Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Jumat, 11 November 2011

Telaah Cerpen Hajriansyah


Kesilaman, Kekinian, Keakanan:
Relasi Waktu dalam Cerpen Hajriansyah


Oleh : Jamal T. Suryanata



Hidup ini adalah kenangan-kenangan
yang membuncah; sehari-hari ia tersimpan rapat
di ruang yang terjaga, sesekali ia muncul
dalam mimpi kita—ada yang menjelma
keluasan tak terbatas, ada yang menyerupai
hantu-hantu mengerikan yang mengejar kita
( Hajriansyah, ”Prolog” )

/ 1 /
Secara historis, dalam jagat sastra Indonesia di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang selama beberapa dasawarsa sebelumnya lebih dikenal sebagai ”lumbung penyair” ini, dekade pertama tahun 2000-an dapat disebut sebagai masa kebangkitan kembali penulisan ragam prosa (genre cerpen pada khususnya, sedangkan penulisan novel masih tergolong langka).[1] Periode ini disemarakkan oleh sederet nama cerpenis generasi baru yang tidak akan kita temukan dalam buku Jarkasi dan Tajuddin Noor Ganie, Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan (2001). Beberapa nama yang cukup menonjol di antaranya: Sandi Firly, Aliman Syahrani, Harie Insani Putra, Sainul Hermawan, Ratih Ayuningrum, Dewi Alfianti, Rismiyana, Hudan Nur, Syafiqatul Machmudah, Anna Fajar Rona, Nailiya Nikmah JFK, Kayla Untara, Aliansyah Jumbawuya, dan Hajriansyah.[2] 

Sebagaimana telah disebutkan di atas, Hajriansyah —penulis kelahiran Banjarmasin (10 Oktober 1979) yang, sepengetahuan saya, baru memulai kiprah kepengarangannya sejak awal tahun 2000-an ini— termasuk salah seorang penulis (meliputi genre puisi, cerpen, dan esai) dari jajaran generasi baru tersebut. Sebelum menulis cerpen, ia memulai karier kepengarangannya dengan menulis puisi. Bersama M. Nahdiansyah Abdi, sejumlah puisinya telah dibukukan dalam Jejak-jejak Angin (Yogyakarta: Olongia, 2007), disusul penerbitan dua buku antologi puisi tunggalnya dengan judul Jejak Air (Banjarmasin: Tahura Media, 2007) dan 79 Puisi Hajri (Banjarmasin: Tahura Media, 2010). Sementara, dalam bidang penulisan fiksi, dari tangannya telah terbit pula sebuah buku kumpulan cerpen perdana bertajuk Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami (Yogyakarta: Framepublishing, 2009). Bukunya yang disebut terakhir inilah kelak yang akan menjadi pangkal tolak dan bahan kajian dalam pembicaraan saya selanjutnya.

Buku kumpulan cerpen debutan karya Hajriansyah ini memuat 14 cerpen yang, sesuai dengan titimangsa penulisannya yang tercantum di bawah teks penutup setiap cerpen, ditulis dalam kurun waktu hanya sekitar satu tahun (antara Februari 2008 sampai dengan Februari 2009).[3] Dengan demikian, di samping sebagai penyair, boleh dikata bahwa Hajri —demikian sapaan akrabnya— termasuk cerpenis yang cukup produktif berkarya selama satu dasawarsa tersebut (setidaknya untuk ukuran pengarang lokal di Kalsel). Sebab, jika kita coba kalkulasikan secara sederhana, minimal ia telah mampu menghasilkan satu cerpen dalam sebulan. Namun, lepas dari persoalan tersebut, menarik untuk dicermati berbagai sisi diskursif dalam setiap cerpennya yang dengan itu semua seakan sang pengarang hendak mendedahkan kepada kita betapa ihwal waktu merupakan sesuatu yang sangat urgen, dinamis, bersifat historis, serta berjalin-kelindan dalam relasi-relasi faktual-imajinatif yang mempertautkan jarak-batas antara tiga unsur tak terpisahkan: kesilaman, kekinian, dan keakanan.

Waktu, di satu sisi ia bisa hadir sebagai sesuatu yang terukur dan penuh kepastian, tetapi pada sisi lain bisa juga menjadi sesuatu yang sangat abstrak dan niskala sifatnya. Dalam konteks demikianlah kiranya kita dapat membaca keserbamungkinan beragam relasi waktu dalam cerpen-cerpen Hajri yang terangkum dalam buku ini; bahwa sang pengarang seperti sedang berusaha mengaduk-aduk suasana cerita dalam lingkaran kesilaman, kekinian, dan keakanan itu untuk kemudian menghidangkannya di hadapan pembaca sebagai sepotong kue lapis siap santap —di mana setiap penikmat tentu boleh mencicipinya dari lapis mana pun, bahkan dari sudut mana pun, bergantung pada mood dan interes masing-masing.

/ 2 /
”YA, bisa saja kau datang dengan tangan mengepal, tapi aku sudah lupa dengan masa lalu. Kenangan di kepalaku seperti jarum di tumpukan jerami. Terlalu absurd! Kenangan hanyalah bayangan, dan aku akan terus berjalan ke depan. Sebuah lubang telah kulalui tadi, dan aku telah melupakannya...,” demikian beberapa kalimat pembuka cerpen ”Monologia” yang mengawali antologi cerpen bertajuk Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami (yang judulnya diambil berdasarkan salah satu judul cerpen di dalamnya) ini —suatu rangkaian pernyataan afirmatif yang dilontarkan tokoh aku terhadap tokoh kau yang dalam monolog itu seakan merupakan lawan bicaranya. Jadi, sebagai pembaca, memang sedari awal kita sudah disuguhi sebuah wacana diskursif yang mengandaikan berlangsungnya pertemuan dialektis antara kesilaman, kekinian, dan keakanan sekaligus.

         Cerpen ”Monologia” sendiri, sebagaimana implisit dimaksudkan dalam judulnya, memang hanya sebuah monolog. Sebab, dari kalimat pembuka hingga paragraf penutupnya tak lebih dari serangkaian percakapan tokoh aku dengan dirinya sendiri, sebuah percakapan-dalam (interior monologue). Jadi, kendati dalam percakapan tersebut seolah melibatkan orang kedua, tetapi kehadiran pronomina persona kedua tunggal ”kau” tentunya tetap dalam konteks sebuah monolog, bukan dalam kerangka dialog atau komunikasi langsung dua arah layaknya dua sahabat yang bertemu di suatu tempat di suatu masa tertentu. 

Dalam cerpen ini, dari awal hingga akhir cerita kita hanya menemukan sosok ”aku yang bersih” yang dengan posisi demikian ia boleh melakukan apa saja, mengatakan apa saja, dan bersikap bagaimana saja. Sebagaimana dapat kita baca, melalui model cerita berbingkai (baca: cerita dalam cerita) yang disajikan, si akulah yang aktif-produktif melontarkan petuah-petuahnya tentang kearifan hidup dalam kaitannya dengan pemaknaan waktu. Sementara, kehadiran tokoh kau menjadi terpasifkan. Tokoh aku sendiri merupakan stereotip orang yang ingin terbebas dari belenggu masa silam, bahkan cenderung alergi dengan memperlihatkan sikapnya yang tampak sinis. Agaknya, si aku adalah seorang pemuja kekinian, juga realis dan rasionalis. Sebagaimana dituturkannya, ”Jadi sekali lagi, kutegaskan tak perlu kau kepalkan tangan dengan membawa cerita masa lalu. Kalau kau ingin berbincang, mari bicara tentang hari ini saja. Apa yang kau bawa? Sebuah pikiran?” 

Memang, dalam cerpen yang terkesan hanya menghadirkan si aku sebagai tokoh tunggalnya ini kita tidak akan menemukan sosok lain dengan karakter yang berbeda. Bahkan, karakter tokoh aku sendiri agak sulit untuk dikenali dan diidentifikasi, kecuali sebagai sosok ”penguasa tunggal” yang dengan bebas menilai dan memperlakukan ”tokoh lain” (yang dianggap lawan bicaranya) menurut cara pandangnya yang monolitik. Sebab, dengan gaya monolog interior demikian, tokoh lain hanya diposisikan sebagai objek yang tak punya kesempatan untuk berapologi. Sementara itu, hal-ihwal latar (setting) dan alur (plot) yang mestinya menjadi pelumas struktur cerita agaknya menjadi terabaikan; bahwa kehadiran latar yang seyogianya berfungsi mewadahi bangunan cerita dan gagasan tidak dimunculkan sama sekali dan bahwa pertautan struktural peristiwa—konfliks—klimaks—antiklimaks tampaknya juga belum terolah (atau sengaja tidak digali?) dengan baik. Dengan demikian, setelah membaca cerpen ini, jangan berharap akan ada degupan-degupan jantung yang berdetak cepat dan agak keras di dada kita sebagai penanda jeda antaradegan (akibat rasa penasaran dan ketegangan untuk segera memasuki tahap selanjutnya) atau letupan-letupan emosi yang membuat wajah kita serasa panas (lantaran munculnya empati dan atau antipati yang ditekan sedemikian rupa terhadap ulah tokoh-tokohnya) sebelum mencapai katarsis. Sebab, dalam cerpen ini, agaknya sang pengarang memang tidak berpretensi untuk menggelitik emosi pembacanya lebih dalam sehingga unsur suspense  —yang kelak memunculkan surprise— menjadi tidak begitu penting. 

Dengan teknik bercerita semacam itu, apa sebenarnya yang hendak dikejar pengarang? Apakah ia sekadar ingin menghadirkan kembali kepingan-kepingan masa lalu belaka melalui model cerita berbingkainya, merangkul sekaligus menentangnya, ataukah hanya berusaha mengeksplorasi serta mewadahi gagasan-gagasan filosofisnya terkait dengan berbagai problem sosiohistoris dan pemaknaan waktu? Sejauh yang dapat dapat kita baca, semua itu tentu saja belum jelas benar kedudukannya. Lagi pula, dalam cerpen ”Monologia” sendiri sudah memperlihatkan sebuah paradoks karena di samping sikap akomodatif yang diperlihatkan pengarang dalam bentuk pemunculan kembali masa lalu, di situ juga terjadi penentangan dan sinisme terhadap kesilaman melalui sikap tokoh aku yang diposisikan sebagai mediator sang pengarang dalam penyampaian pesan-pesan filosofisnya kepada pembaca. Paradoks semacam itu jelas akan menuntut sikap lain dari pembaca, terutama dalam kaitannya dengan upaya menggali dan menemukan nilai-nilai-lebih yang lain, semisal nilai-nilai sosiopsikologis maupun moral-religius yang mungkin masih bersemayam di belakang teks sastra (baca: cerpen).

/ 3 /
Pembacaan sekilas atas beberapa cerpen awal Hajri dalam kumpulan ini memang mengesankan bahwa sang pengarang tampaknya tidak begitu peduli dengan tetek-bengek teoretis yang secara fungsional lazim dipandang sebagai unsur-unsur pembangun sebuah karya fiksi. Barangkali, dilantarankan oleh keinginan sang pengarang untuk bercerita secara lancar dan seadanya, kegelisahan intelektual-emosionalnya untuk segera menggelindingkan begitu banyak gagasan yang berkelebatan di kepala, dan terutama desakan untuk mengungkapkan serpihan-serpihan kenangan yang sudah meletup-letup di ujung jemarinya (alih-alih istilah ”di ujung lidah” atau ”di ujung pena”) agaknya telah mengubur potensinya dalam menyusun sebuah ”cerita yang tak sekadar bercerita” atau perihal urgensi struktur sastra pada khususnya. Dengan begitu, kita tidak bisa berharap banyak akan menemukan alur yang apik dan tertata runtut, latar yang jelas dan fungsional sebagai bungkus pesan, atau karakter tokoh dengan watak dan temperamennya yang tipikal. Jadi, kecuali serupa mozaik kenangan saja (kesilaman yang diselipkan di antara peristiwa kekinian dan bayangan keakanan), selebihnya merupakan uraian-uraian filosofis dan derap intelektualisme dengan meminjam tokoh aku sebagai corongnya. 

Kecuali dalam ”Monologia”, hal yang sama juga mengemuka dalam beberapa cerpen lainnya; setidaknya dapat kita tangkap dalam ”Suatu Hari Menari”, ”Seseorang Pergi Jauh”, ”Lukisan Surga”, dan ”Suara yang Datang Kemudian”. Bahkan, gejala demikian tampak masih membekas jejaknya dalam ”Kau Tak Peduli Lagi”, ”Sungai-sungai yang Membeku di Kepalaku”, ”Ada Buaya di Keluasan Sana!”, ”Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami”, dan ”Pelukis-pelukis Kesepian”. Barangkali, dalam gayutan internalnya, hal ini erat sekali cantelannya dengan apa yang terungkap dalam cerpen bertajuk ”Ada Buaya di Keluasan Sana!”. Di sini, tokoh aku yang penulis itu —yang sangat mungkin merupakan representasi model kepengarangan Hajri sendiri— sepertinya sedang menghadapi kondisi terjepit antara desakan bawah-sadarnya untuk segera menuliskan sesuatu dengan sisi manusiawinya sebagai seorang penulis berupa keinginan untuk mencari celah waktu sekadar rehat sejenak (yang bukan saja secara fisik, melainkan juga dalam konteks mental-emosional). Ada sesuatu, semacam magma panas yang bergerak dari alam bawah sadar sang pengarang, yang selalu dan terus mendesak untuk segera dimunculkan ke permukaan. Perhatikan kutipan di bawah ini:

TULIS saja! Tulis saja, katanya, sehingga aku kelimpungan juga menghadapi tuntutan yang semena-mena ini. Aku ingin berhenti sebentar saja, sekiranya aku dapat menghirup udara, menenangkan batinku atas hujatan pikiran yang terus berlari ... (hlm. 107).

Tulis lagi! Tulis lagi! Kembali pikiran itu datang membawa pening yang tak sudah-sudah ... (hlm. 109).  

           Dalam kondisi kekalutan psikologis, seseorang memang sangat mudah terbawa arus bawah sadarnya sehingga memunculkan bentuk-bentuk halusinasi tertentu (yang dalam konteks cerpen di atas berupa bayangan seekor buaya besar). Di sini, pandangan psiko-analisis bercorak Freudian tampak memperlihatkan korelasinya dalam wujud bawah sadar tersebut. Sigmun Freud berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan seseorang pada masa dewasa sesungguhnya selalu ada hubung-kaitnya dengan masa lalu, khususnya pada fase kanak-kanak. Menurut pandangan Freud, keinginan-keinginan yang direpresi tetapi tidak bisa hilang pada masa kanak-kanak saja sudah cukup memberikan kekuatan dalam membentuk gejala-gejalanya dan tanpanya reaksi terhadap trauma-trauma selanjutnya kemungkinan besar akan memiliki bentuk yang berbeda. Oleh karena itu, dalam usaha sang seniman (pengarang) untuk mempersepsi atau memperoleh keindahan, ada satu peran penting yang dimainkan oleh dorongan-dorongan primitif masa kanak-kanak yang tidak boleh diabaikan.[4] 
 
Demikianlah, sejauh yang dapat saya tangkap dalam cerpen ini —juga dalam beberapa cerpen lainnya— tampak bahwa sang pengarang dalam proses kreatif kepengarangannya sangat dipengaruhi oleh dorongan-dorongan bawah sadar kesilamannya, khususnya yang datang dari pengalaman masa kanak-kanaknya. Sebab, implisit dalam pandangan Freudian tadi, keinginan-keinginan atau obsesi seseorang yang tidak terwujud pada masa kanak-kanaknya, kemudian terkubur begitu saja selama puluhan tahun, akan muncul kembali pada masa dewasa dalam wujud yang lain. Dalam konteks cerpen ini, sang pengarang telah memunculkan kembali dorongan-dorongan masa silamnya itu dalam bentuk karya seni (baca: sastra, cerpen). Oleh karena itulah, bukan suatu kebetulan jika karya-karya cerpen Hajri pada umumnya sangat bercorak biografis dan penuh dengan suasana kesilaman. 
Di luar persoalan psikologisnya, khusus untuk cerpen bertajuk ”Ada Buaya di Keluasan Sana!” ini, perlu kiranya saya garis bawahi bahwa pilihan judul tersebut tampaknya kurang relevan dengan totalitas gagasan yang disajikan karena inti cerita cerpen ini justru tidak bergerak di seputar buaya itu sendiri —apakah ”buaya” itu merupakan sebuah simbol yang secara konotatif-semiotis mewakili dunia imajiner atau gagasan tertentu, lebih lagi jika secara indeksikal ia memang dimaksudkan untuk menunjuk pada referen denotatifnya (buaya; crocodile; alligator; sejenis hewan reptilia dan termasuk kelas vertebrata). Berbagai gagasan dan peristiwa saling berlepas-tangkap, mengalir begitu saja, dan nyaris tak ada fokus yang ingin ditonjolkan. 

Kembali ke soal pengaruh masa lampau, hal ini sangat membekas pula dalam cerpen bertajuk ”Sungai-sungai yang Membeku di Kepalaku”. Dari judulnya saja sudah mengisyaratkan dominannya peran dunia silam dalam cerpen ini. Lagi pula, dalam konteks tradisi-budaya masyarakat Banjar kontemporer (yang dulu dikenal dengan budaya-sungainya), kata ”sungai” itu sendiri kini telah dikonotasikan sebagai jejak masa lampau karena dalam kondisi riilnya sekarang sungai-sungai sudah banyak yang tertutup dan tidak lagi dapat memenuhi fungsi vitalnya sebagaimana pada masa berpuluh tahun silam (misalnya sebagai sarana perhubungan, tempat MCK, dan ajang bermain anak-anak). Dengan begitu, bagi masyarakat Banjar sekarang (yang menjadi setting cerpen ini), sungai kini tidak lebih dari sekadar sebuah ungkapan yang merepresentasikan kehidupan masa lampau. Oleh karena itu, akibat kondisi demikian, dapat dipahami mengapa dalam beberapa karya cerpennya sang pengarang tampak begitu terobsesi dengan berbagai persoalan masa silam. Bahkan, jejak masa silam itu seakan telah menghunjam-dalam dan bersemayam abadi di kepalanya, sebagaimana terungkap dalam kutipan berikut:

SETIAP kali aku pulang ke rumah ibu selalu saja terbayang sebuah sungai di benakku. Mungkin sungai telah mendarah-daging dan mengental di suatu tempat dalam otakku. Mungkin karena kenangan-kenangan masa kecil yang tak pernah putus dalam batinku.
... Dan selalu, sampai sedewasa ini, setiap kali aku lewat di depan rumah ibu, setiap kali pulang menjenguk ibu, aku merasa seperti anak-anak yang dengan riang siap melompat ke sungai itu, berenang umpat belarut di arus sungai dengan menaiki ban dalam bekas dari roda truk yang cukup memuat tiga sampai empat tubuh kecil kami.... (hlm. 97). 

        Selanjutnya, berbeda dengan cerpen di atas, cerpen bertajuk ”Suatu Hari Menari” (cerpen kedua dalam kumpulan ini) bercerita tentang seseorang (baca: tokoh aku) yang terhanyut dalam suatu tarikan magis —dipicu oleh gerak ritmis sekelompok anak gadis yang sedang latihan menari dalam sebuah ruangan, sentuhan irama musik yang menghentak-hentak, dan alunan lagu jepen (salah satu bentuk tari Banjar tradisional) dengan yulan-yulalin yang mendayu-dayu— hingga membuat tubuhnya serasa terbang entah ke mana. Dalam tarikan alam bawah sadarnya itu, sambil membayangkan kehadiran sosok Rumi (baca: Maulana Jalaluddin Rumi, seorang penyair-sufi besar dari Persia) yang tengah melakukan ritual ”tarian langit” (sama’i samawi) bersama para pengikut (darwisy) yang melingkarinya dengan khas gerakan berputar ala Maulawi (Mevlevi), si aku merasakan tubuhnya ikut berputar-putar pula mengikuti gerak melaju dalam tarian sufistik itu. Pada suatu ketika, di bagian berikutnya, ia sampai pada puncak pendakian imajinernya melalui peristiwa perjumpaan dan dialognya dengan sosok putih (yang tentunya dapat kita nisbahkan dengan figur Rumi tadi) hingga menemukan pencerahan spiritual. Akan tetapi, pada paragraf akhir cerpen, ternyata kita sekadar disuguhi sebuah mimpi atau mungkin sebentuk halusinasi yang tidaklah demikian transenden sifatnya. Kendati juga tidak begitu jelas apakah si tokoh sedang memasuki kondisi ”sakaratul maut” dan benar-benar terhanyut dalam banjir, tetapi peristiwa itu rasanya juga biasa-biasa saja. Hal ini dapat kita tangkap melalui dua paragraf penutupnya berikut ini:

MALAMNYA, hujan begitu lebat mengguyur kota. Atap-atap metal zinc yang merata hampir di seluruh kota memperjelas bunyi hujan yang deras. Sungai-sungai meluap ke jalan sampai batas mata kaki, dan sebagian orang yang masih tertinggal di jalan bergegas ingin pulang.
Di sebuah mimpi, di sebuah rumah di pinggir kota, seorang lelaki hanyut di putaran arus deras yang menariknya. Ia menari, berputar begitu masyuknya. Ia menari. Ia berputar. Sendirian. Dan hujan yang deras, setiap tetes airnya, memutarinya, memusarinya... (hlm. 22).

           Dari segi struktur ceritanya, cerpen di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan beberapa cerpen yang telah dibicarakan sebelumnya karena sang pengarang tampaknya kembali sekadar bercerita, bahkan dengan corak yang lebih biografis. Oleh karena itu, sekali lagi, dalam cerpen ini kita pun tak bisa berharap banyak untuk mendapatkan koherensi antar-unsur sastranya yang berbobot literer. Kendati ihwal persilangan kesilaman—kekinian—keakanan tidak secara eksplisit muncul ke permukaan (barangkali karena memang bukan hal yang ingin ditonjolkan), tetapi minimal secara parsial ketiga dimensi waktu tersebut masih mengguratkan jejaknya melalui serpihan-serpihan mimpi dan atau pergulatan imajiner tokoh aku dalam arus bawah sadarnya. Demikianlah pula apa yang kita temukan dalam cerpen-cerpen bertajuk ”Seseorang Pergi Jauh”, ”Lukisan Surga”, ”Suara yang Datang Kemudian”, ”Kau Tak Peduli Lagi”, atau ”Pelukis-pelukis Kesepian”. Bahkan, cerpen ”Suara yang Datang Kemudian” ternyata justru kembali mengingatkan saya pada cerpen ”Ada Buaya di Keluasan Sana!” (yang telah disinggung di atas) karena keduanya tampak dipertautkan oleh satu gagasan sentral: desakan untuk menulis, menulis apa saja! Sebagaimana terungkap: Aku begitu gelisah. Kucoba memejamkan mata, tapi tiba-tiba terlintas dalam benakku keinginan untuk menulis. Menulis apa saja. Melepaskan segala kepenatan yang menumpuk... (hlm. 52). 

       Agaknya, kendati masih bersifat subjektif, pernyataan-pernyataan yang terungkap dalam cerpen bertajuk ”Ada Buaya di Keluasan Sana!” dan ”Suara yang Datang Kemudian” (seperti telah dikutipkan di atas) dapat dipandang sebagai representasi model penulisan sang pengarang sendiri, terutama dalam kaitannya dengan tingkat produktivitasnya dalam berkarya (baca: menulis cerpen). Proses kreatif penulisan semacam itu sama sekali tidak mencerminkan sebuah kerja eksploratif yang menuntut kedalaman dan pengendapan materi (isi maupun struktur) ceritanya, tetapi sekadar kerja menangkap ide-ide yang datang berkelebat cepat untuk kemudian segera diungkapkan seadanya lantaran dipicu oleh desakan bawah sadar tadi. Jadi, sang pengarang sekadar tunduk-patuh pada perintah bawah sadarnya: ayo, tulis saja, tulis saja! Dan, tulis lagi, tulis lagi! Ya, menulis apa saja! —dalam bahasa sederhananya: jangan pernah kaupikirkan soal tema, latar, alur, karakter tokoh, atau sudut pandang! Sebab, segala tetek-bengek struktur sastra itu sungguh tak penting, bukankah?
           
/ 4 /
Kesan awal saya bahwa Hajriansyah termasuk tipe pengarang yang tidak begitu peduli pada tetek-bengek teoretis (terutama dalam kaitannya dengan struktur sastra atau komponen pembangun sebuah karya fiksi) tentu saja bisa keliru. Demikian pula simpulan sementara saya bahwa kebanyakan cerpen Hajri yang terangkum dalam buku ini sekadar menyajikan mozaik kenangan tentunya juga bisa salah, bahkan mungkin dapat menyesatkan. Akan tetapi, bahwa di sana-sini berhamburan pernyataan-pernyataan didaktis-filosofis hingga cenderung mengabaikan urgensi struktur pembangunnya agaknya memang sebuah realitas kekaryaan yang tak mudah ditutupi. 

Kenyataan di atas terutama sangat kentara dalam cerpen bertajuk ”Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami” (yang oleh pengarang dipilih menjadi judul buku ini).[5] Dalam cerpen ini, kendati tetap dikemas dalam bentuk dialog, terasa sekali bahwa sang pengarang sepertinya sedang berfilsafat —secara tendensius ia menjejalkan pernik-pernik pemikiran dan tanggapan pribadinya tentang pertarungan sosiokultural (dalam konteks pertentangan tradisionalitas-modernitas pada khususnya) berikut dampak positif-negatif yang mungkin ditimbulkannya maupun harapan-harapannya terhadap keniscayaan munculnya kemempelaian-budaya (meminjam istilah Remy Silado). Wejangan-wejangan filosofis itu menebar di sana-sini, bahkan nyaris mengguyur seluruh tubuh cerpennya, sehingga secara struktural bangunan cerpen ini pun terasa kurang menggigit. Pemanfaatan alur (plot) sebagai salah satu unsur pembangun kekuatan dalam teknik bercerita, misalnya, terasa begitu datar karena di dalamnya memang tidak terolah dengan baik. Namun demikian, di luar persoalan formal-struktural itu, saya justru melihat cerpen inilah yang sangat representatif sebagai model penceritaan yang menghadirkan pertautan dialektis antara unsur-unsur kesilaman, kekinian, dan keakanan. 

        Dalam konteks persilangan ketiga dimensi waktu tersebut, setidaknya ada tiga tokoh penting yang kehadirannya benar-benar memberi warna dalam pemaknaan cerpen ini. Sosok ”konservatif” Uda Jarani boleh dikata mewakili dunia kesilaman dengan segala atribut sosiokulturalnya, lalu Uwak Tiar (khususnya mengacu pada figur Tiar muda) yang mencoba berkompromi dengan kondisi riil kekinian dan ke-di sini-an hadir dengan gaya ”moderat” sebagai penyambung tali-silaturrahmi-budaya antara kekinian dan kesilaman, sementara keberadaan tokoh Mu’an yang cenderung ”progresif” merupakan representasi temu-budaya antara kekinian dan keakanan. Ketiganya telah memerankan diri sesuai dengan semangat zaman yang telah melahirkan, menimang, dan membesarkan mereka masing-masing. 

       ”Angin besar menggerus ladang-ladang kami,” keluh Uda Jarani di hadapan Tiar muda suatu ketika di masa lampau. Kalimat ini boleh jadi merupakan sebuah tamsil atas kian melunturnya tradisi-adat-budaya lama (yang lazim dinilai adiluhung itu) akibat datangnya arus peradaban baru yang ditandai oleh kian menguatnya modernisme (termasuk di dalamnya sikap dan pola pikir praktis, pragmatis, materialis, konsumtif, dan serba instan). Sebagai stereotip urang bahari (masyarakat tradisional zaman dulu), Uda Jarani cenderung tidak bisa menerima perubahan demi perubahan yang terus berlangsung seiring dengan proses modernisasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Sebab, perubahan itu sedikit demi sedikit pada akhirnya dapat mengikis habis segala kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun oleh para leluhur mereka. Uda Jarani sangat keberatan menghadapi kenyataan tersebut. Perhatikan dalam kutipan berikut, betapa nelangsanya hati orang tua itu melihat kondisi sekitarnya akibat datangnya ”angin besar” (baca: peradaban baru) yang notabene merupakan ”budaya asing” itu —dalam pandangan yang lebih sempit, konsep ”modernisme” seringkali dikonotasikan dengan Barat (Eropa atau Amerika):

... ”Raksasa-raksasa dari baja berat itu membawa budaya asing ke tanah kita, membuat anak-anak muda malas menggarap tanah leluhur. Tanah tempat kita tinggal dan berladang sejak nenek moyang. Lebih mudah menjual tanah ketimbang harus menggarapnya. Kata mereka, hasilnya bisa untuk modal jualan. Menjual warisan nenek moyang ke raksasa-raksasa serakah kurang hiburan itu.” (hlm. 130).

          Di pihak lain, sikap moderat Tiar muda tampak membekas dalam ucapannya, ”Ah Uda, bukannya itu kesempatan yang baik dan mudah daripada harus bergulat dengan hal-hal yang telah lalu. Dan bukannya itu baik untuk menaikkan taraf hidup mereka, orang-orang kita sendiri?” (hlm. 130). Namun demikian, Tiar muda yang moderat dan cenderung kompromistis itu pada dasarnya juga tidak dapat menerima bulat-bulat segala sesuatu yang merupakan produk modernisme. Ucapan tersebut dilontarkannya hanya semacam pertanyaan retoris untuk menguji kesungguhan Uda Jarani dalam menyikapi ”peradaban baru” yang asing itu. Meski ia tampak kompromistis dengan mencoba melihatnya dari sisi ekonomi, tetapi dari sisi sosiokultural sesungguhnya Tiar muda pun dapat memahami dampak negatif yang pasti akan muncul di belakang hari. Sementara itu, progresivitas tokoh Mu’an tecermin lewat pikiran-pikirannya yang kritis, seperti tersirat dalam pertanyaannya berikut ini:

      ”Bah, bagaimana menurut Pian melestarikan budaya lokal di tengah hegemoni budaya yang progresif, sementara banyak pakar mengatakan bahwa tak ada absolutisme; dan kebudayaan tumbuh, menguat, dan kemudian terpinggirkan oleh budaya baru yang lebih progresif?” (hlm. 132).

          Jika sikap progresif itu hanya dipahami sebagai tindakan menerima saja segala perubahan yang terjadi demi menjunjung kemajuan, sosok Mu’an pun sebenarnya bukanlah stereotip masyarakat urban yang secara apriori dapat menerima segala hal baru dan modern itu. Begitu juga dengan ke-”konservatif”-an sosok Uda Jarani agaknya tak boleh distempel secara hitam-putih sebagai stereotip masyarakat rural yang cenderung bertahan dalam kemapanan. Sebab, bukankah di dalam konteks kebudayaan selalu ada wilayah abu-abu yang memungkinkan setiap orang untuk memasukinya dari sisi lain? Sebagai figur orang tua yang sudah kenyang dengan pengalaman berkesenian, Uda Jarani bahkan tampak lebih moderat ketimbang Tiar muda karena kemampuannya menyikapi setiap perubahan yang terjadi secara sangat bijak. Sikapnya jelas dan tegas, yakni menerima dengan syarat atau menolak dengan catatan. Ia dapat saja menerima segala bentuk peradaban baru, sepanjang tidak sampai merusak tatanan alam atau memusnahkan tradisi-budaya lama yang adiluhung. Perhatikan lagi wejangan filosofisnya dalam potongan dialog berikut ini:

”Seperti ucapanmu itu: kebudayaan tumbuh, menguat, dan kemudian terpinggirkan; kita harus merevitalisasi budaya kita jika tak ingin dipinggirkan. Kita bisa beradaptasi jika memang diperlukan, dan tak ada yang benar-benar bisa meminggirkan kita di tanah kita sendiri. Di mana-mana pendatang baru selalu bertandang ke penduduk lokal untuk meminta restu, di sanalah kita bisa bersikap arif, sehingga mereka segan dan menghargai. Aku pernah dinasihati bahwa angin besar perubahan tak bisa ditelikungkan, pohon tua akan tumbang dan tunas baru tumbuh mengikut perkembangan. Tapi aku berpikir, pemahaman kita bisa menjadi serbuk sari yang terbawa bersama hembus angin, menyelamatkan kebudayaan sebagaimana warisan kebudayaan orang dulu menyelusup ke budaya masa kini. Bentuk boleh berkembang, tapi substansi, isi, pemahaman adalah kearifan turun-temurun yang mengakar.’
”Jadi kita boleh bersikap hipokrit?” (pertanyaan Mu’an —JTS).
”Sejauh mengikut perkembangan dengan kearifan lokal, dan terus berpegang pada nilai yang benar, jika yang kau maksud hipokrit adalah sikap mendua pandangan dalam arti atas tataran permukaan kukira tak apa.” (hlm. 133).

         Serupa dengan cerpen di atas, keinginan pengarang untuk berfilsafat-ria seputar dialektika seni-budaya (melalui dialog maupun narasi) tampak menonjol pula dalam cerpen bertajuk ”Panggung Terakhir Seniman Tua” —sebuah cerpen yang mengangkat tema tragika kehidupan seorang seniman tua (bernama Abah Juli) atau mungkin tragika kesenian itu sendiri. Sebab, dalam cerpen ini, kehadiran tokoh Abah Juli yang terhanyut dalam mimpi-mimpi idealnya tentang dunia seni-budaya (semisal harapannya mendapat perhatian yang sewajarnya dari pihak pemerintah atau kaum birokrat), yang gamang dengan pergeseran nilai yang terjadi (antara lain tecermin dalam sikap sinisnya terhadap tokoh pejabat bernama Ipin yang cenderung hipokrit dan oportunis), boleh jadi memang dimaksud sang pengarang sebagai simbol memudarnya seni tradisi di tengah kian maraknya seni-budaya populer dan semakin kuatnya materialisme. 

Bagi seorang Abah Juli yang berjiwa ”seniman tulen” (diberi tanda kutip ganda karena konon tokoh ini pernah menjadi anggota militer, bahkan pernah pula duduk di kursi legeslatif), kesenian memang segala-galanya. Kesenian adalah kubangan hidupnya, tempat pengabdiannya, dunia tanpa pamrih yang harus dilakoninya karena tuntutan jiwa, sehingga ia tidak begitu peduli pada tetek-bengek keuntungan materialistis. Namun, pada sisi lain, ternyata ia juga berharap mendapatkan penghargaan yang setimpal atas pengabdian para seniman dari pihak-pihak yang seyogianya menjadi patron mereka. Sikap demikian pada akhirnya telah memojokkannya ke dalam situasi yang tidak kondusif manakala harapan-harapan ideal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Ia pun kecewa, merintih, karena ternyata banyak pihak tidak lagi peduli pada nasib kesenian dan para senimannya. Kecenderungan demikian terungkap dalam ”rintihan kesepian” (monolog) Abah Juli seperti dikutipkan berikut ini:

Apakah kesenian itu? Serupa kembang-kembang yang menghisasi ruang resepsi perkawinan yang akan kering dan ditinggalkan tamu-tamu undangan? Adakah ia bermakna bagi kehidupan? Benarkah ia bermakna bagi kehidupan?
Aku jadi teringat pada Plato, pada Kant, pada orang-orang yang berpikir, sejauh mana kesenian berguna bagi kehidupan. Tapi seperti itulah, ternyata kemudian, bagiku, kesenian hanyalah kembang yang indah dipandang. Dan kembang itu layu dan ditinggalkan sesudah pesta dan segala keramaiannya berakhir (hlm. 63).[6]

        Kalau kita cermati, cerpen ini sesungguhnya merupakan sindiran tajam terhadap para pejabat dan kaum birokrat yang tidak pernah peduli pada kesenian (juga kebudayaan pada umumnya) dan usaha-usaha untuk melestarikannya. Mereka yang diharapkan sebagai pihak pengayom justru hanya memanfaatkan kesenian dan seniman sebagai batu loncatan untuk meraih kepentingan pribadi (semisal untuk menaikkan popularitas, unjuk muka di hadapan petinggi, atau demi peningkatan karier). Sayangnya, pihak seniman sendiri seringkali ragu dengan ketulusan pengabdian mereka, juga pada misi luhur kesenian itu sendiri dalam rangka lebih ”memanusiakan manusia” (meminjam istilah Prof. Drijarkara). Sikap mendua demikian juga tampak pada sosok kesenimanan Abah Juli.

          Sementara itu, dalam cerpen bertajuk ”Pelukis-pelukis Kesepian” (cerpen penutup dalam kumpulan ini), sang pengarang justru menempatkan dunia seni dan kesenimanan sebagai bahan olok-olokan dan persetruan internal seniman. Akan tetapi, ihwal pertautan tiga dimensi waktu (kesilaman—kekinian—keakanan) tetap merupakan pokok gagasan, di samping soal pertentangan sikap dan persilangan budaya (sebagaimana diperankan oleh tokoh-tokohnya). Adapun ”Ia Rebah Memegang Lambungnya” agaknya merupakan suatu pengecualian. Sebab, tidak seperti beberapa cerpen lainnya yang dari faset tematisnya hampir selalu terkait dengan persoalan seni-budaya dan liku-liku dunia kesenimanan, cerpen ini justru bercerita tentang tragika kehidupan seorang aktivis partai politik. Kendati melalui cerpen penutupnya ini sang pengarang tidak bermaksud untuk menegaskan kembali sebuah ungkapan sinis: politik itu kotor, setidaknya ia ingin mengatakan: politik itu berbahaya!
          
/ 5 /
Di luar konteks relasi waktu yang menjadi pokok masalah tulisan ini, satu hal lagi yang ingin saya katakan, yakni perkara lokalitas (locality) atau kecenderungan sastra berwarna lokal (local color). Jika belakangan ini persoalan tersebut tampaknya kembali mencuat ke permukaan dan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dalam perkembangan sastra Indonesia, boleh dikata bahwa cerpen-cerpen Hajri yang tersaji dalam buku ini cukup representatif untuk dikelompokkan sebagai karya-karya sastra berwarna lokal. Sebab, secara umum, hampir semua cerpen yang ada memang memperlihatkan aspek lokalitas yang kuat (dengan warna lokal masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan, pada khususnya). Paling tidak, kecenderungan tersebut dapat kita tangkap dari beberapa unsur; antara lain melalui latar tempat yang dipinjam pengarang (baik yang disebutkan secara eksplisit maupun yang implisit sifatnya), nama tokoh, bentuk kesenian, atau penggunaan sederet kosa kata dan istilah daerah Banjar. 

            Akan tetapi, dalam hal yang disebut terakhir (baca: penggunaan beberapa kosa kata dan istilah daerah) hingga kini saya masih merasa sangsi apakah aspek tersebut merupakan unsur yang representatif dalam membentuk lokalitas atau memberikan warna kedaerahan sebuah karya sastra? Bagaimana jika sederet kosa kata dan istilah Banjar (semisal: ulun, ikam, abah, uwak, acil, jukung, klotok, ilung, wahini, atau urang bahari) tersebut diganti dengan padanannya dalam bahasa Indonesia, apakah hal itu akan menjadi tidak fungsional lagi dalam mendukung lokalitas Banjarnya? 

Saya kira, fenomena semacam ini merupakan wujud ketidakpercayaan para pengarang Indonesia atas kemampuan bahasa Indonesia sebagai medium sastra. Padahal, kalau kosa kata dan istilah tersebut diganti saja dengan saya, kamu, paman, bibi, sampan, perahu motor, eceng gondok, sekarang, dan orang zaman dulu, tampaknya tidak akan berpengaruh besar terhadap perubahan makna maupun pergeseran nilai rasanya. Namun, perlu dicatat, persoalannya tentu akan berbeda jika kosa kata dan istilah daerah itu memang tidak ada padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia (misalnya: mamanda, japin carita, balamut, madihin, bapalas bidan, batang tarandam, dan lain-lain). Dalam kasus seperti ini tentu tidak ada pilihan lain bagi seorang pengarang kecuali harus menggunakan kosa kata atau istilah daerah yang memang khas dan sangat lokal tersebut.
  
/ 6 /
Sebagai simpulan akhir, dapat saya katakan bahwa keempat belas cerpen Hajri yang terhimpun dalam buku ini pada umumnya memang menyiratkan persoalan relasi waktu yang bergerak antara kesilaman, kekinian, dan keakanan. Ketiga dimensi waktu itu kadang bertegur sapa, berjalan bersisian, bercengkerama riang, tetapi juga tidak jarang bertentangan dan berseteru. Melalui permainan relasi waktu pula, sang pengarang menyindir realitas sekelilingnya. Beberapa cerpen tertentu merupakan ironi atas peran seni (-budaya) dan kehidupan para seniman (-budayawan)-nya, beberapa cerpen lainnya merupakan satir atas apatisme dan sikap hipokrit para pejabat dan penguasa (lokal pada khususnya), beberapa cerpen lagi sekadar melukiskan suasana atau semacam rekaman dari gagasan-gagasan dan perasaan yang datang silih berganti. 

Lepas dari masalah tersebut, juga lepas dari berbagai segi kelemahannya, tentunya kita patut bersyukur atas terbitnya buku kumpulan cerpen bertajuk Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami karya Hajriansyah ini. Bagaimanapun, kehadirannya merupakan sebuah sumbangsih yang sangat berharga bagi pertumbuhkembangan sastra Indonesia di Kalsel (khususnya dalam memperkaya khazanah karya prosa-fiksinya) maupun bagi kemajuan sastra Indonesia pada umumnya. Seberapapun kelemahan yang ada padanya, sungguh tidak dapat menyembunyikan kekaguman dan apresiasi saya terhadap cerpen-cerpen Hajri yang terangkum dalam kumpulan perdananya ini, juga terhadap produktivitas dan kreativitas sang pengarang dalam berkarya. Akhirnya, harus saya katakan pula bahwa sepanjang proses pembacaan, saya benar-benar merasa berbahagia menikmatinya.

Pelaihari, 30 April 2011

CATATAN KAKI

[1] Saya sebut “kebangkitan kembali” karena secara historis tradisi penulisan prosa (terutama dalam bentuk novel) dalam jagat sastra Indonesia di Kalsel sebenarnya pernah cukup semarak selama lebih-kurang tiga dasawarsa (1930—1960) yang antara lain didukung oleh para pengarang semisal Merayu Sukma, Artum Artha, Abdul Hamid Utir, Hassan Basry, Ramlan Marlim, Abdurrahman Karim, Hadharyah M, Aliansyah Ludji, Goemberan Saleh, Hijaz Yamani, dan Syamsiar Seman. Memasuki tahun 1960-an, tradisi penulisan sastra di Kalsel tampaknya lebih didominasi genre puisi hingga akhir dekade 90-an. Bandingkan dengan Tajuddin Noor Gani, Sejarah Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalsel 1930—1995 (Banjarmasin: Puskajimastra Kalimantan Selatan). 
[2] Sandi Firly dan Aliman Syahrani semestinya sudah masuk dalam buku Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan. Sebab, seingat saya, keduanya sudah mulai memublikasikan karya-karyanya (minimal di koran lokal terbitan Banjarmasin) sejak paro kedua dekade 90-an. Akan tetapi, mungkin lantaran kekurangcermatan penyusun, biografi kedua pengarang tersebut tidak terkodifikasi dalam buku yang berkategori sejarah sastra itu. Adapun alasan saya mencantumkan kedua nama tersebut sebagai bagian dari generasi baru (tahun 2000-an) terutama atas pertimbangan popularitas dan produktivitas mereka dalam berkarya. Sebagai catatan tambahan, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya yang hampir tidak pernah ada, fenomena yang menarik dari generasi ini adalah bermunculannya sejumlah penulis muda perempuan yang ikut menyemarakkan penulisan genre cerpen di Kalsel.
[3] Pada bagian Daftar Isi buku ini (hlm. ix) hanya tercantum 13 judul cerpen. Setelah saya teliti, agaknya telah terjadi kekeliruan penulisan karena ternyata cerpen bertajuk “Laki-laki Pemburu Petir” (hlm. 73—83) tidak dicantumkan dalam Daftar Isi. Dengan demikian, jumlah cerpen yang benar adalah 14 judul. Masih dalam Daftar Isi, kekeliruan juga terjadi pada penulisan judul cerpen “Seniman Tua” yang seharusnya (selengkapnya) ditulis ”Panggung Terakhir Seniman Tua” (hlm. 59—71).
[4] Bandingkan dengan Maman S. Mahayana, “Simbol Waktu sebagai Representasi Ideologi,” dalam Jamal T. Suryanata, Bulan di Pucuk Cemara (Yogyakarta: Gama Media, 2006), hlm. 168—169.
[5] Cerpen ini pernah terpilih sebagai naskah Pemenang II Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Se-Kalsel Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kota Banjarbaru; dimuat dalam buku Darah Penanda: Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Dewan Kesenian Kota Banjarbaru (Banjarbaru: Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008).
[6] Terkait dengan tokoh Plato dalam kutipan ini, perlu saya beri sedikit catatan bahwa dalam sejarah filsafat seni justru Plato merupakan tokoh filsuf yang memperlihatkan sikap negatif terhadap kesenian dan menempatkan para senimannya pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan para tukang (pembuat barang-barang). Sebab, dalam pandangannya tentang konsep mimesis, seorang seniman hanya pandai menjiplak kenyataan atau bahkan membuat jiplakan dari suatu jiplakan (copy atas copy). Karena itu, demikian Plato menyimpulkan, tukang-tukang yang membuat barang-barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu (baca: seniman). Untuk uraian lebih rinci, lihat misalnya Jan van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, terj. Dick Hartoko (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 15—16. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar