Kesilaman,
Kekinian, Keakanan:
Relasi
Waktu dalam Cerpen Hajriansyah
Oleh : Jamal T. Suryanata
Hidup ini adalah
kenangan-kenangan
yang membuncah; sehari-hari
ia tersimpan rapat
di ruang yang terjaga,
sesekali ia muncul
dalam mimpi kita—ada yang
menjelma
keluasan tak
terbatas, ada yang menyerupai
hantu-hantu
mengerikan yang mengejar kita
( Hajriansyah, ”Prolog” )
/ 1 /
Secara historis, dalam jagat sastra Indonesia di
Kalimantan Selatan (Kalsel) yang selama beberapa dasawarsa sebelumnya lebih
dikenal sebagai ”lumbung penyair” ini, dekade pertama tahun 2000-an dapat
disebut sebagai masa kebangkitan kembali penulisan ragam prosa (genre cerpen
pada khususnya, sedangkan penulisan novel masih tergolong langka).[1] Periode ini disemarakkan oleh sederet nama cerpenis generasi baru yang
tidak akan kita temukan dalam buku Jarkasi dan Tajuddin Noor Ganie, Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan
(2001). Beberapa nama yang cukup menonjol di antaranya: Sandi Firly, Aliman
Syahrani, Harie Insani Putra, Sainul Hermawan, Ratih Ayuningrum, Dewi Alfianti,
Rismiyana, Hudan Nur, Syafiqatul Machmudah, Anna Fajar Rona, Nailiya Nikmah
JFK, Kayla Untara, Aliansyah Jumbawuya, dan Hajriansyah.[2]
Sebagaimana telah disebutkan
di atas, Hajriansyah —penulis kelahiran Banjarmasin (10 Oktober 1979) yang,
sepengetahuan saya, baru memulai kiprah kepengarangannya sejak awal tahun
2000-an ini— termasuk salah seorang penulis (meliputi genre puisi, cerpen, dan
esai) dari jajaran generasi baru tersebut. Sebelum menulis cerpen, ia memulai karier kepengarangannya
dengan menulis puisi. Bersama M. Nahdiansyah Abdi, sejumlah puisinya telah
dibukukan dalam Jejak-jejak Angin (Yogyakarta:
Olongia, 2007), disusul penerbitan dua buku antologi puisi tunggalnya dengan
judul Jejak Air (Banjarmasin: Tahura
Media, 2007) dan 79 Puisi Hajri
(Banjarmasin: Tahura Media, 2010). Sementara, dalam bidang penulisan fiksi,
dari tangannya telah terbit pula sebuah buku kumpulan cerpen perdana bertajuk Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami
(Yogyakarta: Framepublishing, 2009). Bukunya yang disebut terakhir inilah kelak
yang akan menjadi pangkal tolak dan bahan kajian dalam pembicaraan saya
selanjutnya.
Buku kumpulan cerpen debutan
karya Hajriansyah ini memuat 14 cerpen yang, sesuai dengan titimangsa
penulisannya yang tercantum di bawah teks penutup setiap cerpen, ditulis dalam
kurun waktu hanya sekitar satu tahun (antara Februari 2008 sampai dengan
Februari 2009).[3] Dengan demikian, di
samping sebagai penyair, boleh dikata bahwa Hajri —demikian sapaan akrabnya— termasuk
cerpenis yang cukup produktif berkarya selama satu dasawarsa tersebut
(setidaknya untuk ukuran pengarang lokal di Kalsel). Sebab, jika kita coba
kalkulasikan secara sederhana, minimal ia telah mampu menghasilkan satu cerpen
dalam sebulan. Namun, lepas dari persoalan tersebut, menarik untuk dicermati
berbagai sisi diskursif dalam setiap cerpennya yang dengan itu semua seakan
sang pengarang hendak mendedahkan kepada kita betapa ihwal waktu merupakan
sesuatu yang sangat urgen, dinamis, bersifat historis, serta berjalin-kelindan
dalam relasi-relasi faktual-imajinatif yang mempertautkan jarak-batas antara tiga
unsur tak terpisahkan: kesilaman, kekinian, dan keakanan.
Waktu, di satu sisi ia bisa hadir
sebagai sesuatu yang terukur dan penuh kepastian, tetapi pada sisi lain bisa juga
menjadi sesuatu yang sangat abstrak dan niskala sifatnya. Dalam konteks
demikianlah kiranya kita dapat membaca keserbamungkinan beragam relasi waktu
dalam cerpen-cerpen Hajri yang terangkum dalam buku ini; bahwa sang pengarang
seperti sedang berusaha mengaduk-aduk suasana cerita dalam lingkaran kesilaman,
kekinian, dan keakanan itu untuk kemudian menghidangkannya di hadapan pembaca
sebagai sepotong kue lapis siap santap —di mana setiap penikmat tentu boleh
mencicipinya dari lapis mana pun, bahkan dari sudut mana pun, bergantung pada mood dan interes masing-masing.
/ 2 /
”YA,
bisa saja kau datang dengan tangan mengepal, tapi aku sudah lupa dengan masa
lalu. Kenangan di kepalaku seperti jarum di tumpukan jerami. Terlalu absurd!
Kenangan hanyalah bayangan, dan aku akan terus berjalan ke depan. Sebuah lubang
telah kulalui tadi, dan aku telah melupakannya...,” demikian beberapa kalimat pembuka cerpen
”Monologia” yang mengawali antologi cerpen bertajuk Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami (yang judulnya diambil berdasarkan
salah satu judul cerpen di dalamnya) ini —suatu rangkaian pernyataan afirmatif
yang dilontarkan tokoh aku terhadap tokoh kau yang dalam monolog itu seakan
merupakan lawan bicaranya. Jadi, sebagai pembaca, memang sedari awal kita sudah
disuguhi sebuah wacana diskursif yang mengandaikan berlangsungnya pertemuan
dialektis antara kesilaman, kekinian, dan keakanan sekaligus.
Cerpen
”Monologia” sendiri, sebagaimana implisit dimaksudkan dalam judulnya, memang
hanya sebuah monolog. Sebab, dari kalimat pembuka hingga paragraf penutupnya
tak lebih dari serangkaian percakapan tokoh aku dengan dirinya sendiri, sebuah percakapan-dalam
(interior monologue). Jadi, kendati
dalam percakapan tersebut seolah melibatkan orang kedua, tetapi kehadiran pronomina
persona kedua tunggal ”kau” tentunya tetap dalam konteks sebuah monolog, bukan
dalam kerangka dialog atau komunikasi langsung dua arah layaknya dua sahabat
yang bertemu di suatu tempat di suatu masa tertentu.
Dalam cerpen ini, dari awal
hingga akhir cerita kita hanya menemukan sosok ”aku yang bersih” yang dengan
posisi demikian ia boleh melakukan apa saja, mengatakan apa saja, dan bersikap
bagaimana saja. Sebagaimana dapat kita baca, melalui model cerita berbingkai (baca:
cerita dalam cerita) yang disajikan, si akulah yang aktif-produktif melontarkan
petuah-petuahnya tentang kearifan hidup dalam kaitannya dengan pemaknaan waktu.
Sementara, kehadiran tokoh kau menjadi terpasifkan. Tokoh aku sendiri merupakan
stereotip orang yang ingin terbebas dari belenggu masa silam, bahkan cenderung alergi
dengan memperlihatkan sikapnya yang tampak sinis. Agaknya, si aku adalah seorang
pemuja kekinian, juga realis dan rasionalis. Sebagaimana dituturkannya, ”Jadi sekali lagi, kutegaskan tak perlu kau kepalkan tangan dengan membawa
cerita masa lalu. Kalau kau ingin berbincang, mari bicara tentang hari ini
saja. Apa yang kau bawa? Sebuah pikiran?”
Memang, dalam cerpen yang terkesan
hanya menghadirkan si aku sebagai tokoh tunggalnya ini kita tidak akan
menemukan sosok lain dengan karakter yang berbeda. Bahkan, karakter tokoh aku
sendiri agak sulit untuk dikenali dan diidentifikasi, kecuali sebagai sosok ”penguasa
tunggal” yang dengan bebas menilai dan memperlakukan ”tokoh lain” (yang
dianggap lawan bicaranya) menurut cara pandangnya yang monolitik. Sebab, dengan
gaya monolog interior demikian, tokoh lain hanya diposisikan sebagai objek yang
tak punya kesempatan untuk berapologi. Sementara itu, hal-ihwal latar (setting) dan alur (plot) yang mestinya menjadi pelumas struktur cerita agaknya menjadi
terabaikan; bahwa kehadiran latar yang seyogianya berfungsi mewadahi bangunan cerita
dan gagasan tidak dimunculkan sama sekali dan bahwa pertautan struktural peristiwa—konfliks—klimaks—antiklimaks
tampaknya juga belum terolah (atau sengaja tidak digali?) dengan baik. Dengan
demikian, setelah membaca cerpen ini, jangan berharap akan ada degupan-degupan
jantung yang berdetak cepat dan agak keras di dada kita sebagai penanda jeda
antaradegan (akibat rasa penasaran dan ketegangan untuk segera memasuki tahap selanjutnya)
atau letupan-letupan emosi yang membuat wajah kita serasa panas (lantaran
munculnya empati dan atau antipati yang ditekan sedemikian rupa terhadap ulah tokoh-tokohnya)
sebelum mencapai katarsis. Sebab, dalam cerpen ini, agaknya sang pengarang
memang tidak berpretensi untuk menggelitik emosi pembacanya lebih dalam sehingga
unsur suspense —yang kelak memunculkan surprise— menjadi tidak begitu penting.
Dengan teknik bercerita
semacam itu, apa sebenarnya yang hendak dikejar pengarang? Apakah ia sekadar
ingin menghadirkan kembali kepingan-kepingan masa lalu belaka melalui model
cerita berbingkainya, merangkul sekaligus menentangnya, ataukah hanya berusaha
mengeksplorasi serta mewadahi gagasan-gagasan filosofisnya terkait dengan
berbagai problem sosiohistoris dan pemaknaan waktu? Sejauh yang dapat dapat
kita baca, semua itu tentu saja belum jelas benar kedudukannya. Lagi pula, dalam
cerpen ”Monologia” sendiri sudah memperlihatkan sebuah paradoks karena di
samping sikap akomodatif yang diperlihatkan pengarang dalam bentuk pemunculan
kembali masa lalu, di situ juga terjadi penentangan dan sinisme terhadap
kesilaman melalui sikap tokoh aku yang diposisikan sebagai mediator sang
pengarang dalam penyampaian pesan-pesan filosofisnya kepada pembaca. Paradoks
semacam itu jelas akan menuntut sikap lain dari pembaca, terutama dalam
kaitannya dengan upaya menggali dan menemukan nilai-nilai-lebih yang lain,
semisal nilai-nilai sosiopsikologis maupun moral-religius yang mungkin masih bersemayam
di belakang teks sastra (baca: cerpen).
/ 3 /
Pembacaan sekilas atas beberapa cerpen awal Hajri dalam
kumpulan ini memang mengesankan bahwa sang pengarang tampaknya tidak begitu peduli
dengan tetek-bengek teoretis yang secara fungsional lazim dipandang sebagai
unsur-unsur pembangun sebuah karya fiksi. Barangkali, dilantarankan oleh keinginan
sang pengarang untuk bercerita secara lancar dan seadanya, kegelisahan
intelektual-emosionalnya untuk segera menggelindingkan begitu banyak gagasan
yang berkelebatan di kepala, dan terutama desakan untuk mengungkapkan
serpihan-serpihan kenangan yang sudah meletup-letup di ujung jemarinya
(alih-alih istilah ”di ujung lidah” atau ”di ujung pena”) agaknya telah
mengubur potensinya dalam menyusun sebuah ”cerita yang tak sekadar bercerita”
atau perihal urgensi struktur sastra pada khususnya. Dengan begitu, kita tidak
bisa berharap banyak akan menemukan alur yang apik dan tertata runtut, latar
yang jelas dan fungsional sebagai bungkus pesan, atau karakter tokoh dengan
watak dan temperamennya yang tipikal. Jadi, kecuali serupa mozaik kenangan saja
(kesilaman yang diselipkan di antara peristiwa kekinian dan bayangan keakanan),
selebihnya merupakan uraian-uraian filosofis dan derap intelektualisme dengan
meminjam tokoh aku sebagai corongnya.
Kecuali dalam ”Monologia”, hal
yang sama juga mengemuka dalam beberapa cerpen lainnya; setidaknya dapat kita
tangkap dalam ”Suatu Hari Menari”, ”Seseorang Pergi Jauh”, ”Lukisan Surga”, dan
”Suara yang Datang Kemudian”. Bahkan, gejala demikian tampak masih membekas
jejaknya dalam ”Kau Tak Peduli Lagi”, ”Sungai-sungai yang Membeku di Kepalaku”,
”Ada Buaya di Keluasan Sana!”, ”Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami”, dan
”Pelukis-pelukis Kesepian”. Barangkali, dalam gayutan internalnya, hal ini erat
sekali cantelannya dengan apa yang terungkap dalam cerpen bertajuk ”Ada Buaya
di Keluasan Sana!”. Di sini, tokoh aku yang penulis itu —yang sangat mungkin
merupakan representasi model kepengarangan Hajri sendiri— sepertinya sedang
menghadapi kondisi terjepit antara desakan bawah-sadarnya untuk segera
menuliskan sesuatu dengan sisi manusiawinya sebagai seorang penulis berupa
keinginan untuk mencari celah waktu sekadar rehat sejenak (yang bukan saja
secara fisik, melainkan juga dalam konteks mental-emosional). Ada sesuatu,
semacam magma panas yang bergerak dari alam bawah sadar sang pengarang, yang
selalu dan terus mendesak untuk segera dimunculkan ke permukaan. Perhatikan
kutipan di bawah ini:
TULIS
saja! Tulis saja, katanya, sehingga aku kelimpungan juga menghadapi tuntutan
yang semena-mena ini. Aku ingin berhenti sebentar saja, sekiranya aku dapat
menghirup udara, menenangkan batinku atas hujatan pikiran yang terus berlari ...
(hlm. 107).
Tulis
lagi! Tulis lagi! Kembali pikiran itu datang membawa pening yang tak
sudah-sudah ... (hlm.
109).
Dalam
kondisi kekalutan psikologis, seseorang memang sangat mudah terbawa arus bawah
sadarnya sehingga memunculkan bentuk-bentuk halusinasi tertentu (yang dalam
konteks cerpen di atas berupa bayangan seekor buaya besar). Di sini, pandangan
psiko-analisis bercorak Freudian tampak memperlihatkan korelasinya dalam wujud
bawah sadar tersebut. Sigmun Freud berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan
seseorang pada masa dewasa sesungguhnya selalu ada hubung-kaitnya dengan masa
lalu, khususnya pada fase kanak-kanak. Menurut pandangan Freud, keinginan-keinginan
yang direpresi tetapi tidak bisa hilang pada masa kanak-kanak saja sudah cukup
memberikan kekuatan dalam membentuk gejala-gejalanya dan tanpanya reaksi
terhadap trauma-trauma selanjutnya kemungkinan besar akan memiliki bentuk yang
berbeda. Oleh karena itu, dalam usaha sang seniman (pengarang) untuk
mempersepsi atau memperoleh keindahan, ada satu peran penting yang dimainkan
oleh dorongan-dorongan primitif masa kanak-kanak yang tidak boleh diabaikan.[4]
Demikianlah, sejauh yang dapat
saya tangkap dalam cerpen ini —juga dalam beberapa cerpen lainnya— tampak bahwa
sang pengarang dalam proses kreatif kepengarangannya sangat dipengaruhi oleh
dorongan-dorongan bawah sadar kesilamannya, khususnya yang datang dari
pengalaman masa kanak-kanaknya. Sebab, implisit dalam pandangan Freudian tadi,
keinginan-keinginan atau obsesi seseorang yang tidak terwujud pada masa
kanak-kanaknya, kemudian terkubur begitu saja selama puluhan tahun, akan muncul
kembali pada masa dewasa dalam wujud yang lain. Dalam konteks cerpen ini, sang
pengarang telah memunculkan kembali dorongan-dorongan masa silamnya itu dalam
bentuk karya seni (baca: sastra, cerpen). Oleh karena itulah, bukan suatu
kebetulan jika karya-karya cerpen Hajri pada umumnya sangat bercorak biografis
dan penuh dengan suasana kesilaman.
Di luar persoalan
psikologisnya, khusus untuk cerpen bertajuk ”Ada Buaya di Keluasan Sana!” ini,
perlu kiranya saya garis bawahi bahwa pilihan judul tersebut tampaknya kurang
relevan dengan totalitas gagasan yang disajikan karena inti cerita cerpen ini
justru tidak bergerak di seputar buaya itu sendiri —apakah ”buaya” itu
merupakan sebuah simbol yang secara konotatif-semiotis mewakili dunia imajiner
atau gagasan tertentu, lebih lagi jika secara indeksikal ia memang dimaksudkan
untuk menunjuk pada referen denotatifnya (buaya; crocodile; alligator;
sejenis hewan reptilia dan termasuk kelas vertebrata). Berbagai gagasan dan
peristiwa saling berlepas-tangkap, mengalir begitu saja, dan nyaris tak ada
fokus yang ingin ditonjolkan.
Kembali ke soal pengaruh masa
lampau, hal ini sangat membekas pula dalam cerpen bertajuk ”Sungai-sungai yang
Membeku di Kepalaku”. Dari judulnya saja sudah mengisyaratkan dominannya peran
dunia silam dalam cerpen ini. Lagi pula, dalam konteks tradisi-budaya masyarakat
Banjar kontemporer (yang dulu dikenal dengan budaya-sungainya), kata ”sungai”
itu sendiri kini telah dikonotasikan sebagai jejak masa lampau karena dalam kondisi
riilnya sekarang sungai-sungai sudah banyak yang tertutup dan tidak lagi dapat
memenuhi fungsi vitalnya sebagaimana pada masa berpuluh tahun silam (misalnya
sebagai sarana perhubungan, tempat MCK, dan ajang bermain anak-anak). Dengan begitu,
bagi masyarakat Banjar sekarang (yang menjadi setting cerpen ini), sungai kini tidak lebih dari sekadar sebuah ungkapan
yang merepresentasikan kehidupan masa lampau. Oleh karena itu, akibat kondisi
demikian, dapat dipahami mengapa dalam beberapa karya cerpennya sang pengarang tampak
begitu terobsesi dengan berbagai persoalan masa silam. Bahkan, jejak masa silam
itu seakan telah menghunjam-dalam dan bersemayam abadi di kepalanya,
sebagaimana terungkap dalam kutipan berikut:
SETIAP kali aku pulang ke rumah ibu selalu saja terbayang sebuah sungai di
benakku. Mungkin sungai telah mendarah-daging dan mengental di suatu tempat
dalam otakku. Mungkin karena kenangan-kenangan masa kecil yang tak pernah putus
dalam batinku.
... Dan selalu, sampai sedewasa ini, setiap kali aku lewat di depan rumah
ibu, setiap kali pulang menjenguk ibu, aku merasa seperti anak-anak yang dengan
riang siap melompat ke sungai itu, berenang umpat belarut
di arus sungai dengan menaiki ban dalam bekas dari roda truk yang cukup memuat
tiga sampai empat tubuh kecil kami.... (hlm. 97).
Selanjutnya,
berbeda dengan cerpen di atas, cerpen bertajuk ”Suatu Hari Menari” (cerpen
kedua dalam kumpulan ini) bercerita tentang seseorang (baca: tokoh aku) yang
terhanyut dalam suatu tarikan magis —dipicu oleh gerak ritmis sekelompok anak
gadis yang sedang latihan menari dalam sebuah ruangan, sentuhan irama musik yang
menghentak-hentak, dan alunan lagu jepen
(salah satu bentuk tari Banjar tradisional) dengan yulan-yulalin yang mendayu-dayu— hingga membuat tubuhnya serasa
terbang entah ke mana. Dalam tarikan alam bawah sadarnya itu, sambil
membayangkan kehadiran sosok Rumi (baca: Maulana Jalaluddin Rumi, seorang
penyair-sufi besar dari Persia) yang tengah melakukan ritual ”tarian langit” (sama’i samawi) bersama para pengikut (darwisy) yang melingkarinya dengan khas
gerakan berputar ala Maulawi (Mevlevi),
si aku merasakan tubuhnya ikut berputar-putar pula mengikuti gerak melaju dalam
tarian sufistik itu. Pada suatu ketika, di bagian berikutnya, ia sampai pada puncak
pendakian imajinernya melalui peristiwa perjumpaan dan dialognya dengan sosok
putih (yang tentunya dapat kita nisbahkan dengan figur Rumi tadi) hingga
menemukan pencerahan spiritual. Akan tetapi, pada paragraf akhir cerpen,
ternyata kita sekadar disuguhi sebuah mimpi atau mungkin sebentuk halusinasi yang
tidaklah demikian transenden sifatnya. Kendati juga tidak begitu jelas apakah
si tokoh sedang memasuki kondisi ”sakaratul maut” dan benar-benar terhanyut
dalam banjir, tetapi peristiwa itu rasanya juga biasa-biasa saja. Hal ini dapat
kita tangkap melalui dua paragraf penutupnya berikut ini:
MALAMNYA,
hujan begitu lebat mengguyur kota. Atap-atap metal zinc
yang merata hampir di seluruh kota memperjelas bunyi hujan yang deras.
Sungai-sungai meluap ke jalan sampai batas mata kaki, dan sebagian orang yang
masih tertinggal di jalan bergegas ingin pulang.
Di sebuah mimpi, di sebuah rumah di pinggir kota, seorang lelaki hanyut di
putaran arus deras yang menariknya. Ia menari, berputar begitu
masyuknya. Ia menari. Ia berputar. Sendirian. Dan hujan yang deras, setiap
tetes airnya, memutarinya, memusarinya... (hlm. 22).
Dari
segi struktur ceritanya, cerpen di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan beberapa
cerpen yang telah dibicarakan sebelumnya karena sang pengarang tampaknya
kembali sekadar bercerita, bahkan dengan corak yang lebih biografis. Oleh
karena itu, sekali lagi, dalam cerpen ini kita pun tak bisa berharap banyak
untuk mendapatkan koherensi antar-unsur sastranya yang berbobot literer.
Kendati ihwal persilangan kesilaman—kekinian—keakanan tidak secara eksplisit muncul
ke permukaan (barangkali karena memang bukan hal yang ingin ditonjolkan),
tetapi minimal secara parsial ketiga dimensi waktu tersebut masih mengguratkan
jejaknya melalui serpihan-serpihan mimpi dan atau pergulatan imajiner tokoh aku
dalam arus bawah sadarnya. Demikianlah pula apa yang kita temukan dalam cerpen-cerpen
bertajuk ”Seseorang Pergi Jauh”, ”Lukisan Surga”, ”Suara yang Datang Kemudian”,
”Kau Tak Peduli Lagi”, atau ”Pelukis-pelukis Kesepian”. Bahkan, cerpen ”Suara
yang Datang Kemudian” ternyata justru kembali mengingatkan saya pada cerpen
”Ada Buaya di Keluasan Sana!” (yang telah disinggung di atas) karena keduanya tampak
dipertautkan oleh satu gagasan sentral: desakan untuk menulis, menulis apa
saja! Sebagaimana terungkap: Aku begitu
gelisah. Kucoba memejamkan mata, tapi tiba-tiba terlintas dalam benakku
keinginan untuk menulis. Menulis apa saja. Melepaskan segala kepenatan yang
menumpuk... (hlm. 52).
Agaknya,
kendati masih bersifat subjektif, pernyataan-pernyataan yang terungkap dalam
cerpen bertajuk ”Ada Buaya di Keluasan Sana!” dan ”Suara yang Datang Kemudian” (seperti
telah dikutipkan di atas) dapat dipandang sebagai representasi model penulisan sang
pengarang sendiri, terutama dalam kaitannya dengan tingkat produktivitasnya
dalam berkarya (baca: menulis cerpen). Proses kreatif penulisan semacam itu
sama sekali tidak mencerminkan sebuah kerja eksploratif yang menuntut kedalaman
dan pengendapan materi (isi maupun struktur) ceritanya, tetapi sekadar kerja
menangkap ide-ide yang datang berkelebat cepat untuk kemudian segera
diungkapkan seadanya lantaran dipicu oleh desakan bawah sadar tadi. Jadi, sang
pengarang sekadar tunduk-patuh pada perintah bawah sadarnya: ayo, tulis saja, tulis saja! Dan, tulis lagi, tulis lagi! Ya, menulis apa saja! —dalam bahasa
sederhananya: jangan pernah kaupikirkan soal tema, latar, alur, karakter tokoh,
atau sudut pandang! Sebab, segala tetek-bengek struktur sastra itu sungguh tak
penting, bukankah?
/ 4 /
Kesan awal saya bahwa Hajriansyah termasuk tipe
pengarang yang tidak begitu peduli pada tetek-bengek teoretis (terutama dalam
kaitannya dengan struktur sastra atau komponen pembangun sebuah karya fiksi) tentu
saja bisa keliru. Demikian pula simpulan sementara saya bahwa kebanyakan cerpen
Hajri yang terangkum dalam buku ini sekadar menyajikan mozaik kenangan tentunya
juga bisa salah, bahkan mungkin dapat menyesatkan. Akan tetapi, bahwa di
sana-sini berhamburan pernyataan-pernyataan didaktis-filosofis hingga cenderung
mengabaikan urgensi struktur pembangunnya agaknya memang sebuah realitas
kekaryaan yang tak mudah ditutupi.
Kenyataan di atas terutama
sangat kentara dalam cerpen bertajuk ”Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami”
(yang oleh pengarang dipilih menjadi judul buku ini).[5]
Dalam cerpen ini, kendati tetap dikemas dalam bentuk dialog, terasa sekali bahwa
sang pengarang sepertinya sedang berfilsafat —secara tendensius ia menjejalkan
pernik-pernik pemikiran dan tanggapan pribadinya tentang pertarungan
sosiokultural (dalam konteks pertentangan tradisionalitas-modernitas pada
khususnya) berikut dampak positif-negatif yang mungkin ditimbulkannya maupun harapan-harapannya
terhadap keniscayaan munculnya kemempelaian-budaya (meminjam istilah Remy
Silado). Wejangan-wejangan filosofis itu menebar di sana-sini, bahkan nyaris mengguyur
seluruh tubuh cerpennya, sehingga secara struktural bangunan cerpen ini pun terasa
kurang menggigit. Pemanfaatan alur (plot) sebagai salah satu unsur pembangun kekuatan
dalam teknik bercerita, misalnya, terasa begitu datar karena di dalamnya memang
tidak terolah dengan baik. Namun demikian, di luar persoalan formal-struktural itu,
saya justru melihat cerpen inilah yang sangat representatif sebagai model
penceritaan yang menghadirkan pertautan dialektis antara unsur-unsur kesilaman,
kekinian, dan keakanan.
Dalam
konteks persilangan ketiga dimensi waktu tersebut, setidaknya ada tiga tokoh
penting yang kehadirannya benar-benar memberi warna dalam pemaknaan cerpen ini.
Sosok ”konservatif” Uda Jarani boleh dikata mewakili dunia kesilaman dengan
segala atribut sosiokulturalnya, lalu Uwak Tiar (khususnya mengacu pada figur
Tiar muda) yang mencoba berkompromi dengan kondisi riil kekinian dan ke-di
sini-an hadir dengan gaya ”moderat” sebagai penyambung tali-silaturrahmi-budaya
antara kekinian dan kesilaman, sementara keberadaan tokoh Mu’an yang cenderung
”progresif” merupakan representasi temu-budaya antara kekinian dan keakanan. Ketiganya
telah memerankan diri sesuai dengan semangat zaman yang telah melahirkan, menimang,
dan membesarkan mereka masing-masing.
”Angin besar menggerus ladang-ladang kami,”
keluh Uda Jarani di hadapan Tiar muda suatu ketika di masa lampau. Kalimat ini boleh
jadi merupakan sebuah tamsil atas kian melunturnya tradisi-adat-budaya lama
(yang lazim dinilai adiluhung itu) akibat datangnya arus peradaban baru yang
ditandai oleh kian menguatnya modernisme (termasuk di dalamnya sikap dan pola
pikir praktis, pragmatis, materialis, konsumtif, dan serba instan). Sebagai
stereotip urang bahari (masyarakat
tradisional zaman dulu), Uda Jarani cenderung tidak bisa menerima perubahan
demi perubahan yang terus berlangsung seiring dengan proses modernisasi dalam
hampir semua aspek kehidupan. Sebab, perubahan itu sedikit demi sedikit pada
akhirnya dapat mengikis habis segala kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun
oleh para leluhur mereka. Uda Jarani sangat keberatan menghadapi kenyataan
tersebut. Perhatikan dalam kutipan berikut, betapa nelangsanya hati orang tua
itu melihat kondisi sekitarnya akibat datangnya ”angin besar” (baca: peradaban
baru) yang notabene merupakan ”budaya asing” itu —dalam pandangan yang lebih
sempit, konsep ”modernisme” seringkali dikonotasikan dengan Barat (Eropa atau
Amerika):
...
”Raksasa-raksasa dari baja berat itu membawa budaya asing ke tanah kita,
membuat anak-anak muda malas menggarap tanah leluhur. Tanah tempat kita tinggal
dan berladang sejak nenek moyang. Lebih mudah menjual tanah ketimbang harus
menggarapnya. Kata mereka, hasilnya bisa untuk modal jualan. Menjual warisan
nenek moyang ke raksasa-raksasa serakah kurang hiburan itu.” (hlm. 130).
Di
pihak lain, sikap moderat Tiar muda tampak membekas dalam ucapannya, ”Ah Uda, bukannya itu kesempatan yang baik
dan mudah daripada harus bergulat dengan hal-hal yang telah lalu. Dan bukannya
itu baik untuk menaikkan taraf hidup mereka, orang-orang kita sendiri?”
(hlm. 130). Namun demikian, Tiar muda yang moderat dan cenderung kompromistis itu
pada dasarnya juga tidak dapat menerima bulat-bulat segala sesuatu yang
merupakan produk modernisme. Ucapan tersebut dilontarkannya hanya semacam
pertanyaan retoris untuk menguji kesungguhan Uda Jarani dalam menyikapi ”peradaban
baru” yang asing itu. Meski ia tampak kompromistis dengan mencoba melihatnya
dari sisi ekonomi, tetapi dari sisi sosiokultural sesungguhnya Tiar muda pun
dapat memahami dampak negatif yang pasti akan muncul di belakang hari.
Sementara itu, progresivitas tokoh Mu’an tecermin lewat pikiran-pikirannya yang
kritis, seperti tersirat dalam pertanyaannya berikut ini:
”Bah, bagaimana menurut Pian melestarikan budaya lokal di tengah
hegemoni budaya yang progresif, sementara banyak pakar mengatakan bahwa tak ada
absolutisme; dan kebudayaan tumbuh, menguat, dan kemudian terpinggirkan oleh
budaya baru yang lebih progresif?” (hlm. 132).
Jika
sikap progresif itu hanya dipahami sebagai tindakan menerima saja segala
perubahan yang terjadi demi menjunjung kemajuan, sosok Mu’an pun sebenarnya
bukanlah stereotip masyarakat urban yang secara apriori dapat menerima segala
hal baru dan modern itu. Begitu juga dengan ke-”konservatif”-an sosok Uda
Jarani agaknya tak boleh distempel secara hitam-putih sebagai stereotip
masyarakat rural yang cenderung bertahan dalam kemapanan. Sebab, bukankah di
dalam konteks kebudayaan selalu ada wilayah abu-abu yang memungkinkan setiap
orang untuk memasukinya dari sisi lain? Sebagai figur orang tua yang sudah
kenyang dengan pengalaman berkesenian, Uda Jarani bahkan tampak lebih moderat ketimbang
Tiar muda karena kemampuannya menyikapi setiap perubahan yang terjadi secara
sangat bijak. Sikapnya jelas dan tegas, yakni menerima dengan syarat atau
menolak dengan catatan. Ia dapat saja menerima segala bentuk peradaban baru,
sepanjang tidak sampai merusak tatanan alam atau memusnahkan tradisi-budaya
lama yang adiluhung. Perhatikan lagi wejangan filosofisnya dalam potongan
dialog berikut ini:
”Seperti ucapanmu itu: kebudayaan tumbuh, menguat, dan
kemudian terpinggirkan; kita harus merevitalisasi budaya kita jika tak ingin
dipinggirkan. Kita bisa beradaptasi jika memang diperlukan, dan tak ada yang
benar-benar bisa meminggirkan kita di tanah kita sendiri. Di mana-mana
pendatang baru selalu bertandang ke penduduk lokal untuk meminta restu, di
sanalah kita bisa bersikap arif, sehingga mereka segan dan menghargai. Aku
pernah dinasihati bahwa angin besar perubahan tak bisa ditelikungkan, pohon tua
akan tumbang dan tunas baru tumbuh mengikut perkembangan. Tapi aku berpikir,
pemahaman kita bisa menjadi serbuk sari yang terbawa bersama hembus angin,
menyelamatkan kebudayaan sebagaimana warisan kebudayaan orang dulu menyelusup
ke budaya masa kini. Bentuk boleh berkembang, tapi substansi, isi, pemahaman
adalah kearifan turun-temurun yang mengakar.’
”Jadi kita boleh bersikap hipokrit?” (pertanyaan Mu’an —JTS).
”Sejauh mengikut perkembangan dengan kearifan lokal, dan terus berpegang
pada nilai yang benar, jika yang kau maksud hipokrit adalah sikap mendua
pandangan dalam arti atas tataran permukaan kukira tak apa.” (hlm. 133).
Serupa dengan cerpen di atas,
keinginan pengarang untuk berfilsafat-ria seputar dialektika seni-budaya
(melalui dialog maupun narasi) tampak menonjol pula dalam cerpen bertajuk
”Panggung Terakhir Seniman Tua” —sebuah cerpen yang mengangkat tema tragika
kehidupan seorang seniman tua (bernama Abah Juli) atau mungkin tragika kesenian
itu sendiri. Sebab, dalam cerpen ini, kehadiran tokoh Abah Juli yang terhanyut
dalam mimpi-mimpi idealnya tentang dunia seni-budaya (semisal harapannya
mendapat perhatian yang sewajarnya dari pihak pemerintah atau kaum birokrat),
yang gamang dengan pergeseran nilai yang terjadi (antara lain tecermin dalam
sikap sinisnya terhadap tokoh pejabat bernama Ipin yang cenderung hipokrit dan
oportunis), boleh jadi memang dimaksud sang pengarang sebagai simbol memudarnya
seni tradisi di tengah kian maraknya seni-budaya populer dan semakin kuatnya
materialisme.
Bagi seorang Abah Juli yang
berjiwa ”seniman tulen” (diberi tanda kutip ganda karena konon tokoh ini pernah
menjadi anggota militer, bahkan pernah pula duduk di kursi legeslatif), kesenian
memang segala-galanya. Kesenian adalah kubangan hidupnya, tempat pengabdiannya,
dunia tanpa pamrih yang harus dilakoninya karena tuntutan jiwa, sehingga ia
tidak begitu peduli pada tetek-bengek keuntungan materialistis. Namun, pada
sisi lain, ternyata ia juga berharap mendapatkan penghargaan yang setimpal atas
pengabdian para seniman dari pihak-pihak yang seyogianya menjadi patron mereka.
Sikap demikian pada akhirnya telah memojokkannya ke dalam situasi yang tidak
kondusif manakala harapan-harapan ideal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan
yang terjadi. Ia pun kecewa, merintih, karena ternyata banyak pihak tidak lagi
peduli pada nasib kesenian dan para senimannya. Kecenderungan demikian
terungkap dalam ”rintihan kesepian” (monolog) Abah Juli seperti dikutipkan
berikut ini:
Apakah kesenian itu? Serupa kembang-kembang yang menghisasi ruang resepsi
perkawinan yang akan kering dan ditinggalkan tamu-tamu undangan? Adakah ia
bermakna bagi kehidupan? Benarkah ia bermakna bagi kehidupan?
Aku jadi teringat pada Plato, pada Kant, pada orang-orang yang berpikir,
sejauh mana kesenian berguna bagi kehidupan. Tapi seperti itulah, ternyata
kemudian, bagiku, kesenian hanyalah kembang yang indah dipandang. Dan kembang
itu layu dan ditinggalkan sesudah pesta dan segala keramaiannya berakhir (hlm. 63).[6]
Kalau
kita cermati, cerpen ini sesungguhnya merupakan sindiran tajam terhadap para
pejabat dan kaum birokrat yang tidak pernah peduli pada kesenian (juga
kebudayaan pada umumnya) dan usaha-usaha untuk melestarikannya. Mereka yang
diharapkan sebagai pihak pengayom justru hanya memanfaatkan kesenian dan
seniman sebagai batu loncatan untuk meraih kepentingan pribadi (semisal untuk menaikkan
popularitas, unjuk muka di hadapan petinggi, atau demi peningkatan karier).
Sayangnya, pihak seniman sendiri seringkali ragu dengan ketulusan pengabdian
mereka, juga pada misi luhur kesenian itu sendiri dalam rangka lebih
”memanusiakan manusia” (meminjam istilah Prof. Drijarkara). Sikap mendua demikian
juga tampak pada sosok kesenimanan Abah Juli.
Sementara
itu, dalam cerpen bertajuk ”Pelukis-pelukis Kesepian” (cerpen penutup dalam
kumpulan ini), sang pengarang justru menempatkan dunia seni dan kesenimanan sebagai
bahan olok-olokan dan persetruan internal seniman. Akan tetapi, ihwal pertautan
tiga dimensi waktu (kesilaman—kekinian—keakanan) tetap merupakan pokok gagasan,
di samping soal pertentangan sikap dan persilangan budaya (sebagaimana
diperankan oleh tokoh-tokohnya). Adapun ”Ia Rebah Memegang Lambungnya” agaknya
merupakan suatu pengecualian. Sebab, tidak seperti beberapa cerpen lainnya yang
dari faset tematisnya hampir selalu terkait dengan persoalan seni-budaya dan liku-liku
dunia kesenimanan, cerpen ini justru bercerita tentang tragika kehidupan seorang
aktivis partai politik. Kendati melalui cerpen penutupnya ini sang pengarang tidak
bermaksud untuk menegaskan kembali sebuah ungkapan sinis: politik itu kotor,
setidaknya ia ingin mengatakan: politik itu berbahaya!
/ 5 /
Di luar konteks relasi waktu yang menjadi pokok
masalah tulisan ini, satu hal lagi yang ingin saya katakan, yakni perkara
lokalitas (locality) atau kecenderungan
sastra berwarna lokal (local color). Jika
belakangan ini persoalan tersebut tampaknya kembali mencuat ke permukaan dan
dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dalam perkembangan sastra
Indonesia, boleh dikata bahwa cerpen-cerpen Hajri yang tersaji dalam buku ini
cukup representatif untuk dikelompokkan sebagai karya-karya sastra berwarna
lokal. Sebab, secara umum, hampir semua cerpen yang ada memang memperlihatkan aspek
lokalitas yang kuat (dengan warna lokal masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan,
pada khususnya). Paling tidak, kecenderungan tersebut dapat kita tangkap dari beberapa
unsur; antara lain melalui latar tempat yang dipinjam pengarang (baik yang
disebutkan secara eksplisit maupun yang implisit sifatnya), nama tokoh, bentuk
kesenian, atau penggunaan sederet kosa kata dan istilah daerah Banjar.
Akan
tetapi, dalam hal yang disebut terakhir (baca: penggunaan beberapa kosa kata
dan istilah daerah) hingga kini saya masih merasa sangsi apakah aspek tersebut
merupakan unsur yang representatif dalam membentuk lokalitas atau memberikan warna
kedaerahan sebuah karya sastra? Bagaimana jika sederet kosa kata dan istilah
Banjar (semisal: ulun, ikam, abah, uwak,
acil, jukung, klotok, ilung, wahini, atau urang bahari) tersebut diganti dengan padanannya dalam bahasa
Indonesia, apakah hal itu akan menjadi tidak fungsional lagi dalam mendukung
lokalitas Banjarnya?
Saya kira, fenomena semacam
ini merupakan wujud ketidakpercayaan para pengarang Indonesia atas kemampuan
bahasa Indonesia sebagai medium sastra. Padahal, kalau kosa kata dan istilah
tersebut diganti saja dengan saya, kamu,
paman, bibi, sampan, perahu motor, eceng gondok, sekarang, dan orang zaman dulu, tampaknya tidak akan
berpengaruh besar terhadap perubahan makna maupun pergeseran nilai rasanya. Namun,
perlu dicatat, persoalannya tentu akan berbeda jika kosa kata dan istilah
daerah itu memang tidak ada padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia (misalnya:
mamanda, japin carita, balamut, madihin,
bapalas bidan, batang tarandam, dan
lain-lain). Dalam kasus seperti ini tentu tidak ada pilihan lain bagi seorang
pengarang kecuali harus menggunakan kosa kata atau istilah daerah yang memang
khas dan sangat lokal tersebut.
/ 6 /
Sebagai simpulan akhir, dapat saya katakan bahwa
keempat belas cerpen Hajri yang terhimpun dalam buku ini pada umumnya memang
menyiratkan persoalan relasi waktu yang bergerak antara kesilaman, kekinian,
dan keakanan. Ketiga dimensi waktu itu kadang bertegur sapa, berjalan
bersisian, bercengkerama riang, tetapi juga tidak jarang bertentangan dan
berseteru. Melalui permainan relasi waktu pula, sang pengarang menyindir
realitas sekelilingnya. Beberapa cerpen tertentu merupakan ironi atas peran
seni (-budaya) dan kehidupan para seniman (-budayawan)-nya, beberapa cerpen
lainnya merupakan satir atas apatisme dan sikap hipokrit para pejabat dan
penguasa (lokal pada khususnya), beberapa cerpen lagi sekadar melukiskan
suasana atau semacam rekaman dari gagasan-gagasan dan perasaan yang datang
silih berganti.
Lepas dari masalah tersebut,
juga lepas dari berbagai segi kelemahannya, tentunya kita patut bersyukur atas
terbitnya buku kumpulan cerpen bertajuk Angin
Besar Menggerus Ladang-ladang Kami karya Hajriansyah ini. Bagaimanapun,
kehadirannya merupakan sebuah sumbangsih yang sangat berharga bagi pertumbuhkembangan
sastra Indonesia di Kalsel (khususnya dalam memperkaya khazanah karya
prosa-fiksinya) maupun bagi kemajuan sastra Indonesia pada umumnya. Seberapapun
kelemahan yang ada padanya, sungguh tidak dapat menyembunyikan kekaguman dan
apresiasi saya terhadap cerpen-cerpen Hajri yang terangkum dalam kumpulan perdananya
ini, juga terhadap produktivitas dan kreativitas sang pengarang dalam berkarya.
Akhirnya, harus saya katakan pula bahwa sepanjang proses pembacaan, saya
benar-benar merasa berbahagia menikmatinya.
Pelaihari, 30 April 2011
CATATAN KAKI
[1] Saya sebut “kebangkitan kembali” karena secara historis tradisi penulisan
prosa (terutama dalam bentuk novel) dalam jagat sastra Indonesia di Kalsel
sebenarnya pernah cukup semarak selama lebih-kurang tiga dasawarsa (1930—1960)
yang antara lain didukung oleh para pengarang semisal Merayu Sukma, Artum
Artha, Abdul Hamid Utir, Hassan Basry, Ramlan Marlim, Abdurrahman Karim,
Hadharyah M, Aliansyah Ludji, Goemberan Saleh, Hijaz Yamani, dan Syamsiar
Seman. Memasuki tahun 1960-an, tradisi penulisan sastra di Kalsel tampaknya
lebih didominasi genre puisi hingga akhir dekade 90-an. Bandingkan dengan
Tajuddin Noor Gani, Sejarah Lokal
Kesusastraan Indonesia di Kalsel 1930—1995 (Banjarmasin: Puskajimastra
Kalimantan Selatan).
[2] Sandi Firly dan Aliman Syahrani semestinya
sudah masuk dalam buku Sketsa Sastrawan
Kalimantan Selatan. Sebab, seingat saya, keduanya sudah mulai memublikasikan
karya-karyanya (minimal di koran lokal terbitan Banjarmasin) sejak paro kedua
dekade 90-an. Akan tetapi, mungkin lantaran kekurangcermatan penyusun, biografi
kedua pengarang tersebut tidak terkodifikasi dalam buku yang berkategori
sejarah sastra itu. Adapun alasan saya mencantumkan kedua nama tersebut sebagai
bagian dari generasi baru (tahun 2000-an) terutama atas pertimbangan
popularitas dan produktivitas mereka dalam berkarya. Sebagai catatan tambahan,
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya yang hampir tidak pernah ada, fenomena
yang menarik dari generasi ini adalah bermunculannya sejumlah penulis muda
perempuan yang ikut menyemarakkan penulisan genre cerpen di Kalsel.
[3] Pada bagian Daftar Isi buku ini (hlm. ix)
hanya tercantum 13 judul cerpen. Setelah saya teliti, agaknya telah terjadi
kekeliruan penulisan karena ternyata cerpen bertajuk “Laki-laki Pemburu Petir”
(hlm. 73—83) tidak dicantumkan dalam Daftar Isi. Dengan demikian, jumlah cerpen
yang benar adalah 14 judul. Masih dalam Daftar Isi, kekeliruan juga terjadi
pada penulisan judul cerpen “Seniman Tua” yang seharusnya (selengkapnya)
ditulis ”Panggung Terakhir Seniman Tua” (hlm. 59—71).
[4] Bandingkan dengan Maman S. Mahayana, “Simbol Waktu sebagai
Representasi Ideologi,” dalam Jamal T. Suryanata, Bulan di Pucuk Cemara (Yogyakarta:
Gama Media, 2006), hlm. 168—169.
[5] Cerpen ini pernah terpilih sebagai naskah Pemenang II Lomba Menulis
Puisi dan Cerpen Se-Kalsel Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian
Kota Banjarbaru; dimuat dalam buku Darah
Penanda: Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Dewan Kesenian
Kota Banjarbaru (Banjarbaru: Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008).
[6] Terkait dengan tokoh Plato dalam kutipan ini, perlu saya beri
sedikit catatan bahwa dalam sejarah filsafat seni justru Plato merupakan tokoh
filsuf yang memperlihatkan sikap negatif terhadap kesenian dan menempatkan para
senimannya pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan para tukang
(pembuat barang-barang). Sebab, dalam pandangannya tentang konsep mimesis, seorang seniman hanya pandai
menjiplak kenyataan atau bahkan membuat jiplakan dari suatu jiplakan (copy atas copy). Karena itu, demikian Plato menyimpulkan, tukang-tukang yang
membuat barang-barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan
barang-barang itu (baca: seniman). Untuk uraian lebih rinci, lihat misalnya Jan
van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, terj. Dick Hartoko (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1992), hlm. 15—16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar