Salam Hangatku

Selamat datang di rumah-mayaku, tempatku mengenal diri dan mengenalkan diri. Mari berbagi rasa, pengetahuan, dan pengalaman. Aku yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk diajak berdialog dan bercengkerama. Salam kreatif!

Senin, 07 Februari 2011

Sekadar Berbagi Pengalaman


Membaca, Buku, Menulis :
Sepotong Cerita tentang Kemabukan Cinta

Oleh :  Jamal T. Suryanata

semenjak menatap wajahnya
aku tak bisa lagi memandang yang lain
sekilas pandang lepas darinya dan aku jadi mabuk
( Jalaluddin Rumi )

/ 1 /
Dalam enam bulan terakhir (Maret—Agustus 2010), jika dikalkulasikan secara kasar, saya telah menghabiskan uang lebih tiga juta rupiah bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup saya sekeluarga (sandang, pangan, papan), melainkan sekadar untuk belanja sejumlah buku —di toko-toko buku besar maupun kecil— di empat kota yang sempat saya singgahi: Banjarmasin, Banjarbaru, Jakarta, dan Yogyakarta. Motif pertama sebagai pemantiknya dimulai pada awal Maret yang lalu ketika saya begitu terobsesi untuk segera menyelesaikan sebuah naskah buku bertajuk Tragika Sang Pecinta (sebuah risalah kritik sastra yang mengupas sajak-sajak Ajamuddin Tifani dalam perspektif sufistik) yang, setelah melalui usaha dan kerja keras, akhirnya dapat saya selesaikan juga pada akhir Mei melewat —rencananya akan diterbitkan di Yogyakarta pada tahun ini juga, insya Allah!

Jujur saja, dalam enam bulan terakhir ini saya memang merasakan telah terjadi sesuatu yang agak berbeda dalam diri saya. Sesuatu yang muskil untuk dapat diformulasikan dengan kata-kata (hoayyo!). Ada semacam getaran-getaran aneh merasuki jiwa saya, tetapi sebenarnya yang sudah tak begitu asing saya rasakan. Jujur saya katakan, saya sedang jatuh cinta lagi; bahkan, boleh dikata kini sedang berada di puncak ”mabuk cinta” (isyq) bagi seseorang yang sudah memasuki fase ”puber kedua” —semisal kisah perselingkuhan dari akar cinta melankolis anak SMA yang bersemi kembali setelah cukup lama terpisahkan oleh jarak ruang dan waktu. Sebab, kemabukan cinta dan gairah syahwat saya pada kecantikan-”nya” selepas merampungkan naskah buku tersebut ternyata tidak terhenti sampai di situ. Kisah cinta ini berlanjut. Ada obsesi lain yang mengiringi motif pertama yang sejatinya sudah tamat itu. Ya, cinta saya kian berkobar, menyala-nyala kembali, dan saya membeli banyak buku lagi. Belakangan, syahwat saya yang aneh itu lebih terfokus untuk memburu buku-buku bertemakan cinta —cinta dalam perspektif keislaman, sufisme pada khususnya. Persis seperti kata seorang penyair-sufi agung Persia, Maulana Jalaluddin Rumi, dalam sebait syairnya yang telah saya kutipkan di atas.

/ 2 /
Sebagai seseorang yang sedang dimabuk cinta, saya menyesal agak terlambat membaca La Tahzan, sebuah karya fenomenal (bahkan berkategori international best seller) yang lahir dari tangan seorang doktor muda dalam bidang hadis, jebolan Fakultas Ushuluddin Al-Imam Islamic University (Riyadh, Arab Saudi), bernama Dr. ‘Aidh al-Qarni. Sebab, berdasarkan pengalaman pribadi dan juga bersandar pada nasihat seorang bijak yang dikenalnya, dalam salah satu risalahnya di salah satu halaman buku tersebut, al-Qarni antara lain mengingatkan bahwa kalau seseorang sedang dimabuk cinta pada buku hingga ketika ia sedang berada di toko buku seakan semua buku hendak diambilnya, maka yang sebaiknya ia lakukan adalah membeli buku-buku induknya saja.

Mengapa keterlambatan perkenalan dengan La Tahzan itu harus saya sesali? Pasalnya, kemabukan cinta pada buku sebagaimana telah saya ceritakan di atas ternyata telah menjerumuskan saya menjadi seseorang yang berwatak rakus, loba, tamak, ibarat seekor monyet yang tersesat ke kebun penduduk. Saya membeli banyak buku dengan segala ragamnya (yang tipis maupun yang tebal, yang ringan maupun yang berat, yang murah maupun yang agak mahal) sepanjang berkaitan dengan tema cinta, sufisme, dan risalah-risalah keislaman yang berkaitan dengannya —terutama jika (secara fisik) judul yang tertera pada cover depan buku itu memakai label kata-kata cinta, sufisme, sufi, atau tasawuf. Alhasil, secara mataeriil saya merasa lumayan dirugikan karena telah membeli beberapa buku yang sebenarnya tidak begitu saya perlukan atau karena buku-buku itu hanya merupakan bentuk saduran atau ulasan ringkas dari beberapa buku induk yang menjadi rujukannya.

Kecuali kerugian akibat salah pilih (dalam hal materi buku) itu, saya juga sudah dua kali tertipu hanya lantaran perbedaan judul dan cover depan buku. Pertama, saat berada di Jogja saya membeli sebuah buku baru bertajuk Intelegensi dan Spritualitas Agama-agama (Jakarta: Inisiasi Press, Jakarta, 2004), terjemahan Suharsono dkk. dari edisi Inggris, Knowledge and the Sacred, karya Seyyed Hossein Nasr. Setelah saya baca sekilas (tepatnya: survey reading, tapi sedikit sudah memasuki level skimming), ternyata isi dan sistematika penulisan buku ini sama persis dengan buku Pengetahuan dan Kesucian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) —oleh penulis dan penerjemah yang sama— yang sebenarnya sudah saya miliki sejak beberapa tahun sebelumnya. Kedua, hanya berselang minggu dalam bulan yang sama, saya membeli dua buah buku lagi yang keduanya memang sama-sama terjemahan dari edisi aslinya, Nafahat al-Uns Min Hadarat al-Quds, karya Mawlana ’Abd ar-Rahman Jami; masing-masing bertajuk Pancaran Ilahi Kaum Sufi (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Sufi, 2003) dan Ensiklopedi Tokoh Sufi: Warisan Spiritual dan Keluhuran Para Mahaguru Sufi (Yogyakarta: Penerbit Beranda, 2007).

Buku yang saya sebut pertama (Pancaran...) saya beli di TB Riyadh (Banjarbaru) lantaran ia merupakan sebuah referensi klasik, tak peduli pada tampilan fisiknya yang sudah terbuka, agak kotor, dan mulai lusuh pula. Sementara, buku yang disebut kedua (Ensiklopedi...) saya beli di TB Alfat (Banjarmasin), juga lantaran ketertarikan saya pada buku-buku klasik. Namun, apa hendak dikata, kali ini lagi-lagi saya tertipu gara-gara perbedaan judul yang digunakan oleh penerbit yang berbeda, sedangkan isi dan sistematikanya juga sama persis (termasuk penerjemahnya). Saya yakin, perbedaan judul itu tentulah dimaksudkan penerbit sebagai taktik untuk mengecoh mata calon pembelinya. Kalau tidak, pastilah saya tidak akan terpedaya karenanya. Akan tetapi, dalam hal buku yang kedua itu, ketertipuan saya tentu saja juga dilantarankan oleh kondisi buku-buku baru di hampir semua toko buku yang selalu terbungkus rapi dalam kemasan plastik yang ”dilarang merobeknya secara terang-terangan!” hingga tak memungkinkan bagi saya untuk membandingkan setiap buku yang akan dibeli dengan buku-buku yang sudah saya miliki berdasarkan daftar isi maupun indikator lainnya.

Memang, sebagaimana pernah diungkapkan Al-Qadhi Abu Umar Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Salman an-Nuqati dalam buku Mihnah azh-Zharraf-nya, ”Orang-orang yang dimabuk cinta itu tersiksa dengan berbagai kondisi. Musibah yang mereka alami adalah di luar pilihan, jadi menimpa mereka di luar keinginan. Seseorang akan dicela pada hal-hal yang mereka mampu melakukannya, bukan pada hal-hal yang telah ditentukan dan telah ditakdirkan.”[1] Kata-kata an-Nuqati ini segera mengingatkan kita pada satu nukilan kisah dalam al-Quran tentang sekelompok perempuan Mesir yang (saat memenuhi undangan perjamuan di rumah Zulaikha, istri Raja al-Aziz, yang merasa kesal lantaran cemooh perempuan-perempuan usil yang gemar gosip itu) tanpa sadar telah melukai jari-jemari mereka sendiri manakala menyaksikan langsung ketampanan seorang pemuda bernama Yusuf (kelak dikenal sebagai Nabi Yusuf as.) seraya berkata dengan takzim, ”Mahasempurna Allah, ini (baca: Yusuf) bukanlah manusia. Sesungguhnya ini (Yusuf) tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.” (QS. Yusuf [12]: 30—34).[2]

Demikianlah, sebagai hikmah positifnya, pengalaman buruk itu telah mengajari saya untuk menjadi lebih arif dan selektif saat akan membeli buku lagi. Beberapa waktu berikutnya (sekira dua atau tiga minggu kemudian), ketika suatu hari saya berkunjung ke TB Usaha Jaya (Banjarmasin), seperti biasa saya langsung menuju rak buku-buku khazanah Islam. Di salah satu rak buku pajangan itu, tiba-tiba mata saya terfokus pada sebuah buku cantik. ”Eureka! Eureka!” mungkin begitulah ucapan yang sekonyong-konyong terlontar di benak saya, menirukan Archimedes (ilmuwan masyhur Yunani klasik). Sontak saja, saya pun langsung mengambil dan segera membolak-balik buku baru bertajuk Risalah Cinta (terbitan Mizan, Bandung) karya Ibnu Hazm al-Andalusi tersebut. Desain cover depannya memang sangat menggoda, dengan dasar warna biru langit, bermotif bunga-bunga, sungguh seronok untuk sebuah buku bertema cinta.

Namun, setelah menemukan beberapa kata-kuncinya, kali ini saya boleh tersenyum (bahkan dengan agak sinis) seraya membatin, ”He, kini kau tak akan bisa menipuku lagi, sobat cantik!” Sebab, seketika hati saya jadi curiga: tentulah judul buku ini sekadar ”baju baru” (sebagai taktik jitu penerbit untuk memelet calon pembelinya) dari buku bertajuk Sabda Cinta dari Andalusia (terbitan Gudang Ilmu, 2008) yang sudah saya miliki sejak beberapa bulan sebelumnya. Pengalaman empiris telah mengajari saya hingga kali ini menjadi begitu yakin bahwa buku yang masih terbungkus rapi dalam sampul plastiknya di salah satu rak pajangan TB Usaha Jaya tersebut tidak lebih dari versi lain (terjemahan Indonesia) dari buku yang edisi aslinya berjudul Thuq al-Hamamah (738 H/1338 M) karya Abu Muhammad ’Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ra. —penulis yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Hazm al-Andalusi itu.[3] Jadi, benarlah kata orang bijak, “Experience is the best teacher, but experience must be bought!”

/ 3 /
Bertolak dari pengalaman pribadi di atas, ternyata minat baca (pada level yang tinggi, tentu saja) juga berpotensi membawa seseorang pada kondisi mabuk cinta yang berlebihan hingga syahwatnya berupa keinginan untuk memiliki banyak buku menjadi kurang terkendali. Namun, sepotong kisah tentang kemabukan cinta yang saya ceritakan tadi tentu saja hanyalah secuil sisi negatif dibanding dengan luasnya dimensi nilai-nilai positif yang dapat kita petik dari sebuah buku karena setiap buku yang baik niscaya akan memberikan manfaat yang baik pula, bahkan hikmah tak berhingga, pada diri setiap pembaca.

Setidaknya, berdasarkan ”jam-terbang” pengalaman baca saya yang kiranya sudah lumayan, kini saya dapat memahami bahwa buku adalah ”kekasih” yang tak pernah marah atau ”pacar” yang tak akan pernah cemburu. Kehadirannya bahkan bisa menjadi pengobat rindu, sebagai pemberi nasihat yang bijak, dan sebagai penenteram jiwa manakala sedang gundah-gelisah. Seperti kata al-Jahizh, ”Buku adalah teman duduk yang tak akan memujimu dengan berlebihan, sahabat yang tidak akan menipumu, dan teman yang tidak membuatmu bosan. Dia adalah teman yang sangat toleran yang tidak akan mengusirmu. Dia adalah tetangga yang tidak akan menyakitimu....” Maka, ’Aidh al-Qarni pun berpetuah bahwa sebaik-baik teman duduk adalah buku. Karena, ”Di antara sebab kebahagiaan adalah meluangkan waktu untuk mengkaji, menyempatkan diri untuk membaca, dan mengembangkan kekuatan otak dengan hikmah-hikmah.”[4]

Kemabukan cinta sebagaimana yang saya ilustrasikan di atas (baca: kecintaan yang tinggi terhadap buku, notabene semua bahan bacaan lain dalam berbagai wujudnya) mungkin saja tidak berjalan paralel dengan tingkat kemampuan membaca (reading capability) seseorang. Sebab, boleh jadi bahwa ahwal (bentuk jamak dari hal; kondisi) kemabukan semacam itu memang telah melampaui batas-batas teoretis mengenai maqâmat (bentuk jamak dari maqâm; tingkatan) kemampuan membaca. Dalam konteks ini, menurut hemat saya, aspek ideal pertama yang perlu diupayakan adalah mengondisikan tumbuhnya minat baca karena dengan modal inilah ketercapaian segala sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan membaca —termasuk kemungkinan tercapainya maqâm tertinggi kemampuan membaca— maupun derajat keilmuan pada umumnya akan menjadi mungkin.

Namun, oleh karena membaca itu merupakan suatu bentuk keterampilan —yang dalam perspektif ilmu bahasa terapan (applied linguistics) lazim disebut ”keterampilan berbahasa” (language skills, khasnya reading skill)—, maka kemampuan membaca (reading competence) seseorang tidak mungkin diperoleh secara otomatis, sebagaimana kisah-kisah kaum arifin yang (terutama dalam konteks kesufian) konon mendapatkan ilmu ladunni-nya langsung dari Allah Azza wa Jalla. Sebagai suatu bentuk keterampilan (berbahasa), secara kodrati, pemerolehan kemampuan membaca pada galibnya selalu melalui proses yang panjang dengan tahapan-tahapan tertentu. Jika pembaca diandaikan sebagai seorang sâlik (dalam konteks sufisme, secara etimologis berarti ”penempuh jalan spiritual”), sebelum seseorang mencapai maqâm tertinggi berupa kemampuan membaca yang baik atau cepat (jika dinisbahkan pada kondisi ma’rifatullâh), ia harus melalui proses penempaan diri (riyadhah) terlebih dahulu —yang secara teknis mungkin berbeda satu sama lain dalam cara atau jalan yang ditempuh (thariqah). Di sini, penting kiranya diperhatikan agar setiap pembaca berkesadaran untuk mengukur diri sendiri (muhâsabah) guna memperoleh gambaran umum potensi pribadi (mukasyafah) yang mungkin dapat dikembangkan lebih lanjut.

Dalam kaitan ini, kalau saya boleh sedikit berteori, secara kronologis proses itu setidak-tidaknya akan melalui tahap-tahap yang secara gradual bergerak dari tingkat terendah (lower level) menuju tingkat yang lebih tinggi hingga mencapai tingkatan tertinggi (high level); mulai dari tahap (1) sekadar membaca iseng untuk mengisi waktu senggang, ke tahap (2) membaca yang lebih serius karena adanya minat pada topik tertentu, ke tahap (3) membaca yang lebih serius lagi karena telah dilandasi kesadaran sebagai suatu kebutuhan, hingga akhirnya mencapai tahap (4) membaca habitualistis yang mengandaikan suatu kebiasaan atau tindak-laku keseharian. Pada tahap akhir inilah budaya baca sudah terbentuk sebagai tradisi yang pagan. Adapun kemampun membaca, menurut hemat saya, akan bertumbuh seiring dengan proses tersebut.[5] Dengan kata lain, jika budaya baca sudah terbentuk, maka kemampuan membaca pun akan mengikuti dengan sendirinya. Proses demikian, secara sederhana, dapat digambarkan dalam matriks berikut ini.

Proses Pemerolehan Kemampuan Membaca




Tahapan
Bentuk
Motif
Indikator
Pertama
Sekadar Iseng
Mengisi Waktu Senggang
Tanpa Kesan
Kedua
Ada Minat Tertentu
Mengetahui Sesuatu
Mendapatkan Jawaban
Ketiga
Merasa sbg Kebutuhan
Harus Melakukan
Melepaskan Beban
Keempat
Menjadi Kebiasaan
Tanpa Ketergantungan
Kepuasan Batin & Intelektual
Kemampuan Membaca

            Tentu saja, proses tersebut sekadar suatu gambaran teoretis yang mustahil akan tercapai tanpa latihan dan kedisiplinan yang baik. Sebagai suatu bentuk keterampilan, pemerolehan dan peningkatan kemampuan jelas menuntut latihan-latihan tertentu dengan berbagai langkah strategisnya. Tanpa kedisiplinan yang tinggi untuk selalu berlatih secara terus-menerus, kemampuan membaca seseorang akan berpotensi untuk terus merosot hingga ke titik terendah seiring dengan perjalanan waktu. Maka, dalam konteks inilah kiranya kehadiran buku-buku petunjuk praktis peningkatan kemampuan membaca menjadi penting bagi seseorang yang ingin mencapai kemampuan tersebut —sebutlah, misalnya, buku bertajuk Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif dan Efisien (DP. Tampubolon) atau Membaca: Meretas Jalan Menuju Sukses (Daud Pamungkas).

/ 4 /
Kendati sepotong cerita tentang kemabukan cinta seperti yang telah saya ungkapkan di atas barangkali hanya akan terjadi atau setidaknya bersesuaian dengan kerja keseharian seseorang yang kebetulan juga “berprofesi” gandengan sebagai penulis, tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan juga akan berlaku bagi siapa pun yang telah menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Akan tetapi, langkah tegap kita untuk menjadikan baca-tulis sebagai sebuah tradisi yang kuat tampaknya bukan perkara yang mudah. Realitas masyarakat kita yang hingga hari ini masih bermasalah dengan target penuntasan buta huruf (baca: melek aksara dan angka) merupakan sisi lain yang masih membebani “misi suci” kita dalam rangka membangun tradisi keberaksaraan. Dengan kata lain, secara umum masyarakat kita saat ini sesungguhnya masih hidup di bawah kungkungan (setidaknya bayang-bayang) tradisi lisan. Jadi, jelas bahwa upaya membangun tradisi keberaksaraan yang mapan masih merupakan masalah besar dan penuh tantangan besar.

Lebih jauh harus saya katakan, di tengah realitas kehidupan masyarakat yang masih didominasi tradisi lisan dan belum lagi menjadikan kegiatan baca-tulis sebagai sebuah tradisi yang kuat, kini pada saat yang sama —ketika kita sudah memasuki abad ke-21 dan milenium ketiga ini— kita pun harus berhadapan lagi dengan satu persoalan sosiologis lainnya yang oleh para pakar komunikasi disebut sebagai gejala “kelisanan kedua” (secondary orality). Dengan demikian, masih dalam abad dan periode yang sama, berarti kita tengah mengalami tiga bentuk transformasi budaya secara tumpang-tindih, yakni bertolak dari tradisi lisan, memasuki budaya keberaksaraan, kemudian (seakan-akan kembali) ke kelisanan (kedua). Sementara itu, sejak penghujung abad yang lalu, masyarakat sedunia sudah pun ribut-ribut dengan segala keniscayaan teknologi informasi mutakhir sebagai “anak emas” Era Globalisasi —yang secara sayup-sayup kemudian kita kenal adanya e-life, e-learning, e-business, e-commer, e-book, e-mail, internet home, atau cyber era sebagai gaya hidup dan peradaban baru umat manusia. Maka, persoalan pun menjadi semakin kompleks, kian berjalin berkelindan, serupa benang kusut. Lalu, di mana kini harus kita tempatkan duduk perkara budaya baca masyarakat Indonesia? Bagaimana pula kita mesti membincangkan ihwal budaya menulis, kecintaan pada buku, dan berbagai atribut tradisi keberaksaraan lainnya?[6]

Sungguhpun demikian, janganlah kita segera pesimis. Kita masih punya peluang untuk melakukan berbagai bentuk kegiatan, dari banyak pilihan yang mungkin, dalam upaya menumbuhkembangkan tradisi baca-tulis —yang tidak lain berarti pula sebagai usaha untuk menunmbuhkembangkan ilmu yang bermanfaat di muka bumi ini. Setiap orang yang terlibat dalam usaha positif ini, insya Allah, ia akan termasuk dalam majelis para pecinta ilmu. Dalam sebuah hadis shâhih yang diriwayatkan dari Abu Bakar ra., Rasulullah saw. telah bersabda:  

Jadilah engkau orang yang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Janganlah engkau menjadi orang yang kelima sehingga engkau akan binasa.” Atha menambahkan: Ibnu Mas’ud mengatakan kepadaku, ”Engkau menambahkan yang kelima, yang itu bukan termasuk kami. Yang kelima itu adalah yang membenci ilmu dan orang yang berilmu.” (HR. Thabrani).

            Maka, saya tak habis pikir ketika melihat banyak orang tua yang dengan bangga dan penuh kepuasan telah menghabiskan uang ratusan ribu untuk mentraktir keluarga di sebuah restoran mewah atau merogoh isi dompetnya hingga jutaan rupiah sekadar menghabiskan malam di bawah remang lampu di sebuah ruang karaoke bersama kawan-kawannya, tetapi ketika anaknya minta dibelikan sebuah buku seharga lima puluh ribu saja ia masih berpikir dua kali —syukur-syukur kalau rengekan positif sang anak masih didengarkan dan dipenuhi!


CATATAN KAKI :

[1] Dikutip via Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Taman Para Pecinta, terj. Emiel Ahmad dari (edisi Arab) Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2009), hlm. 145—146.
[2] Untuk lebih lengkapnya lihat Ibnu Katsir, Qishashul Anbiya’ (Kisah Para Nabi), terj. Moh. Syamsi Hasan (Surabaya: Amelia, 2008), hlm. 363—429.
[3] Seingat saya, dalam selisih waktu yang tak begitu lama, saya juga pernah menemukan sebuah buku karya al-Andalusi dengan judul dan penerbit yang berbeda, tetapi masih tetap menggunakan kata ”cinta” sebagai bagian judulnya —mungkin bertajuk Senandung Cinta (saya lupa persisnya). Maka, karena kecurigaan yang sama, saya pun tidak berniat untuk membelinya karena khawatir akan tertipu lagi.
[4] ‘Aidh al-Qarni, La Tahzan: Jangan Bersedih, terj. Samson Rahman dari (edisi Arab) Lâ Tahzan (Jakarta: Qisthi Press, 2004), hlm. 128. Adapun ihwal manfaat membaca, secara ringkas al-Qarni telah menyajikannya dalam sebelas butir. Silakan baca dalam risalahnya, “Faedah Membaca”, di hlm. 131—132 buku yang sama.
[5] Secara konseptual, istilah ”kemampuan membaca” (reading capability) dalam konteks ini dimaksudkan sebagai tingkat kecepatan membaca dan pemahaman isi bacaan secara keseluruhan. Jadi, kemampuan membaca merupakan suantu bentuk keterampilan yang terukur. Lihat D.P. Tampubolon, Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif dan Efisien (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 7.

[6] Uraian kritis tentang masalah ini lihat Jamal T. Suryanata, “Budaya Baca dan Prospek Buku di Tengah Godaan Tradisi Kelisanan Kedua” (Makalah Seminar Internasional tentang Pengajaran Sastra Indonesia/Melayu di Sekolah yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa dan Majelis Sastera Asia Tenggara pada 30 Juli 2007 di Hotel Mesra Indah, Samarinda, Kalimantan Timur), hlm. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar