan logika keseharian (juga antara imajinasi dan realitas) mungkin akan menghasilkan angka perbandingan yang sangat mencolok, yakni 1000:1 (seribu berbanding satu). 

Kasus tersebut tentu berbeda dengan ketika sang pengarang berbicara tentang kalaziman poligami di kalangan pengusaha batu bara maupun di kalangan ulama Banjar (juga tidak menutup kemungkinan bagi para hartawan dan penguasa atau pejabat Banjar), saya pun segera dapat mengamininya dengan angka perbandingan 1:1 (satu berbanding satu). Sebab, memang demikianlah adanya dalam realitas keseharian masyarakat kita. Hal ini karena konon ada cantelan filosofisnya dengan sebuah ungkapan lama yang seolah sudah lazim berlaku dalam tradisi lelaki Banjar: biar susah harta, asal sugih bini (biar miskin harta, asal kaya istri) (hlm. 111). Namun, menurut hemat saya, ungkapan itu sebenarnya belum sepenuhnya Banjar karena masih ada satu ungkapan selorohan lagi yang jauh lebih tipikal: babini satu hanyar balajar, babini dua paguni wajar, babini talu kurang ajar, babini ampat hanyar urang Banjar (beristri satu baru belajar, beristri dua masih wajar, beristri tiga kurang ajar, beristri empat baru orang Banjar) —dalam pandangan kaum feminis tentulah ungkapan ini  terasa ”sadis” juga! 

Dalam novel ini, persoalan poligami bahkan diangkat pengarang dalam satu subjudul tersendiri (Bagian 3, hlm. 111—115). Artinya, pastilah ada tingkat penekanan tertentu yang hendak disampaikan pengarang kepada para pembacanya. Oleh karena itu, saya memaknai penekanan ini sebagai sebuah kritik artistik yang lumayan tajam terhadap kondisi sosiokultural masyarakat Banjar kontemporer, lebih-lebih karena wacana ini juga ditujukan kepada para ulama yang notabene sikap-laku ”beliau-beliau” itu seyogianya menjadi panutan masyarakat banyak. Kita memang tidak pernah tahu persis apa landasan pemikiran yang melatarbelakangi sikap sebagian ulama yang ”doyan” berpoligami itu: apakah memang karena pemahaman yang mendalam atas esensi firman Allah (QS. an-Nisâ [4]: 3) serta kesadaran untuk mengikuti sunnah Rasulullah yang mengandung spirit kemanusiaan dan bersifat ukhrawi itu ataukah sekadar dilantarankan oleh dorongan syahwat (nafsu seks) sebagaimana yang banyak dilakukan para pengusaha dan pejabat kaya? Jawaban persisnya tentu akan terpulang kepada diri masing-masing. Akan tetapi, berdasarkan hasil kajian Agus Mustofa dalam salah satu buku Serial Diskusi Tasawuf Modern-nya, tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran yang mengisyaratkan tentang kebolehan poligami disebabkan alasan-alasan takut terjadi perzinahan dan perselingkuhan atau karena dorongan syahwat alias nafsu seks yang tidak terkendali.[11]

/ 5 /
Berdasarkan uraian di atas, kini sudah jelas kiranya betapa eratnya gayutan sosiologis serta batas-batas persinggungan dialektis antara teks sastra, realitas keseharian masyarakat, dan imajinasi sang pengarang dalam novel bertajuk Rumah Debu karya Sandi Firly ini. Dalam hal ini, sekali lagi dapat saya katakan bahwa realitas imajinatif yang dibangun pengarang dalam lembar-lembar novelnya hampir sepenuhnya mengacu pada realitas faktual masyarakat Banjar kontemporer yang pernah terjadi di Kalsel selama lebih-kurang satu dasawarsa terakhir (antara paro kedua 1990-an hingga menjelang akhir dekade pertama tahun 2000-an). Sepanjang yang terbaca dalam novel ini, sang pengarang telah menunjukkan betapa masyarakat Banjar dalam kurun waktu tersebut telah mengalami pergeseran budaya yang secara moral-religius tampak sudah demikian akut dan epidemis sifatnya akibat masuknya ”peradaban baru” (yang lazim dikonotasikan dengan modernisme Barat) yang tidak selamanya menguntungkan itu. 

     Sederet adegan telah disajikan dengan apik, terutama jika dilihat dari koherensi antar-unsur pembangunnya. Dalam hal teknik pengaluran, misalnya, pengarang dengan lihainya mengaduk-aduk emosi dan membiarkan kepenasaranan pembaca terus memuncak sekaitan dengan kabut rahasia yang menutupi jatidiri Rozan, terutama dalam caranya mengulur-ulur dan mencicil jawaban ihwal siapa ayah Rozan sesungguhnya. Padahal, kalau kita cermati lebih jeli, sebenarnya pengarang telah berkali-kali memberi isyarat ketika adegan pertemuan tak sengaja antara Rozan dan Jantra (hlm. 27 dan 146). Selain itu, pengarang juga memiliki kemampuan deskriptif yang kuat dalam menggambarkan berbagai peristiwa, melukiskan suasana, dan mengarahkan daya bayang pembaca ke titik tertentu. Namun, di antara sederet prestasi estetik yang telah berhasil dibangunnya, satu-satunya kelemahan yang saya nilai cukup fatal dalam novel ini adalah saat sang pengarang membayangkan terjadinya peristiwa aib berupa hamil di luar nikah dalam lingkungan sebuah pondok pesantren tradisional dengan begitu entengnya (sebagaimana telah saya tunjukkan di atas).

           Akan tetapi, bagaimanapun, melalui novel debutannya ini Sandi Firly telah berhasil menulis sebuah karya realis (dengan warna lokal masyarakat Banjar kontemporer) yang sungguh mencerahkan. Sebagai karya realis, novel ini pun sarat dengan kritik sosial yang secara indeksikal menunjuk tajam kepada beragam elemen masyarakat: mulai dari para pengusaha batu bara, kelompok preman upahan, aparat penegak hukum dan penguasa lokal, hingga guru-guru agama dan kaum ulama —sejauh garis-batas indeksikalnya. ”Menyajikan realitas, mendedahkan kebenaran,” saya kira, inilah moralitas dan spirit perubahan dalam novel ini. Sebab, sebagaimana pernah diungkapkan Ibe Karyono ketika mengulas pemikiran Georg Lukas, ”Dengan kepekaan artistik seorang sastrawan bisa melukiskan realitas objektif dengan ’bahasa’ yang lentur, namun sarat dengan makna.” Keprihatinan dan pertanyaan kritis seorang sastrawan terhadap realitas sosial, jelas Karyno lagi, bisa jadi sama dengan seorang ilmuwan atau filsuf. Namun, ketiganya berbeda dalam cara pendekatan dan pengungkapannya. Ilmuwan dan filsuf hanya mampu menampilkan data objektif dalam susunan sistematis yang kaku, sedangkan sastrawan merefleksikan kembali realitas objektif dan mengungkapkannya kembali sebagai suatu pengalaman baru.[12]

Sejalan dengan pemikiran di atas, saya teringat juga pada pernyataan Budi Darma saat menyoal tentang moralitas dalam sastra. Pendapat klasik mengatakan bahwa karya sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik, mengajak pembaca agar menjunjung tinggi norma-norma moral, dan karenanya sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral. Akan tetapi, pada kenyataannya ternyata berbeda. Karya sastra yang baik justru mengungkapkan dunia yang seharusnya menurut moral tidak terjadi. Sifat-sifat sastra memang menuntut orang untuk melihat kenyataan, kalau perlu tidak sejalan dengan kepentingan moral, dan bukannya melihat apa yang seharusnya terjadi. Sementara itu, sastra masih harus melaksanakan tugasnya untuk membentuk jiwa ”humanitat” yang jauh dari segala sesuatu yang tidak sejalan dengan kepentingan moral.[13] Maka, dalam konteks demikianlah kita seyogianya menempatkan kasus Sarah Hidayati dalam novel ini. 

Akhirnya, sambil bersepakat kembali dengan Georg Lukacs, dapat saya katakan bahwa novel Rumah Debu ini juga tergolong karya yang komunikatif. Lukacs, dengan memberikan tekanan pada fungsi emansipatoris (dalam teori ”Realiasme Sosialis” yang dikembangkannya), seolah ingin menggarisbawahi bahwa makna seni terletak pada kemampuannya berkomunikasi dengan audiens. Sebuah karya seni (termasuk sastra) dikatakan komunikatif kalau ia menawarkan ”kaidah” kebenaran yang dekat dengan pengalaman masyarakat.[14] Oleh karena itu, seorang pengarang realis tidak akan pernah terpisah dari realitas sekitarnya. Dan Sandi, melalui novel ini, telah berhasil membangun komunikasi yang intens dengan pembacanya dengan cara mendedahkan kebenaran sosiokultural yang dicecapnya dari realitas faktual masyarakat tempatan pada zamannya. Maka, tidaklah keliru jika kelak ada orang yang ingin belajar tentang masyarakat Banjar kontemporer (setidaknya untuk kurun waktu 1990—2010) melalui novel ini, terutama jika dilihat dari kekuatan lokalitas dan daya dokumenternya.

Pelaihari, 12 Mei 2011
CATATAN KAKI

[1] Untuk kasus ini, saya pernah menyebutnya sebagai “masa kebangkitan kembali” karena pada kenyataannya penulisan sastra kreatif ragam fiksi memang pernah cukup semarak pada masa-masa awal pertumbuhan sastra Indonesia di Kalsel di sekitar tahun 1930-an hingga 1960-an. Lihat Jamal T. Suryanata, “Kesilaman, Kekinian, Keakanan: Relasi Waktu dalam Cerpen Hajriansyah,” (Media Kalimantan, 5—7 dan 9—11 Mei 2011), hlm. C5 dan “Esai Minggu Ini” dalam www://sastradigital.gmail.com, edisi Mei 2011.
[2] Bandingkan dengan klasifikasi Albert Memmi dalam Rien T. Segers, Evaluasi Teks Sastra, terj. Suminto A. Sayuti (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 70; Ian Watt dalam Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1984), hlm. 3—4; Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature (New York: Hartcourt, Brace & World, Inc., 1956), hlm. 84.
[3] Lihat Damono, ibid., hlm. 2.
[4] A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra: Kumpulan Karangan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 61.
[5] Lihat Ariel Heryanto, “Sastra, Sejarah, dan Sejarah Sastra” dalam Andy Zoeltom (Ed.), Budaya Sastra (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 47.
[6] Bandingkan dengan Ibe Kayono, Realisme Sosialis Georg Lucacs (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 61. Untuk pengertian ringkas mengenai ”realisme” merujuk pada Abdul Rozak Zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah, Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 168.
[7] Karyono, loc. cit.
[8] Uraian selengkapnya, lihat Elezabeth Langland, Society in the Novel (Chapel Hill and London: The University of North Carolina Press, 1984), hlm. 4.
[9] Sekadar informasi pendukung, berdasarkan pengakuan Sandi Firly (sang novelis), novel Rumah Debu ini sebenarnya sudah mulai digarapnya sejak awal 2008. Akan tetapi, sebelum berhasil dirampungkan dan diterbitkan dalam bentuk buku (November 2010), proses kreatifnya sempat terhenti lantaran ia harus hijrah ke Bandung selama lebih-kurang satu tahun untuk memenuhi tuntutan tugas jurnalistiknya. Dengan begitu, dapat diduga bahwa proses pengumpulan data dan pengendapan gagasan awal tentu sudah mulai dilakukannya beberapa waktu (mungkin juga berselang tahun) sebelum detik-detik awal masa penulisan tersebut.
[10] Lihat Aprinus Salam, “Rumah Debu: Ketidakberdayaan dalam Segitiga Kekuasaan” (Makalah untuk Penluncuran dan Bedah Buku Jatisaba karya Ramayda Akmal dan Rumah Debu karya Sandi Firly, diselenggarakan oleh HMJ PBSID di Aula STKIP PGRI Banjarmasin, 16 April 2011).
[11] Lihat Agus Mustofa, Poligami Yuuk!?: Benarkah Al-Quran Menyuruh Berpoligami Karena Alasan Syahwat? (Surabaya: PADMA Press, 2007), hlm. 212 dan 241.
[12] Karyono, op. cit., hlm. 62.
[13] Budi Darma, “Moral dalam Sastra”,  dalam Andy Zoeltom (Ed.), Budaya Sastra (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 79—80.
[14] Lihat kembali Karyono, op. cit., hlm. 99.