Membaca, Buku, Menulis :
Sepotong Cerita tentang Kemabukan Cinta
Oleh : Jamal T. Suryanata
semenjak menatap wajahnya
aku tak bisa lagi memandang
yang lain
sekilas
pandang lepas darinya dan aku jadi mabuk
( Jalaluddin Rumi )
/ 1 /
Dalam enam bulan terakhir (Maret—Agustus 2010), jika
dikalkulasikan secara kasar, saya telah menghabiskan uang lebih tiga juta
rupiah bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup saya sekeluarga (sandang,
pangan, papan), melainkan sekadar untuk belanja sejumlah buku —di toko-toko buku
besar maupun kecil— di empat kota yang sempat saya singgahi: Banjarmasin,
Banjarbaru, Jakarta, dan Yogyakarta. Motif pertama sebagai pemantiknya dimulai
pada awal Maret yang lalu ketika saya begitu terobsesi untuk segera
menyelesaikan sebuah naskah buku bertajuk Tragika
Sang Pecinta (sebuah risalah kritik sastra yang mengupas sajak-sajak
Ajamuddin Tifani dalam perspektif sufistik) yang, setelah melalui usaha dan
kerja keras, akhirnya dapat saya selesaikan juga pada akhir Mei melewat —rencananya
akan diterbitkan di Yogyakarta pada tahun ini juga, insya Allah!
Jujur saja, dalam enam bulan
terakhir ini saya memang merasakan telah terjadi sesuatu yang agak berbeda
dalam diri saya. Sesuatu yang muskil untuk dapat diformulasikan dengan
kata-kata (hoayyo!). Ada semacam
getaran-getaran aneh merasuki jiwa saya, tetapi sebenarnya yang sudah tak
begitu asing saya rasakan. Jujur saya katakan, saya sedang jatuh cinta lagi;
bahkan, boleh dikata kini sedang berada di puncak ”mabuk cinta” (isyq) bagi seseorang yang sudah memasuki
fase ”puber kedua” —semisal kisah perselingkuhan dari akar cinta melankolis
anak SMA yang bersemi kembali setelah cukup lama terpisahkan oleh jarak ruang
dan waktu. Sebab, kemabukan cinta dan gairah syahwat saya pada kecantikan-”nya”
selepas merampungkan naskah buku tersebut ternyata tidak terhenti sampai di
situ. Kisah cinta ini berlanjut. Ada obsesi lain yang mengiringi motif pertama
yang sejatinya sudah tamat itu. Ya, cinta saya kian berkobar, menyala-nyala
kembali, dan saya membeli banyak buku lagi. Belakangan, syahwat saya yang aneh
itu lebih terfokus untuk memburu buku-buku bertemakan cinta —cinta dalam
perspektif keislaman, sufisme pada khususnya. Persis seperti kata seorang
penyair-sufi agung Persia, Maulana Jalaluddin Rumi, dalam sebait syairnya yang
telah saya kutipkan di atas.
/ 2 /
Sebagai seseorang yang sedang dimabuk cinta, saya
menyesal agak terlambat membaca La Tahzan,
sebuah karya fenomenal (bahkan berkategori international best seller) yang lahir dari tangan seorang doktor
muda dalam bidang hadis, jebolan Fakultas Ushuluddin Al-Imam Islamic University
(Riyadh, Arab Saudi), bernama Dr. ‘Aidh al-Qarni. Sebab, berdasarkan pengalaman
pribadi dan juga bersandar pada nasihat seorang bijak yang dikenalnya, dalam salah
satu risalahnya di salah satu halaman buku tersebut, al-Qarni antara lain mengingatkan
bahwa kalau seseorang sedang dimabuk cinta pada buku hingga ketika ia sedang
berada di toko buku seakan semua buku hendak diambilnya, maka yang sebaiknya ia
lakukan adalah membeli buku-buku induknya saja.
Mengapa keterlambatan
perkenalan dengan La Tahzan itu harus
saya sesali? Pasalnya, kemabukan cinta pada buku sebagaimana telah saya
ceritakan di atas ternyata telah menjerumuskan saya menjadi seseorang yang
berwatak rakus, loba, tamak, ibarat seekor monyet yang tersesat ke kebun
penduduk. Saya membeli banyak buku dengan segala ragamnya (yang tipis maupun
yang tebal, yang ringan maupun yang berat, yang murah maupun yang agak mahal)
sepanjang berkaitan dengan tema cinta, sufisme, dan risalah-risalah keislaman
yang berkaitan dengannya —terutama jika (secara fisik) judul yang tertera pada cover depan buku itu memakai label
kata-kata cinta, sufisme, sufi, atau tasawuf. Alhasil, secara mataeriil saya
merasa lumayan dirugikan karena telah membeli beberapa buku yang sebenarnya
tidak begitu saya perlukan atau karena buku-buku itu hanya merupakan bentuk
saduran atau ulasan ringkas dari beberapa buku induk yang menjadi rujukannya.
Kecuali kerugian akibat salah
pilih (dalam hal materi buku) itu, saya juga sudah dua kali tertipu hanya
lantaran perbedaan judul dan cover
depan buku. Pertama, saat berada di Jogja saya membeli sebuah buku baru
bertajuk Intelegensi dan Spritualitas
Agama-agama (Jakarta: Inisiasi Press, Jakarta, 2004), terjemahan Suharsono
dkk. dari edisi Inggris, Knowledge and
the Sacred, karya Seyyed Hossein Nasr. Setelah saya baca sekilas (tepatnya:
survey reading, tapi sedikit sudah memasuki
level skimming), ternyata isi dan
sistematika penulisan buku ini sama persis dengan buku Pengetahuan dan Kesucian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) —oleh
penulis dan penerjemah yang sama— yang sebenarnya sudah saya miliki sejak
beberapa tahun sebelumnya. Kedua, hanya berselang minggu dalam bulan yang sama,
saya membeli dua buah buku lagi yang keduanya memang sama-sama terjemahan dari edisi
aslinya, Nafahat al-Uns Min Hadarat
al-Quds, karya Mawlana ’Abd ar-Rahman Jami; masing-masing bertajuk Pancaran Ilahi Kaum Sufi (Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Sufi, 2003) dan Ensiklopedi
Tokoh Sufi: Warisan Spiritual dan Keluhuran Para Mahaguru Sufi (Yogyakarta:
Penerbit Beranda, 2007).
Buku yang saya sebut pertama (Pancaran...) saya beli di TB Riyadh
(Banjarbaru) lantaran ia merupakan sebuah referensi klasik, tak peduli pada
tampilan fisiknya yang sudah terbuka, agak kotor, dan mulai lusuh pula.
Sementara, buku yang disebut kedua (Ensiklopedi...)
saya beli di TB Alfat (Banjarmasin), juga lantaran ketertarikan saya pada
buku-buku klasik. Namun, apa hendak dikata, kali ini lagi-lagi saya tertipu
gara-gara perbedaan judul yang digunakan oleh penerbit yang berbeda, sedangkan
isi dan sistematikanya juga sama persis (termasuk penerjemahnya). Saya yakin,
perbedaan judul itu tentulah dimaksudkan penerbit sebagai taktik untuk mengecoh
mata calon pembelinya. Kalau tidak, pastilah saya tidak akan terpedaya
karenanya. Akan tetapi, dalam hal buku yang kedua itu, ketertipuan saya tentu
saja juga dilantarankan oleh kondisi buku-buku baru di hampir semua toko buku
yang selalu terbungkus rapi dalam kemasan plastik yang ”dilarang merobeknya secara
terang-terangan!” hingga tak memungkinkan bagi saya untuk membandingkan setiap
buku yang akan dibeli dengan buku-buku yang sudah saya miliki berdasarkan
daftar isi maupun indikator lainnya.
Memang, sebagaimana pernah
diungkapkan Al-Qadhi Abu Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Salman
an-Nuqati dalam buku Mihnah azh-Zharraf-nya,
”Orang-orang yang dimabuk cinta itu
tersiksa dengan berbagai kondisi. Musibah yang mereka alami adalah di luar
pilihan, jadi menimpa mereka di luar keinginan. Seseorang akan dicela pada
hal-hal yang mereka mampu melakukannya, bukan pada hal-hal yang telah
ditentukan dan telah ditakdirkan.”[1]
Kata-kata an-Nuqati ini segera mengingatkan kita pada satu nukilan kisah dalam
al-Quran tentang sekelompok perempuan Mesir yang (saat memenuhi undangan perjamuan
di rumah Zulaikha, istri Raja al-Aziz, yang merasa kesal lantaran cemooh
perempuan-perempuan usil yang gemar gosip itu) tanpa sadar telah melukai
jari-jemari mereka sendiri manakala menyaksikan langsung ketampanan seorang
pemuda bernama Yusuf (kelak dikenal sebagai Nabi Yusuf as.) seraya berkata
dengan takzim, ”Mahasempurna Allah, ini (baca:
Yusuf) bukanlah manusia. Sesungguhnya ini (Yusuf) tidak lain hanyalah malaikat yang
mulia.” (QS. Yusuf [12]: 30—34).[2]
Demikianlah, sebagai hikmah positifnya,
pengalaman buruk itu telah mengajari saya untuk menjadi lebih arif dan selektif
saat akan membeli buku lagi. Beberapa waktu berikutnya (sekira dua atau tiga
minggu kemudian), ketika suatu hari saya berkunjung ke TB Usaha Jaya
(Banjarmasin), seperti biasa saya langsung menuju rak buku-buku khazanah Islam.
Di salah satu rak buku pajangan itu, tiba-tiba mata saya terfokus pada sebuah
buku cantik. ”Eureka! Eureka!”
mungkin begitulah ucapan yang sekonyong-konyong terlontar di benak saya, menirukan
Archimedes (ilmuwan masyhur Yunani klasik). Sontak saja, saya pun langsung
mengambil dan segera membolak-balik buku baru bertajuk Risalah Cinta (terbitan Mizan, Bandung) karya Ibnu Hazm al-Andalusi
tersebut. Desain cover depannya memang
sangat menggoda, dengan dasar warna biru langit, bermotif bunga-bunga, sungguh seronok
untuk sebuah buku bertema cinta.
Namun, setelah menemukan beberapa
kata-kuncinya, kali ini saya boleh tersenyum (bahkan dengan agak sinis) seraya
membatin, ”He, kini kau tak akan bisa menipuku lagi, sobat cantik!” Sebab,
seketika hati saya jadi curiga: tentulah judul buku ini sekadar ”baju baru” (sebagai
taktik jitu penerbit untuk memelet calon pembelinya) dari buku bertajuk Sabda Cinta dari Andalusia (terbitan Gudang
Ilmu, 2008) yang sudah saya miliki sejak beberapa bulan sebelumnya. Pengalaman empiris
telah mengajari saya hingga kali ini menjadi begitu yakin bahwa buku yang masih
terbungkus rapi dalam sampul plastiknya di salah satu rak pajangan TB Usaha
Jaya tersebut tidak lebih dari versi lain (terjemahan Indonesia) dari buku yang
edisi aslinya berjudul Thuq al-Hamamah
(738 H/1338 M) karya Abu Muhammad ’Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ra. —penulis
yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Hazm al-Andalusi itu.[3]
Jadi, benarlah kata orang bijak, “Experience is the best teacher, but experience must be bought!”
/ 3 /
Bertolak dari pengalaman pribadi di atas, ternyata
minat baca (pada level yang tinggi, tentu saja) juga berpotensi membawa seseorang
pada kondisi mabuk cinta yang berlebihan hingga syahwatnya berupa keinginan untuk
memiliki banyak buku menjadi kurang terkendali. Namun, sepotong kisah tentang kemabukan
cinta yang saya ceritakan tadi tentu saja hanyalah secuil sisi negatif
dibanding dengan luasnya dimensi nilai-nilai positif yang dapat kita petik dari
sebuah buku karena setiap buku yang baik niscaya akan memberikan manfaat yang
baik pula, bahkan hikmah tak berhingga, pada diri setiap pembaca.
Setidaknya, berdasarkan
”jam-terbang” pengalaman baca saya yang kiranya sudah lumayan, kini saya dapat
memahami bahwa buku adalah ”kekasih” yang tak pernah marah atau ”pacar” yang
tak akan pernah cemburu. Kehadirannya bahkan bisa menjadi pengobat rindu,
sebagai pemberi nasihat yang bijak, dan sebagai penenteram jiwa manakala sedang
gundah-gelisah. Seperti kata al-Jahizh, ”Buku
adalah teman duduk yang tak akan memujimu dengan berlebihan, sahabat yang tidak
akan menipumu, dan teman yang tidak membuatmu bosan. Dia adalah teman yang
sangat toleran yang tidak akan mengusirmu. Dia adalah tetangga yang tidak akan
menyakitimu....” Maka, ’Aidh al-Qarni pun berpetuah bahwa sebaik-baik teman
duduk adalah buku. Karena, ”Di antara
sebab kebahagiaan adalah meluangkan waktu untuk mengkaji, menyempatkan diri
untuk membaca, dan mengembangkan kekuatan otak dengan hikmah-hikmah.”[4]
Kemabukan cinta sebagaimana
yang saya ilustrasikan di atas (baca: kecintaan yang tinggi terhadap buku, notabene
semua bahan bacaan lain dalam berbagai wujudnya) mungkin saja tidak berjalan
paralel dengan tingkat kemampuan membaca (reading
capability) seseorang. Sebab, boleh jadi bahwa ahwal (bentuk jamak dari hal; kondisi) kemabukan semacam itu memang
telah melampaui batas-batas teoretis mengenai maqâmat (bentuk jamak dari maqâm; tingkatan) kemampuan membaca. Dalam
konteks ini, menurut hemat saya, aspek ideal pertama yang perlu diupayakan
adalah mengondisikan tumbuhnya minat baca karena dengan modal inilah
ketercapaian segala sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan membaca —termasuk
kemungkinan tercapainya maqâm tertinggi
kemampuan membaca— maupun derajat keilmuan pada umumnya akan menjadi mungkin.
Namun, oleh karena membaca itu
merupakan suatu bentuk keterampilan —yang dalam perspektif ilmu bahasa terapan (applied linguistics) lazim disebut
”keterampilan berbahasa” (language skills,
khasnya reading skill)—, maka
kemampuan membaca (reading competence)
seseorang tidak mungkin diperoleh secara otomatis, sebagaimana kisah-kisah kaum
arifin yang (terutama dalam konteks kesufian) konon mendapatkan ilmu ladunni-nya langsung dari Allah Azza wa
Jalla. Sebagai suatu bentuk keterampilan (berbahasa), secara kodrati, pemerolehan
kemampuan membaca pada galibnya selalu melalui proses yang panjang dengan
tahapan-tahapan tertentu. Jika pembaca diandaikan sebagai seorang sâlik (dalam konteks sufisme, secara etimologis
berarti ”penempuh jalan spiritual”), sebelum seseorang mencapai maqâm tertinggi berupa kemampuan membaca
yang baik atau cepat (jika dinisbahkan pada kondisi ma’rifatullâh), ia harus melalui proses penempaan diri (riyadhah) terlebih dahulu —yang secara
teknis mungkin berbeda satu sama lain dalam cara atau jalan yang ditempuh (thariqah). Di sini, penting kiranya
diperhatikan agar setiap pembaca berkesadaran untuk mengukur diri sendiri (muhâsabah) guna memperoleh
gambaran umum potensi pribadi (mukasyafah)
yang mungkin dapat dikembangkan lebih lanjut.
Dalam kaitan ini, kalau saya
boleh sedikit berteori, secara kronologis proses itu setidak-tidaknya akan
melalui tahap-tahap yang secara gradual bergerak dari tingkat terendah (lower level) menuju tingkat yang lebih
tinggi hingga mencapai tingkatan tertinggi (high
level); mulai dari tahap (1) sekadar membaca iseng untuk mengisi waktu
senggang, ke tahap (2) membaca yang lebih serius karena adanya minat pada topik
tertentu, ke tahap (3) membaca yang lebih serius lagi karena telah dilandasi
kesadaran sebagai suatu kebutuhan, hingga akhirnya mencapai tahap (4) membaca habitualistis
yang mengandaikan suatu kebiasaan atau tindak-laku keseharian. Pada tahap akhir
inilah budaya baca sudah terbentuk sebagai tradisi yang pagan. Adapun kemampun
membaca, menurut hemat saya, akan bertumbuh seiring dengan proses tersebut.[5]
Dengan kata lain, jika budaya baca sudah terbentuk, maka kemampuan membaca pun
akan mengikuti dengan sendirinya. Proses demikian, secara sederhana, dapat
digambarkan dalam matriks berikut ini.
Proses Pemerolehan
Kemampuan Membaca
|
|||
Tahapan
|
Bentuk
|
Motif
|
Indikator
|
Pertama
|
Sekadar Iseng
|
Mengisi Waktu Senggang
|
Tanpa Kesan
|
Kedua
|
Ada Minat Tertentu
|
Mengetahui Sesuatu
|
Mendapatkan Jawaban
|
Ketiga
|
Merasa sbg Kebutuhan
|
Harus Melakukan
|
Melepaskan Beban
|
Keempat
|
Menjadi Kebiasaan
|
Tanpa Ketergantungan
|
Kepuasan Batin & Intelektual
|
Kemampuan
Membaca
|
Tentu
saja, proses tersebut sekadar suatu gambaran teoretis yang mustahil akan
tercapai tanpa latihan dan kedisiplinan yang baik. Sebagai suatu bentuk
keterampilan, pemerolehan dan peningkatan kemampuan jelas menuntut
latihan-latihan tertentu dengan berbagai langkah strategisnya. Tanpa
kedisiplinan yang tinggi untuk selalu berlatih secara terus-menerus, kemampuan
membaca seseorang akan berpotensi untuk terus merosot hingga ke titik terendah
seiring dengan perjalanan waktu. Maka, dalam konteks inilah kiranya kehadiran
buku-buku petunjuk praktis peningkatan kemampuan membaca menjadi penting bagi
seseorang yang ingin mencapai kemampuan tersebut —sebutlah, misalnya, buku bertajuk
Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif
dan Efisien (DP. Tampubolon) atau Membaca:
Meretas Jalan Menuju Sukses (Daud Pamungkas).
/ 4 /
Kendati sepotong cerita tentang kemabukan cinta seperti
yang telah saya ungkapkan di atas barangkali hanya akan terjadi atau setidaknya
bersesuaian dengan kerja keseharian seseorang yang kebetulan juga “berprofesi”
gandengan sebagai penulis, tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan juga akan
berlaku bagi siapa pun yang telah menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Akan tetapi, langkah tegap kita untuk menjadikan
baca-tulis sebagai sebuah tradisi yang kuat tampaknya bukan perkara yang mudah.
Realitas masyarakat kita yang hingga hari ini masih bermasalah dengan target
penuntasan buta huruf (baca: melek aksara dan angka) merupakan sisi lain yang
masih membebani “misi suci” kita dalam rangka membangun tradisi keberaksaraan.
Dengan kata lain, secara umum masyarakat kita saat ini sesungguhnya masih hidup
di bawah kungkungan (setidaknya bayang-bayang) tradisi lisan. Jadi, jelas bahwa
upaya membangun tradisi keberaksaraan yang mapan masih merupakan masalah besar
dan penuh tantangan besar.
Lebih jauh harus saya katakan,
di tengah realitas kehidupan masyarakat yang masih didominasi tradisi lisan dan
belum lagi menjadikan kegiatan baca-tulis sebagai sebuah tradisi yang kuat, kini
pada saat yang sama —ketika kita sudah memasuki abad ke-21 dan milenium ketiga
ini— kita pun harus berhadapan lagi dengan satu persoalan sosiologis lainnya yang
oleh para pakar komunikasi disebut sebagai gejala “kelisanan kedua” (secondary orality). Dengan demikian, masih
dalam abad dan periode yang sama, berarti kita tengah mengalami tiga bentuk
transformasi budaya secara tumpang-tindih, yakni bertolak dari tradisi lisan,
memasuki budaya keberaksaraan, kemudian (seakan-akan kembali) ke kelisanan
(kedua). Sementara itu, sejak penghujung abad yang lalu, masyarakat sedunia
sudah pun ribut-ribut dengan segala keniscayaan teknologi informasi mutakhir
sebagai “anak emas” Era Globalisasi —yang secara sayup-sayup kemudian kita kenal
adanya e-life, e-learning, e-business,
e-commer, e-book, e-mail, internet home, atau cyber era sebagai gaya hidup dan peradaban baru umat manusia. Maka, persoalan pun menjadi semakin
kompleks, kian berjalin berkelindan, serupa benang kusut. Lalu, di mana kini harus kita tempatkan duduk
perkara budaya baca masyarakat Indonesia? Bagaimana pula kita mesti
membincangkan ihwal budaya menulis, kecintaan pada buku, dan berbagai atribut
tradisi keberaksaraan lainnya?[6]
Sungguhpun demikian, janganlah
kita segera pesimis. Kita masih punya peluang untuk melakukan berbagai bentuk
kegiatan, dari banyak pilihan yang mungkin, dalam upaya menumbuhkembangkan
tradisi baca-tulis —yang tidak lain berarti pula sebagai usaha untuk
menunmbuhkembangkan ilmu yang bermanfaat di muka bumi ini. Setiap orang yang
terlibat dalam usaha positif ini, insya Allah, ia akan termasuk dalam majelis
para pecinta ilmu. Dalam sebuah hadis shâhih
yang diriwayatkan dari Abu Bakar ra., Rasulullah saw. telah bersabda:
Jadilah
engkau orang yang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang
mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Janganlah engkau menjadi
orang yang kelima sehingga engkau akan binasa.” —Atha menambahkan:
Ibnu Mas’ud mengatakan kepadaku, ”Engkau menambahkan yang kelima, yang itu
bukan termasuk kami. Yang kelima itu adalah yang membenci ilmu dan orang yang
berilmu.” (HR. Thabrani).
Maka,
saya tak habis pikir ketika melihat banyak orang tua yang dengan bangga dan
penuh kepuasan telah menghabiskan uang ratusan ribu untuk mentraktir keluarga
di sebuah restoran mewah atau merogoh isi dompetnya hingga jutaan rupiah sekadar
menghabiskan malam di bawah remang lampu di sebuah ruang karaoke bersama kawan-kawannya,
tetapi ketika anaknya minta dibelikan sebuah buku seharga lima puluh ribu saja
ia masih berpikir dua kali —syukur-syukur kalau rengekan positif sang anak
masih didengarkan dan dipenuhi!
CATATAN KAKI :
[1] Dikutip via Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Taman
Para Pecinta, terj. Emiel Ahmad dari (edisi Arab) Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin (Jakarta: Khatulistiwa
Press, 2009), hlm. 145—146.
[2] Untuk lebih lengkapnya lihat Ibnu Katsir, Qishashul Anbiya’ (Kisah Para Nabi), terj. Moh. Syamsi Hasan
(Surabaya: Amelia, 2008), hlm. 363—429.
[3] Seingat saya, dalam selisih waktu yang
tak begitu lama, saya juga pernah menemukan sebuah buku karya al-Andalusi
dengan judul dan penerbit yang berbeda, tetapi masih tetap menggunakan kata
”cinta” sebagai bagian judulnya —mungkin bertajuk Senandung Cinta (saya lupa persisnya). Maka, karena kecurigaan yang
sama, saya pun tidak berniat untuk membelinya karena khawatir akan tertipu
lagi.
[4] ‘Aidh al-Qarni, La Tahzan: Jangan Bersedih, terj. Samson Rahman dari (edisi Arab) Lâ Tahzan (Jakarta: Qisthi Press,
2004), hlm. 128. Adapun ihwal manfaat membaca, secara ringkas al-Qarni telah
menyajikannya dalam sebelas butir. Silakan baca dalam risalahnya, “Faedah
Membaca”, di hlm. 131—132 buku yang sama.
[5] Secara konseptual, istilah ”kemampuan membaca” (reading capability) dalam konteks ini dimaksudkan sebagai tingkat
kecepatan membaca dan pemahaman isi bacaan secara keseluruhan. Jadi, kemampuan
membaca merupakan suantu bentuk keterampilan yang terukur. Lihat D.P.
Tampubolon, Kemampuan Membaca: Teknik
Membaca Efektif dan Efisien (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 7.
[6] Uraian kritis tentang masalah ini lihat Jamal T. Suryanata, “Budaya Baca
dan Prospek Buku di Tengah Godaan Tradisi Kelisanan Kedua” (Makalah Seminar
Internasional tentang Pengajaran Sastra Indonesia/Melayu di Sekolah yang
diselenggarakan oleh Pusat Bahasa dan Majelis Sastera Asia Tenggara pada 30
Juli 2007 di Hotel Mesra Indah, Samarinda, Kalimantan Timur), hlm. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar