Kembang Gunung Purei :
Membaca Lan Fang Menulis Kalimantan
Oleh : Jamal T. Suryanata
Saya ingin bangga menjadi salah
satu putra daerah
dari kota seribu sungai itu.
Bukankah selama ini banyak
orang hanya mengenal Jakarta,
Bali, dan Jawa? Saya ingin
orang-orang
juga mengenal Kalimantan!
( Lan Fang )
/ 1 /
Lan Fang, penulis
perempuan muda berdarah Cina (Tionghoa) kelahiran Banjarmasin (5 Maret 1970),
termasuk pengarang yang cukup produktif dan layak diperhitungkan dalam kancah
sastra Indonesia mutakhir. Di samping posisinya yang cukup diuntungkan lantaran
ia memiliki nama yang ”punya daya jual” pada masanya (katakanlah karena nama
itu dianggap khas berbau etnis dan berkarakter oriental), tetapi lebih dari
sekadar suatu kemujuran harus diakui bahwa eksistensi kepengarangannya memang telah
dibuktikannya dengan sejumlah buku (novel dan kumpulan cerpen) yang telah lahir
dari tangannya —sebut saja Reinkarnasi (2003), Pai Yin (2004), Kembang
Gunung Purei (2005), Laki-laki yang Salah (2006), Perempuan
Kembang Jepun (2006), Yang Liu (2006), Kota Tanpa Kelamin
(2007), Lelakon (2007), dan Ciuman di Bawah Hujan (2010).
Kalau saya diminta untuk berbicara ihwal kehidupan
Lan Fang pribadi, jujur saya katakan: tak banyak yang saya ketahui. Kendati saya sudah
mengenal nama dan sejumlah karyanya sejak awal tahun 2000-an, tetapi saya baru berkesempatan
untuk bertemu langsung dengannya pada akhir Oktober 2007 melewat ketika kami
sama-sama didaulat sebagai pembicara dalam Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Auditorium Taman Budaya Provinsi Kalimantan
Selatan (Banjarmasin) yang berlangsung selama tiga hari (26—28 Oktober 2007). Dalam suatu obrolan santai dengannya
di lobi Hotel Pesona Banjarmasin (Minggu, 28 Oktober 2007), di sela-sela rangkaian kegiatan perhelatan
sastra nasional tersebut, selama berjam-jam kami sempat saling bertukar pikiran
dan pengalaman. Lan Fang banyak bercerita tentang pengalaman menulis kreatifnya,
diselingi kisah-kisah jenakanya bersama beberapa pengarang lain yang kebetulan
sama-sama kami kenal, tetapi ia sedikit sekali bercerita mengenai pengalaman
masa lalunya ketika masih tinggal di Banjarmasin. Saat itu, saya sendiri lebih banyak
diam dan memilih menjadi seorang penyimak yang baik saja. Kecuali mengobrol ngalur-ngidul,
kami juga sempat barter buku —tentu saja karya kami masing-masing. Lan Fang menghadiahi saya dua buku terbarunya
yang kala itu rencananya akan diluncurkan di TB Gramedia Banjarmasin (Senin, 29
Oktober 2007).
Selepas pertemuan singkat itu, kami tak
pernah bersua lagi. Hanya sesekali kami dapat berkomunikasi jarak jauh, itu pun
sekadar via obrolan di facebook —sebelumnya (sekitar pertengahan 2008), atas
saran Sainul Hermawan, untuk pertama kalinya kami ngobrol di dunia maya
ini melalui YM (Yahoo Mail). Dalam hampir setiap kali membuka obrolan
di facebook, saya suka menggodanya dengan sapaan, “Hei, Cina, apa kabar?”
Pada mulanya, Lan Fang tampak merajuk. Namun, seiring waktu yang terus mengalir
dalam senda-gurau, lama-lama ia menjadi terbiasa dengan sapaan nakal itu.
Sebagai reaksi pertamanya, malam itu kontan saja ia menyambar godaan saya dengan
jawaban, “Enak aja, aku ini juga Banjar lho. Coba kamu baca
novelku, Kembang Gunung Purei. Itu kado istimewaku untuk orang Banjar!”
Bagi saya, kalimat itu terdengar begitu
persuasif, juga sangat menantang, hingga serasa terus bergema di benak saya.
Saat itu, ingin sekali rasanya saya bisa segera membaca novel tersebut. Namun, karena
berbagai alasan (yang jika diungkapkan tentu saja sekadar menjadi serangkaian
klise), bulan demi bulan, tahun berselang tahun, tak juga saya sempat membaca
novel yang boleh dikata merupakan kado istimewanya pula untuk saya pribadi
—sebab, novel itulah salah satu di antara dua buku yang pernah dihadiahkannya
kepada saya bertahun silam. Waktu pun terus berjalan, serasa begitu cepat,
tanpa seorang pun bisa menghentikannya barang sedetik. Selama itu, saya merasa
malu sendiri setiap kali membaca atau mendengar nama Lan Fang disebutkan,
layaknya orang yang sedang tersandung utang kepadanya.
Dalam beberapa bulan terakhir, meski di facebook
kadangkala sedang sama-sama online, kami agak jarang berkomunikasi.
Kalaupun ada, paling-paling hanya bertegur sapa sekadarnya. Selebihnya, kami
sibuk dengan diri masing-masing. Sampai suatu malam saya menerima dua sms
(short message system) dari dua sahabat, dari dua kota yang berbeda, Raudal
Tanjung Banua (Yogyakarta) dan Fahmi Faqih (Bandung), dengan isi yang sama: Lan
Fang telah meninggal... (Minggu, 25 Desember 2011). Saya pun terkejut,
seakan tak percaya pada berita duka yang baru saja saya baca di layar handphone
itu. Rasanya, baru kemarin malam kami saling bertegur sapa di facebook. Karena
merasa belum begitu yakin, saya pun kembali membaca sms itu sekali lagi.
Sekali lagi. Akhirnya, tak ada pilihan lain bagi saya kecuali harus menerima
kenyataan bahwa Lan Fang memang telah tiada —innalillâhi wa inna ilaihi
râji’ûn, semoga dosa-dosanya diampuni oleh Yang Maha Kuasa serta diberikan
tempat terindah di sisi-Nya.
Nama Lan Fang pun kembali bergema di benak
saya, bahkan lebih nyaring dari sebelumnya, seakan menagih janji kepada saya.
Dalam hati, saya mengamininya begitu saja. Ya, saya akan membaca Lan Fang. Saya
akan segera menulis tentang Lan Fang. Lalu, mengapa harus Kembang Gunung
Purei (2005) dan bukannya Ciuman di Bawah Hujan (2010) —novel
pamungkasnya itu, misalnya? Dalam hal ini, ada sederet alasan yang
melatarbelakangi jatuhnya pilihan saya pada Kembang Gunung Purei sebagai
bahan diskusi ini. Bagi saya, sekaranglah saat yang paling tepat untuk membayar
“utang” kepada Lan Fang —utang lama yang hingga bertahun-tahun belum juga dapat
saya lunasi. Sebab, sebagaimana telah saya singgung di atas, sejak novel itu
diserahkannya pada 28 Oktober 2007 sampai dengan penutup tahun 2011 melewat saya
memang belum sempat juga memenuhi permintaannya untuk membaca novel tersebut —dan,
kalau mungkin, membicarakannya dalam sebuah ulasan kritis.
Selain itu, sejak menerima “tantangan” langsung
dari sang penulis dalam obrolan pertama kami di facebook itu,
sesungguhnya saya telah menyimpan rasa penasaran yang mendalam atas kata-katanya
yang sungguh merangsang otak kanan ini, “... Coba kamu baca novelku, Kembang
Gunung Purei. Itu kado istimewaku untuk orang Banjar!” Bagi saya, pengakuan
langsung dari sang novelis ini merupakan tantangan tersendiri yang perlu
dilacak kebenarannya. Akan tetapi, dalam hal kritik sastra, saya sendiri tidak
pernah merasa puas hanya dengan melandaskan diri pada model pembacaan “ekspresivisme”
(baca: Expressive Theory), sebagaimana konsep yang telah diwariskan M. H.
Abrams melalui The Mirror and the Lamp-nya (1953) yang kini sudah
menjadi buku klasik itu. Karenanya, sikap kritis mesti tetap saya hidupkan: benarkah
novel Kembang Gunung Purei ini kental dengan warna lokal Banjar? Maka,
terpancing oleh segumpal rasa kepenasaranan itu, saya pun kemudian mulai
tergoda untuk membaca dan membacanya, hingga ludes!
Kemudian, dalam konteks bayar utang tadi, dengan
tulisan ini saya berharap bisa “membayar utang plus” kepada Lan Fang (dengan
“bunga” 100%). Jelasnya, dengan mengangkat novel Kembang Gunung Purei ini
sebagai bahan diskusi berarti saya bukan cuma telah melunasi utang lama yang
belum sempat terbayar itu, melainkan juga ikut membantu sang penulis dalam
usaha mewujudkan salah satu obsesi hidupnya: memperkenalkan Kalimantan kepada
dunia luar —sebagaimana tersurat dalam “Catatan dari Pengarang” yang tertera di
bagian akhir halaman novelnya ini (lihat kembali penggalan kutipannya di awal
tulisan ini).[1] Selebihnya,
kecuali sekadar dalam konteks bayar utang, kehadiran tulisan ini juga
dimaksudkan sebagai catatan khusus (semacam obituari) untuk mengenang seorang
sahabat yang telah tiada: in memoriam Lan Fang!
/ 2 /
Cerita Kembang Gunung Purei dimulai dengan cuplikan
mimpi buruk seorang tokoh utama bernama Nanang Syam yang mengalami kecelakaan
serius hingga membuat anggota tubuhnya cacat seumur hidup: pergelangan tangan
kanannya buntung akibat tertebas mata gergaji mesin yang tak terkendali saat
melakukan penebangan pohon di Hutan Bumban, pedalaman Kalimantan Tengah
(Kalteng). Ternyata, peristiwa mengerikan itu bukan sekadar bunga tidur,
melainkan bayangan trauma berat akibat kejadian nyata yang baru saja dialami Nanang.
Kejadian tragis itu terus menghantui pikirannya, bahkan sering terbawa ke dalam
tidurnya.
Kemudian, dengan teknik sorot-balik (flashback),
cerita bergulir memasuki pertarungan batin sang tokoh yang terus menyesali
keputusannya. Saat itu, dilantarankan
oleh ego kelelakiannya, tanpa pikir panjang Nanang (pemuda asal Banjarmasin dan
karyawan sebuah perusahaan kayu yang berkarakter workaholic ini) begitu
saja memutuskan untuk menunda perkawinannya dengan Ida —gadis tunangannya yang
cantik, modis, cerdas, berpendidikan tinggi, dan anak orang terpandang di
Banjarmasin. Ia lebih memilih masuk hutan untuk menjalani kontrak kerjanya selama
dua tahun dalam jabatan barunya sebagai Area Manager, setelah itu ia
akan dipromosikan untuk menjadi Branch Manager yang berkantor di
Banjarmasin —ibu kota provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Namun, sungguh di
luar dugaannya, tak lama setelah ia memulai kerja dalam proyek penebangan pohon
di Hutan Bumban, peristiwa mengenaskan itu pun terjadi. Segalanya berlangsung
begitu cepat, sesal pun sudah terlambat.
Akibat
peristiwa itu, kehidupan Nanang
pun berubah drastis. Bukan saja penderitaan fisik yang ia rasakan, tetapi
kondisi psikologisnya lebih-lebih sangat menyakitkan. Kemudian, belum lagi rasa
sakitnya pulih, perderitaan batinnya menjadi kian sempurna setelah ia mendengar
kabar bahwa Ida —sang kekasih yang sangat dicintainya itu— telah mengembalikan
cincin pertunangannya. Sejak itu, kehidupannya benar-benar terpuruk dalam
keputusasaan. Ia merasa telah kehilangan segalanya: cinta, optimisme, rasa
percaya diri, juga cita-cita dan mimpi indah masa depannya. Perasaan benci,
marah, dendam, cinta, rindu, sedih, dan sesal berbaur menjadi satu.
Berbulan-bulan kehidupan baru yang serba membosankan itu dilaluinya. Lalu, sebagai
pelarian dari rasa sakit hatinya, Nanang bahkan memutuskan untuk memperpanjang
masa kontraknya untuk dua tahun lagi di Hutan Bumban. Namun, di tengah kondisi
kejiwaan yang rapuh dan sangat labil itulah, Bua —seorang gadis Dayak yang
sangat bersahaja, polos, tidak terpelajar, tetapi penuh ketulusan dan cinta-kasih—
datang sebagai penawar “racun” dalam kehidupannya.
Berkat
ketulusan dan kesabaran Bua, perlahan-lahan kehidupan Nanang mulai bangkit. Ia
mulai menemukan kembali jatidirinya, juga harapan dan semangat hidupnya yang
baru. Kemurungan pun segera berganti senyum. Lama-kelamaan, seiring dengan
seringnya perjumpaan antara mereka, keduanya tenggelam dalam samudera cinta.
Hingga akhirnya Bua hamil. Kemudian, atas desakan Amit (kakak ipar Bua), kini
tak ada pilihan lain bagi Nanang kecuali harus mengawini “Kembang Gunung Purei”
yang lugu itu. Mereka pun melangsungkan perkawinan secara adat, menurut adat
Dayak Ngaju di rumah betang di sebuah dusun sunyi di daerah Gunung Purei
(juga di pedalaman Kalteng), tanpa sepengetahuan dan restu dari kedua orang tua
Nanang di Banjarmasin.
Nanang dan Bua hidup berbahagia
sebagai pasangan suami-istri. Nanang telah menemukan Bua sebagai sosok pemompa
semangat hidupnya yang baru, sementara Bua meyakini Nanang sebagai lelaki
terpilih yang akan membawanya keluar dari terungku masa lalunya yang penuh
kutuk dan gunjingan di Gunung Purei. Mereka saling pengertian, saling
menyayangi satu sama lain. Lebih-lebih karena perut Bua semakin hari semakin
membesar. Namun, tengah asyik-asyiknya mereka mengisap madu kebahagiaan itu,
tiba-tiba ayah Nanang datang membawa kabar buruk: Ida mengalami kecelakaan lalu
lintas hingga membuat kedua matanya buta dan wajahnya penuh parutan luka. Lebih
dari itu, sang ayah bahkan meminta agar Nanang bersedia lebih sering pulang ke
Banjarmasin untuk menengok dan menjadi teman penghibur Ida. Sang ayah berharap
hubungan keluarga mereka bisa membaik seperti dulu lagi. Sekarang, Nanang
dihadapkan pada dua pilihan yang sangat dilematis: kembali kepada Ida (gadis
kota yang dulu pernah menyakiti hatinya) atau tetap bersama Bua (perempuan
dusun sederhana yang kini sedang mengandung anaknya, darah dagingnya)!
Rupanya, garis nasib perjalanan
hidup seorang lelaki muda bernama Nanang Syam terus menorehkan kisah “derita
tiada akhir”. Di tengah kehidupannya yang penuh kebimbangan itu, lagi-lagi
orang yang dicintainya mendapat kecelakaan: Bua jatuh terpeleset di tepi sungai
hingga mengalami pendarahan serius. Nanang pun cepat bertindak, memutuskan
untuk membawa istrinya ke Banjarmasin agar segera mendapatkan perawatan medias
secara maksimal. Akan tetapi, belum cukup dengan penderitaan yang ada,
tiba-tiba saja speedboat yang mereka tumpangi mengalami tabrakan hebat
dengan speedboat lainnya ketika sama-sama akan merapat ke dermaga.
Akibat
kecelakaan sungai itu, Nanang dan Bua sama-sama mengalami koma. Kini, dalam
kondisi demikian, yang terdengar di telinga Nanang hanya tinggal suara-suara
yang tak begitu jelas, seperti dengung lebah. Tinggal ilusi-ilusi liar dari
alam bawah sadar, antara hidup dan mati. Sampai di sini, dengan mengambil bentuk
sad ending, cerita pun ditutup dengan teknik menggantung. Cerita
berakhir dalam tanda koma. Persis seperti bisik sunyi dalam dada lelaki malang
itu, “Aku tidak tahu untuk berapa lama….”
/ 3 /
Demikianlah Lan Fang bercerita, juga berbicara,
tentang suatu sudut kehidupan masyarakat di bumi Kalimantan, lengkap dengan
pernik-pernik sosiokultural dan riak-riak psikologisnya. Jika kemudian —secara teoretis— hendak dikotak-kotakkan, berdasarkan ciri-cirinya yang paling dominan, maka
novel yang seluruh rangkaian ceritanya terbagi dalam tujuh bab ini (hlm. 9—220) tidak syak lagi
untuk disebut sebagai karya sastra berwarna lokal (selanjutnya disebut “sastra
warna lokal”). Karya-karya jenis ini biasanya dikelompokkan dalam kategori sastra
realis, yaitu genre sastra kreatif yang cenderung mengungkapkan potret
kehidupan secara lugas dan apa adanya. Seorang penulis realis selalu berurusan
dengan peristiwa sehari-hari, dengan lingkungannya sendiri, juga dengan gerakan
sosial-politik pada zamannya sendiri. Karena itu, karya-karya sastra realis
pada umumnya lebih membumi, lebih dekat dengan kehidupan masyarakat, serta
bersifat normal dan pragmatis[2]
—sekalipun, misalnya, kita tahu bahwa nama-nama tokoh dan latar cerita dalam
novel ini (karena pertimbangan etis tertentu) oleh sang pengarang sengaja telah
disamarkan (bersifat fiktif).
Selanjutnya, jika klasifikasi itu ingin
dipersempit lagi, novel bertajuk Kembang Gunung Purei ini tampaknya juga
memberi celah untuk dikategorikan sebagai salah satu karya sastra bercorak
realisme-sosialis, khususnya dalam pemahaman Georg Lukacs. Sebab, di samping
keinginannya untuk menggambarkan “dunia novel” sebagaimana adanya dalam dunia
nyata, tampak bahwa kehadiran novel ini juga membawa spirit “gerakan kesadaran”
(baca: misi penyadaran masyarakat). Lebih dari itu, sangat mungkin pula bahwa
penulisan novel ini memang dilatarbelakangi oleh obsesi sang pengarang mengenai
“perubahan sosial” —atau, dengan kata lain, merupakan bentuk tanggapan kritisnya
terhadap kehancuran masyarakat (termasuk alam lingkungannya) akibat tumbuh
suburnya kapitalisme. Sebab, sejalan dengan pemikiran Lukacs, esensi sastra
realisme-sosialis justru terletak pada ketulusan dan kejujuran penulis dalam
menyingkap kebenaran realitas sosial. Seorang seniman (baca: sastrawan),
menurut Lukacs, adalah seorang realis sejati jika melalui karyanya ia
sungguh-sungguh memperlihatkan komitmennya pada kebenaran.[3]
Agak berbeda dengan Lukacs, Robert Staton
justru melihat realisme dan posisi penulis realis dari sisi lain. Sejauh
pandangan Staton, seorang pengarang realis percaya bahwa setiap orang akan
mendapatkan kebahagiaan ketika ia mengambil pilihan-pilihan yang disediakan
oleh dunia. Namun, karena kebahagiaan bukanlah hal yang menarik untuk dibahas
dalam fiksi, sang protagonis dalam novel realis biasanya malah berkarakter
kurang realistis.[4] Jadi,
dalam kerangka subjektivitasnya, pernyataan ini seolah ingin mengatakan bahwa
dalam sebuah karya realis masih ada kemungkinan terselipnya nilai-nilai
romantis. Dengan kata lain, bertitik tolak dari pemikiran tersebut,
sesungguhnya ada kedekatan atau persinggungan tertentu antara realisme dan
romantisisme —kendati, secara teoretis, kedua kecenderungan filosofis
ini hampir selalu dipertentangkan.
Sebagai suatu corak pemikiran dalam sastra
(baca: aliran sastra), romantisisme antara lain bercirikan: (a) minat pada alam
dan cara hidup yang sederhana, (b) kepercayaan pada keindahan dan kebaikan
manusia yang belum dipengaruhi budaya modern, dan (c) penekanan pada
kespontanan dalam pengungkapan pikiran dan tindakan.[5]
Padahal, kalau kita cermati, jelas bahwa novel Kembang Gunung Purei ini
relatif telah memenuhi ciri-ciri tersebut. Jadi, kecuali bercorak sastra
realis, novel ini sebenarnya juga sangat dekat dengan romantisisme (baca: genre
sastra romantis) —baik karena kita
melihatnya dari aspek relevansinya dengan ketiga ciri tersebut maupun dengan
mempertimbangkan dimensi intrinsikalitasnya (antara lain dari aspek tema,
latar, alur, juga penokohan dan perkembangan karakter tokoh-tokohnya). Maka,
sebagai bentuk perpaduan keduanya (baca: realisme dan romantisisme), secara
tipologis saya akan menyebut genre novel ini sebagai karya ”realisme-romantis”.[6]
Sebagai sebuah novel bergaya realisme-romantis,
di satu sisi novel ini memang
terkesan menampilkan “realitas imajinatif” (kehidupan masyarakat dalam dunia
novel) sebagaimana adanya atau minimal sedekat atau semirip mungkin dengan “realitas
objektif” (kehidupan masyarakat di dunia nyata) yang menjadi acuan atau latar
penciptaannya. Namun, pada sisi lain, di dalamnya juga tampak ada kecenderungan
pengarang untuk menyajikan eksotisme alam dan kesahajaan hidup masyarakat yang
belum tersentuh modernisme. Eskapisme romantis, menurut Staton, memiliki tujuan
akhir: mencari dan menciptakan jenis dunia baru yang mengagungkan alam, emosi,
dan individualisme.[7]
Oleh karena itu, sejalan dengan pandangan Staton, bukan suatu kebetulan jika
dalam “dunia novel” Kembang Gunung Purei ini juga kita jumpai karakter
romantis dalam diri seorang realis. Atau, sebaliknya, sangat mungkin pula dalam
novel ini akan kita jumpai karakter realis dalam diri seorang romantis.
Terlepas dari soal klasifikasi teoretis di
atas, berdasarkan hasil pembacaan sementara terhadap novel Kembang Gunung
Purei ini, setidaknya ada beberapa segi “penampakan” yang dapat saya
tangkap dan kiranya cukup menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Namun, kalau saja
segi-segi penampakan itu mau dihimpun dalam satu ruang lingkup yang lebih luas,
maka aspek yang paling menonjol tentulah persoalan sosiokulturalnya. Akan
tetapi, kendati persoalan ini lebih bersentuhan dengan unsur ekstrinsikalitasnya,
bukan berarti bahwa unsur-unsur intrinsiknya harus diabaikan sama sekali. Oleh
karena itu, dalam konteks pembahasan novel ini selanjutnya, kedua dimensi
tersebut (intrinsik-ekstrinsik) akan saya coba rangkum-uraikan secara
intergral. Sebab, seraya bersetuju dengan Grebstein, gagasan yang ada dalam
karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya[8]
—demikian sebaliknya, kiranya.
Pernyataan Grebstein di atas
mengisyaratkan bahwa sastra bukanlah suatu gejala yang berdiri sendiri, sebuah dunia
yang otonom, melainkan lebih merupakan hasil pengaruh timbal-balik yang kompleks
antara dirinya sendiri (dimensi intrinsik) dengan dunia luar di sekelilingnya (dimensi
ekstrinsik). Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya suatu karya sastra tidak mungkin dapat dipahami secara lengkap jika ia
dipisahkan dari lingkungan budaya atau peradaban yang telah menghasilkan.[9]
Jadi, jika Kembang Gunung Purei ini jelas-jelas berkisah dan berbicara
tentang suatu sudut kehidupan masyarakat di Kalimantan, maka cara pembacaan
yang paling bijak tentulah dengan mengembalikannya ke haribaan bumi Kalimantan
sendiri.
Sebagaimana dapat kita tangkap melalui
ringkasan cerita di atas, novel ini memang secara spesifik mengangkat latar (setting)
Kalimantan, entah dalam kerangka budaya Banjar (Kalsel) maupun dalam kerangka budaya
Dayak (Kalteng). Akan tetapi, buru-buru saya harus mempertimbangkan kembali “sinyal”
dari sang penulis yang dengan tegas telah menyatakan bahwa novel tersebut
merupakan kado istimewanya untuk orang Banjar. Dengan kata lain, implisit melalui
pernyataan itu, Lan Fang sebenarnya ingin mengatakan bahwa novelnya yang satu
ini kental dengan warna lokal Banjar. Namun, sekali lagi penting untuk kita
pertanyakan, bahkan perlu kita ragukan: benarkah novel bertajuk Kembang
Gunung Purei ini sarat dengan warna lokal Banjar? Lalu, kalau hal itu
memang benar, perlu dipertanyakan lagi: warna lokal Banjar yang mana? Untuk membuktikan
kebenarannya, juga mendiskusikan sejauh mana masalah tersebut terepresentasikan
dalam novel ini, tentu saja diperlukan “kerja ekstra” —baik dengan meminjam “alat
bantu” dari bidang ilmu-ilmu nonsastra maupun (terutama) ilmu sastra sendiri.
Kalau secara komparatif kita cermati, antara
penyajian latar budaya Banjar dan latar budaya Dayak (khususnya Dayak Ngaju)
dalam novel ini tampaknya tidak berjalan simetris. Dalam arti, sejauh yang
dapat saya tangkap, penyajian latar budaya Dayak jauh lebih dominan
dibandingkan dengan penyajian latar budaya Banjar. Bahkan, sekadar dengan
perkiraan kasar, antara keduanya mungkin akan memperlihatkan suatu perbandingan
dengan persentasi yang cukup mencolok (20:80) —jadi, 20% untuk budaya Banjar
dan 80% untuk budaya Dayak. Latar budaya Banjar hanya disinggung sekilas dalam
wujud “budaya sungai”-nya yang bahkan pada dasarnya bukan merupakan tipikal
budaya Banjar (Kalsel) sendiri karena pemandangan serupa akan banyak kita
jumpai pula di berbagai tempat di Kalimantan atau Sumatera (lebih-lebih di
Kalteng). Sementara itu, gambaran tentang budaya Dayak Ngaju (lengkap dengan
adat-istiadat, sistem kepercayaan, dan pola-pola kehidupan lainnya) tersebar
pada banyak halaman dalam novel ini. Dengan demikian, “sinyal” (baca: pernyataan)
penulis yang implisit saya tangkap dari kata-kata yang pernah disampaikannya
kepada saya melalui obrolan di facebook itu bukan merupakan sebuah
referensi yang dapat dipegang, melainkan lebih dimaksudkan sekadar provokasi
agar saya terpancing untuk segera membaca novelnya ini. Oleh karena itu,
pertanyaan tentang “budaya Banjar yang mana” kini sudah tidak relevan lagi
untuk didiskusikan lebih jauh.
/ 4 /
Dalam konteks sastra Indonesia, karya-karya yang
lazim dikategorikan sebagai sastra warna lokal adalah karya-karya yang
mengangkat tema dan latar budaya lokal tertentu —salah satu budaya daerah— di
Indonesia dan pada umumnya ditulis oleh pengarang dari daerah bersangkutan. Sebagai
contoh yang sering disebut-sebut mewakili genre sastra warna lokal adalah beberapa
karya (terutama fiksi) Ahmad Tohari, Linus Suryadi Ag., Umar Kayam, Y.B.
Mangunwijaya, Kuntowijoyo, Suparto Brata (Jawa), Taufik Ikram Jamil, Ediruslan
Pe Amanreza, Darman Moenir, Gus tf Sakai (Melayu; Minangkabau), Putu Oka
Sukanta, Oka Rusmini, Wayan Artika (Bali), Korrie Layun Rampan (Dayak), atau
Ani Sekarningsih (Asmat).
Menurut Katrin Bandel, ada beberapa ciri
yang dimiliki kebanyakan karya sastra Indonesia yang berlatar budaya lokal,
baik kelompok karya yang kini disebut “sastra warna lokal” itu sendiri maupun
karya-karya yang terbit sebelum istilah tersebut menjadi populer di negeri ini (misalnya
sebagian novel Balai Pustaka masa kolonial). Ciri utamanya adalah kepedulian,
seringkali bahkan kecintaan yang mendalam, terhadap budaya lokal (budaya tempatan
penulis sendiri) dan usaha untuk menggambarkan kekhasan budaya tersebut. Karena
itu, sering kita jumpai deskripsi upacara-upacara adat atau kesenian dan
tradisi setempat serta penjelasan mengenai kepercayaan lokal yang kadang-kadang
tidak begitu esensial bagi plot cerita, tetapi berfungsi membangkitkan suasana
budaya lokal. Namun, paling tidak dalam karya warna lokal yang cukup serius,
kepedulian terhadap budaya lokal itu biasanya bukan hanya bersifat deskriptif,
melainkan juga menghasilkan renungan mengenai situasi dan nasib budaya
tersebut.[10]
Aspek yang paling sering dipersoalkan
adalah pergulatan kultural antara “tradisi” dan “modernitas”. Sejauh mana
tradisi lokal perlu dipertahankan atau ditinggalkan? Apa manfaat ataupun akibat
buruk modernisasi? Bagaimana hubungan antara yang lokal dengan yang nasional
dan yang global? Kebanyakan karya warna lokal ditandai sikap kritis, baik
terhadap adat dan tradisi maupun terhadap pengaruh dari luar (modernisasi,
jawanisasi, “pembangunan” ala Orde Baru). Biasanya tradisi dan adat lokal bukan
dinilai buruk sama sekali, tetapi ada keyakinan bahwa adat mesti disesuaikan
dengan tuntutan zaman, jangan menjadi penghalang kemajuan. Sedangkan pengaruh
dari luar yang dipersoalkan biasanya berbentuk ketidakadilan yang dialami
komunitas lokal, misalnya manipulasi (tipu muslihat) yang dilakukan oleh kaum
oportunis alias orang-orang yang hanya memikirkan keuntungan pribadi atau
kelompoknya sendiri.[11]
Dalam konteks novel ini, ada beberapa hal
yang dapat kita identifikasikan sebagai penanda ketegangan sosiokultural
semacam itu, baik melalui latar maupun penokohannya. Banjarmasin, misalnya, sebagai
ibu kota provinsi (bahkan termasuk kota tertua di Kalimantan) boleh jadi
merupakan representasi modernisme dan kemajuan zaman. Sebaliknya, Hutan Bumban
dan dusun-dusun di wilayah Gunung Purei (nama kecamatan di Kabupaten Barito Utara)
yang berlokasi di pedalaman Kalteng direduksi sebagai representasi
tradisionalisme dan keterbelakangan. Banjarmasin versus Gunung Purei dan Hutan
Bumban, keduanya ditampilkan sebagai paradoks hasil pembangunan yang timpang. Kian
menipisnya sumber daya alam (Hutan Bumban) serta kondisi kehidupan masyarakat
pedalaman yang tetap miskin dan terbelakang (di wilayah Gunung Purei) merupakan
tumbal kerakusan kaum pemodal dari kota (baca: para pengusaha kayu dengan
industri besarnya di Banjarmasin yang biasanya memang telah mendapat “restu”
dari para penguasa lokal maupun pusat). Dengan kata lain, pada dasarnya mereka
juga merupakan korban kebijakan politik pembangunan yang sentralistis semasa
rezim Orde Baru berkuasa. Demikianlah ironi kehidupan masyarakat Indonesia yang
bahkan masih terjadi hingga rezim Orde Reformasi sekarang —sebuah kenyataan
pahit yang bisa jadi akan ditertawakan, tetapi sekaligus ditangisi.
Gambaran ketegangan sosiokultural semacam
itu juga dapat kita lihat pada kedua tokoh utama yang bermain dalam novel ini,
yaitu Nanang Syam dan Bua. Di satu pihak, kehadiran Nanang mewakili kelompok
masyarakat perkotaan kelas menengah ke atas, modern, terpelajar, dan hidup
berkecukupan. Kalau saja Nanang tidak termasuk tipe anak muda yang keras kepala
(yang kelak menyeret kehidupannya ke dalam kubangan penderitaan
berkepanjangan), dengan modal jabatan lamanya sebagai supervisor mekanik mesin dan
ditunjang dengan karakter workaholic-nya yang selalu gandrung pada kerja
keras, sebenarnya ia bisa saja menikmati berbagai fasilitas hidupnya yang
nyaman dan serba kecukupan bersama kedua orang tuanya di Banjarmasin. Sementara
itu, di pihak lain, Bua tidak memiliki gambaran masa depan yang jelas dan
sebaik masa depan Nanang. Sosok Bua merupakan representasi kelompok masyarakat kelas
bawah, orang kebanyakan, marginal, tidak terpelajar, dengan kehidupan yang
cenderung statis. Sebagai gadis pedalaman yang masih jauh dari sentuhan
modernisme, kehidupan Bua sangat sederhana, dengan pikiran-pikiran dan
mimpi-mimpi keakanan yang juga sangat sederhana.
Kendati dalam novel ini —sebagaimana dalam
pandangan Bua, Amit, dan beberapa tokoh pekerja lainnya— kehadiran Nanang tidak
mengesankan sebagai representasi orang kota yang rakus dan oportunis (karena ia
pada dasarnya seorang workaholic saja), tetapi dalam sebuah sistem yang besar
tetap saja ia terjebak pada anggapan umum yang cenderung negatif semacam itu.
Sebab, bagaimanapun, Nanang (juga semua pekerja yang terlibat dalam proyek
penebangan Hutan Bumban) adalah bagian dari kaum pemodal kota yang secara
langsung maupun tidak telah ikut andil untuk kelancaran “proyek pemiskinan” bagi
masyarakat marginal di berbagai tempat yang menjadi lokasi sasarannya, termasuk
di wilayah Gunung Purei (pedalaman Kalteng). Kendati dengan alasan pemberdayaan
masyarakat lokal, proyek yang lebih berpihak kepada kaum pemodal kota ini
justru melibatkan orang-orang tempatan sehingga Amit dan beberapa pekerja lokal
lainnya menjadi tersudut sedemikian rupa. Mereka ikut bekerja membabat Hutan
Bumban, merusak alam lingkungannya sendiri. Sikap ini tentu bukan merupakan
pilihan yang bijak. Akan tetapi, dengan pertimbangan pragmatis, pilihan itu
harus mereka lakukan karena sudah tidak mendapatkan pekerjaan lain yang secara
ekonomis lebih menjanjikan. Alhasil, pilihan dilematis tersebut akhirnya
memunculkan problem baru bagi mereka, sebagaimana dapat kita pahami melalui
kedua kutipan berikut:
Sebenarnya, bagi Amit, menjadi pekerja di log
pond bukan cita-citanya. Hati kecilnya kerap merasa rindu pada istri dan
lima anaknya. Ia sendiri selalu ingin pulang ke dusunnya. Tetapi apa mau
dikata? Di dusunnya, salah satu dusun kecil di kecamatan Gunung Purei, ia hanya
memiliki sepetak ladang yang kurang subur karena lahannya bergambut... (hlm.
32—33).
Selama setahun Amit sudah melihat
berjuta-juta kubik kayu yang diangkutnya dari log pond menuju sawmill.
Semula sebagai putra daerah, ia merasa bangga, hutannya menyumbang pendapatan
terbesar untuk daerah. Tetapi semakin lama, yang tampak adalah bukit-bukit yang
gundul. Hutannya kian menipis. Bumi pertiwinya tampak semakin gensang. Hatinya
terasa giris bila mengingat ke mana lagi sukunya harus berpindah mencari tempat
penghidupan? (hlm. 36).
Persinggungan sosiokultural tampak lebih kentara
dalam jalinan kisah asmara antara Bua (yang tulen anak Dayak Ngaju) dan Nanang (yang
tulen anak Banjar), lebih-lebih setelah hubungan spesial mereka berujung pada
perkawinan (ritual perkawinan yang dilaksanakan menurut adat Dayak Ngaju). Dari
perspektif ini, kisah percintaan mereka ibarat langit dan bumi. Bua yang lahir
dan besar dalam lingkungan budaya Dayak Ngaju sangat percaya pada berbagai
mitos dan kepercayaan-kepercayaan lokal yang mistis-prelogis sebagai produk
pendidikan tradisional yang telah diterimanya sejak kecil. Pada umumnya, pola kehidupan
masyarakat semacam itu selalu digambarkan bersikap defensif dan cenderung
tertutup terhadap perubahan. Kiranya, produk pendidikan demikianlah yang
membuat Bua menerima begitu saja pada nasib buruk yang akan terus disandangnya,
di mana pun dan sampai kapan pun, baik terkait dengan ramalan seorang belian
pada masa kecilnya (hlm. 78) maupun akibat kutukan Demang dan Jue (putra
Demang) sebagai bentuk balas dendam terhadap penolakan Bua dan
keluarganya atas lamaran mereka (hlm. 61—69). Akibat ramalan dan kutukan itu
pula, Bua sangat meyakini bahwa dirinya memang telah ditakdirkan sebagai perempuan
malang dan sekaligus pembawa sial bagi laki-laki mana pun yang kelak berani mengawininya,
bahkan sekadar mendekatinya. Beginilah penuturan Bua tentang dirinya:
“Demang bilang, ia akan bikin
permintaan Ineen terkabul. Aku akan jadi perempuan tua tidak laku. Dan
kutuk Jue atas diriku bahwa akan menjadikan diriku sebagai perempuan pembawa
sial, pemberi bala, sudah didengar orang-orang sedusun. Bahkan sampai ke
dusun lain. Mereka jadi takut melamarku. Selain takut pengaruh Demang,
mereka juga takun mendapat bala bila mendapat menantu atau istri seperti
aku. Bukankah aku sudah kena kutuk Demang dan Jue?” (hlm. 69).
Bertolak belakang dengan sikap hidup Bua,
Nanang yang terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan budaya perkotaan sama
sekali tidak percaya pada dunia takhayul, mistik, atau klenik. Sebagai orang
yang lahir dari produk pendidikan modern, baik dalam pola pikir maupun cara
bertindaknya, tentu ia lebih mengandalkan logika dan pikiran-pikiran rasional. Ketika
Bua sedang menceritakan tentang peristiwa kematian Umaag (ayah)-nya yang
sangat tragis dan diyakininya (bahkan juga oleh orang-orang sedusun) sebagai
akibat perbuatan Demang, misalnya, Nanang menyela dengan nada retoris, “Mungkin
itu hanya kecelakaan,”... (hlm. 63). Pada kesempatan lain, Nanang bahkan
pernah berkata dengan lantang, “Persetan dengan kutuk itu!”... (hlm.
76). Atau, sebagaimana terjelaskan dalam petikan narasi ini: Sekarang Nanang
Syam tidak peduli kutuk itu. Laki-laki itu membuka tabir kutuk itu dengan cinta...
(hlm. 84). Hal ini jelas menunjukkan bahwa Nanang sama sekali tidak percaya
atau paling tidak telah meragukan kebenaran tentang adanya kutuk dan bala sebagaimana
dalam keyakinan Bua dan masyarakat sedusunnya.
Akibat perbedaan latar budaya tersebut
—yang selanjutnya menumbuhkan perbedaan sikap dan cara pandang terhadap
berbagai persoalan hidup yang mereka hadapi— tidak jarang terjadi perselisihan
kecil antara Nanang dan Bua setelah mereka menjalani kehidupan berumah tangga. Kendati
tidak sempat bersitegang, tetapi ketegangan kultural itu sesekali terjadi di
antaranya. Misalnya, dalam upaya pemeliharaan kandungan dan kesehatan Bua. Bagi
Nanang, cara yang paling aman adalah dengan memeriksakannya secara rutin ke
dokter di Banjarmasin atau ke Puskesmas terdekat. Namun, Bua selalu menolaknya
dengan alasan bahwa di dusunnya ada seorang dukun beranak yang telah
berpengalaman. Ia pun lebih memilih minum ramuan tradisional dari akar-akaran
dan daun-daunan yang dibuatkan ibunya daripada harus meminum obat-obatan modern
dari pabrik (hlm. 138). Alasan lainnya, seperti terungkap dalam ucapan Bua
berikut:
... “Dan aku sendiri juga takut dengan dokter.
Katanya, dokter di Puskesman Gunung Purei selalu menyuntik orang. Lagi pula,
aku tidak suka orang kota dan orang asing. Katanya, mereka jahat-jahat,” ...
(hlm. 139).
Pandangan negatif Bua terhadap orang-orang
kota yang selalu dinilainya jahat itu agaknya merupakan produk pendidikan
tradisional di lingkungan keluarganya. Sebab, ayah-ibunya selalu mengatakan
demikian sejak masa kecilnya: Umaag dan Ineen selalu bilang bahwa
orang-orang di kota adalah orang-orang jahat... (hlm. 78). Bua sendiri
selalu menerima bulat-bulat apa pun yang dikatakan oleh kedua orang tuanya,
tanpa kemampuan kritis untuk menyaringnya, sehingga anggapan negatif itu
mengendap lama di ruang memorinya dan terus terbawa sampai ke masa dewasanya. Pandangan
negatif semacam ini kerap kali diungkapkannya dalam berbagai kesempatan,
terutama jika Nanang (sang suami) bermaksud hendak membawanya ke Banjarmasin.
Benturan kultural serupa juga terjadi pada
saat keduanya mengungkapkan keinginan masing-masing tentang kehidupan masa
depan, memilih tempat tinggal yang ideal bagi mereka. Ketika proyek penebangan
Hutan Bumban akan segera berakhir, sekali lagi Nanang menyampaikan maksudnya
untuk membawa Bua ke Banjarmasin. Bagi Nanang, tempat tinggal yang lebih ideal
untuk masa depan mereka sekeluarga adalah kota Banjarmasin. Lebih-lebih karena
Bua akan segera melahirkan anaknya. Di samping karena di Banjarmasin ia sudah
punya rumah sendiri, hidup di kota ini akan lebih mudah karena banyak fasilitas
yang tersedia dibandingkan jika mereka harus tinggal di dusun. Selain itu, di
sana mereka akan dekat dengan ayah-ibunya. Akan tetapi, dalam pandangan Bua
yang sangat bersahaja, kehidupan yang ideal bagi masa depan mereka justru di
Gunung Purei. Di dusun itu mereka bisa tinggal di rumah betang bersama
sang ibu dan keluarganya yang lain. Dengan mimpi-mimpi dan pikiran
sederhananya, Bua mengemukakan alasan:
“Kak Nanang bisa membuka ladang. Aku akan
membantu Kak Nanang. Jika anak kita laki-laki, sebentar saja ketika ia beranjak
remaja, ia sudah bisa membantu Kak Nanang membuka ladang. Jika ia anak
perempuan, aku akan mengajarinya mengirim nasi ketan dan air minum di dalam
bambu,” ... (hlm. 190).
Persinggungan sosiokultural dari dua latar
budaya yang berbeda semakin terasa menajam ketika hubungan antara Nanang Syam
dan Bua dikaitkan dengan soal perbedaan keyakinan (sistem religi) yang dianut
masing-masing. Kendati tak pernah dijelaskan bahwa Nanang yang tulen Banjar
—dan Banjar sejak lama telah diidentikkan dengan Islam— adalah seorang muslim yang
taat beragama, tetapi perbedaan keyakinannya dengan Bua yang penganut Kaharingan
(baca: agama asli suku Dayak) sudah tentu akan berpotensi menimbulkan konflik
dalam kehidupan berumah tangga. Nanang sendiri tak dapat membayangkan bagaimana
jika kelak ayak-ibunya mengetahui siapa Bua, perempuan Dayak Ngaju yang kini
telah menjadi istrinya, apalagi kalau mereka harus hidup satu atap dengan kedua
orang tuanya di Banjarmasin. Sebab, ia tahu persis kalau kedua orang tuanya
termasuk muslim yang taat dalam menjalankan ibadah agama. Jadi, begitu banyak
perbedaan di antara mereka, sebagaimana disebutkan:
... Dalam keyakinan Kaharingan Bua,
ada banyak roh dan makhluk halus di bumi. Ada banyak upacara dan selamatan. Ada
pertanda nyahuq dan mantra, ada boneka kayu, ada sihir, ada penyirapan,
ada sumpah, ada kutuk, ada bala.... Ada seniang dan belian. Ada
sistem hukum dan kekerabatan sendiri. Mereka punya demang dan temanggung,
yang lebih mereka hormati daripada pejabat pemerintah (hlm. 111—112).
Namun, hingga akhir cerita, ternyata
masalah perbedaan keyakinan ini tidak pernah menimbulkan konflik yang berarti
karena kehadiran Bua memang tidak pernah diketahui oleh kedua orang tua Nanang.
Sementara, Nanang sendiri agaknya tidak pernah mempersoalkan perbedaan
tersebut. Ia lebih bersikap konformis dan cenderung berkompromi saja dengan
kondisi tersebut, entah dilantarankan oleh rasa kasihan dan cinta-kasihnya yang
mendalam terhadap Bua atau karena memang sikap hidupnya yang apatis terhadap
persoalan agama. Sebab, sepanjang yang dapat saya tangkap dalam seluruh alur
cerita novel ini, satu-satunya kekhawatiran Nanang adalah ketika ia
membayangkan hubungannya dengan Bua telah diketahui oleh kedua orang tuanya.
Akan tetapi, dalam realitas keseharian
masyarakat Banjar peristiwa perkawinan campur (baca: antaragama) seperti yang
terjadi dalam novel ini merupakan sesuatu yang langka terjadi. Biasanya, jika
hal semacam itu terjadi juga, salah seorang di antara kedua pasangan
suami-istri itu terpaksa harus mengalah pindah agama, baik berpindah mengikuti
agama sang suami maupun agama istrinya). Dalam berbagai kasus, kalau orang
Dayak yang penganut Kaharingan (juga berlaku untuk agama lainnya) telah
menjadi seorang muslim, maka secara otomatis ia dianggap telah menjadi orang
Banjar. Sebaliknya, jika pasangan yang muslim memilih keluar dari agama Islam (murtad),
berarti ia telah melepaskan diri dari hubungan kekerabatannya dengan kedua
orang tua dan seluruh keluarganya. Oleh karena itu, pada kenyataannya, dapat
dikatakan bahwa sebejat apa pun moral seorang muslim-Banjar ia tidak akan
pernah mau menjual keimanannya dengan agama selain Islam.[12]
Di luar batas-batas persoalan agama, satu
hal yang dapat saya catat bahwa Lan Fang melalui novelnya ini agaknya ingin
manawarkan suatu perspektif baru mengenai konsep “kemempelaian budaya”
(meminjam istilah Remy Sylado). Perkawinan sosiokultural antara budaya Dayak
(Ngaju) dan budaya Banjar kini merupakan suatu keniscayaan di tengah realitas
kehidupan masyarakatnya yang semakin majemuk. Dalam konteks ini, pertemuan dua
etnis yang berbeda dalam satu jalinan cinta-kasih yang diperankan oleh Nanang
dan Bua justru memperlihatkan spirit “ke-bhinneka tunggal ika-an”
sebagai bagian dari satu semangat besar keindonesiaan (baca: nasionalisme).
Konsep kemempelaian budaya yang ditawarkan sang pengarang melalui novel Kembang
Gunung Purei-nya ini seakan ingin mengumandangkan kembali makna sebuah
pepatah lama: garam di laut, asam di gunung, bertemu dalam periuk.
Namun, sangat disayangkan karena pada akhir kesudahannya cerita ini justru
ditutup dengan teknik sad ending yang kembali mengesankan sebagai
justifikasi atas kebenaran ramalan belian atau manjurnya kutuk dan bala
yang telah diucapkan Demang dan Jue kepada Bua bertahun silam.
/ 5 /
Kendati dalam “Catatan dari Pengarang”-nya Lan
Fang mengaku sebagai salah satu putra daerah dari “Kota Seribu Sungai” (baca:
Banjarmasin), tetapi ia juga sangat menyadari bahwa pengetahuannya tentang
Kalimantan masih sangat terbatas. Satu-satunya strategi yang dapat dilakukannya
guna mendongkrak nilai warna lokal dalam proses penggarapan Kembang Gunung
Purei-nya adalah dengan banyak membaca literatur dan melakukan wawancara
dengan sejumlah kolega yang dianggapnya tahu tentang Kalimantan.[13]
Oleh karena itu, dapat kita pahami jika ternyata kemudian kemasan warna lokal
yang diolahnya berdasarkan pengalaman referensial itu terasa kurang menyentuh
persoalan dasar, baik mengenai aspek-aspek budaya Banjar maupun budaya Dayak
(Ngaju) yang cukup dominan mewarnai halaman-halaman novel ini.
Dalam konteks demikian, bagi saya, Lan
Fang yang “putra daerah” tidak ada bedanya dengan Ngarto Februana yang “bukan putra
daerah” ketika ia coba mengangkat lokalitas Dayak Meratus (Kalsel) —berdasarkan
pengalaman selintasnya saat menjalani tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) di daerah
Loksado— dalam novel bertajuk Menolak untuk Pulang (2000). Jadi, dalam
hal ini, Lan Fang pun agaknya harus diposisikan sebagai “orang luar” (the
other men) yang coba memotret Kalimantan dari kejauhan. Karena itu, tentu
bukan suatu kebetulan jika pada beberapa bagian dalam novel ini kita jumpai
“rasa asing” akibat kekurangtepatan sang pengarang ketika mendeskripsikan latar
cerita maupun dalam penggunaan sejumlah istilah lokal.
Dikatakan di dalam novel, misalnya, “Demang
masih suka menjatuhkan hukuman pengayauan—pancung kepala, bila terjadi
sengketa antarsuku atau antarwarga...” (hlm. 59). Bagian ini merupakan
contoh keliaran imajinasi pengarang yang mengembara ke dunia masa lampau nun
jauh di sana. Sebab, kita tahu, secara formal sesungguhnya tradisi ngayau
itu sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat Dayak (khususnya di Kalteng)
setelah adanya “Perjanjian Tumbang Anoi” yang digagas oleh tokoh-tokoh pemimpin
kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 silam. Dalam perjanjian damai yang
berlangsung di rumah betang Damang Bahtu (di kampung Tumbang Anoi) dan
memakan waktu selama lebih-kurang tiga bulan (antara 1 Januari 1894 sampai
dengan 30 Maret 1894) itu antara lain telah disepakati bahwa tradisi permusuhan
antar-subsuku Dayak yang lazim disebut “3H” (hokanyou ‘saling mengayau’,
hobunu’ ‘saling membunuh’, dan hotohtok ‘saling memotong kepala’)
harus dihentikan di bumi Kalimantan (Borneo saat itu).[14]
Sejak adanya kesepahaman bersama
antartokoh subsuku Dayak yang sangat bernilai historis tersebut, tradisi ngayau
(mangayau, terutama dengan konotasi ‘memenggal kepala musuh’ dan
merupakan bagian dari tradisi perang antarsuku) yang dipandang destruktif dan
tidak berperikemanusiaan itu pun kemudian dihentikan. Lagi pula, dalam sistem
kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju, tradisi ngayau sendiri tidak pernah
dikaitkan dengan hukuman seorang Demang terhadap warganya yang bertikai
(dalam konteks sengketa antarwarga). Bagi mereka, tradisi ngayau justru
berkaitan erat dengan upacara kematian yang disebut Tiwah (Batiwah),
yaitu upacara sakral terbesar suku Dayak Ngaju yang bertujuan untuk
mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke
tujuh.[15]
Selain itu, sejak lama juga telah diketahui bahwa untuk kepentingan prosesi
ritual upacara Batiwah yang dulu harus mengurbankan manusia pun sudah pula
digantikan dengan kerbau sebagai tumbalnya. Jadi, kalaupun di abad sekarang
—bahkan untuk menunjuk ke beberapa puluh tahun sebelumnya di abad ke-20 yang
lalu— tradisi ngayau itu masih ada di beberapa titik tertentu yang tidak
teridentifikasi di dalam peta dan benar-benar belum terjamah modernisme,
tentulah pengecualian itu sangat kecil kemungkinannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka ketika
membaca bagian ini (baca: kalimat yang dikutip dari hlm. 59 di atas) kita pun
seakan sedang disuguhi sebuah gambaran tentang the lost world seperti yang
diceritakan dalam “Jurassic Park” (sebuah film fiksi-sains garapan Steven Spielberg). Padahal, kalau kita cermati, jelas bahwa setting
cerita novel ini bermain dalam latar waktu kekinian (setidaknya sejak tahun
1980-an pada masa pemerintahan Orde Baru melewat) sebagaimana tampak pada sederet
simbol kemodernan yang menjadi penandanya (antara lain sudah adanya Puskesmas
di kota kecamatan Gunung Purei, Bua yang lulusan sekolah dasar, berlakunya HPH
dalam proyek penebangan hutan, atau gambaran tentang kondisi kota Banjarmasin
dengan segala kemajuan yang telah dicapainya). Dengan demikian, pada bagian ini
telah terjadi paradoks yang cukup signifikan antara realitas imajinatif yang
dibangun pengarang dengan realitas faktual atau kondisi empiris masyarakat
Dayak (Ngaju) sekarang.
Meskipun novel ini adalah sebuah teks
fiksi (karya imajinatif), tetapi sebagai novel bercorak realis tentu kekuatan fiksionalitasnya
tidak lantas akan menegasikan realitas faktual yang menjadi objeknya.
Bagaimanapun fiktif dan imajinernya sebuah karya realis, ia tidak bisa
benar-benar lepas dari objek yang menjadi sandarannya. Di dalam novel ini, sederet
“indikasi nonfiksional” yang paling gamblang di antaranya berupa sebutan-sebutan
geografis —yang secara referensial merujuk pada nama tempat tertentu dalam
dunia keseharian— seperti “Banjarmasin” (ibu kota provinsi Kalsel), “Palangkaraya”
(ibu kota provinsi Kalteng), “Sampit” (nama salah satu kota kabupaten di
Kalteng), dan “Gunung Purei” sendiri (nama sebuah kecamatan di kabupaten Barito
Utara, Kalteng). Sekalipun “Hutan Bumban” dan nama-nama tokoh benar-benar
fiktif, misalnya, tetapi kehadiran indikasi-indikasi nonfiksional tersebut
cukup menunjukkan bahwa fiksionalitas di dalam novel ini tidak sepenuhnya
fiktif atau murni bersifat imajiner. Sebab, seperti yang pernah dikatakan Aart
van Zoest, pada kenyataannya ada nonfiksi di dalam fiksi dan kadangkala ada
juga fiksi di dalam nonfiksi.[16]
Senada dengan Zoest, Ariel Heryanto juga pernah
mengungkapkan bahwa sebuah karya sastra tak mungkin dapat menghuni wilayah
otonomi yang serba fiksi, imajiner dan terlepas dari sangkut-pautnya dengan
segala “individu atau kalangan tertentu”. Setiap karya sastra ditulis oleh
seorang manusia pada suatu masa dalam sejarah di suatu tempat di dunia ini
juga. Sejauh-jauh seorang sastrawan hendak mengelak dari segala fakta yang
melahirkan, mengasuh dan mendewasakannya, ia tak bakal mungkin membuat karya
sastra yang sama sekali tak bersangkut-paut dengan pengalaman, pengetahuan,
pikiran, dan perasaannya sendiri. Bahkan, bila karya sastra itu tidak dibuat
dalam bahasa yang pernah ada di muka bumi, ungkapannya tetap bersangkut-paut
dan bersumber dari apa yang pernah dialaminya bersama orang-orang lain atau
lingkungan alam di luar dan di dalam dirinya.[17]
Selanjutnya, dalam banyak halaman novel
ini pengarang tampak begitu terobsesi untuk mengeksplorasi kosa kata dan
istilah lokal (daerah) semaksimal mungkin, baik bahasa Dayak maupun bahasa
Banjar. Akan tetapi, dalam hal ini, lagi-lagi Lan Fang harus diposisikan
sebagai “orang luar” karena ia memang tidak sepenuhnya memahami sistem linguistik
kedua bahasa daerah tersebut. Di sini, karena sang pengarang pernah selama
lebih-kurang delapan belas tahun tinggal di Banjarmasin, eksplorasi bahasa yang
lebih dominan disajikannya adalah bahasa Banjar. Lalu, jika ingin dicatat
secara rinci, sisipan kosa kata dan istilah daerah itu (terutama dalam bentuk
dialog) akan kita jumpai dalam tidak kurang dari tujuh belas halaman (lihat misalnya
hlm. 31, 32, 37, 38, 39, 42, 43, 44, 56, 57, 73, 101, 110, 132, 148, 162, dan
163).
Penyajian unsur-unsur (bahasa daerah)
tersebut tentunya dimaksudkan pengarang untuk mendukung kekuatan warna lokal
Kalimantan yang ingin ditampilkan dalam novelnya. Namun, lebih dari
cerita-cerita yang banyak menggunakan catatan kaki atau catatan belakang,
teknik penyajian yang langsung disertakan terjemahan Indonesianya dalam tanda
kurung justru terasa sangat menggangu para pembaca dalam kenikmatan proses
pembacaannya, lebih-lebih bagi penutur asli sendiri (khususnya orang Banjar).
Selain itu, cukup banyak saya temukan sisipan kosa kata dan istilah lokal yang
menghiasi halaman-halaman novel ini malah tidak fungsional dalam mendukung plot
cerita maupun untuk memperkuat suasana warna lokal yang diinginkan pengarang. Belum
lagi jika persoalannya dikaitkan dengan sistem mormologis dan teknik
penulisannya yang kurang cermat. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di
bawah ini:
“Ulun dangar ujar urang kantor nang
(saya dengar kata orang kantor yang) di Banjar sebujurnya (sebetulnya)
Bapak boleh menetap di kantor cang di Banjarmasin. Tetapi kabarnya Bapak
menolak. Kenapa? Bukankah lebih enak duduk di kursi daripada berpanas hujan di
dalam hutan? Kada bosankah (Tidak bosankah) Bapak bakurung
(berkurung) di dalam hutan?” Amit mempertegas bertanya bertubi-tubi (hlm. 37).
“Kada handakkah Bapak kawin? Hidup
berkeluarga? Kada sorangan tarus nang kaya sakarang?” (Tidak inginkah Bapak
kawin? Hidup berkeluarga? Tidak sendirian terus seperti sekarang?)” Amit
bertanya hati-hati, walaupun ia menyadari pertanyaannya sedikit “kurang ajar”
(hlm. 37—38).
“Aku pernah handak umpat Kak Amit
begawi di sawmill (pernah hendak ikut Kak Amit bekerja di sawmill).
Kerja apa saja. Hidup berladang sangat membosankan,” Bua menjawab. “Tapi Ineen—Ibu—tidak
mengizinkan. Kata Ineen, di sawmill banyak orang kota dan orang
asing yang suka mengganggu gadis. Mereka suka mempermainkan perempuan. Apalagi
tinggal aku anak perempuannya yang belum kawin. Ineen handak aku
mengawaninya (Ibu ingin aku menemaninya) karena Umaaq—Bapak—sudah
meninggal ketika kami membuka ladang,” ujarnya bertutur membuka kata (hlm.
56—57).
Jika
membaca ketiga kutipan di atas, seorang penutur asli (native speaker)
bahasa Banjar tentu akan segera tahu bahwa penggunaan kata sebujurnya, bosankah,
berkeluarga, sakarang, pernah, dan mengawaninya adalah bentuk-bentuk
yang salah. Sebagian di antaranya merupakan bentuk derivatif yang salah kaprah,
sebagian lainnya tidak lebih dari sekadar proses pembanjaran kosa kata bahasa
Indonesia. Bahkan, bentuk-bentuk seperti bosankah, berkeluarga, dan pernah
adalah murni kosa kata Indonesia (bentuk bahasa Banjarnya yang benar seharusnya:
muyakkah, bakulawarga, dan suwah atau biasa). Adapun
kesalahan pada bentuk-bentuk seperti sebujurnya, sakarang, dan mengawaninya
dapat diperbaiki menjadi sabujurnya ‘sebenarnya’, wayahini
‘sekarang’, dan mangawani inya (‘menemani dia’). Lagi pula, sekali perlu
saya tegaskan, pada kenyataanya penggunaan banyak kosa kata dan istilah lokal
semacam itu kehadirannya tidak benar-benar fungsional sifatnya. Dalam arti,
tanpa diungkapkan dalam bahasa daerah pun sebenarnya tidak akan mengurangi
kekuatan lokalitasnya.
Kasus tersebut tentu berbeda dengan kehadiran
beberapa sisipan kosa kata dan istilah lokal yang memang benar-benar khas
mencirikan kedaerahan, di samping karena nilai konotatifnya juga tidak bisa
digantikan dengan kosa kata bahasa Indonesia (misalnya Umaag, Ineen, handep,
demang, temanggung, kaharingan, wadai nagasari, nyahug, luak, ngilaaq nguto,
belian, seniang, betang, klotok, getek, batimung, atau bagondang). Meskipun
kata umaag dan ineen bisa saja diganti dengan ‘ayah’ dan ‘ibu’,
misalnya, tetapi secara konotatif kedua kelompok kata tersebut memiliki nilai
rasa yang berbeda —kelompok pertama bernilai rasa lokal (kedaerahan), sedangkan
kelompok kedua bernilai rasa netral (sebagaimana sifat bahasa Indonesia yang
igaliter). Kendati tidak bersentuhan dengan nilai konotatifnya, hal serupa
agaknya juga berlaku untuk sisipan-sisipan bahasa asing yang jika diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia akan cenderung berpanjang-panjang atau tidak efesien
(semisal kata log pond, sawmill, sawmill camp, tank boat, speed boat, cum
laude, hard disk, area manager, dan branch manager).
Dalam
kaitan ini, sudah sering saya katakan bahwa untuk menunjukkan lokalitas atau
warna tempatan dalam sebuah teks fiksi sesungguhnya tidak identik dengan
banyaknya penggunaan kosa kata dan istilah daerah di dalamnya. Jika kosa kata
atau istilah daerah itu tidak benar-benar lokal dan khas mencerminkan kultur
tertentu yang sedang diangkat sebagai latar cerita, unsur-unsur yang tidak
fungsional tersebut sebaiknya ditinggalkan saja. Sebab, kalau hal itu tetap
dipaksakan juga, maka kehadirannya tidak lebih dari sekadar tempelan-tempelan
artifisial dan tidak bermakna. Dengan kata lain, bagi setiap pengarang, dalam
usaha mengusung konsep “warna tempatan” (local color) ini diperlukan
sikap kritis dengan memilih kosa kata dan istilah lokal secara selektif.
/ 6 /
Menyikapi beberapa ”kelemahan” (kalau boleh
disebut demikian) di atas, saya kira, sudah sepantasnya jika keberadaan novel
bertajuk Kembang Gunung Purei ini kita kembalikan pada konsep ”sastra
realisme-romantis” yang telah saya tawarkan sebelumnya. Sebagai novel
realisme-romantis, secara dominan ia memang harus tunduk-patuh pada konvensi
”sastra sebagai cermin masyarakat” sebagaimana yang diusung dalam sosiologi
sastra. Namun, pada tataran tertentu, di dalamnya masih terselip keniscayaan
akan munculnya ”pengingkaran imajinatif” terhadap realitas dunia dan pengalaman
empiris yang menjadi acuannya. Dalam konteks demikian, persinggungan temporal
antara kesilaman dan kekinian juga menjadi sebuah keniscayaan karena ”yang
sinkronis” dan ”yang diakronis” dapat berpadu dalam suatu wadah fiksional yang
saling melengkapi.
Lepas dari persoalan tersebut, harus kita
akui bahwa Lan Fang benar-benar telah memberikan kado istimewanya kepada
Kalimantan dengan lahirnya novel ini dari tangannya, lengkap dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Ia telah menulis, bercerita, sekaligus berbicara
tentang Kalimantan melalui novel Kembang Gunung Purei-nya ini.
Bagaimanapun, kehadiran novel ini sungguh patut kita hargai dan perlu diberi
tempat yang selayaknya dalam rumah tangga sastra Indonesia modern. Kehadiran
novel yang konon proses kreatif penulisannya memakan waktu sekitar lima tahunan
ini bukan saja telah melengkapi deretan prestasi sang pengarang, melainkan juga
berharga sebagai ”prasasti” bagi perjalanan sastra Indonesia bertema lokal
—dengan lokalitas Kalimantan (baca: Dayak dan Banjar) pada khususnya.
Namun,
sayang sungguh sayang, penulis berbakat dan produktif ini tidak diberikan jeda
waktu yang lebih panjang lagi untuk menuangkan gagasan-gagasan estetiknya dan
melanjutkan perjalanan kreatifnya. Padahal, saya yakin, tentu ia masih
menyimpan banyak cerita yang ingin dibagikannya kepada kita. Akan tetapi, seperti
kata Karl Jaspers, maut adalah ”situasi-batas” (Grenz-situationen) yang
paling nyata —sebuah kepastian yang paling mantap— hingga tak seorang pun dapat
menghindarkan diri darinya, baik ingin mempercepat atau sekadar menunda
beberapa detik saja.[18]
Demikianlah Lan Fang, ia pun tak bisa menunda-nunda kedatangan sang maut. Saat produktivitas
kepengarangannya sedang tumbuh subur, saat ia sedang terbaring lemah di Rumah Sakit Mount Elezabeth, Singapura, malaikat maut buru-buru telah menjemputnya
(Minggu, 25 Desember 2011). Ya, persis seperti ungkapannya sendiri,
hari itu Lan Fang telah memberikan tidur panjangnya yang cantik —yang ternyata itu adalah kematian. Selamat
jalan, Lan Fang!
Pelaihari, 12 Februari 2012
CATATAN KAKI :
[1] Selengkapnya
lihat Lan Fang, “Catatan dari Pengarang” dalam Kembang Gunung Purei
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 221—224.
[2]
Bandingkan dengan Abdul Rozak Zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah, Kamus
Istilah Sastra (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 168.
[3]
Georg Lukacs, Studies in European Realism (London: Merlin Press, 1989),
hlm. 11; lihat juga Ibe Karyanto, Realisme Sosialis Georg Lukacs
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 36.
[4]
Periksa Robert Staton, Teori Fiksi Robert Staton, terj. Sugihastuti dan
Rossin Abi Al-Irsyad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 116—117.
[5]
Zaidan dkk., op. cit, hlm. 175.
[6]
Sebenarnya, berdasarkan ciri-ciri yang melekat padanya, ada berbagai
klasifikasi teoretis lainnya yang juga bisa dikenakan pada novel Kembang
Gunung Purei ini. Jadi, dengan perspektif tertentu, tanpa perlu
mempertentangkannya dengan kategori-kategori di atas kita bisa dan sah-sah saja
untuk menyebutnya sebagai “novel sosiologis”, “novel antropologis”, atau “novel
etnografis”.
[7] Staton, op.
cit., hlm. 116.
[8]
Lihat Sheldon Norman Grebstein (ed.), Perspectives in Contemporary Criticism
(New York: Harper Row, 1968), hlm. 161.
[9]
Bandingkan dengan Grebstein, ibid.; bandingkan juga Sapardi Djoko
Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1978), hlm. 4—5.
[10]
Lihat Katrin Bandel, Sastra, Perempuan, Seks (Yogyakarta dan Bandung:
Jalasutra, 2006), hlm. 130.
[11] Ibid.,
hlm. 130—131.
[12]
Bandingkan dengan Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan
Analisa Kebudayaan Banjar (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 4—5.
[13] Lihat
kembali Lan Fang, op. cit., hlm. 222.
[14]
Perjanjian Tumbang Anoi yang melibatkan hampir seluruh demang ‘kepala
suku’ subetnis Dayak di Kalimantan itu selengkapnya berisi tujuh butir
kesepakatan. Untuk informasi singkat, lihat misalnya di http://www.pedagi.com/2007/05/isi-perjanjian-tumbang-anoi.html.
[15] Tradisi ngayau yang pernah hidup di
beberapa subetnis Dayak tampaknya memiliki motif dan tujuan yang berbeda, ada
yang bersifat religius (seperti pada Dayak Ngaju) dan ada yang tidak (seperti
pada Dayak Kenyah dan Dayak Iban). Selain itu, tidak semua subetnis Dayak di
Kalimantan memiliki tradisi ngayau (misalnya pada Dayak Meratus dan
Dayak Maanyan). Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ngayau.
[16]
Lihat Aart van Zoest, Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik, terj.
Manoekmi Sardjoe (Jakarta: Intermasa, 1991), hlm. 5.
[17] Ariel Heryanto, “Sastra, Sejarah, dan
Sejarah Sastra” dalam Andy Zoeltom (Ed.), Budaya
Sastra (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 49—50.
[18] Lihat
Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya, 1985), hlm. 87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar